Bunyi kode ruangan yang tengah dimasukkan terdengar. Sejurus kemudian, pintu kayu berpelitur halus berwarna hitam terbuka dan memperlihatkan wujud seorang pria tampan yang memasuki apartemen itu dengan bungkusan berisi makanan mahal di tangannya. Ia lalu mengganti sepatunya dengan sandal rumah yang tersedia. Gerakannya sama sekali tidak canggung, seolah ia sudah biasa mengunjungi tempat itu.
Mungkin pria itu tidak sadar, tapi kelakuannya sejak melangkahi ambang pintu diamati oleh seorang wanita berambut lurus hitam panjang, dengan poni tipis yang menutupi jidatnya.Mengenakan gaun tidur panjang berwarna hitam berbahan satin yang memang dimaksudkan untuk menggoda, wanita itu berdiri sambil menyilangkan kaki dan menyandarkan bahu di dinding samping sofa. Menunggu.Pria itu selesai mengenakan sandal rumah dan mengangkat tatapannya dari lantai. Saat itulah ia melihat si wanita dan otomatis senyum mesum tertera di wajahnya yang rupawan. Sambil mempertontonkan bungkusan makanan mahal yang dibawanya, pria itu menghampiri si wanita yang menyetel ekspresi merajuk khas anak kecil yang ingin diperhatikan.“Aku sudah datang, nih, Sayang. Kok kamu malah cemberut begitu? Nanti cantiknya meleleh, loh. Lihat, aku membelikan sushi dari restoran favoritmu,” ujar si pria seraya mengangkat lebih tinggi bungkusan di tangannya sehingga sejajar dengan wajah si wanita.Tapi, si wanita malah melengos tidak peduli. Ia memalingkan mukanya yang cantik dan memandang lantai. Rupanya ia sedang menunjukkan bahwa dirinya benar-benar ngambek karena pria itu terlambat datang.“Jangan begitu, dong, Sayang. Aku susah cari alasan untuk keluar rumah tadi karena ada kejadian menghebohkan. Untung saja kamu menelpon dan memberiku ide. Kalau kamu tidak menelpon, mungkin aku juga bisa gila di sana. Terima kasih, ya. Sudah kuduga, memang kamu saja yang bisa mengerti aku,” rayu si pria.Merasa agak tertarik, si wanita menghentikan aktivitasnya bertatap muka dengan lantai dan berpaling memandang mata si pria yang berwarna kebiruan.“Kejadian menghebohkan seperti apa yang bisa membuatmu melupakan janji pertemuan kita malam ini?”Tidak langsung menjawab, si pria justru menarik tangan si wanita ke arah sofa pink di sampingnya dan menariknya untuk duduk di pangkuannya. Ia meletakkan bungkusan di meja dan tangan kanannya yang sudah bebas bergerak mengelus-elus rambut si wanita dengan lembut, tangan kirinya sendiri ditumpangkan di sandaran sofa.“Ibuku meninggal. Dibunuh. Mayatnya ditemukan dalam koper merah besar. Mengerikan. Ada darah di mana-mana di kamarnya,” jawab si pria yang ternyata Orion.Si wanita yang duduk di pangkuan Orion, yang dikenal publik sebagai sekretaris pribadinya bernama Ulfa tiba-tiba mendelik dan menutup mulut. Setelah pulih dari rasa terkesima, Ulfa melepaskan tangan dari mulutnya dan memberi Orion tatapan curiga.“Tapi, bukan kamu pembunuhnya kan, Sayang? Aku tidak yakin apa bisa bertahan kalau kamu dipenjara. Aku kan cuma punya kamu di dunia ini,” ujar Ulfa manja sambil menyandarkan kepalanya ke dada bidang Orion, semua aksi pura-pura merajuknya sudah dihentikan.Tangan kanan Orion berpindah dari rambut menjadi mengusap-usap pundak Ulfa. “Tentu saja bukan aku, Sayang. Kamu jangan khawatir, aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Aku janji,” gombal Orion.Ulfa mengangkat kepalanya dan menatap Orion, kali ini raut mukanya sangat riang. “Baguslah. Setidaknya kita tidak perlu repot-repot menyingkirkan ibumu. Aku benar-benar takut saat ibumu memergoki kita berpelukan dan mengamuk di ruanganmu tempo hari. Aku kira ibumu tidak suka pada Citra, tapi nyatanya dia marah juga waktu tahu kamu selingkuh dari menantunya. Dasar orang tua aneh.”“Kamu tidak tahu saja, Sayang. Ibuku sebenarnya menyayangi Citra, dia hanya kesulitan menampakkannya karena sudah terbiasa bersikap buruk pada Citra. Aku pernah mendengarnya meminta asisten rumah tangga kami untuk mengganti menu makan malam karena Citra alergi sama kacang,” sebut Orion lalu mencebikkan bibirnya tidak suka.Sekarang, tampang Ulfa menjelma penasaran. “Kalau begitu, siapa yang kira-kira membunuh ibumu, Sayang? Apa sudah ada orang yang kamu curigai? Atau rumahmu dirampok?”“Aku yakin pembunuhnya Citra karena hanya dia yang tidak suka dengan ibuku, ditambah lagi dengan polisi menemukan darah di tangannya. Siapa lagi kalau bukan dia? Tidak mungkin ayahku karena beliau sangat mencintai ibuku,” tutur Orion tegas.“Kita juga membenci ibumu, Sayang. Kamu lupa? Kamu kan pernah bilang akan membunuhnya ketika dia pergi dari ruanganmu sambil marah-marah. Tapi, untung saja kita bisa menahan diri sehingga orang lain bisa melakukannya untuk kita,” ucap Ulfa memperingatkan.Orion mengangguk setuju. “Benar juga. Aku sempat panik karena mengira ibuku akan melapor pada ayahku soal kita sehingga aku berpikiran untuk menghabisinya lebih dulu. Namun, tidak tahu alasannya apa, sepertinya ibuku tidak memberitahu ayahku ataupun Citra. Namun, setelah itu, sikap ibuku berubah drastis. Di depan keluarga yang lain dia memang berusaha bersikap wajar. Tapi, kalau kami kebetulan bertemu berdua, dia cuma akan melempar tatapan jijik kemudian pergi. Menyebalkan.”Jari-jari Ulfa menyusuri pipi Orion. “Sepertinya satu penghalang kita sudah hilang. Kamu tidak lupa janjimu yang bilang akan menikahiku begitu kamu sudah mewarisi hotel dari ayahmu kan, Sayang? Terus terang saja, aku sudah lelah menjalin hubungan sembunyi-sembunyi begini. Mau ketemu denganmu pun harus susah payah mengarang alasan. Aku ingin seperti orang lain yang bisa memamerkan pasangannya.”Orion meraih tangan Ulfa yang bermain-main di wajahnya lalu mengecupnya. “Tentu saja, Sayang. Kamu tidak percaya padaku? Kita cuma perlu menunggu sebentar sampai ayahku sadar kalau aku bisa bertanggungjawab menangani bisnis hotel kami. Setelah itu, aku akan menceraikan Citra dan kita bisa menikah. Sabar, ya.”“Aku heran. Kenapa tidak dari setahun yang lalu saja sejak awal kita menjalin hubungan kamu cerai dengan Citra? Kalau urusanmu dengan dia selesai sejak dulu, kita kan tidak perlu main petak umpet begini. Aku juga akan lebih mudah membantumu mendapatkan hotel dari ayahmu dengan status sebagai istrimu,” tutur Ulfa tidak senang. Ia baru saja menarik tangannya dari genggaman Orion dan bersedekap seraya melempar muka.Orion tersenyum melihat tingkah manja Ulfa. Dengan pelan dipalingkannya kembali wajah selingkuhannya itu dengan lembut sehingga mereka kembali berpandangan.“Kamu cemburu, ya? Jangan gitu dong, Sayang. Aku sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi sama Citra. Aku masih mempertahankannya semata-mata karena ingin terlihat baik di depan ayahku. Selain itu, ayahku menyayangi Citra sebagai menantunya. Itu saja alasannya. Kamu percaya, kan?”Ulfa berkedip beberapa kali sebelum mengangguk lemah. Orion pun sudah akan melakukan hal yang sejak tadi dipikirkannya sejak melihat Ulfa dengan gaun tidur saat tiba-tiba ponselnya memekik. Mendecih kecil, Orion mengambil ponsel dari saku dalam jasnya. Matanya agak melebar melihat nama si penelpon.“Halo. Saya sedang mengendara pulang, Yah. Habis menenangkan diri sebentar di luar. Kenapa? Citra sudah sadar? Pak Nadi ingin menanyai kami? Baiklah, saya akan langsung ke rumah dan tidak singgah-singgah lagi,” cerocos Orion di telpon. Ulfa hanya menatapnya cemberut lalu melempar wajahnya lagi dan minggat dari pangkuan Orion ke sofa. Padahal mereka baru bersama beberapa menit, tapi Orion sudah harus menemui istrinya lagi. Memuakkan!Orion menyimpan kembali ponselnya dengan kekecewaan yang terlihat jelas, apalagi ketika dilihatnya Ulfa telah benar-benar merajuk. Berkali-kali ia menggoyangkan bahu Ulfa, membujuknya agar berhenti marah, tapi Ulfa ngotot tidak sudi memandang mata kebiruan Orion lagi.Karena tahu Erian menunggu di rumah, Orion terpaksa tidak meladeni tingkah Ulfa lebih lama. Ia akhirnya berdiri dan keluar dari apartemen. Orion baru saja menutup pintu dari luar dan akan melangkah ketika terdengar bunyi benda yang dibanting dari dalam ruangan yang ditinggalkannya.“Bagaimana perasaan Anda, Bu Citra? Sudah lebih baik?”Citra mengangguk walaupun tengah bertatap muka dengan lantai, lebih memilih tidak melihat wajah Nadi yang baru saja menanyainya. Di samping kirinya, duduk Orion yang berusaha keras tidak kelihatan resah. Di sisi kanannya, Erian memarkirkan pantatnya di kursi dan tampak benar-benar tenang.“Bisa ceritakan kejadian sebelum Anda ditemukan pingsan di kamar?”Pelan-pelan mengangkat kepalanya, Citra menoleh dulu ke ayah mertuanya yang memberinya senyuman menghibur.Namun, ia sama sekali tidak berpaling ke Orion, padahal suaminya itu sudah menengok ke arah Citra sambil mencoba menarik kedua sudut bibirnya.“Sekitar jam 4 sore tadi, saya berniat pergi ke supermarket untuk membeli peralatan mandi kami yang sudah habis. Saya memang terbiasa membeli semua kebutuhan sendiri, hanya bahan makanan saja yang diurus oleh Bik Yuli. Di ruang tamu, saya ketemu dengan ibu. Mungkin Anda sudah dengar, tapi hubungan saya dan ibu mertua memang tidak terla
Orion mendelik. Mulutnya ternganga. Spontan, ia berdiri dari kursinya sangat tergesa-gesa sampai membuat benda malang itu terjungkal. Pertanyaan sekaligus pernyataan Nadi membuat Orion sempat lupa bagaimana cara bernapas. Ia bahkan tidak menyadari jika Citra dan Erian juga tersentak mendengar ucapan si polisi.Setelah berhasil menormalkan kerja paru-parunya kembali, Orion berupaya menyetel ekspresinya agar kelihatan benar-benar tersinggung. Menaikkan sedikit dagunya guna menegaskan bahwa dirinya adalah konglomerat yang tidak selevel dengan Nadi, karena itu ia tidak akan terpengaruh dengan apapun yang didengarnya, Orion lalu menuding polisi itu dengan telunjuk yang bergetar.“Jaga ucapan Anda, Pak Nadi. Berani sekali Anda memfitnah warga kota yang baik hanya karena bau parfum yang belum tentu juga Anda endus. Saya sungguh-sungguh merasa terhina,” ujar Orion dengan suara yang juga agak gemetar.Tapi, Nadi bergeming. Ia sama sekali tak goyah dengan provokasi yang dilancarkan oleh Orion.
“Ayah rasa lebih baik kamu ikut juga, Citra. Anda pun boleh ikut kalau mau, Pak Nadi,” ujar Erian di pintu ruang makan. Kepalanya ditolehkan pada dua orang yang diajaknya bicara. Di sampingnya, Orion melirik tidak berdaya.Nadi mengiyakan dengan cepat. Ia memang merasa lebih bagus jika terlibat langsung. “Tapi, saya harus ketemu rekan polisi yang tadi saya minta membawa Bik Yuli, Pak Erian. Tunggu sebentar,” kata Nadi sambil buru-buru melewati Erian dan Orion menuju ruang keluarga tempat rekannya menunggu.“Bagaimana, Citra? Kamu ikut, kan? Ayo, kita tunggu Pak Nadi di mobil saja,” ajak Erian dan langsung berbalik tanpa menanti respons menantunya. Citra yang mengerti kalau ucapan barusan adalah perintah, bukan permintaan, menyusul kedua pria itu.Langkah kaki dari belakangnya membuat Citra berpaling. Ia menemukan Nadi telah mengekori mereka. Di depannya, Erian dan Orion telah berdiri di undakan teras, menunggu sopir keluarga memarkirkan mobil.Segera saja mobil mewah berwarna hitam me
Tercengang. Erian butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan Dokter Hardi. Ekspresinya kosong, matanya melebar, dan mulutnya terbuka. Tapi, Dokter Hardi justru terbahak-bahak menonton raut wajah temannya.“Apa kubilang? Info ini akan sangat mengejutkan, bukan? Aku paham apa yang kau rasakan, Erian. Reaksiku juga kurang lebih sama saat tahun lalu aku diberitahu oleh putri dan menantuku bahwa aku bakal punya cucu, sempat bingung dan tidak bisa berkata-kata. Ha ha ha, lucu sekali,” ujar Dokter Hardi geli sendiri.“Cucu? Cucu? Cucu?” Erian mengulang linglung. “Aku akan memiliki cucu? Penerus keluarga Indrayana? Benarkah itu, Hardi?”“Benar sekali, temanku. Wah, kita berdua sudah menjadi kakek-kakek. Kita telah memasuki satu lagi fase penting dalam hidup. Sekali lagi kuucapkan selamat, Erian. Dan tentu saja untuk kamu juga, Orion,” kata Dokter Hardi kelewat riang, seolah dirinyalah yang akan menimang cucu.Tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi, Erian melompat maju menubruk tubuh temannya dan
“Apa?” Citra tersentak bangun hingga nyaris membuat infus di lengannya terlepas. “Apa maksudmu dengan anak dalam rahimku? Jangan bilang kalau aku- aku hamil? Hah, jangan bercanda, Rion!”Walaupun suaminya memilih untuk melakukan aksi diam, tapi dari wajahnya Citra tahu jika Orion sungguh-sungguh dengan omongannya. Namun, bagaimana bisa ia hamil? Itu tidak mungkin! Itu tidak boleh terjadi! Tidak boleh!Setelah membiarkan Citra mencerna informasi yang dibawanya selama beberapa saat, Orion akhirnya membuka mulutnya. “Dokter Hardi yang bilang kalau kamu hamil. Tapi, cukup dengan itu. Sekarang, bilang padaku siapa ayah anak dalam perutmu? Kamu kan tahu sudah berbulan-bulan kita tidak melakukan hubungan suami istri!”Citra semakin terperanjat. Ia menutup muka dengan kedua tangannya kemudian menjambak rambutnya sendiri sambil memekik nyaring. “Aaahhh! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin hamil!”Orion terkejut melihat reaksi Citra yang di luar dugaan. Ia tadinya berpikir kalau Citra akan menyamb
Nadi memindai berkeliling. Ruang rawat itu terlalu mewah untuk difungsikan sebagai tempat orang sakit menjalani pemulihan. Lebih tepat jika disebut sebagai vila mini. Lihat saja sofa mewah, brankar kualitas terbaik, televisi layar lebar yang menutupi satu sisi sinding, lemari pendingin empat pintu, pendingin ruangan kelas atas, karpet tebal lembut, belum lagi lantai bergranit menyilaukan dan langit-langit dengan kandelir memukau. Fasilitas untuk orang kaya memang mencengangkan.“Silakan duduk, Pak Nadi. Jangan sungkan-sungkan. Maaf sekali kami tidak bisa menerima Anda di tempat yang lebih layak,” ujar Erian ramah, menunjuk satu set sofa mahal yang tidak akan didapati oleh Nadi di rumah dan kantornya.Polisi itu nyaris menganga mendengar sambutan Erian yang dirasanya tidak masuk akal. Tempat semewah ini dianggap kurang layak? Wah, selera orang kaya memang levelnya sulit dijangkau.Nadi pun duduk di salah satu sofa dan sebisa mungkin menyamankan dirinya. “Saya minta maaf sebelumnya kare
“Nih, pesananmu. Dasar pemalas! Bisa-bisanya kamu menyuruh seorang wanita membelikanmu makanan? Tidak tahu malu! Seandainya bukan karena rahasia yang kita bagi sama-sama, aku pasti sudah akan kabur sejak lama,” gerutu seorang wanita dengan rambut hitam panjang yang dicepol pada sesosok tubuh yang teronggok di sofa.Pria yang tengah sibuk dengan game onlinenya itu mendongak dan menyeringai sinis. Wajahnya lumayan tampan, dengan hidung mancung dan mata teduh. Tapi, kepribadiannya berbanding terbalik dengan wujudnya. Pria itu licik, oportunis, dan tidak malu menghalalkan segala cara demi tujuannya yang pasti tidak jauh-jauh dari uang.“Jangan mengeluh, Ar. Seharusnya kamu berterimakasih pada Tuhan karena dipertemukan denganku. Kalau tidak, kamu pasti sudah terlunta-lunta di luar sana, tidur di trotoar dan makan dari hasil mencari di tempat sampah,” ujar Gema, nama pria itu.Ariani mencibir. “Jangan bilang kamu lupa kalau aku yang mengajakmu kerja di rumah orang kaya itu? Kalau tidak, man
Ulfa mengetuk-ngetukkan kuku panjangnya yang dicat warna pink ke meja kayu hitam di hadapannya. Matanya tidak lepas dari pintu lift yang terletak beberapa meter ke kanan di seberangnya, berharap benda itu akan menguak dan memperlihatkan wujud seseorang yang sudah lama ditunggunya.Ting!Suara dentingan lift menyadarkan Ulfa. Ia segera menegakkan badan dan berupaya mempertontonkan sikap profesional dengan senyum yang telah terlatih di bibirnya. Pintu pun terbuka dan seorang pria setengah baya sekaligus setengah botak memakai setelan bagus berwarna abu-abu menampakkan dirinya. Mau tidak mau Ulfa merasa kecewa luar biasa, tapi tetap mempertahankan wajahnya agar enak dilihat.“Selamat siang Pak Wira, ada yang bisa saya bantu?” Ulfa menyapa ramah begitu si pria sudah sampai di depan mejanya dan menoleh-noleh ke arah pintu hitam yang terletak persis dibelakangnya.“Saya ingin bertemu dengan Pak Orion. Ada yang mau saya bicarakan soal pengembangan hotel di kota sebelah. Beliau ada?” Wira ber