Share

Part 2. Menyerah Bukan Berarti Kalah

“Apa?” Aku terperangah, membeku di tempat dengan wajah yang mungkin terlihat sangat konyol. “Apa maksud kamu, Mas?!” tanyaku sambil menahan air mata agar tak jatuh.

"Kamu budek, Rat? Aku bilang dia calon madumu. Artinya, Laura akan jadi istriku selanjutnya!" ucapnya angkuh sambil meraih bahu j*lang di sampingnya agar semakin menempel ke pelukannya.

Bagai tersambar petir, aku tak bisa lagi membendung sesak di dada saat mendengar jawaban sekaligus menyaksikan tindakan Mas Bram yang tanpa malu itu.

"Aku udah berusaha jadi istri yang baik selama ini. Aku urus rumah, aku rawat anak kita, siapin semua keperluan kamu, bahkan mama juga. Kenapa, Mas?" Aku tak bisa lagi membendung sesak di dada.

"Itu aja nggak cukup, Rat! Suami juga perlu dimanja istri. Coba lihat penampilan kamu sekarang!” Mata Mas Bram kini bak menelanjangiku dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.

“Ck, kamu bahkan lebih mirip tukang sayur daripada istri seorang manager!” ejeknya seraya tertawa sinis. Sementara aku yang menjadi obyek hinaannya hanya mampu mengepalkan tangan, sebisa mungkin menahan agar tidak meledak.

“Coba kamu tengok, Laura. Dia jauh lebih cantik, lebih wangi, dan lebih seksi dari kamu."

Mas Bram berkata bak orang dengan fisik paling sempurna. Padahal setelah menikah hampir 8 tahun denganku, kini perutnya pun membuncit. Namun, aku tak pernah mempermasalahkannya sama sekali.

"Satu hal yang kamu harus ingat, aku ini juga pernah cantik, bukan tidak cantik sama sekali. Bahkan, jika dimodali justru aku lebih cantik dari dia!" Mataku menyalang menatap j*lang yang sejak tadi semringah. "Jadi, jangan menyudutkan aku Mas. Apa pernah kamu memberi uang lebih untuk aku perawatan, nggak 'kan?" Kali ini air mataku benar-benar telah menganak sungai.

“Kamu pikir, mengurus urusan rumah ini gampang? Kamu pikir, aku nggak banyak berkorban selama ini? Lihatlah, Devina. Dia tumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. Aku juga sudah banyak berkorban untuk rumah tangga ini, Mas." Aku berusaha membela diri, berharap mata hati Mas Bram terbuka, bahwa selama ini aku telah berjuang mati-matian untuk dia, demi keluarga kecil kami. Bahkan, selama ini Mas Bram hanya fokus mencari nafkah, tidak ada apa-apanya dibanding perjuanganku.

"Ssstttt ...." Telunjuknya mengudara, "aku nggak butuh kata-kata barusan. Kamu pikir dengan mencerocos nggak jelas seperti itu, akan mengubah semuanya? Tentu nggak. Terlalu bodoh jika aku mengiakan semua ucapanmu, Ratna!"

"Terserahlah, Mas. Lebih baik kita berpisah daripada aku harus dimadu. Seenaknya kamu bilang ingin menikah minggu depan."

"Hey, harusnya kamu sadar diri, Ratna!"

Tiba-tiba terdengar suara wanita paruh baya yang begitu kukenal. Pandanganku beralih sigap ke sumber suara. Tampak mertuaku sudah berdiri di antara ruang tamu dan ruang makan.

"Kamu itu bukan siapa-siapa tanpa Bram. Selama ini kerjaannya cuma menadah aja 'kan? Jadi nggak perlu ngancam minta pisah. Terima sajalah nasibmu dimadu," tambahnya lagi.

"Jadi, Mama tahu perihal semua ini? Kenapa Mama nggak cerita sama aku? Kenapa Mama nggak mencegah Mas Bram menikah lagi? Kenapa, Ma?" sahutku saat mertua terdiam sejenak setelah panjang lebar berucap. Enteng sekali mulutnya berujar demikian. Mengapa mereka semua menganggap aku seolah boneka, benda mati yang tak punya perasaan? Ya Allah, beri rongga di dada ini, rasanya sangat sesak.

"Iya, saya memang tahu dan setuju jika Bram menikah lagi. Kenapa memangnya? Kamu berharap ingin saya bela, begitu?"

"Kamu itu perempuan udik, jadi jangan banyak gaya! Memangnya kalau kamu pisah dari Bram, Devina makan sama apa? Lalu, sekolahnya dibayar pake apa? Kamu kerja? Menghasilkan memangnya? Terus berkilah mau masukin lamaran, perusahaan mana yang mau nerima kamu, Rat? Sudah berumur begitu. Udahlah, jangan kebanyakan halu," cecar mertuaku tanpa jeda.

Entah mengapa, mulutku seakan terkunci rapat saat deretan kata cacian itu dengan gampangnya terucap mulut mertuaku. Aku bersuara, tapi hanya bisa dalam hati. Ya Allah, andai mulut ini mampu berbicara.

"Kenapa diam? Kamu mengakui 'kan apa yang saya katakan?"

Kaki mama mertua mendekat ke arahku, kini telunjuknya mendarat tepat di keningku hingga membuat kepalaku menjorok ke belakang. “Ingat satu lagi, Ratna. Kamu mau mengadu nasib sama siapa kalau bukan sama saya dan anak saya? Kamu lupa kalau sudah jadi anak yatim-piatu, hah?"

"Terus kamu berharap dapat harta gono-gini lepas bercerai, begitu? Atau kamu berharap dapat menjual mobil, rumah, dan harta benda lainnya? Hey, bangun dari mimpi, Rat. Itu tidak akan mungkin terjadi, aset-aset tersebut 'kan nggak ada atas namamu satu pun. Udahlah, ya. Jangan banyak maulah, kalau kamu bahas harga diri. Berapa harga dirimu mau dibayar? Hmm ... belum lagi status janda yang kamu sandang, nggak malu jadi janda?"

Saat mamanya berapi-api mencaci-makiku, beberapa kali aku melirik pada Mas Bram, dia tampak tersenyum angkuh menatapku. Seolah mengakui apa yang terucap dari mulut mamanya itu benar semua. Seakan memberi kode padaku, bahwa aku telah kalah telak.

"Benar kata Mama, Rat. Kamu itu tidak akan bisa hidup tanpa aku. Apa masih kurang jelas yang diucapkan mamaku? Masih belum sadar diri juga? Aku cuma kasihan sama kamu."

"Lihatlah pakaianmu, bau tubuhmu yang menyengat bikin aku ingin muntah jika kita berdekatan.” Tangan kanan Mas Bram mengibas-ngibas tepat di depan wajahnya seraya menjulurkan lidah. Laknat kamu, Mas!

"Satu hal yang paling fatal, gerakanmu di ranjang sekarang benar-benar payah, tidak seperti Laura. Aku sama sekali tidak merasa puas."

Aku tergugu mendengar ucapan dari Mas Bram. Berarti, Mas Bram pernah mencicipi wanita itu? Sinting!

Belum sempat aku bersuara, Mas Bram sudah lebih dulu menyela. "Aku beri kamu kesempatan sekali lagi untuk menarik semua ucapanmu itu, Ratna!"

"Tuh, kurang baik apalagi coba anak saya? Masih beri kamu kesempatan untuk menarik ucapan tadi. Tapi, kalau kamu bersikeras, silakan angkat kaki dari rumah ini! Daripada kamu menjadi benalu, lebih baik hengkang dari pandangan saya!" tambah mama mertua seusai anaknya selesai berbicara.

Aku tidak mengerti, kenapa jadi aku yang bersalah? Cukup sudah, aku tak bisa lagi menahan letupan amarah yang telah menumpuk bertahun-tahun.

"Talak aku sekarang juga, Mas!"

Dwi Nella Mustika

Si Bram bener-bener nggak ada bersyukurnya ya

| 2
Comments (2)
goodnovel comment avatar
persalba mega
suami yg ga tahu diri dan mertua yg angkuh
goodnovel comment avatar
Ayu Dea Yuud
Mertua dan suami yg benar2 jahat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status