Suasana tampak tegang, karena aku dan Mas Fandi sama-sama ngotot. Mempertahankan egonya masing-masing. Mas Fandi tetap membenarkan kelakuannya. Kemudian aku beralih pada Mbak Sisi yang dari tadi selalu menyudutkan ku.
"Mbak Sisi tahu kan kalau Mas Fandi menikah lagi," kataku sambil menatap Mbak Sisi.
"Jangan asal bicara kamu Nis! Aku tidak tahu apa-apa," kata Mbak Sisi seolah menantang.
"Kenapa dari tadi Mbak membela Mas Fandi terus, padahal ia salah," kataku lagi.
"Karena Fandi adikku." Mbak Sisi masih mengelak juga. Awas ya Mbak, siap-siap saja akan aku bongkar kelakuanmu.
"O ya? Mbak Sisi tahu kan pernikahan siri Mas Fandi? Bukannya Mbak Sisi hadir di pernikahan itu?" tanyaku dengan penuh selidik.
Semua kaget dan menatap Mbak Sisi.
"Benar apa yang dikatakan Anis, Ma?" tanya Mas Ikhsan mencari penjelasan.
"Boh
Samar-samar kudengar suara lantunan ayat suci di masjid yang menandakan mendekati waktu subuh. Tadi malam sampai rumah jam sepuluh malam, ternyata anak-anak belum tidur. Mereka mengkhawatirkan aku. Aku sangat terharu, begitu perhatiannya mereka denganku. Aku masuk ke kamar, menangis dan tidak tahu jam berapa tertidur.Kepalaku terasa berat, mungkin kebanyakan menangis. Sudah beberapa hari Mas Fandi tidak pulang. Aku bangkit dari tempat tidur, mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajiban. Di setiap sujud terakhir aku selalu bermunajat kepada Allah, mohon diberi jalan terbaik untuk keluargaku.Aku keluar kamar untuk menyiapkan sarapan. Roti bakar isi coklat dan keju dengan segelas teh, cukup untuk mengganjal perut sampai siang nanti. Hari ini hari libur, aku ingin mengajak anak-anak keluar mencari hiburan. Kalau memungkinkan situasi dan kondisinya, aku ingin menceritakan pada mereka tentang aku dan Mas Fandi."Ma, kok Pa
Sampai di rumah sakit, aku segera menuju ke kamar perawatan Ibu. Angga dan Anggi masih diluar untuk mencari sesuatu. Di ruang perawatan Ibu, sudah berkumpul anak-anak Ibu dengan pasangan masing-masing. Terlihat Leni memegang tangan mas Fandi. Hatiku terasa nyeri sekali melihatnya, seharusnya aku yang ada di samping Mas Fandi. Sepertinya keluarga besar Mas Fandi sudah bisa menerima kehadiran Leni di hadapan mereka. Aku berjuang sendirian sekarang, keluarga Mas Fandi tidak ada yang berada dipihakku.Mas Fandi menatapku dengan tajam, tapi ia kaget ketika Angga dan Anggi muncul di hadapan kami. Mas Fandi berusaha melepas tangan Leni yang memegang tangannya. Tapi Leni tetap memegang tangan Mas Fandi. Anak-anak tampak tidak suka dengan apa yang mereka lihat.Mbak Sisi berjalan mendekatiku."Gara-gara kamu, Ibu masuk rumah sakit. Kamu sakit hati kan Fandi menikah lagi, makanya kamu sengaja membongkar semuanya di depan Ibu. Puas
Mas Fandi mengajak janji bertemu untuk membicarakan perjanjian dan kesepakatan. Aku sudah meminta tolong teman yang seorang pengacara untuk membuat perjanjian itu. Aku tidak mau kecolongan lagi. Biarlah Mas Fandi yang diambil pelakor, asal jangan anak-anak dan hartaku. Harta yang kami cari dengan susah payah, tak akan aku biarkan jatuh ke tangan pelakor. Kalau memang benar cinta dengan Mas Fandi, ya ambil orangnya saja, harta dan kekayaannya jangan.Aku tidak peduli kalau keluarga Mas Fandi terutama Mbak Sisi, mengatakan kalau aku serakah. Aku menikah dengan Mas Fandi juga tidak memiliki apa-apa, masa Leni menikah dengan Mas Fandi mau menikmati harta kami, enak saja. Aku akan berjuang mempertahankan aset-aset kami.Dari jauh kulihat Mas Fandi sudah datang. Mas Fandi tampak tidak terurus. Tidak kelihatan rapi dan wangi seperti biasanya. Mungkin terlalu sibuk mengurus gundiknya, sampai tidak bisa mengurus diri sendiri.
Aku mengajak Angga dan Anggi jalan-jalan ke mall, sekedar refreshing dan makan-makan. Sangat menyenangkan jalan-jalan bersama anak-anak. Mereka juga terlihat senang. Hari ini aku sengaja mencari keperluan bayi untuk kado temanku yang baru saja melahirkan. Melihat pernak-pernik bayi, jadi ingin punya bayi lagi. Lucu-lucu semua."Bu, lihat ini. Lucu sekali, kalau ada yang besar, Anggi mau beli kayak gini," kata Anggi sambil menunjukkan sepatu bayi yang berwarna pink."Jadi bahan tertawaan, Dek, kalau pakai kayak gitu. Haha…." ledek Angga."Ya untuk dipakai di rumah," sanggah Anggi."Ngapain di rumah pakai sepatu? Apa nggak lembab kakinya.""Ah, Kak Angga ini meledek saja kerjanya."Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar mereka berdebat."Bude, ngapain disini? Nyari perlengkapan bayi juga ya?" Kudengar suara Anggi menyapa sese
Aku mendapat kabar kalau bapakku dirawat dirumah sakit. Aku berusaha menelpon Mas Fandi tetapi tidak diangkat. Akhirnya aku dan anak-anak berinisiatif mendatangi rumah Leni."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Ada anak laki-laki seusia Anggi membuka pintu. Mungkin anaknya Leni."Siapa Dani?" Ada suara Leni bertanya pada anak yang bernama Dani.Berarti Dani ini yang dulu selalu muncul di hp Mas Fandi. Mas Fandi yang memberi nama Dani pada kontak Leni. Bodohnya aku, berarti sudah lama dibohongi oleh Mas Fandi."Ada Mas Fandi?" tanyaku pada Leni."Ada Mbak, ayo masuk dulu!" kata Leni"Nggak usah, kami disini saja." Aku dan anak-anak didik di teras rumah Leni."Ngapain datang ke sini? Mau mengacau ya?" Tiba-tiba adik Leni nongol dari dalam."Maaf aku nggak ada urusan sama kamu!
Malam ini hanya aku yang menunggu bapak. Ibu dan anak-anak ada di rumah. Sejak datang kesini aku belum pulang ke rumah Bapak, aku yang menunggu Bapak dua puluh empat jam. Karena aku tidak bisa mendampingi beliau di hari-hari biasa, makanya sekarang aku siap mendampingi beliau.Pagi ini kulihat Bapak sudah semakin sehat saja, tidak pucat seperti kemarin. Semoga hari ini Bapak bisa pulang dan beristirahat di rumah."Assalamualaikum, Bapak! Gimana kabar Bapak?" tanya perawat yang masuk ke kamar Bapak."Waalaikumsalam, baik Mbak," jawab Bapak."Saya periksa dulu ya, Pak?" kata perawat sambil bersiap memeriksa Bapak. Bapak mengangguk."Alhamdulillah, kondisinya semakin membaik. Nanti tunggu dokter visit ya, Pak? Beliau yang memutuskan Bapak boleh pulang atau tidak! Saya permisi dulu," kata perawat lagi."Terimakasih, Mbak" jawabku."Ayo,
Sudah hampir satu Minggu aku di rumah Bapak. Hari ini Mas Fandi mau menjemputku. Ia tidak mengizinkanku pulang menyetir sendiri.Pulang dari kantor, langsung naik travel ke rumah Bapak. Menjelang Maghrib baru sampai. Besok pagi kami akan pulang.Bapak dan mas Fandi berbincang-bincang santai. Aku masuk kamar menyiapkan keperluan untuk pulang besok. Tak lama kemudian Mas Fandi masuk ke kamar."Anak-anak nggak apa-apa kan waktu Papa tinggal tadi? Berani kan mereka hanya berdua saja?" tanyaku pada Mas Fandi."Jangan khawatir, Ma, mereka sudah besar, hebat dan kuat seperti mamanya," kata Mas Fandi pelan."Terimakasih ya, Pa? Sudah mau menutupi masalah kita di depan Bapak dan Ibu," kataku lagi.Mas Fandi langsung memelukku dengan erat."Ma, maafin Papa ya? Papa sangat mencintai Mama. Dengan Leni hanya senang sesaat saja. Yang Papa lakukan
Aku mendekati Lana yang seperti kesetanan berteriak memanggil namaku."Ada perlu apa kemari?" kataku. Kulihat Lana dengan wajah emosi. Enak saja, datang ke rumah orang seperti mau mengajak berkelahi."Mana Mas Fandi," kata Lana dengan nada keras."Hei kalau bertamu itu yang sopan!" sahut Ibu yang ada di belakangku."Nggak usah ikut campur deh, Bu! Aku perlu sama Mas Fandi. Mana dia?" jawab Lana dengan nada ketus."Tidur, emang kenapa?" kataku dengan nada kesal."Kamu apakan Mas Fandi, sudah beberapa hari nggak pulang, ninggalin istrinya yang hamil tua." Lana berkata dengan ketus. Ia menatap t