Share

Bab 7

 

 

"Anne ... Papi tahu kamu memang punya penyakit bawaan sedari kecil, tapi, jangan dijadikan alasan! Apalagi, ada hati yang jelas terluka." 

 

Bisa kulihat dengan jelas, bagaimana reaksi Anne dan Mami saat ini. Berjengit kaget dengan kedatanganku bersama Papi, ya kini aku bisa berdiri kokoh bersama cinta pertamaku.

 

Papi masih hidup, hanya saja sudah berkeluarga bersama seorang wanita yang tak pernah kusuka. 

 

Tante Mita, begitu jutek. Dengan terang-benderang ia memperlihatkan semua itu, di depan Papi. 

 

Dan ... Seperti biasa, Papi hanya bisa pasrah. Begitulah, terkadang cinta mampu membutakan mata hati seseorang.

 

Itulah sebabnya, aku mati-matian menahan untuk tidak menemui Papi. Tapi, hari ini aku sedang butuh bantuan. 

 

"Lama tidak bertemu, rupanya kamu ada siasat untuk membawa Papi. Hebat sekali kamu, Anna," cetus Mami, duduk santai sambil menyilangkan kaki. 

 

Aku tersenyum kecut, tak apa Mami mau menilaiku seperti apa! Yang jelas, aku hanya ingin hidup bebas. 

 

Semua sudah kurelakan untuk Anne, termasuk Angga sekalipun. 

 

"Papi nggak kangen aku? Baru datang langsung marah," rengek Anne. Sambil berhamburan memeluk Papi, muak aku melihat hal itu. 

 

Papi menepis tangan Anne, menjauhkan diri dari pelukan adikku. Loh, tumben bener priaku begitu?

 

"Kamu dengar omongan Papi, Anne. Kasihan kakakmu, dia sudah terlalu baik hingga merelakan Angga." Lagi, perihal cintaku dibahas di sini. Sesak sebenarnya, tapi, mau tidak mau harus diluruskan. 

 

 

Aku bisa merasakan ketegangan di sini, tatapan tajam Mami bertemu dengan Papi. Mereka seolah berbicara melalui sebuah mata, kenapa harus serumit ini sih? 

 

"Senang kamu hah, udah buat Mami makin dibenci Papi?" tuding Anne, yang sudah duduk di sampingku sambil berbisik.

 

Menahan gemuruh di dalam dada, aku terus mencoba untuk menenangkan diri. Tak ingin terlihat jahat di netra Papi, bagaimanapun diri harus bisa merebut hatinya.

 

"Biasa aja ... Coba, sekali-kali kamu jangan lebay. Biar nggak nyusahin banyak orang," cemoohku tak peduli dengan tanggapannya nanti.

 

Semua memang salah Mami, terlalu memanjakan Anne secara berlebihan. Hingga pada akhirnya, membuat dirinya selalu berlaku sakit. 

 

Sebenarnya untuk menemui Papi, bukan hal yang mudah. Apalagi di bawah naungan Tante Mita, ini karena aku langsung inisiatif untuk menemuinya di kantor. 

 

Sedari dulu Mami memang melarangku dan Anne, untuk berhubungan lagi dengan Papi. Ia cukup terluka atas pengkhianatan pria tersebut, panjang ceritanya. 

 

Dan itu jelas akan dibahas, di bab selanjutnya. Sedikit tips untuk para pembaca setia, ikutin terus cerita yang disajikan dengan penuh cinta ini.

 

 

"Sepuluh tahun berlalu, dan kamu ... Masih berani menginjakkan kaki di rumahku," desis Mami. Seolah akan meledakan amarah, yang tak ingin kusaksikan. 

 

 

"Kenapa? Kamu cemburu bukan? Apalagi semenjak Angga denganku, pasti hatimu terbakar." Sial, ke mana adikku yang dulu? Kenapa cinta, mampu mengubahmu sayang?

 

Mami dengan Papi, sedang aku dan Anne juga sama tengah berperang. Kami berempat memang tidak cocok, jika bisa sedari dulu aku ingin tinggal bersama Papi. 

 

"Tutup mulut busukmu itu, sekarang bukan waktunya untuk kita berdebat! Kamu nggak lihat Papi sama Mami heh?" tegurku, mencoba menyadarkan dirinya. 

 

Bukankah kita keluarga? Yang seharusnya bisa saling melindungi, bukan malah sebaliknya. 

 

Saat ini, harapan terbesarku hanya satu. Tak ingin bertemu dengan Angga, orang yang telah tega melukai hati. 

 

"Jelas aku berani ... Kamu sudah berlaku tidak adil terhadap Anna. Semenjak Anne divonis memiliki penyakit," ungkap Papi dengan bibir gemetar. "Sibuk dengan Anne, hingga lupa dengan yang satunya lagi."

 

Benar, apa yang barusan Papi bilang. Sedikit banyaknya telah mewakili hati, air mataku kembali meluncur bebas. 

 

Ingatan tentang ketidak adilan Mami, seolah berputar. Dan, saat itu aku hanya bisa mengalah. Menangis sendu saat tengah malam, tanpa Mami tahu. 

 

Kurang tegar apa aku Mi? Angga saja aku relakan demi Anne, tapi, bukannya kasian sama aku. Kalian makin menindas, berlaku tak tahu diri. 

 

Sekarang, jangan salahkan aku jika kembali datang membawa Papi. Hanya dia, satu-satunya harapan terbesarku.

 

"Sudah cukup! Aku muak, silakan kalian pergi. Mental Anne, tak cukup kuat untuk melawan kalian!" teriak Mami, sambil berdiri dengan terguncang amarah. 

 

 

Percuma Pi! Kita nggak akan bisa menang dari Mami, dia punya kuasa juga mulut luae biasa menyakitkan. 

 

Dengan pasrah, tanpa mau bersitatap wajah dengan Mami. Aku bergegas pergi bersama Papi, lagi kami berpisah dalam aura pertengkaran. 

 

 

Memang, ini merupakan suatu yang biasa. Karena dulu pun kami sering mengalami hal yang sama, itu sebabnya mereka berpisah.

 

Atau, bisa jadi Papi jengah dengan sikap Mami yang selalu membeda-bedakan diriku dan Anne.

 

"Papi gagal lagi Ann, Mamimu selalu keras kepala." Papi berucap, setelah pintu tertutup rapat. 

 

Aku menggeleng lemah, memeluk Papi dengan teramat sayang. "Nggak apa, aku paham Pi. Gimana kondisi keluarga ini."

 

Kami melangkah bersama, meninggalkan rumah mewah dengan segala hal di dalamnya. Merasa lebih lega, karena mungkin beberapa hari ke depan Mami tak akan memaksaku lagi untuk pulang.

 

Sekarang, aku lebih baik tinggal di kosan yang tidak jauh dari kantor. Itu jauh lebih baik, daripada bersama Tante Mita dan Mami. Keduanya, sama-sama wanita yang tidak dirindukan.

 

"Kamu ini, dari dulu selalu saja nurut dengan Mamimu itu. Sampai-sampai, merelakan Angga." Dari dalam mobil, Papi kembali mengungkit perihal pria yang sudah membuat hatiku hancur.

 

Sekarang, aku sudah ikhlas Pi. Mungkin, aku dan Angga bukan jodoh. Apalagi dia sama sekali tak mau memperjuangkan cinta kami!

 

Asli, berjuang sendiri itu sakit. Lebih baik jomblo, aku perlu mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membuktikan pada Mami. Bahwa aku bisa hidup tanpa dia. 

 

Papi dan Mami memang terbilang kaya, tapi, sedari kecil akibat ketidak adilan Mami aku jadi terbiasa hidup dengan keras. 

 

Berbeda dengan Anne, yang bisanya hanya ongkang-ongkang kaki. Sering keluar masuk RS, menghabiskan jumlah uang yang tidak sedikit. 

 

"Nggak apa Pi, Anna sudah biasa," sahutku sambil tersenyum getir. Kehilangan orang yang dicinta, dalam tenggang waktu yang lama. 

 

Papi mengacak rambutku asal, "Hebat. Kamu selalu bisa menjadi kebanggaan Papi."

 

Benarkah? Kalau gitu, aku akan selalu menjadi anak yang kuat. Biar selalu menjadi satu-satunya, kebanggaan Papi.

 

Kalau Anne bisa jadi kesayangan Mami, aku juga mau menjadi kesayangan Papi. 

 

Bisa jadi karena rindu yang mendalam, aku terus memeluk Papi. Tak ingin terlepas, bahkan berharap perjalanan ini akan masih sangat lama. Sebagai obat atas luka yang selalu Mami beri.

 

 

"Ann, kamu mau tinggal sama Papi?" tanyanya, membuat mendongak tak percaya.

 

Tentu saja aku tidak mau, keluar dari kandang macan masuk ke dalam kandang singa!

 

Wow, menyeramkan. 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status