Nala sampai lupa berapa lama ia telah duduk bersila diatas Pendapa, bangunan tanpa dinding dengan 8 tiang - tiang kayu sebagai penyangga atap. Saat itu Nala dan teman - temanya sedang mendengar ocehan Mpu Merdah, seoarang guru sepuh yang mengajar di Padepokan Sagara, tempat pendidikan bagi para Taruna yang ingin bergabung menjadi kesatria Laskar Sagara.
Nala merasa pernah mendengar pelajaran yang sama sebelumnya, kisah sejarah tentang Mahapatih Werkudara sang pembebas pulau Sagara di masa lalu dan sosok pendiri Laskar Sagara ratusan tahun yang lalu. Dalam benaknya Nala bertanya - tanya apakah mungkin usia telah membuat Mpu Merdah pikun, atau memang gurunya itu kehabisan materi untuk diajarkan. Rasa bosan membuat mata Nala menerawang dan menengok keseberang pendapa, di sana, seorang kesatria Laskar Sagara sedang berdiri seperti sedang menunggu sesuatu.
Kesatria itu mengenakan zirah berbahan kulit keras sebagai atasan, kedua lenganya tersilang dihiasi gelang kuningan, rambutnya dicepol dan diikat oleh seutas tali kain berwarna merah, sementara kain longgar bercorak harimau melilit paha hingga lututnya, gaya berpakaian yang sama seperti penduduk asli di pulau itu minus pelindung zirah, perhiasan kuningan, dan tombak. Ya, kesatria itu juga tampak memegang sebuah tombak bermata besi.
Beberapa detik berselang, tiga orang Taruna yang lebih tua dari Nala terlihat berjalan keluar dari gedung asrama padepokan, sebuah bangunan yang berbahan kayu dan beratapkan ijuk hitam. Wajah para seniornya itu tampak sumringah saat mereka berjalan ditemani salah satu guru pengajar ke arah kesatria yang sedari tadi menunggu. Sang kesatria menyambut mereka yang datang dengan menangkupkan kedua tangan.
Dari pendapa, Nala dapat mendengar sayup-sayup suara yang keluar dari mulut si kesatria.
"Selamat bergabung, saudara!" ujar kesatria itu dengan suara gagah namun terkesan ramah. "Pertama, kalian ikut aku ke Madya Puri dan bertemu Mahapatih Sura untuk pembagian divisi."
Dipimpin oleh sang kesatria, ketiga Taruna kemudian berjalan mengikuti sampai keluar padepokan, tapi langkah mereka terhenti sesaat untuk mengucapkan terimakasih pada guru padepokan yang mengantar mereka, setelahnya, mereka berempat lalu melanjutkan berjalan menuju sebuah kereta kuda yang menanti di halaman luar.
Empat tahun lagi. Nala membatin, mata cokelatnya menerawang jauh, ia sudah tidak sabar untuk menginjak usia 15 tahun, saat ia lulus dari pendidikan taruna dan bergabung menjadi kesatria. Nala menebar pandangan kearah para Taruna lainya, mereka mengenakan kain batik sederhana yang dibentuk menyerupai celana dan bertelanjang dada. Masing - masing mengenakan sebuah kalung rudraksha yang terbuat dari biji buah jenitri, dan ikat kepala kain di kepala mereka. Tubuh mereka sangat kecil jika dibandingkan dengan kesatria laskar yang tadi berkunjung, dan sialnya, Nala adalah salah satu yang bertubuh paling kecil diantara Taruna sebayanya, sesuatu yang selalu membuatnya minder dan ragu akan masa depannya.
Nala lalu melihat kearah Mpu Merdah gurunya dan mencoba membayangkan sosok tua beruban yang mengenakan jubah berwarna kunyit itu semasa menjadi prajurit, tapi sepertinya itu hal yang sulit.
Mpu Merdah pasti menyadari ketidak fokusan Nala karena sedetik kemudian sebuah tongkat rotan mendarat di lenganya dan meninggalkan bekas merah yang samar pada kulitnya yang sewarna gula aren.
"Bagaimana kau bisa fokus saat bertempur jika sekedar duduk dan memperhatikan saja kau tak mampu bocah!" Mpu Merdah menegur dengan tajam. Suaranya menyayat layaknya burung gagak, ditatapnya Nala dengan mata abu - abunya yang mengerikan. Ia ingat saat pertama kali ia bergabung menjadi Taruna, tatapan itu hampir membuatnya menangis, tapi sekarang setelah bertahun - tahun, Nala sudah terbiasa.
Para Taruna lain tertawa sesaat, sesuatu yang pasti mereka sesali karena seketika sang guru berbalik melotot kearah mereka semua, "Bersimpatilah saat teman kalian terkena hukuman bukan sebaliknya!"
Setelah melewati beberapa jam lain yang membosankan sekaligus menegangkan, pelajaran itu akhirnya usai dan Mpu Merdah memerintahkan muridnya untuk membubarkan diri.
"Beristirahatlah anak - anak, kalian akan membutuhkan tenaga untuk latihan senjata nanti sore," ujar gurunya dengan senyum masam.
Seluruh Taruna serempak berdiri dan memberi hormat pada guru mereka, "Demi Nusa!" mereka berseru kencang, yang kemudian dibalas sang guru, "Demi Nusa!"
Pasca dibubarkan dan menghilangnya Mpu Merdah dari pandangan, Nala memperhatikan beberapa teman seangkatannya langsung bergegas menuju asrama untuk beristirahat, sementara beberapa Taruna yang lebih tua memilih untuk bermain adu jangkrik di taman. Sisanya berjalan kaki menuju desa - desa terdekat yang hanya berjarak beberapa menit dari padepokan mereka, pulang menuju tempat yang mereka sebut rumah.
Melihat Taruna lain yang berjalan keluar gerbang membuat Nala seringkali membayangkan bagaimana rasanya punya rumah sungguhan atau keluarga sungguhan. Ia dan ketiga sahabatnya, Giri, Janu, Umbara adalah anak yatim piatu yang dipungut dan dibesarkan oleh Laskar Sagara sebagai bentuk kepedulian Laskar pada masyarakat Sagara. Bagi Nala, hal yang paling mendekati rumah bagi mereka adalah padepokan ini, sosok yang paling mendekati ayah yang ia tahu hanyalah Mpu Merdah, sementara orang yang paling mendekati ibu adalah Darmi, wanita paruh baya yang mengepalai urusan dapur padepokan tempat mereka mengisi perut.
"Kau tak apa kawan? Pukulan guru tadi kedengaranya keras," tanya Janu, temanya yang berkulit gelap dan berambut ikal.
Nala menggeleng, "Salahku sendiri tidak memperhatikan pelajaran dengan baik, lagi pula guru sepertinya tidak begitu menyukaiku," jawabnya lesu, ia mungkin salah satu taruna yang paling sering merasakan kerasnya rotan Mpu Merdah. Nala memiliki firasat bahwa Mpu Merdah selalu membencinya karena postur tubuhnya yang kecil dan tidak menjanjikan sebagai kesatria, malah tubuh Janu lebih besar darinya, dan temannya itu lebih muda setahun.
Umbara, seorang Taruna bertubuh jangkung yang setahun lebih tua dari Nala dan kepala yang hampir tak berisi rambut berjalan mendekat. Melihat temanya itu, Nala jadi teringat dengan rambut hitam dikepalanya sendiri yang belum di potong dan sudah hampir melewati bahu.
"Sudahlah, jangan dipikirkan, tidak ada satupun dari kita yang benar - benar aman saat pelajaran Mpu Merdah, lagi pula sekarang kita punya waktu luang yang cukup lama," Umbara berujar.
"Sangat lama!" celetuk Giri tiba-tiba. "Kalian mau pergi ke Glora?" Ia melanjutkan menawarkan ide sambil menyeringai lebar. Mata hitamnya berkilat jahil, seringainya membuat Nala sedikit bergidik. Giri merupakan yang paling tua diantara mereka, matanya sipit dan kulitnya seputih pasir lautan. Giri juga merupakan yang paling cerdik dan usil diantara mereka, bahkan mungkin diantara seluruh taruna Padepokan.
Setelah mendengar usulan Giri, Umbara terkekeh, Nala paham apa yang ada di pikiran sahabat jangkungnya itu.
"Glora? kota itu sangat jauh, kita harus berjalan selama berjam - jam, dan saat kembali kita sudah pasti terlambat latihan perang, kita akan dihukum menjadi pekerja dapur jika sampai itu terjadi," ujar Umbara sambil menggeleng tak percaya.
Tapi Giri sepertinya tidak menghiraukan protes Umbara, ia mulai melangkah dan memberi isyarat agar yang lain mengikuti. Nala sempat ragu, tapi karena penasaran, ia akhirnya berjalan mengikuti, disusul Janu dan Umbara dengan langkah yang terseret di atas tanah kering.
Nala menyadari entah sekarang atau sebelumnya, mereka tanpa tersadar selalu mengikuti keinginan dan rencana rencana gila dari Giri, ia merupakan yang paling vokal di kelompok mereka dan mungkin sifat itulah yang sering membuat Mpu Merdah mengatakan bahwa Giri memiliki 'kualitas seoarang pemimpin'.
"Aku dengar akan ada sambutan kedatangan untuk Divisi Cakra, kalian tahu, mereka yang dikirim untuk mengalahkan para perompak Lanun," Giri kemudian berpaling dan berbicara dengan nada yang lebih tinggi, "Mereka juga akan mengarak kepala perompak yang berhasil dikalahkan!"
Mendengar itu Nala sedikit bergidik, ia tidak begitu yakin dengan kepala para perompak, ia tidak begitu tertarik dengan kepala puntung yang membusuk. Namun dalam hatinya ia juga sudah lama ingin berkunjung ke kota Glora. Selama ini ia hanya mendengar tentang kota itu dari cerita orang lain, ia ingin melihat sendiri kapal kapal layar Sagara yang terkenal, bagaimana bentuknya dan seberapa besar kapal kapal itu. Nala ingin melihat kota terbesar di seluruh Sagara, ditambah ia juga ingin melihat barisan pahlawan yang mengalahkan para perompak.
"Tapi Glora kan sangat jauh dari sini, masa kita harus jalan kaki?," Nala pada akhirnya bertanya.
Giri memutar bola matanya yang kecil, "Aku juga tidak sudi kalau jalan kaki. Nala, kita akan menumpang, secara diam - diam."
Seketika Nala merasa antusias, "Jangan bilang kita akan menumpangi kereta yang dikusiri Darsam?"
Giri mengangguk.
Darsam adalah salah satu kusir kuda di Padepokan, pria paruh baya itu memang sering pergi Glora saat siang hari, Mpu Merdah biasa memintanya untuk membeli beberapa keperluan, dan kota pelabuhan itu menawarkan pilihan barang yang beragam. Padepokan mereka sebenarnya punya beberapa kereta angkutan lengkap dengan kusir, tapi Darsam adalah yang paling mudah dikibuli.
Beberapa menit kemudian Nala dan sahabatnya telah sampai di halaman tempat dimana semua kereta angkutan diparkir. Kereta - kereta itu di tarik masing masing oleh 2 ekor kuda, salah satu kereta nampak nyentrik, gerobaknya di cat warna warni dan hiasan lonceng terpasang di kedua kuda, kereta unik itu milik Darsam, sekaligus tumpangan mereka menuju Glora. Nala, Janu, dan Umbara perlahan mendaki gerobak kereta dan langsung menutupi diri dengan kain bersembunyi, disisi lain Giri berjongkok dibelakang gerobak sembari memantau Darsam yang sedang bergurau dengan kusir lain, setelah beberapa menit berselang Nala dapat mendengar Giri yang mendaki keatas kereta, "Dia datang!" bisiknya lalu bergabung dengan yang lain meringkuk di bawah kain disusul suara seseorang yang menaiki kursi kemudi.
Kereta angkutan itu kemudian bergerak disertai gemerincing nyaring lonceng kuda, Nala mengintip dari balik terpal, Darsam si kusir, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal dan memakai ikat kepala batik sedang bersiul sambil memegang kendali kuda, dalam sekejap kereta angkutan itu telah keluar dari Pendopo, dan mengarah ke barat. Setelah beberapa beberapa puluh menit kereta bergerak dan bergemerincing Nala dan teman - temanya memutuskan untuk menyingkap kain yang menyelubungi mereka.
"Terimakasih paman Darsam!" Giri berteriak dengan senang ditengah deru kereta, sang kusir terperanjat dari tempat duduknya, ia hampir saja membuat kereta itu terjungkal, "Tidak! Tidak!" Darsam menggeleng pasrah lalu menatap para taruna dibelakangnya satu persatu. "Kalian lagi! Aku akan membawa kalian kembali sebelum Mpu Merdah membunuhku, kalian tahu para taruna tidak diizinkan keluar jauh tanpa pengawas!" Darsam bersungut sungut.
Nala memperhatikan Giri yang memanjat kearah bangku kusir, ia kemudian duduk di sebelah Darsam dan merangkul bahu kusir yang marah itu, "Tenanglah paman, kami hanya ingin jalan jalan ke Glora, lagi pula paman pasti butuh bantuan dengan barang barang yang perlu diangkut nanti. " temanya itu mencoba bernegosiasi. Darsam tampak berfikir sembari mengelus kumis tebalnya, ia bolak balik melihat kearah para taruna, "Bagaimana kalian tahu aku menuju Glora?" Tapi Darsam kemudian menggeleng, "Bagaimanapun itu tidak penting, tetap saja, kalian tidak mendapat izin dari Mpu Merdah, ya kan?"
"Guru tidak perlu tahu paman, turunkan saja kami nanti sebelum memasuki Pendopo, dan kita semua bebas dari masalah." Giri berusaha membujuk, ia terdengar begitu yakin.
Darsam kembali mengelus kumisnya, walau tampak kesal ia sepertinya menimbang tawaran Giri, "Baiklah, tapi jaga sikap kalian disana, aku tidak sudi jadi pengasuh kalian...dan ingat kalian harus membantuku membawa barang belanjaan."
Nala dan yang lain berteriak setuju dan dengan persetujuan itu, kereta angkutan mereka melaju terus kearah kota yang jauh ditengah terik matahari yang meninggi. Nala melihat kembali kebelakang, Padepokan Sagara beserta desa - desa sekitarnya perlahan semakin jauh hingga tak lebih dari titik - titik kecil di horizon, begitu juga dengan Hutan Vanara yang misterius terlihat seperti lautan berwarna hijau dari posisinya sekarang.
***
Perjalanan itu ternyata tidak semulus yang Nala bayangkan, entah perasaanya saja atau memang Darsam dengan sengaja berusaha membuat mereka tidak nyaman. Kereta itu bergemerincing selama hampir 3 jam. Setelah melewati satu lagi tikungan dan menembus sebuah aliran sungai dangkal, Nala dapat mencium bau lautan yang khas dan benar saja, beberapa menit kemudian kota Glora terpampang jelas dari posisi mereka sekarang, sebuah kota besar yang dipenuhi bangunan berbagai ukuran, rumah rumah berbahan bata dan kayu yang saling menghimpit, serta tembok pembatas kota berwarna merah cerah yang menjulang dihiasi gapura berukir megah.
Perhatian Nala kemudian terpaku semakin dekat kearah bibir pantai, disana, berjejer puluhan kapal dengan layar terikat, seperti halnya bangunan di Glora, kapal - kapal itu juga memiliki berbagai ukuran, mulai dari besar, kecil, sampai kapal bobrok milik para nelayan penangkap ikan yang terombang ambing mengikuti ombak.
"Kau melihat kapal kapal itu seperti melihat sesosok Dewa, Nala," ujar Giri di depanya disusul tawa cekikikan Janu dan Umbara terdengar disebelahnya tapi Nala tidak berusaha menyembunyikan kekagumanya, "Kalian kan tahu aku ingin sekali pergi berlayar, aku penasaran dengan apa yang ada dibalik lautan, aku ingin melihat pulau lain, kerajaan lain, bahkan dunia berbeda diluar Kepulauan Nusa."
"Pertama kau harus selesaikan dulu masa tarunamu nak, sayangnya, dengan membajak keretaku membuat peluangmu dan temanmu semakin minim," Darsam mengejek dari balik kemudi dan terkekeh.
Giri menoleh kearah Darsam dan memukul bahunya pelan, Nala bisa melihat wajah temanya yang sedang cemberut, "Kau seharusnya memutar balik sejak tadi paman, tapi kenyataanya paman membiarkan kami, dan jika kami mendapat hukuman maka paman juga pasti kena."
Darsam mengumpat, ia memang sedikit bodoh walau perawakanya terkesan galak. Si kusir kemudian mengarahkan kereta mendekati gapura yang dijaga oleh beberapa prajurit, mereka mengangguk ramah kepada Darsam lalu menatap heran kearah Nala dan yang lain. "Mpu Merdah meminta kami membantu paman Darsam," ujar Giri tiba tiba, seperti biasa ia begitu cekatan mencari alasan.
Para prajurit Laskar itu tertawa, mereka mengatakan sesuatu tentang tulang Darsam yang keropos dan apakah Darsam sudah mulai tua untuk mengangkat barang bawaanya sendiri disusul Darsam yang ikut berkelakar membalas mereka. Nala disisi lain tidak menghiraukan, pandanganya tersita oleh hiruk pikuk keramaian kota yang jarang dilihat olehnya, ia melihat para pedagang menurunkan muatan dari kapal, ia melihat para wanita sedang memilah kain sutra di sebuah toko, sekumpulan anak kecil yang melompat lompat bermain engklek, dan disana, dibawah warung yang menjual ikan segar, sekawanan anjing kampung mengendus tanah serta mengunyah tulang tulang sisa.
Kereta mereka lalu berhenti di depan salah satu bangunan yang dipenuhi keranjang berisi cabai, berbagai jenis bawang, dan kemiri. Darsam menyuruh mereka semua turun dan menunggu sementara ia memasuki sebuah warung ramai penjual rempah. Tentu saja Nala tak ingin menunggu, dan ia rasa yang lain juga sama. Beruntung baginya melihat Umbara yang tiba - tiba menunjuk ke ujung jalan, dimana orang - orang sedang berkerumun, "Itu pasti kapal layar milik Divisi Cakra," suara Umbara melengking bersemangat.
Umbara berlari, disusul Giri yang berteriak, "Tunggu!" Dan Janu yang menempel dibelakangnya sementara Nala berlari paling akhir. Mereka berlari menuju kerumunan itu, dan dalam sekejap mampu menerobos menuju barisan paling depan.
Nala memperhatikan sekelilingnya, orang orang berteriak dan bersorak sorai sembari mengibarkan bendera bermotif harimau bermahkota, lambang Laskar Sagara. Dari atas kapal layar yang megah, puluhan kesatria Laskar Sagara turun beriringan, mereka tampak gagah mengenakan baju zirah dari kombonasi kulit dan baja. Mereka memegang berbagai macam senjata, yang paling menarik adalah masing - masing memiliki sebilah keris yang diselipkan di depan pinggang, sebuah senjata dari campuran logam bertakhta batu mulia.
"Lihat, itu para perompak yang dikalahkan! diatas kapal!" ujar Janu tiba tiba menunjuk kearah atas kapal.
Nala memperhatikan kearah yang ditunjuk, beberapa prajurit lain sedang berjalan turun dari dek kapal, para kesatria itu kemudian mengangkat tinggi tombak mereka, dan di ujung masing masing tombak tertancap sekumpulan kepala manusia yang mengenaskan. Warga kembali bersorak girang saat melihat pemandangan tersebut.
Salah satu kesatria tampak berbeda, ia mengenakan zirah yang diukir dengan berbagai ornamen hiasan, pelindung kepalanya dilepas dan ditenteng, ia mengenakan sebuah hiasan kepala sederhana berbahan kuningan yang hanya boleh dipakai oleh para Patih Laskar Sagara, di pinggangnya juga terselip sebilah keris yang nampak berbeda dari yang lain, lebih mewah, lebih indah, seakan memancarkan aura yang membuat siapapun menaruh hormat pada pemiliknya.
"Itu Patih Mada, pemimpin Divisi Cakra! " ujar Nala dengan semangat. Dibelakang Patih Mada, Nala melihat seorang kesatria lain yang tampak lebih ramping dari yang lain, ia membawa busur panah berwarna kemerahan, dengan luka goresan yang tampak jelas di mata kananya, "Dan itu pasti tangan kanan Patih Mada, si pemanah ulung, Lyong!"
"Aku ingin mendapat sorakan seperti ini saat menjadi prajurit." Nala mendengar suara pelan Giri disebelahnya, ia belum pernah melihat temanya bengong seperti itu, "Kau seperti melihat Dewa," ejek Nala.
Giri mengangguk, masih terpaku pada para kesatria, "Bukanya mereka memang seperti Dewa, maksudku, para prajurit Laskar kan tidak bisa dikalahkan, mereka bahkan tak bisa dilukai!" Mata temanya itu tampak berbinar. Memang, kekuatan yang di dapat kesatria Laskar dari air suci beringin tua membuat kemampuan mereka melebihi manusia normal, tapi tidak ada yang pernah bilang kalau para kesatria tidak bisa mati, bahkan Mpu Merdah juga tidak pernah mengatakan hal seperti itu.
Setelah semua pasukan dan trofi kepala mereka turun, beberapa pejabat datang menghampiri mereka, dari sekian pejabat, Nala hanya mengenali Mpu Kanda sang Mantri perdagangan yang gendut sedang berbincang akrab dengan Patih Mada. Sepasang tangan berbulu tiba - tiba menarik bahu Nala dan Giri, ia dan kawanya terhempas kebelakang kerumunan, sementara Janu dan Umbara berteriak menyusul mereka. Darsam rupanya, ia terlihat... khawatir, "Apa yang kalian pikirkan, ini kota besar, kalian bisa tersesat," sesaat suara Darsam terdengar perduli. Namun perlahan ia memasang wajah jengkel lalu berteriak marah, ia kemudian mengoceh tentang perjanjian sebelumnya, dan niatnya untuk meninggalakan mereka di Glora. Kusir itu lalu memaksa mereka kembali menuju kereta.
Saat perjalanan mereka kembali, Nala dan yang lain melewati ruas jalan yang kini sepi dan hanya dipenuhi sekawanan anjing liar yang tadi mengais sisa - sisa makanan, sesuatu menarik perhatianya, ia melihat kearah sebuah gang sempit. Beberapa orang sedang berbincang disana. Nala melihat salah satu merupakan seorang kesatria, tidak, bukan kesatria tapi seorang Patih yang sedang berdiri di antara tumpukan papan kayu. Nala bisa mengenalinya dari pakaian khas yang hanya dikenakan para Patih, dua orang berjubah dan berkerudung coklat juga berdiri disana, mereka tampak sedang berseteru, Nala tergoda untuk mendekat dan memberi salam pada Patihnya, tapi sesaat kemudian ia melihat Patih itu memegangi leher salah satu pria berjubah seakan hendak mencekik.
Teriakan Darsam yang kini sudah jauh didepan membuatnya tersentak, Nala menoleh, dilihatnya Giri juga melambaikan tangan memanggil. Nala menoleh kembali kearah gang sempit itu namun tak ada siapapun disana, hanya sebuah gang kosong dengan tumpukan papan kayu yang keropos
***
Sebuah pohon beringin raksasa berdiri tegap di atas bukit, dahan dan rantingnya terbentang lebar seakan membentuk payung raksasa ditegah hamparan ilalang dan semak belukar. Saking besarnya, batang beringin itu sampai menutupi sebagian altar kuno yang didirikan di depanya. Mada sedang menikmati waktunya, duduk santai sambil bersandar di batang pohon beringin yang besarnya hampir menyamai rumah tempat tinggalnya itu. Mada baru saja kembali dari tugas resmi keluar pulau dan bahkan belum sempat mengganti baju zirahnya yang terkena noda darah, tapi setidaknya Mada telah melepas pelindung kepala besi yang dipakai dan membiarkan rambutnya yang hitam pekat sepanjang bahu berkibar diterpa angin sepoi. Ia menarik nafas dalam, Patih itu dapat mencium aroma khas dari dupa dan kemenyan persembahan yang diletakan pada altar disebelahnya, juga aroma dedaunan kering dan lumut yang menempel disana, bersantai di bawah naungan beringin keramat itu meru
Mahapatih Sura tidak menunjukan raut wajah ramah seperti biasa, malam itu ia sedang duduk disebuah kursi kayu jati di dalam Gedong Saddharma yang diterangi cahaya obor. Berkumpul diruangan itu adalah para Patih yang sedang duduk berjejer di sebelah kanan meja berbentuk persegi panjang, sedangkan disisi meja yang berlawanan, duduk dalam diam, seorang Dyaksha tua yang selalu membisikinya nasihat dan wejangan. Siang tadi ia telah menerima surat dari wilayah perkampungan di timur, pedesaan Yawi tepatnya. Tempat dimana sebagian beras di pulau Sagara ini berasal. Patih Taksha rupanya berhasil menangkap pencuri berantai yang telah meresahkan penduduk timur selama berminggu - minggu. Sura merasa senang, tentu saja, seorang kriminal berhasil tertangkap. Namun disisi lain ia juga khawatir, ini sudah kesekian kalinya anggota Laskar mengangkap penjahat entah itu pencuri, pemerkosa, atau pembunuh dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Dahulu mereka biasanya hanya menangk
"Ratu! Ratu!" Seorang pria berusia 50 tahun berteriak dan berlari melintasi lorong yang dinding - dindingnya dihiasi relief berbagai macam bentuk. Kain tenunan yang ia kenakan sebagai bawahan berkibar seiring langkah cepatnya sementara hiasan emas yang melubangi daun telinganya bergoyang seiring kepalanya yang celingukan. Pria itu menuju sebuah taman yang ada disebelah bangunan berbentuk stupa kemerahan setinggi 4 meter. Taman itu bermandikan cahaya dan dipenuhi tanaman bunga warna warni, terlihat jelas mereka yang tinggal istana itu benar - benar memberi perawatan yang terbaik. Maharatu Nattari Amerta melirik pria itu dari jauh. Dia mengenali sosok pria tersebut, seorang Dapunta mereka biasa memanggilnya, sebuah jabatan di Kedatuan Malingga yang berfungsi sebagai tangan kanan penguasa, Dapunta itu bernama Vishaka Amerta, yang juga adalah paman dari Maharatu Nattari. Tapi Maharatu pura - pura tidak menden
3 hari telah berlalu sejak rapat terakhir para Patih, selama 3 hari pula Taksha telah menanti saat dimana ia pada akhirnya akan mengeksekusi Bapu si pencuri. Patih berambut hitam pendek dan kumis tipis itu sudah tidak sabar mengayunkan pedangnya dihadapan penduduk Yawi yang akan menyorakan namanya, dan para penjahat yang akan meringkuk ketakutan setiap mendengar namanya. Taksha telah mengatur segala persiapan untuk memindahkan Bapu dari Madya Puri menuju Yawi, juga mengirimkan seekor elang pembawa pesan pada pasukan divisinya di sana, semua berjalan dengan baik sampai - sampai ia melupakan masalahnya dengan Patih Mada temanya. Taksha belum pernah berbicara dengan Mada sejak perdebatan terakhir mereka di Utama Puri, ia bahkan tidak pernah melihatnya lagi sejak kemarin, sekali ia mendatangi Lyong, wakil kepercayaan Mada, namun kesatria itu mengatakan Patih nya sedang menuju kota Glora entah untuk alasan apa, sangat disayangkan jika sampai Mada mengabaikan kehormatanya
Lantai yang dilapisi marmer warna - warni, tembok putih yang tertutup permadani terbaik, deretan jendela raksasa yang menghadap taman istana di satu sisi sementara pemandangan Teluk Malka disisi yang lain, aula utama yang berada di dalam istana Malingga merupakan sebuah ruangan besar yang akan membuat mata siapapun terbelalak. Di dalam aula yang disusupi cahaya matahari sore tersebut, Dapunta Vishaka duduk di sebuah kursi jati yang dihiasi kain beludru, sebuah kursi yang telah ia duduki selama puluhan tahun menjadi Dapunta, tangan kanan kepercayaan Raja dan Ratu Kedatuan Malingga. Ia memandangi sebuah singgasana yang berjarak beberapa jengkal disebelahnya, terletak diatas lantai yang lebih tinggi sesuai dengan kedudukan orang yang bertakhta di atasnya, berhiaskan ukiran dari perak yang berkilau dan batu giok yang indah. Singgasana yang diperuntukan bagi Maharaja Malingga...atau Maharatu khusus beberapa tahun belakangan. Dihadapanya sedang berlutut seorang pria, sosok
Tradisi, kehormatan, harga diri, semuanya tak berarti apa - apa di kota seperti Glora, itulah yang selalu ada dalam benak Patih Mada setiap ia berkunjung ke kota dagang tersebut. Mada baru saja datang dari arah Madya Puri dan memasuki kota itu melewati gapura timur. Langkahnya mengarah langsung menuju bagian kota mengenaskan yang bernama 'Distrik Pelesir'. Mada saat itu menyamarkan dirinya dengan sebuah jubah lapuk lengkap dengan kerudung, ia juga menanggalkan atribut Patihnya dan hanya menyisakan keris yang terselip di pinggang untuk jaga - jaga.Sebagai seorang patih yang terhormat Mada tak ingin terlihat berada di kawasan itu, kawasan yang berbanding terbalik dengan ajaran dan prinsip Laskar Sagara.Rumah bordil, warung - warung minum, para pedagang arak dan tuak bertebaran kemanapun matanya memandang, sementara udara dipenuhi aroma alkohol dan wangi pembakaran kemenyan , dulunya Laskar Sagara melarang adanya tempat - tempat kotor seperti itu, namun Patih Gura
Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran
Arak - arakan kremasi sedang berjalan menuju Setra, sebuah lapangan luas yang berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat para kesatria yang gugur. 3 mayat kesatria yang tewas di hutan Vanara ditempatkan dalam wadah dari bambu lalu digotong oleh puluhan kesateria lain. Mahapatih Sura ada diantara puluhan manusia yang mengiringi, ia berjalan paling depan bersama Mpu Mudita sang Mantri Keagamaan dan para pendeta lain. Rombongan berjalan dari Utama Puri menuju Setra yang ada di pinggir Madya Puri, sepanjang perjalanan mereka ditonton oleh para penduduk yang berduka. Sesampainya rombongan di Setra, mayat para kesatria langsung ditempatkan berjejer diatas gundukan kayu, Mpu Mudita dan para pendeta langsung memimpin ritual, mengucapkan mantra - mantra kuno untuk mempermudah perjalanan roh para mendiang menuju Satyaloka disaksikan oleh kesatria lain yang kini duduk bersila diatas padang rumput yang kering. Sura menyaksikan prosesi ritual itu dengan pik