Share

Keluarga Aneh dan Langka

Aku memisahkan diri dan tidur dikamar tamu, memikirkan setiap detail perkataan Mas Aksa, kenapa dia bisa melakukannya dengan begitu lancar tanpa merasa bersalah ataupun risih, dengan gamblang membalas perbuatan dan melawan semua kata-kataku, padahal apa yang kutulis hanya menggertak saja agar ia tidak terlalu perhitungan.

Apa mungkin dia benar-benar memiliki suatu penyakit? aku harus mencari tahu, sepertinya aku menikahi lelaki yang tidak biasa, caranya menghemat keuangan kami begitu aneh. Namun, selain pelit, bawel dan bermulut pedas, Mas Aksa belum pernah menyakitiku secara fisik, setidaknya masih ada kebaikannya yang harus aku ingat.

‘Tok …, tok …, tok ….’

Suara pintu kamarku diketuk pelan dari luar.

Siapa yang mengetuknya malam-malam begini, sedangkan kami hanya tinggal berdua?

Aku membukanya dan kulihat Mas Aksa sudah berdiri sembari memeluk bantal di dada.

“Ada apa?” tanyaku heran.

Tanpa menjawab Mas Aksa nyeloyor masuk dan tidur di kasur. Menelungkap tubuhnya seperti ikan sapu.

“Ini jadwalnya kan?” ucapnya terdengar samar.

‘Jadwal?’ aku mengerutkan alis, apa yang dimaksud Mas Aksa adalah jadwal ronda kami tiap seminggu sekali? ah iya, ini malam Jumat.

‘Apakah dia sudah gila? cercaannya masih jelas terdengar di telinga, dan sekarang dia memintanya tanpa rasa malu?’

“Aku sedang tidak mau Mas, keluarlah!” tolakku kasar.

“Kepalaku sudah sakit Hilya, apalagi ulahmu dari kemarin membuatku pusing,” ucapnya.

Aku berpikir sejenak, mungkinkah karena sudah lama tidak dilayani Mas Aksa jadi lebih kejam? biasanya dia akan sangat ramah setelah melakukannya, mungkin bisa aku gunakan waktu itu untuk menggali pikirannya.

Tapi ah, kelakukannya sudah sangat keterlaluan!

“Kamu sudah menyakitiku Mas,” jelasku lagi masih memegangi daun pintu.

“Kamu lebih menyakitiku dengan pulang diantar mantanmu itu, bukankah kamu masih mencintainya?” balasnya.

“Itu semua karena kamu juga Mas, kamu memperlakukanku seperti musuh, menelantarkanku dengan tega!” jawabku dengan nada tinggi.

“Aku hanya membantu mempermudah janji yang telah kamu ucapkan Hilya!” jelasnya lagi.

Ini aku yang b*d*h apa Mas Aksa yang terlewat b*d*h dan tidak memahami sifat perempuan? aku berkata seperti itu hanya untuk meluapkan emosi dari kekesalanku saja.

“Tidak!” lantangku. Tapi Mas Aksa bangun dan menarik jemariku.

“Kalau kamu tidak menikmatinya aku akan membayarmu dua ratus ribu seperti dalam tarif mu,” ujarnya lagi.

Dua ratus ribu sih lumayan, akhirnya dia terjerat juga dengan persyaratanku.

“Pegang janjimu Mas!” ucapku sedikit mengerucutkan bibir.

“Kapan aku tidak pernah memegang janjiku? janjimu saja kubantu untuk diwujudkan,” ujarnya lagi. Benar-benar pria yang aneh.

Kami memulainya tanpa kata, hanya napas yang berburu saling bersahutan, aku mencoba menahannya agar tidak terbuai. Tapi, ah sial! selain medit, bawel, dan berkata kasar, dia pun pandai membiusku di atas ranjang. Dan kami pun mengakhirinya dengan kepuasaan.

“Aku tidak harus membayarmu kan?” bisiknya masih dengan suara terengah-engah.

Berbohong pun tak bisa kulakukan, dari suara tadi jelas suaraku yang paling heboh.

“Hm!” jawabku kesal.

Beberapa detik kemudian, suara dengkuran halus terdengar dari mulutnya, et dah! aku belum sempat bertanya apa-apa.

“Mas!”

“Hm!” ah, rupanya dia masih sedikit sadar.

“Apakah kamu punya penyakit?” tanyaku cepat sebelum dia lepas ke alam akhirat, eh!

Aku menunggu dengan sabar, menunggu mulutnya bergetar perlahan, nampaknya dia akan menjawab. Namun, setelah lama kutunggu bibirnya malah mengeluarkan dengkuran yang keras.

‘Yasalam! tidur sajalah! sepertinya aku harus ikut di mandiin di curug penganten, biar nggak telalu lemot,’ tepuk jidat sendiri.

__________

Saat terbangun kulihat Mas Aksa sudah tidak ada di tempat tidur, cepat sekali ia bangun padahal ini masih jam 04 subuh.

Mataku menyapu rumah kami, melihat kemana ia pergi setelah bangun sepagi ini, biasanya bangunya jam 05.00 atau 05.30 itu pun setelah di paksa bangun untuk shalat.

Terdengar suara dentingan piring dari arah dapur, kulihat Mas Aksa menyuci piring.

Astagfirullah, bagaimana mungkin dia sungguh-sungguh dengan ucapannya, mesin cuci pun sedang berputar, lantai sudah terasa kesat, tandanya sudah di pel. Kalau dia melakukan ini semua itu berarti aku harus mulai membayar sewa rumah, air dan listrik?

Aku kelimpungan, dan duduk di meja makan, menuangkan air ke dalam gelas.

Mas Aksa menoleh sebentar dan berkata, “Oh ya air minum, aku belum mengatakannya, kamu pun harus membayar tiap melakukan isi ulang.”

‘Bhuk!’

Air yang kuminum sontak tersembur kembali.

Ini benar-benar gila! aku melangkah gontai dan mengambil handuk, “Satu lagi, sabunmu beli sendiri, agar tidak memakai apa yang aku beli!” teriaknya nyaring ketika kaki hendak melangkah ke kamar mandi.

“Bagaimana aku bisa bertahan dengan kehidupan tidak masuk akal seperti ini?”

Aku berjongkok, menatap gemiricik air yang menetes cepat dari keran.

“Kamu mau menitip makanan apa mau beli sendiri?” tanyanya ketika aku masih bersandar lemah di dinding ruangan shalat, lengkap dengan mukena yang belum ingin kulepas. Rasanya ingin kuadakukan keadaan tidak masuk akal ini pada Tuhan, tapi dari mana aku harus memulainya? dari kesalahanku menyembunyikan uang satu juta itu, lalu memberikannya tanpa seiijin suami? atau dari jauh-jauh hari saat aku merasa di dzolimi olehnya, padahal akulah yang kurang bersyukur dan maruk. Seingatku uang yang ditemukan sebelum-sebelumnya bisa membuatku jajan setiap hari, dan hatiku terasa nyaman-nyaman saja saat menuruti semua keinginannya.

Namun hari ini, di saat aku mencoba melawannya, petaka malah datang bertubi-tubi.

Lelaki itu masih berdiri di sana, menunggu jawabanku.

“Bagaimana?” tanyanya lagi melebarkan mata.

“Aku akan beli sendiri,” jawabku lemas.

Mas Aksa sudah kembali dengan kantong hitamnya seperti biasa, ia menggelar makannya di atas meja, tanpa menawariku yang masih telungkup di atas sajadah.

“Aku akan berangkat,” tiba-tiba suaranya membangunkanku. Aku beranjak mendekatinya dan mengantar ia keluar.

“Nanti sore aku akan memasak sendiri, biarkan saja bahan-bahan itu di sana,” ucapnya sembari menyodorkan tangan.

Aku menghela napas, seperti tubuh tanpa ruh, aku mengambil tangan itu dan menciumnya.

“Aku akan bekerja,” pintaku ragu.

Dia menatap raut wajahku, menelaah kantung mata yang sembab, “Tentu saja kamu harus bekerja, karena aku tidak mau kamu telat membayar semuanya setiap bulan, tapi cari pekerjaan yang baik dan tidak membuatku khawatir,” ujarnya seraya berbalik, “satu lagi, jangan pulang lebih dari jam 04.00 sore,” tambahnya. Lalu, ia masuk ke dalam mobil.

Aku melongo denga ucapannya, tak ada lagi kata yang pantas dilontarkan dalam situasi seperti ini selain, ‘Kami keluarga yang aneh dan langka.’

**

Tarik napas...ayoooo, kita bisa jaga emosi🤣

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Zalfa Meisya
males bc klo cerita begini
goodnovel comment avatar
Zalfa Meisya
jadi perempuan ko bego..hadeuh
goodnovel comment avatar
Tukang nulis
padahal mah minggat aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status