"Narendra itu lelaki tampan dan mapan, Fiona! Mudah bagi dia untuk mencari istri yang bisa memanjakan matanya!"
Ucapan Ibu terus terngiang-ngiang di telingaku. Meskipun apa yang dikatakannya adalah fakta, namun hal itu terasa begitu sesak di dada.
Aku mengamati cermin yang ada di depanku. Cermin yang memantulkan bagaimana bentuk fisikku saat ini. Wajah yang berjerawat, kulit kusam, dan lingkaran hitam di sekeliling kedua netraku. Ditambah tubuh yang begitu kurus menambah kesan tak menarik lagi.
Sungguh, aku sama sekali tak menyadari. Aku terlalu tenggelam pada masalah yang mendera, masalah yang belum sanggup kucari bagaimana kebenarannya. Kedatangan wanita itu benar-benar membuat perubahan pada diriku. Hidup tak tenang, makan pun tak berselera.
"Fiona, aku mau ada acara makan malam. Siapkan pakaian terbaikku, ya." Suara Mas Narendra terdengar dan menyadarkan lamunanku. Aku menoleh, lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk putih yang ia lilitkan sebatas pinggang. Buliran-buliran air menetes dari rambutnya yang basah, lalu berseluncur di wajah tampannya.
"Makan malam? Sama siapa, Mas?" tanyaku sembari bangkit dari tempat duduk. Lalu aku melangkah mendekat ke arah lelaki yang baru saja mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.
"Undangan dari kantor."
"Sendiri atau sama aku?"
"Sendirilah, Fi." Ucapan Mas Narendra membuatku melipat kening. Tak biasanya Mas Narendra.
"Kok tumben, Mas? Biasanya kamu selalu ajak aku setiap ada acara." Terdengar decakan kesal yang keluar dari bibir itu.
"Sudah, jangan banyak tanya, siapkan saja baju-bajuku. Setelah ini aku langsung berangkat," titah Mas Narendra. Dan tanpa menjawab lagi, gegas aku melangkah menuju lemari. Mengambil pakaian untuk suamiku.
"Mas, tadi ibu kesini." Kuletakkan baju yang baru saja kupilih di samping Mas Narendra.
"Aku tau."
"Apa ibu juga bilang sama Mas soal ...."
"Soal hinaan yang ibu berikan ke kamu?"
Aku mengangguk patah-patah. Kulihat lelakiku itu mulai mengambil baju lalu memakainya.
"Ya, setelah ini kuharap kamu sadar akan bentuk fisikmu, dan harusnya kamu sudah berpikir apa yang harus kamu lakukan agar tubuh dan wajahmu menarik lagi."
Sejenak aku memejamkan kedua netraku. Ucapan Ibu yang masih terus saja terngiang-ngiang di telingaku, kini ditambah perkataan Mas Narendra yang menambah rasa sesak di dada.
"Harusnya kamu menyadari kenapa selama beberapa minggu ini aku tak lagi menyentuhmu. Tapi ternyata kamu malah nggak peka sama sekali, jadi ya mau tak mau aku meminta bantuan ibu untuk mengatakan soal ini padamu."
Deg!
Seketika jantung seperti berhenti berdegup kala mendengar ucapan Mas Narendra.
"Wajar saja jika Narendra minta ibu menyadarkan kamu. Lah, ternyata bentukanmu sudah kayak gini! Wajar sih. Macam risoles yang baru diangkat dari penggorengan!" Ucapan ibu kembali terngiang-ngiang.
Rasa sesak semakin menjadi, hingga ciptakan gemuruh di dalam dada yang terasa begitu membuncah.
"Mas, kamu mengatakan soal ini sama ibu? Kenapa nggak langsung bicara sama aku? Apa kamu nggak sadar kalau kamu telah mempermalukan aku?" Suaraku terdengar begitu serak seiring pandanganku yang mulai berkaca-kaca. Tak percaya, jika Mas Narendra mengatakan hal seperti ini pada Ibu.
Mendengar ucapanku, tangan Mas Narendra berhenti mengaitkan kancing baju. Pandangan yang semula menunduk, kini langsung tertuju padaku.
"Bukankah aku tadi sudah mengatakan alasannya? Seharusnya kamu berpikir kenapa aku enggan menyentuhmu, tapi ternyata? Ya jangan salahkan aku kalau aku membawa ibu ke dalam masalah ini." Mas Narendra berucap tanpa merasa bersalah. Lelaki itu lantas melangkah lalu berhenti tepat di depan cermin. Sekilas kulihat senyum sinisnya dari pantulan cermin.
"Aku selalu jaga penampilanku, dan tentu saja aku berharap pasanganku juga demikian. Apa kata orang, Fi, lelaki sepertiku memiliki istri yang merawat tubuhnya saja tidak becus?! Dan sepertinya aku tidak perlu menjelaskan kenapa kali ini aku tidak mengajakmu untuk menghadiri acara." Lagi, ucapan Mas Narendra semakin menambah rasa sakit di dalam dada.
"Ka–kamu malu?" Tergagap aku berbicara.
"Ya," jawab Mas Narendra dengan singkat.
Berikutnya, terlihat lelaki itu meraih kunci mobil yang tergeletak di atas nakas lalu melangkah pergi begitu saja.
****
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 12 malam, dan sudah selarut ini Mas Narendra tak kunjung pulang. Pikiran buruk terus saja bersarang, dan ucapan-ucapan yang berasal dari lidah tajam milik Ibu kembali terngiang-ngiang.
"Asal kamu tau, Fi, di luar sana banyak sekali pelakor bertebaran. Dan ibu yakin, Narendra menjadi salah satu incaran mereka. Siapa sih yang nggak mau sama Narendra?"
"Mudah bagi Narendra untuk mendepakmu dari hidupnya, terlebih kalian belum memiliki anak. Tinggal gugat cerai, beres. Selesai hubungan kalian!"
Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan ibu mertua yang begitu menyakitkan.
Aku berusaha memejamkan mata, namun masih saja terjaga. Hingga tak berselang lama kudengar suara deru mesin mobil memasuki halaman rumah. Gegas kusibak selimut lalu aku bangkit dari pembaringan. Setelahnya aku pun melangkah keluar kamar dan menuju ke arah depan.
Sebelum aku membuka pintu, kubuka tirai jendela untuk melihat mobil siapa yang ada di depan. Sebab aku yakin, suara mobil itu bukan milik Mas Narendra.
Hingga tak berselang lama dapat kulihat sebuah mobil berwarna merah berhenti, lalu sepersekian detik kemudian keluarlah Mas Narendra dari kursi depan bagian kiri.
Wajah lelaki itu terlihat begitu berseri, seperti memancarkan sebuah kebahagiaan.
Mas Narendra melangkah lalu berhenti di samping kemudi. Dan tak berselang lama, kaca mobil itu terbuka. Hingga menampilkan seorang wanita berambut panjang tergerai yang sepertinya memakai dress merah maroon tanpa lengan namun memiliki kerah yang melingkari lehernya.
"Siapa dia?" tanyaku di dalam hati. Terlihat wanita itu melambaikan tangan ke arah Mas Narendra sembari menampilkan deretan-deretan giginya.
Tak berselang lama, kendaraan roda empat itu kembali melaju keluar halaman. Dan ketika mobil itu tak terlihat lagi, Mas Narendra memutar tubuh lalu melangkah.
Cepat, aku membuka pintu, hingga terlihatlah wajah Mas Narendra yang sepertinya terkejut.
"Baru pulang, Mas? Diantar siapa tadi?" Aku bertanya dengan nada setenang mungkin. Begitu Mas Narendra sudah berada di hadapanku, bergegas kuraih tangannya lalu kucium punggung tangan lelaki itu seperti biasanya.
"Temen kantor. Kan aku udah bilang kalau menghadiri acara kantor."
"Oh, lalu dimana mobil kamu, Mas? Bukankah tadi kamu naik mobil?"
"Tadi waktu mau pulang mogok. Jadi kutinggal, numpang mobil temen." Mas Narendra merangsek masuk begitu saja. Meninggalkan aku yang masih berdiri di ambang pintu dengan segudang pertanyaan yang menggangu pikiranku.
Kuhembuskan napas berat, bergegas aku mengikuti langkah Mas Narendra setelah menutup kembali pintu utama.
Aku membuka pintu kamar bertepatan dengan Mas Narendra melepaskan bajunya. Hingga tertangkap pada kedua manik hitamku ada bekas merah di leher milik suamiku.
Duniaku pun seketika ... hancur.
Emosi yang sedari tadi kutahan, kini sudah berada di puncak ubun-ubun dan siap untuk diledakkan. Cepat, aku melangkah mendekat ke arah suamiku. Dan begitu sudah dekat, aroma keringat khas setelah melakukan olahraga ranjang pun menguar di indra penciumanku. 10 tahun kami berumah tangga, sudah cukup membuatku hapal dengan hal kecil seperti ini. "Mas?!" pekikku dengan kedua tangan yang terkepal. Napasku begitu memburu seiring emosi yang semakin menguasai diriku. "Bekas apa di lehermu itu, Mas?!" Aku menatap lekat ke arah Mas Narendra tanpa menyentuh bekas yang kurasa begitu menjijikkan. Masih aku berusaha menekan kuat-kuat rasa emosi Mendengar ucapanku, Mas Narendra mendekatkan wajah ke cermin. Dan dengan ekspresi yang tak bisa kutebak, lelaki itu kembali menoleh ke arahku. "Ini bekas lipstik, tadi ada tragedi. Temen kantor mau jatuh, aku tangkap. Terus mungkin tidak sengaja bibirnya menyentuh leherku." "Oh ya? Bekas lipstik?""Ya. Memangnya apa lagi?" Gegas aku mengambil tisu yan
Begitu panggilan terputus, kuletakkan ponsel di tempatnya semula. Setelahnya kusandarkan tubuhku lalu kuhela napas dalam-dalam dan kukeluarkan secara perlahan, berharap mampu meredamkan gejolak di dalam dada dan bisa berpikir secara tenang. "Apa aku harus ke rumah ibu ya?" lirihku. "Ya, daripada penasaran Mas Narendra pergi liburan dengan siapa. Lebih baik aku memastikannya saja."Gegas aku bangkit dari tempat dudukku, lalu melangkah menuju kamar setelah kuambil ponsel yang ada di meja. Dan begitu sampai di kamar, cepat aku mengganti baju. Duduk di depan cermin sembari memoleskan make up tipis ke wajahku. Pandangan yang semula tertuju pada cermin beralih ke sebuah ponsel yang berdering. Aku pun segera mengangkat panggilan itu. "Halo, selamat siang, Mbak Fiona. Saya sudah sampai di depan rumah sesuai alamat yang tertera pada pesanan di aplikasi." Suara seorang lelaki terdengar saat panggilan itu terhubung. "Baik, Pak. Saya segera keluar."Panggilan ku
[Padahal besok pagi jam 9 mau berangkat ke Bandara, menjemput kakak perempuan tersayang. Tapi apalah daya, tiba-tiba dapat kelas di kampus.]Aku memicingkan kedua netraku saat membaca serangkaian kalimat status what'sapp milik Mona–adik iparku. "Siapa yang dimaksud kakak perempuan tersayang? Mereka kan hanya 2 bersaudara. Mas Narendra anak pertama, dan Mona anak kedua. "Yaudah, seneng-seneng saja di sana. Besok kalau pulang hati-hati ya. Besok ibu nggak bisa jemput, soalnya jam 9 ada acara arisan sama ibu-ibu kompleks."Seketika ucapan Ibu Mertua kemarin kembali terngiang-ngiang di telingaku.Dan begitu aku mengusap layar datar itu–bertujuan untuk mengomentari status what'sapp Mona– tiba tiba saja status tersebut menghilang, yang artinya sang pemilik menghapus status tersebut. ****Semalaman aku memikirkan apa yang harus aku lakukan. Bertindak atau diam, dan aku memutuskan akan menemui Mas Narendra bersama temannya itu di Bandara. Ya, aku melakukan itu bertujuan agar Mas Narendra
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 8Fiona membeku, menatap punggung Narendra dan Aruni yang semakin mengecil dengan ekspresi wajah yang begitu menyedihkan.Wanita berusia 33 tahun itu pun lantas menghembuskan napas berat, dan ia melangkah dengan gontai. Seolah-olah seperti tak ada lagi semangat dalam hidupnya. Fiona terus mengayunkan kedua kakinya dengan pandangan kosong, hingga tiba-tiba ....Bugh!Tubuh kurus itu terjerembab karena seseorang menabrak pundak Fiona. "Astaga ... maaf, Mbak. Maaf." Seorang lelaki yang menabrak tubuh Fiona ingin membantunya berdiri, namun Fiona enggan menerima. Wanita itu lantas bangkit sendiri, pandangan yang menunduk, kini terangkat. Hingga sepasang mata Fiona pun membelalak. "Fahri?" "Fiona?" Berbeda dengan Fiona, lelaki yang bernama Fahri menatap heran ke arah Fiona. Bahkan pandangan lelaki itu menyorot tubuh Fiona mulai ujung kaki hingga ke atas kepala. "Hey, gitu amat lihatnya."
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 9Fiona tertegun mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Fahri."Kita duduk dulu di sana, ya. Tenangin diri kamu dulu," ajak Fahri dan Fiona mengangguk. Gegas Fahri melangkah dan diikuti Fiona di belakangnya. "Minumlah dulu." Fahri mengulurkan sebotol air mineral yang baru saja ia ambil di tas ransel miliknya. Fahri terus menatap wajah Fiona dengan perasaan penuh kasihan. Fiona menerima botol yang diulurkan oleh Fahri, lalu ia pun berujar, "Terima kasih." Setelahnya, Fiona membuka tutupnya lalu mulai menyesap air mineral itu hingga akhirnya tenggorokan yang semula kering, kini teraliri. "Sejak kapan, Fi? Kenapa kamu diam saja?" Fahri kembali menodongnya dengan pertanyaan saat melihat teman di masa lalunya sudah terlihat membaik. "Entahlah." Singkat Fiona menjawab, dan tentu saja membuat Fahri mengerutkan kening. "Apa kamu sedang buru-buru?" "Enggak. Jadwal putriku tiba masih 30 menit lagi," ucap Fahri dengan lemah setelah meli
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 10Mobil yang dikendarai oleh Narendra, dan Aruni yang ada di sampingnya masuk ke halaman rumah yang dihuni oleh Fiona. Kendaraan roda empat itu pun berhenti tepat di depan pintu utama. "Terima kasih ya sudah menuruti apa yang aku inginkan," ucap Aruni dengan begitu manja. Bahkan kali ini ia sedang memeluk mesra lengan Narendra. "Apapun yang kamu inginkan, selagi bisa, akan aku lakukan." Tangan Narendra mengusap lembut pucuk kepala Aruni. Mendengar ucapan dari sang kekasih, membuat Aruni melebarkan senyumannya. Setelahnya, ia mendaratkan kecupan mesra di pipi milik Narendra. "Ayo turun lalu masuk." "Semoga saja istrimu yang kata ibu seperti risoles itu menerima keputusanmu ya, Sayang." "Harus! Aku sudah siapkan senjatanya agar Fiona tidak bisa berkutik," ucap Narendra penuh dengan rasa percaya diri."Dan aku percaya sama kamu." Sepasang kekasih itu pun saling melempar senyum. Gegas mereka membuka pintu– bergerak keluar–lalu kemba
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 11Begitu Fiona memasuki ruang tamu, kedatangannya langsung disambut oleh Aruni yang tersenyum ke arahnya. Fiona mencebik, lalu dirinya mendudukkan bokong di sofa yang paling jauh jaraknya dengan sofa yang diduduki oleh Narendra bersanding dengan Aruni."Cepat katakan apa yang ingin kalian bicarakan, aku tak cukup banyak waktu." Fiona menyandarkan punggung. Pandangannya tertuju pada kuku-kuku yang dimainkannya, Fiona sama sekali tak tertarik menatap sepasang kekasih gelap itu. "Fi, karena kamu sudah mengetahui hubungan kami, jadi rasa-rasanya tidak perlu lagi kami bersembunyi- sembunyi. Kamu pasti tau dong apa sih tujuan dua orang dewasa dan berlawanan jenis jika sampai menjalin hubungan?" "Sudahlah, Mas, tak perlu muter-muter. Katakan saja langsung ke pokok permasalahannya." Fiona menjawab dengan kalimat menohok. "Katakan saja, Sayang. Sepertinya memang tidak perlu berbasa-basi." Kali ini Aruni bersuara. Membuat Narendra menoleh lal
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 12"Duduklah dulu, Fi. Pembicaraan kita belum usai." "Apa lagi? Keputusanku tidak bisa diganggu gugat, Mas. Sekalipun kalian bersujud di kaki-ku, aku tak akan memberikan izin. Aku masih berbaik hati memberikanmu solusi dengan menceraikan aku," ucap Fiona yang masih berdiri di tempatnya. "Oke jika itu maumu, Fi. Tapi, jika kamu memang menginginkan perpisahan, maka kamu tak mendapatkan sepeserpun harta." Ucapan Narendra sontak saja membuat kedua bola mata Fiona terbelalak. Aruni yang mendengar ucapan sang kekasih lantas tersenyum, kemudian ia menyandarkan punggungnya lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Itu konsekwensi yang harus kamu terima kalau kamu ngotot ingin bercerai, Fi." Belum sempat Fiona merespon, Narendra kembali berucap. "Kamu tinggal pilih. Berpisah tanpa mendapatkan harta, atau menerima Aruni sebagai adik madu," lanjut Narendra dengan begitu entengnya. Sedikit pun ia sama sekali tak memikirkan perasaan sang i