Aku mengerutkan kening saat membaca satu pesan yang masuk ke ponselku dari nomor yang tak kukenal.
[Bisa ketemu nanti sore? Kutunggu di kafe Cinta pukul 17.00 hari ini.]
Aku memutuskan untuk tak membalas, karena aku tak terbiasa membalas pesan dari nomor asing.
Aku melirik tumpukan dokumen di atas meja, dokumen yang harus kuperiksa satu per satu. Setelahnya, membuat perbandingan agar hasilnya menemui titik balance.
Berkutat dengan angka-angka memang kegemaranku, tetapi jika dikejar deadline seperti sekarang rasanya kepalaku hampir pecah.
Aku memilih untuk menghiraukan getar notifikasi yang sedari tadi tak mau berhenti, aku bisa memeriksanya nanti. Begitu pikirku.
Mendekati akhir tahun seperti ini, divisi keuangan memanglah menjadi divisi paling sibuk di antara yang lain.
“Mbak! Makan siang, yoook!”
“Eh ... udah jam istirahat?”
“Kerja sih kerja! Badan tetep butuh makan kali! Kerja sampe lupa waktu begitu!” omel Maria
“Hahaha ... emang beneran enggak kerasa kalau udah masuk waktu istirahat, Mar!” kataku yang langsung membuat Maria cemberut.
“Tuh, kan! Panggil Mar-mar terus! Emang Marimar!”
Maria memang paling sebal jika ada yang memanggilnya dengan nama itu, dia akan langsung memajukan bibirnya yang tipis itu beberapa senti ke depan.
“Ck! Abis kepanjangan kalau manggil Maria. Lebih enak Mar, manggil Ria juga enggak enak!”
“Terserah deh! Ayo, aku udah laper nih!”
“Ayo!”
Setelah merapikan meja, aku menumpuk dokumen menjadi dua bagian. Aku memisahkan dokumen yang sudah selesai dan dokumen yang belum kukerjakan.
Aku mengunci ruang divisi keuangan, setelahnya berjalan bersama Maria menuju kantin untuk makan siang. Sebenarnya aku selalu membawa bekal setiap hari, Mama selalu membuatkan anak-anaknya bekal sejak kami kecil. Bahkan, Papa pun selalu membawa bekal yang sama dengan kami.
Menurut Mama makanan di luaran itu tidak sehat, jadilah walaupun kerepotan, Mama selalu menyiapkan bekal untuk kami. Selain karena alasan kesehatan, hemat adalah alasan yang lain. Kebiasaan sejak masih dini inilah yang menjadi kebiasaan hingga kami dewasa.
“Bawa bekal lagi, Mbak?”
“Iya, dong!”
“Enaknyaaa ... jadi bisa hemat uang makan.”
“Iya lah ... hemat, enggak bikin bosen juga. Karena menunya setiap hari ganti-ganti.”
“Mbak, sih, enak deket sama orang tua. Lah aku?”
“Bikin bekal sendiri ajalah, Mar!”
“Mbak, itu ponselmu getar mulu deh perasaan?”
“Iya, kah?”
“Yeee ... hp sendiri, kok, enggak tau?”
Aku merogoh ponsel dalam saku celana, terlihat banyak notifikasi di sana. Ada chat dari grup alumni SMA, grup trio R—yang beranggotakan aku, Rania, dan Ranita. Lalu, ada chat dari alumni kampus Nusa Bangsa, beberapa dari teman yang lain, dan dari nomor asing yang tadi pagi kulihat.
Aku menekan power off, kembali kumasukkan ponsel ke dalam saku.
“Kok, enggak dibales, Mbak.”
“Nanti ajalah, enggak ada yang penting juga.”
Riuh rendah suara denting piring yang beradu dengan sendok dan garpu, obrolan yang diselingi tawa, menjadi pemandangan saat aku dan Maria memasuki area kantin. Meja-meja panjang dan kursi-kursi terlihat telah terisi penuh, hanya beberapa saja tang terlihat tak bertuan.
Aku dan Maria memilih meja paling pojok karena hanya itu tempat yang tersisa. Aku mulai menata makan siangku, sementara Maria pamit untuk membeli makanan. Ya, di kantor kami bekerja ini memang menyediakan kantin berbayar. Bukan kantin yang menyediakan makanan secara gratis, karena perusahaan telah membayar uang makan para karyawan yang diakumulasi selama satu bulan dan di bayarkan setiap bulan bersamaan dengan gaji.
Setelah mencuci tangan, aku mulai menyuapkan sesendok nasi beserta lauk ke dalam mulutku setelah sebelumnya membaca doa. Masih kata Mama, senjatanya orang muslim adalah doa.
Hari ini Mama membawakan aku menu cah kangkung, tempe goreng, sambal dan ayam goreng.
Maria datang membawa semangkok soto betawi, nasi hangat dan dua gelas es jeruk.
“Nih, titipan Mbak.” Maria meletakkan segelas es jeruk pesananku.
“Thank you, Mar.”
Tak seperti kebanyakan orang yang ada di kantin, aku dan Maria makan dalam diam.
Setelah menyelesaikan makan siang, kami melajukan langkah menuju ruangan. Masih ada waktu tiga puluh menit lagi waktu tersisa untuk istirahat, biasanya aku akan mampir terlebih dahulu untuk salat. Namun, karna sedang berhalangan kali ini aku ikut berbaring ke dalam bilik.
Kami menamainya bilik karna ruangan tiga kali tiga meter persegi ini, ruangan khusus untuk beristirahat. Ruangan ini juga sering kupakai untuk salat jika harus lembur sampai larut malam, karena musala di kantor ini letaknya berada di belakang pantri paling pojok. Jarang dilalui karyawan, kecuali sedang masuk waktu salat.
Saat aku hendak berbaring, getar panjang pada ponsel membuatku mengurungkan niat. Satu panggilan dari nomor asing masuk ke dalam ponselku, aku menekan tombol jawab pada layar ponsel.
[Halo, assalamualaikum.]
[Halo, waalaikum salam.]
[Ya? Siapa?]
[Aku Bagas.]
[Bagas? Bagas siapa? Maaf saya enggak kenal.]
[Eh ... tunggu! Jangan dimatiin. Ini aku Bagas, anak Tante Anna.]
[Hah? Eh! Oh, ya. Ada apa?]
Seketika jantungku bertalu-talu, kenapa aku bisa melupakan namanya. Astaga!
[Tadi pagi aku udah kirim pesan, tapi enggak kamu bales.]
[Oh, sorry lagi kerja. Enggak biasa bales pesan dari nomor yang enggak kenal.]
[Ck!]
[Ada apa? Sebentar kamu dapet nomorku dari siapa?]
[Penting gitu? Enggak penting dari mana aku dapet nomor kamu. Gimana? kamu bisa sore ini ketemuan?]
Aku memutar mata malas. [Sorry, enggak bisa kalau sore ini.]
[Tapi ini penting banget, kapan kamu bisa?]
[Ada apa sih?]
[Aku enggak bisa jelasin ditelepon, Caca]
[Hari ini aku lembur sampai jam delapan.]
[Oke aku jemput jam delapan nanti]
[Tap--]
Aku mendengkus kasar saat dia menutup telepon seenak hati tanpa menunggu aku selesai bicara.
Mengingat kalimat terakhirnya, aku jadi bertanya sendiri, berapa banyak informasiku yang disebar luaskan oleh Mama. Pasti nomor ponsel dan alamat kantorku Bagas dapatkan dari Mamaku itu.
Mengingat Mama aku jadi teringat kejadian tadi pagi, pertarungan antara aku dan Mama. Mama bersikeras agar aku memakai semua yang Mama belikan, sedangkan aku menolak dengan seluruh daya upaya. Ya, akhirnya pertarungan itu dimenangkan oleh Mama dengan senjata air mata sembari berkata, “Mama tuh cuma pengen yang terbaik buat kamu, tapi kalau kamu enggak mau, ya, Mama enggak bisa maksa.”
Menghembuskan napas kesal aku memakai semua yang Mama ingin melekat pada tubuhku. Kedua adik kurang ajarku itu tertawa terbahak-bahak. Bukan hanya mereka, tapi orang-orang kantor melihatku dengan tatapan aneh tak terkecuali Maria dan Mbak Kia.
***
“Jadi? Urusan penting apa yang mau kamu bicarakan?”
“Santai, kamu enggak mau minum dulu?”
“Kita ke sini bukan untuk minum, kan?”
“Memang!” katanya.
Berbanding terbalik dengan tangan yang melambai pada pelayan kafe. Lalu, Bagas memesan dua cangkir choco latte beserta dua lava cake.
“Bisa kamu batalkan perjodohan kita?” tanyanya setelah pelayan yang mencatat pesanan kami pergi.
Aku sedang menekuri ponsel seketika mendongakkan kepala. “Bukankah kamu yang setuju?”
“Memangnya kamu mau menikah dengan pria yang enggak kamu kenal?”
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu,” balasku sembari memandangkan lekat.
“Aku sangat menyayangi orang tuaku. Aku enggak bisa menolak perjodohan ini, kamu tau? Kamu bukan tipeku.”
“Kamu juga bukan tipeku! Kenapa kamu mengambil keputusan seenaknya sendiri?”
“Tolong, cuma kamu yang bisa membatalkan perjodohan ini, Ca!”
“Kamu yang mengambil keputusan dan aku yang harus menyelesaikan masalah yang kamu buat?”
“Fine! Aku memang salah. Mamaku punya penyakit jantung, dan penolakanku akan bikin kondisinya drop. Selain itu ....”
“Selain itu?”
“Sebenarnya aku udah punya pacar dan Mama enggak kasih restu buat kami.”
“Oke, asal kamu tau aku juga enggak setuju dengan perjodohan ini. Permisi.”
Aku bangun dari dudukku, setelah menekan tombol off pada ponsel yang sedari tadi merekam percakapan antara aku dan Bagas. Senyum di bibirku tak bisa kutaha. Kini aku punya senjata yang akan membuat Mama mau membatalkan perjodohan ini tanpa harus membuat kondisi Tante Anna dalam bahaya.
Aku yakin Mama mau mengerti, tetapi rasa kesalku pada Bagas belum juga hilang. Ck! Dia yang membuat keputusan aku yang harus menanggung ulahnya.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc
Setelah sampai rumah, kutunjukkan hasil rekaman pembicaraan antara aku dan Bagas. Terlihat perubahan pada wajah Mama, wajahnya terlihat sangat kecewa. Senyum yang coba Mama tampilkan malah terlihat hambar. Sebegitu kecewa Mama atas batalnya perjodohan kami. Namun, Mama berjanji akan menyelesaikan masalah ini dengan Tante Anna tanpa harus membahayakan kondisinya. “Istirahat, Ca. Udah malem.” Setelah berkata begitu, Mama masuk ke dalam kamar. Menyisakan aku yang termenung meratapi keadaan. Sungguh, sebenarnya keinginan Mama terhadapku sangatlah sederhana, tetapi aku pun tak bisa berbuat sesuatu di luar kendaliku. Melihatku menikah, menemukan pasangan hidup, membina sebuah rumah tangga, dan memiliki keturunan. Bukankah itu hal sederhana? Namun, apa yang bisa kulakukan jika Tuhan belum mau memberikan? Atau mungkin benar kata orang-orang. Bahwa, akulah yang kurang dalam berusaha? Aku mengusap air mata yang tiba-tiba hadir. Bukan! Bukan inginku begini. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Seminggu sudah aku mengenakan segala pernak pernik yang di sebut make up juga segala produk perawatan kulit serta menggunakan dress-dress yang Mama belikan. Aku bahkan membeli beberapa dress lagi.Tatapan aneh dan penuh selidik tak lagi kudapatkan dari orang di sekitarku, baik di kantor maupun di rumah. Pagi itu saat aku akan masuk mobil, Mama mencekal tanganku.“Ca, pakai apa yang buat kamu nyaman. Jangan paksain sesuatu yang enggak kamu suka.”Aku mengerutkan kening. “Caca suka, kok, Ma. Udah, ya, aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”“Wa alaikum salam.”“Kak, lo baik-baik aja, kan?”“Kenapa emang?“Lah, ini lo bukan style lo banget!”“Emang style gue gimana?”Bisa kulihat kedua adikku itu memutar mata malas secara bersamaan. “Belaga pilon lagi.”“Emangnya salah kalau gue mau berubah?”“Ya, enggak sih.”“Trus?”“Kak, ini bukan karena perjodohan itu batal, kan?” cicit Rania hampir saja tak terdengar.“Enggaklah. Iya kali cuma gara-gara dia gue harus berubah!”“Ya, baguslah. Betewe, l
Ck! Harganya puluhan juta ini! Duh, cakep banget!” Maria berdecap kagum.“Hah? Masa sih, Mar?”“Hah-hah, mulu dari tadi! Mbak pegang deh!”“Mau apa kamu, Mar?”“Mau cek harganya.” Maria meraih ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya.“Tuh, kan Mbak! Harganya tiga puluh jeti!”“Hah? Yang bener kamu, Mar!”“Nih, liat kalau enggak percaya!”Maria menyodorkan ponselnya, dan benar di sana terpampang gambar tas yang sama dengan yang saat ini kupegang beserta harga dalam jumlah dollar.“Kalau Mbak enggak mau, aku mau nampung, kok!”“Enak aja!”“Ish! Tadi aja sok-sokan enggak mau buka, tapi siapa yang ngirim ya, Mbak?”Dering di ponselku mengalihkan perhatian kami. Aku segera meraih ponselku, mengangkat satu alis kala mendapati nomor yang memang tidak kusave. Namun, aku tahu siapa pemiliknya. Bagas.Untuk menjawab rasa penasaran, aku segera menjawab teleponnya.“Ya?”“Hai, Ca!”“Ada apa?”“Ck! Kamu tuh selalu tanpa basa basi, ya?”“Yang basi itu enggak enak. Ada apa? Bukannya mas
"Itu kan si Bagas. Ngapain dia di sini?” gumamku. Aku segera menoleh ke arah Mama. Aku bersyukur Mama sedang sibuk dengan ponselnya. Aku juga bersyukur karena Bagas segera melaju dan tak sempat melihat ke arah kami. Kami berdua sampai di rumah Tante Fania tepat pukul sembilan. Di rumah itu sudah banyak orang. Lapangan di depan rumah Tante Fania juga terlihat sudah penuh oleh mobil keluarga kami. Sebenarnya aku malas sekali menghadiri acara ini jika bukan karena perkara jodoh. Sebelum turun aku mengecek kembali penampilanku. Memastikan penampilanku tetap paripurna. “Ayo, Ca!” “Iya, Ma.” Setelahnya aku menekan tombol kunci otomatis, dan menggandeng tangan Mama. Baru sampai di halaman rumah, saudara-saudara Mama sudah bersorak menyambut kedatangan kami. Kemudian suara-suara yang lebih banyak didominasi oleh wanita itu terdengar bergantian. Tentu saja akulah yang menjadi objek utama mereka. “Pantes hari ini cerah banget, Caca datang rupanya.” “Wah, Caca makin cantik ya, kalau pake
“Kenapa nyariin aku?”Sungguh aku tak berani menoleh. Sekarang aku bagaikan seorang pencuri yang ketahuan pemiliknya. Jangan lagi tanya bagaimana jantungku bekerja. Telapak tanganku bahkan sudah terasa dingin. Ingin rasanya aku menghilang sekarang juga. Entah bagaimana sekarang semua pasang mata seolah-olah hanya tertuju padaku.“Nah, ini orangnya!” seru Tante Fania.“Maaf, Ma. Kai telat.”Aku memberanikan diri untuk sedikit melirik, Iya, hanya sedikit. Tante Fania bangkit untuk menyambut anaknya. Pria bernama Kaivan Abimanyu itu lantas mencium kedua pipi Tante Fania.“Kamu kan emang gitu. Kalau udah kerja ya, lupa waktu. Enggak peduli walau pun weekend begini!”Hanya garis besar yang kutahu tentang keluarga Tante Fania. Suaminya—Gilang Abimanyu adalah seorang arsitektur, sedangkan anak sulungnya—Aidan Abimanyu mengikuti jejak Om Gilang, sementara Kak Kai—begitu aku memanggilnya, lebih memilih menjadi seorang pengusaha.Dari cerita Mama, katanya Kak Kai memiliki dua kafe yang sedang
“Awas, Ca ...!”Hanya sepersekian detik tubuh kurusku sudah terlempar ke dalam kolam renang. Untuk beberapa detik aku merasa bingung dengan apa yang terjadi padaku. Astaga, aku tercebur! Begitu sadar bahwa tubuhku kini berada di dalam air, aku segera menggerakkan tubuh. Berkali-kali aku mencoba untuk membuat posisi kepala di permukaan air agar bisa bernapas. Aku tak menghiraukan pekikkan-pekikkan kaget dari semua orang. Bagaimana bisa menghiraukan orang-orang, sedangkan untuk bernapas saja aku kesulitan. Iya, aku tak bisa berenang. Di keluargaku hanya akulah yang tak bisa berenang.Jangan tanya penyebabnya, karena aku malas mengingat peristiwa masa kecil yang membuatku trauma akan air. Apa yang dikatakan Tante Fania dan Kak Kai memang benar. Sewaktu kecil aku adalah anak yang memiliki tubuh gendut dan ceroboh, mungkin karena itulah aku sering tercebur.Tak lama kudengar suara cipratan air dekat dengan posisiku berada. Entah siapa yang memelukku dari belakang, dia mengangkat tubuhku hi
"Ka—kak, ma—mau apa?”“Menurut kamu?”“Jangan macem-macem ya, Kak!”Kak Kai mengulurkan kemeja basahnya ke pangkuanku dengan pandangan menunduk. Kulihat napasnya naik turun dengan cepat. “Tolong tutupi bagian depan badan kamu pakai ini dan jangan bertanya kenapa.”Adalah hal yang menjadi tanya besar ketika manusia dilarang melakukan sesuatu, justru menimbulkan rasa penasaran yang mengembung makin besar. Sama halnya dengan manusia lain, aku pun merasa perlu menanyakan hal yang dilarang oleh Kak Kai. Namun tak urung aku menuruti permintaannya dengan menutup bagian dadaku.“Kenapa?”Setelah aku menutupi dada dengan kemeja itu, Kak Kai kembali menarik kaki sebelah kiriku dan memijatnya. Kali ini pijatannya terasa terburu-buru.“Kenapa, Kak?” ulangku saat kulihat dia tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku. “Awww! Sakit, Kak!”Kulihat dia memejamkan mata sambil terus memijat kakiku. Kenapa dia terlihat begitu frustrasi. Sebenarnya dia itu kenapa sih?“Aaah!”“Astagfirullah,
Usai kejadian memalukan di kamar Kak Kai beberapa saat lalu. Aku seperti kehilangan muka. Setelah kak Kai berlalu, aku buru-buru mengganti baju di kamar mandi. Aku baru sadar bahwa dress berwarna merah muda yang kupakai kalau terkena air akan begitu transparan. Belum lagi pakaian dalaman yang kugunakan hari ini berwarna merah terang. Pantaslah dia memintaku menutupi bagian depan tubuhku dengan kemejanya.Aku juga baru sadar dari kepolosan, ah bukan. Bukan kepolosan, lebih tepatnya kebodohanku. Kenapa aku baru paham arti perkataan Kak Kai sekarang sih.Aku menelan ludah dengan susah payah mengingat kebersamaan kami beberapa saat lalu. Artinya dalam beberapa menit itu Kak Kai menahan diri untuk tidak menerkamku.Setelah berganti baju, aku segera ke luar dari kamar Kak Kai. Suatu hal yang syukuri adalah kak Kai juga memberi satu set pakaian wanita yang terlihat masih baru beserta sepotong dress berwarna abu muda dengan label tag yang masih menggantung.Aku sempat bingung kenapa di rumah