Share

3. Pria aneh

"Sekali lagi maafin aku, Zo. Aku juga tidak menyangka akan seperti ini jadinya," kata Vina penuh penyesalan.

Tidak bisa berkata apa-apa lagi, terlebih melihat wajah memelas Vina, Zoya menghela nafas pelan seraya menyandarkan punggung. Apa yang terjadi hari itu bukan sepenuhnya salah Vina, melainkan kecerobohannya sendiri. 

Sebuah lelucon yang tidak menduga akan berakibat fatal, sangat fatal sampai Zoya harus berurusan dengan pria yang tempo hari menjadi target keisengannya. 

Lantas, jika dipertemukan dengan pria itu lagi apakah ia bisa mengatasi rasa canggungnya?

Baru memikirkan saja Zoya sudah gatal—seperti ada ribuan kutu menyerbu kepala, dan sedang berlomba-lomba menghisap darahnya.

"Semua memang salahku," imbuh Vina lagi semakin merasa bersalah. Karena memang semua berawal dari dirinya.

"Sudahlah. Ini juga salahku," kata Zoya pasrah.

Tepatnya tidak ingin melihat Vina terus menyalahkan diri.

"Tidak hanya kalian yang bersalah, aku juga." Melly ikut menyahut. Tidak adil jika hanya kedua sahabatnya yang berani mengakui kesalahan, sedangkan dirinya tetap diam seperti trenggiling di samping Zoya. "Seharusnya aku lebih tegas memperingatkan kalian, agar lelucon itu tidak sampai terjadi. Aku memang payah." 

Melly kembali menyelipkan kepala diantara kedua lututnya. Posisi duduk yang terjadi saat gadis itu merasa tidak berguna.

"Maafkan aku." Selain hanya itu kata yang lagi-lagi bisa Vina ucapkan, posisi duduknya tak kalah lebih memprihatinkan. Vina bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk dalam, persis seperti terdakwa yang pasrah menerima hukuman. 

Di antara kedua sahabatnya, hanya Zoya yang duduknya paling benar. Itu jika dilihat sekilas. Sebab, jika diperhatikan lagi, maka akan terlihat jika sofa yang Zoya duduki amblas ke dalam. Terlalu gugup, Zoya sampai lupa jika bagian itu rusak. Untung saja Vina dan Melly mempersilahkan Lisa duduk di bagian lain. Biarkan Zoya yang tidak nyaman, asal tidak dengan tamu mereka. Walaupun tamu yang datangnya tidak disangka-sangka.

Penyesalan tinggal penyesalan yang pasti tidak akan merubah keadaan. Seandainya pemikiran itu tidak muncul, mungkin situasinya tidak serumit sekarang, dan Zoya tidak harus menanggungnya.

"Menurutku sekarang, akan lebih baik jika kita tidak lagi melakukan taruhan. Ini sangat beresiko," lanjut Melly memberi saran.

"Kau benar," sahut Zoya setuju.

Vina tidak ikut berkomentar. Penyesalan membuatnya merasa tidak berhak lagi bersuara. Ia yang selama ini paling keras kepala dengan menganggap semua hal sepele, baru sadar setelah membuat salah satu sahabatnya berada di posisi sulit.

Simalakama. Maju ataupun mundur semuanya jelas merugikan Zoya.

"Bagaimana jika aku saja yang menggantikanmu?" Keputusan mendadak yang sontak mengejutkan Zoya dan Melly.

"Kau pikir kita sedang berada di ajang perlombaan?" kata Zoya merasa keputusan Vina bukan solusi yang tepat.

"Zoya benar, Vin. Kita hanya akan memperkeruh keadaan jika melakukan negosiasi, dan pastinya Tante Lisa tidak akan setuju. Yang ada nanti kita dianggap mempermainkan mereka." 

Vina tertegun. Lagi, apa yang Melly katakan itu memang benar. "Tapi aku merasa sangat buruk jika Zoya sampai memupus cita-citanya dengan menerima lamaran Tante Lisa."

Gantian Zoya yang diam–enggan berkomentar. Otaknya terlalu buntu untuk menyimpulkan apapun sekarang. Ia butuh refresh otak, dan satu-satunya yang ia butuhkan kembali tidur sampai petang. Karena memang sekarang sedang bebas tugas perijahan. Selain itu berharap setelah bangun, keadaan kembali seperti semula. Hari itu ataupun kemarin lusa tidak pernah terjadi.

**********

Hari terus berganti, Zoya yang sebelumnya tampak tenang, sejak dua hari lalu mulai gusar mengingat tinggal besok lusa Lisa akan datang. Tapi sekali lagi, Zoya tidak ingin memperlihatkan itu di hadapan dua sahabatnya, terlebih Vina. Sampai detik ini, Vina berubah lebih banyak diam, dan tiba-tiba termenung. Zoya tahu sahabatnya itu masih saja merasa bersalah—-belum bisa memaafkan dirinya sendiri.

"Aku berangkat dulu, ya. Hari ini majikanku akan pergi keluar kota," seru Melly seraya berjalan cepat keluar.

"Zo.." Zoya yang sedang mengikat rambut, lantas menoleh.

"Kau belum bersiap? Apa hari ini kau mengambil cuti lagi?"

Melihat Vina masih mengenakan piyama semalam, Zoya menganggap sahabatnya tidak akan berangkat kerja seperti kemarin.

"Aku berangkat siang, majikanku akan kembali setelah makan siang." Mendengar itu Zoya mengangguk dan kembali beralih pada cermin kecil di depannya. "Apa kau baik-baik saja?"

"Hmm? Apa aku terlihat seperti orang sakit?" 

"Maksudku apa kau tidak cemas mengingat tinggal dua hari lagi Tante Lisa akan datang."

Bersamaan rambutnya sudah teringat rapi—ekor kuda, Zoya kembali menoleh Vina yang berusaha menunjukkan senyum.

"Aku bisa menolaknya. Dia tidak bisa menekanku," kata Zoya ringan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan hati.

Tentunya Zoya sangat cemas, berlebih setelah tahu siapa Lisa. Tapi sekali lagi Zoya hanya ingin terlihat tegar di hadapan Vina, sambil berharap tiba-tiba muncul pintu doraemon yang bisa membawanya ke mars atau planet lainnya. Terpenting bisa menghindari Lisa.

"Sudah ya, aku mau berangkat."

Zoya buru-buru pergi, selain tidak ingin terlambat, ia juga tidak bisa berlama-lama menatap wajah sendu Vina.

*********

Senja masih beberapa jam lagi, tapi awan hitam yang sejak tadi berputar-putar tak kunjung hujan, membuat kondisi hari seperti nyaris berubah gelap. Zoya yang baru meninggalkan rumah majikannya tergesa pulang, tidak ingin terjebak hujan di tengah jalan.

Zoya masih berjalan tergesa saat menyusuri jalan, melewati beberapa bangunan seperti kafe, butik, maupun minimarket. Melihat langit semakin menggelap, Zoya mempercepat langkahnya—tidak peduli dengan sekitar. 

Sampai dimana ada sebuah mobil hendak memasuki pelataran restoran. Mobil tersebut melaju pelan dengan lampu sein menyala di sebelah kiri. 

Di jalur yang sama, Zoya tiba-tiba berlari tanpa melihat kondisi di belakang. Hingga di waktu yang bersamaan mobil sedan hitam seketika berhenti dengan suara klakson yang ditekan lama, terdengar melengking telinga Zoya.

Terlalu terkejut dengan kondisi yang sedang terjadi, Zoya langsung mengeluarkan umpatan yang melintasi benaknya. Tanpa sadar, semua penghuni ragunan Zoya sebutkan.

"Badak, singa, gajah—"

Namun, belum sempat menyelesai mengabsen, suara pekikan membuat Zoya tak kalah terkejut.

"---hai! Apa tidak bisa kau."

Tidak hanya Zoya, pemilik suara berat itu pun sepertinya juga terkejut karena langsung melotot tajam dengan mulut seketika terkatup, begitu tahu siapa gadis ceroboh yang hampir tersenggol mobilnya.

"Kau lagi rupanya." Menutup kasar pintu mobilnya, Danu lantas berkacak pinggang di depan Zoya. "Dimana matamu, hah! Apa kau tidak bisa melihat sekitar lebih dulu sebelum berlari di tempat seperti ini?"

Zoya bergeming. Alih-alih bersikap berani seperti tempo hari saat meminta Danu menjadi kekasihnya di kafe, siang itu. Kali ini Zoya yang masih terkejut sekaligus tidak menyangka bisa bertemu pria itu lagi, hanya bola matanya yang bergerak-gerak ke kiri dan kanan.

"Kau mendadak tuli sekarang?" Konotasi Danu terdengar masih sangat kasar. 

Tersadar dari keterkejutannya, Zoya segera mengatupkan mulut yang sempat terbuka. Lantas, ikut berkacang pinggang menantang Danu.

"Apapun keadaannya, Om yang salah!" Zoya tak mau kalah. "Salah siapa mesin mobil Om tidak ada suaranya, manaku tahu kalau ada Om di belakang!"

Balik disalahkan, Danu memperbaiki kacamata minus yang dia kenakan. "Kau menyalahkan mobilku?"

"Bukan mobilnya yang salah, tapi Om yang mengemudi."

Geram. Tetapi tidak mungkin marah ketika sadar ada banyak mata pejalan kaki yang memperhatikan mereka, Danu berjalan semakin mendekati Zoya yang reflek mundur.

"Sekali lagi kau menggangguku, akan kukirim kau pada teman-temanmu."

Tidak paham teman mana yang Danu bicarakan, Zoya dengan polosnya menatap penuh tanya pria itu yang kini menyeringai licik.

"Tidak usah repot-repot, sekarang saja aku sudah tinggal bersama mereka."

Terjadi kesalahpahaman yang membuat Danu sempat terkejut. Tapi begitu paham makna yang Zoya sampaikan, Danu menghela nafas pelan. Merasa percuma berbicara dengan gadis tengil itu, Danu pun memilih segera mengakhiri ketegangan mereka, dan masuk mobil. Orang-orang yang menunggunya jauh lebih penting daripada menanggapi gadis ingusan.

Melihat mobil Danu menjauh dan pergi begitu saja, alis Zoya mengkerut dalam. "Aneh. Seperti penampilannya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status