Share

Bab 6 Proses Surogasi

Tok! Tok! Tok!.

"Mbak. Mbak Alara!"

Suara ketukan diiringi panggilan dari arah pintu menyentak lamunanku, sejak pindah ke sinii aku memang sudah tidur dan sering terbangun lebih pagi. Padahal sebelumnya aku nyaris tak pernah menyentuh matahari pagi, karena aktivitas padat yang dilakukan di malam hari.

"Bentar!" kutendang selimut sampai teronggok di lantai kemudian berjalan menghampiri pintu yang masih saja diketuk tak sabar.

Ceklek!" suara pintu saat Aku buka pelan.

"Ada apa? Ini masih pagi!" Sentakku pada asisten pribadi yang sengaja disewa untuk membantuku selama setahun kedepan.

"Bapak udah nunggu di depan, Mbk. Katanya kalian berangkat ke Singapura hari ini." Katanya cepat.

"Dih, bukannya jadwal surrogasi masih seminggu lagi?"

Gadis seumuranku itu hanya bisa mengedikkan bahu.

"Kalau itu saya kurang tahu, Mbak." Ucapnya pelan.

"Arrghh. Yaudahlah," akhirnya akhirnya aku hanya bisa menghentakkan kaki dan beranjak menuju kamar mandi.

"Mbak." Panggilnya.

Masih ku dengar suara Nila diambang pintu.

"Apa lagi?" Jawabku pelan.

"Bisa dipercepat dikit? Soalnya bapak udah nunggu dari tadi," sambungnya hati-hati.

"Iya, iya. Suruh siapa jual mahal sampe mutusin pisah unit takut banget tergoda dengan butiran debu ini!"

Kubanting pintu kamar mandi, lalu lekas membersihkan diri.

Dalam lamunan aku mulai berpikir, betapa beruntungnya Naya mendapatkan Arga. Dia sempurna dalam sisi mana saja. Caranya membatasi diri membuatku bertanya, apakah dia benar-benar lelaki pada umumnya?

***

"Ada yang lain?" Arga bertanya saat aku baru saja tiba di hadapannya.

"Apanya?" Aku mengernyitkan dahi.

"Pakaian lain, Alara!" Dia tampak geram. Entah karena menunggu terlalu lama, atau apa yang kukenakan semakin menyulut emosinya.

Menurutku tak ada yang salah, crop top fan hotpants cukup umum di kalangan anak muda masa kini pusat, paha, dan belahan dada itu biasa.

"Ada," cetusku dengan nada ketus.

"Apa semuanya begini?" Tanyanya.

"Sebagian besar." Jawabku cepat.

Dia menghela napas panjang.

"Ya, sudah kenakan saja yang waktu itu kamu pakai untuk menemui orangtua saya." Suruhnya dengan tegas.

"Lagi di-laundry." Ucapku singkat.

"Kalau begitu kita beli." Katanya sedikit kesal.

" Kenapa? Semua bajuku masih layak pake." Kataku dengan pelan.

"Tapi nggak alayak dilihat!" Ucapnya cepat.

Aku mendengkus keras, lalu menghentakkan kaki.

"Oke kita pergi!"kataku sembari melangkah pergi.

***

Tidak ada percakapan sepanjang perjalanan. Sesampainya sesampainya di mall kita bahkan langsung ke tempat yang dituju tanpa ada sedikit pun basa-basi. Hampir semua belanjaanku dia yang tentukan. Atasan,

bawahan, sweater, Hoodie, dress, bahkan gamis.

Oh ayolah ini semua menggelikan.

Sampai akhirnya aku menemukan satu stan toko yang mencuri perhatian. Tanpa persetujuan bergegas aku menariknya menuju toko pakaian dalam milik brand terkenal VS.

"Mbak. Tolong ambilin baju warna merah itu satu, yang ijo satu, yang kuning satu!" Kataku ke pemilik toko tersebut.

"Alara, saya sudah bilang tentang atu_" Arga menghentikan kalimatnya.

" Ye, siapa bilang aku mau pake semua ini di depan kamu? Orang aku mau beli buat koleksi pribadi." Kataku ketus.

Dia terbungkam, tak lagi bersuara. Bisa kulihat pramuniaga itu senyum-senyum sendiri memperhatikan kami.

"Oh, Iya. Celana dalamnya yang item itu satu, yah." Kataku sembari menunjuk ke arah tersebut.

"Buat apa? Bukannya stok kamu masih banyak di lemari?" Setelah sekian lama Arga nyeletuk lagi.

" Kok situ tahu?" Aku mengernyitkan dahi.

"Nggak, itu_" saat Nila mengemasi barangmu saya tak sengaja melihat barang-barang itu dikeluarkan dari dalam koper besar." Katanya sambil menggaruk punduknya yang tak gatal.

"Oh,"aku memutar bola mata, lalu mengedikkan bahu tahu peduli.

" Ini notanya, ya, Bu. Barang bisa di ambil dikasir." Ucap pramuniaga tersebut

"Eh, yang daleman item tadi mau langsung saya pake!" Potongku pada sang pramuniaga.

"Alara," Arga memolototiku.

"Apesih!" Ucapku tak peduli.

"Kan bisa buat nanti." Lirihnya kesal.

"Ya udah, kalau gitu aku pergi tanpa CD." Ucapku terkekeh.

"Apa!!!" Sontak matanya membelalak sempurna.

"Aku lupa pake," aku tersenyum tipis.

"Astaghfirullah, Alara." Ucap Arga menepuk keningnya.

"Ya, maaf kebiasaan soalnya." Aku tersipu malu.

***

From: Roy Kimoci

[ Ala, gue baru dapat kabar kalau Bu Nita udah dapat donor ginjal. Harus diakui duit emang bisa mengendalikan segalanya, buktinya pendonor cepat banget datang padahal sebelumnya mertua lo pasien antrian ke sekian. ]

Di ruang ganti, masih masih dalam ponsel dalam genggaman tangan, aku menatap pesan yang Roy kirimkan dia mengatakan bahwa Bu Nita berhasil mendapatkan donor ginjal wanita tua yang menjadi alasan aku rela menyewakan rahim pada pasangan suami-istri yang mendambakan keturunan.

Setelah oprasinya selesai mungkin aku akan benar-benar terbebas dari beban. Terlepas dari segala keterlibatan dari lelaki yang mengumpankanku ke kandang macan.

"Ala, Alara!" Suara berat itu mengambil perhatianku dari ponsel, di genggaman tangan.

"Ya." Kuseka air mata yang entah sejak kapan lolos dari pelupuk mata menatap Arga yang sudah berdiri menunggu di ruang ganti.

"Are yau oke?" Dia bertanya saat menyadari ada yang berbeda. Kuakui kepekaannya diatas rata-rata.

"Iya." Lagi hanya jawab singkat itu yang bisa kuberikan.

"Kalau begitu bisa kita berangkat sekaran? Soalnya saya masih ada pertemuan." Katanya dengan cepat.

"Oke." Aku sambil melangkahkan kaki.

***

Setelah menempuh kurang lebih satu jam perjalanan laut dari batam center, kami tiba di Singapura. Kemudian melanjutkan perjalanan sekitar delapan belas menit hingga sampai di rumah sakit bertarap internasional yaitu month Elizabeth menjelang siang.

Ini adalah kali kedua aku berada di ruang yang sama, tapi tempat berbeda. Berhadapan dengan dokter muda dan satu dokter bule lainnya dengan keadaan yang bisa dibilang cukup mmalukan.

Kenap kubilang memalukan? Karena aku melebarkan kaki tepat di wajahnya, yang tampan sementara dia memsukan alat asing ke dalam jalan rahim yan

bisa mendektesi dondisi kesehatan rahim yang tampak di dalam layar.

"Sangat sehat, dan sudah siap dibuahi," ujar dokter Antoni dengan senyum simpul.

Aku menoleh ke arah Arga yang terdiam.

"Udah jelas, kan, Ganteng? Atau perlu memastikan sendiri?" Cibirku yang membuatnya mengusap tengkuk malu.

Aku tahu dia masih meragukanku makanya dia meminta dokter antoni untuk memastikan lagi. Wajar permintaan istrinya memng bisa dibilang di luar nalar. Menggantungkan satu-satunya harapan pada seorang pelacur? Apakah itu masuk akal? Sampai saat ini aku masih belum tahu alasan Naya memilihku dari sekian banyak wanita diluar sana.

" Kita bisa mualai percobaan pertama dengan menggabungkan sarung sel telur Bu Naya dengan pak Arga. Setelah embrio berhasil dibuahi kami akan memindahkannya dalam rahim ibu pengganti." Jelas dokter Antoni.

Aku hanya bisa mangut-mangut setelah mendengar penuturan dokter Antoni walaupun sepenuhnya tak mengerti.

"Mari Pak Arga! Saya tunjukan ruang mastrubrasi. Santai saja, saya tahu bapak cukup kesulitan unt_" Dokter Antoni menghentikan kalimatnya.

"Loh, emangnya Dokter nggak simpan sampelnya, sampai harus ngedadak kayak gini? Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.

Kedua lelaki berbeda profesi itu menoleh bersamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status