Wajah Abi Rahmat tampak memerah, menahan geram akan ulah putra kesayangannya, yang sudah berani melanggar perintah agama.
Apalagi dirinya dan sang istri, sudah sangat memberikan penjelasan sedetail mungkin tentang hukum halal dan haram kepada putra putrinya. Bahkan Juun sempat bersekolah di pondok pesantren selama 4 tahun lamanya, jenjang Diniyah dan Tsanawiyah. Saat Aliyah saja dirinya bersekolah di luar negeri, yakni Tokyo - Jepang karena mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar dari bupati setempat."Tolong jelaskan pada Abi, apa maksud dari perbuatan kalian barusan?" Tanya Abi Rahmat, memulai pembicaraan, menatap tajam kearah Juun, yang menundukkan kepalanya, malu kepada keluarganya karena dirinya telah mencoreng nama baik keluarga. Meskipun tidak sampai berbuat yang tidak-tidak, namun tetap saja, berhasil membuat malu dirinya sekeluarga yang di kenal taat dalam agama."Maaf, Abi," ucap Juun lirih, menyesali perbuatannya yang mudah terbawa suasana."Kenapa kamu melakukannya?" Tanya Abi Rahmat kecewa. Bahkan lelaki paruh baya itu, mengusap wajahnya, resah."Aku menyayanginya, Abi," sahut Juun lirih, semakin menundukkan wajahnya.Sementara Nami, hanya mampu membisu, karena selain malu, dia juga bahagia mendengar ucapan dari pujaan hatinya. Nampak pipinya merona, namun tidak mampu berkata-kata di situasi saat ini."Jika kamu memang menyayanginya? Kenapa kamu berbuat seperti itu?" Tanya Abi Rahmat kembali."Sayang, tidak seperti itu, nak. Sayang itu menjaga, bukan merusakkan..." Abi Rahmat nampak menarik nafas dalam-dalam, berharap sesak yang melandanya, mampu teruraikan. "Dalam agama kita, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, haram hukumnya bersentuhan. Kamu tahu kan akan hal itu?" Lanjutnya. Yang di sambut dengan anggukan kepala oleh Juun."Lalu kenapa masih kamu lakukan???" Tanyanya kembali dengan geram. Ingin memukul, guna mengajari, namun yang di pukul sudah terlalu tua. Tidak seperti saat Juun berusia 7 tahun, dimana sang ayah akan memukul kaki anaknya, jika meninggalkan shalat."Maaf, Abi. Ananda bersalah, karena sudah terbawa suasana sehingga berbuat dosa seperti ini. Ampuni ananda, Abi?" Pinta Juun sembari berdiri di atas lutut, lalu mendekati kedua orang tuanya, dengan berlinang air mata. Mencium takzim tangan ayah dan ibunya bergantian. Tulus memohon maaf kepada keduanya, karena merasa sangat bersalah.Nampak Abi Rahmat, memalingkan wajahnya, namun diam saja saat tangannya di cium sang putra. Sedangkan Ummi Fatimah, malah menangis tersedu-sedu. Tak lupa mengelus kepala Juun dengan penuh kasih sayang."Iya, sayang ... Sholeh nya Ummi, kamu sudah kami maafkan. Namun Ummi mohon, jangan lakukan lagi ya, nak? Taubat lah kamu dengan taubatan nasuha." Sahut Ummi Fatimah, saat Abi Rahmat nampak bergeming."Iya, Ummi," sahut Juun, mencoba tersenyum, meskipun air matanya mengalir."Ya sudah, sekarang, sebaiknya kamu shalat Sunnah Dhuha. Nanti waktunya keburu habis. Setelah itu, temui Ummi, ada yang mau Ummi bicarakan denganmu, penting!" Lanjut Ummi Fatimah."Iya, Ummi," sahut Juun, lalu berdiri. Setelahnya berlalu meninggalkan mereka semua. Untuk menunaikan ibadah shalat Sunnah Dhuha.Sementara Nami, hanya mampu menundukkan wajahnya. Takut, bingung, gelisah, bercampur jadi satu. Tangannya saling meremas satu sama lain. Ingin ikut menyusul Juun, namun takut jika di marahi kembali. Akhirnya dirinya hanya mampu duduk diam di sana.Abi Rahmat nampak berdiri, kemudian memberi isyarat kepada adiknya serta iparnya untuk meninggalkan ruangan. Merekapun meninggalkan ruangan setelah mendapat komando seperti itu.Sementara Namira, hanya bersedekap di dada, merasa senang karena saingannya di marahi oleh paman dan bibinya. Meskipun mereka bukan paman dan bibi kandungnya, tapi dia sudah menyayangi mereka seperti paman dan bibinya sungguhan. Namun dirinya juga berharap, jika hubungan mereka akan berubah menjadi mertua dan menantu.Ya, Namira jatuh cinta pada Juun sejak dirinya masih belia. Apalagi saat dirinya tahu, jika mereka tidak satu nasab. Dalam artian, karena Namira adalah Putri bawaan dari istri pamannya Juun alias adik kandung Abi Rahmat. Rahman adik Rahmat menikahi Rumaisyah yang seorang janda beranak satu, yakni Namira Khairunnisa. Sedangkan dari pernikahan keduanya, tidak memperoleh keturunan seorangpun. Meskipun status Namira hanya anak tiri, namun Rahman sangat menyayanginya seperti putri kandungnya sendiri.Nampak Ummi Fatimah berdiri, lalu berjalan mendekati Nami yang masih menunduk. Kemudian Ummi pun duduk di kursi bekas yang Juun duduki sebelumnya."Namira!" Panggil Ummi, sembari melirik ke belakang."Ya, bibi." Sahut Namira. Kemudian berjalan mendekati sang calon mertua khayalannya."Kenapa bibi?" Tanya Namira lembut, berusaha menarik simpati dari beliau."Bisa tinggalkan kami berdua?" Pinta Ummi dengan lembut."Oh, baik, bi!" Sahut Namira, merasa kecewa. Padahal dirinya berharap bisa mendengarkan Omelan Ummi Fatimah kepada saingannya itu. Namun karena ummi Fatimah sendiri sudah menyuruhnya pergi, maka dengan sangat terpaksa diapun meninggalkan keduanya.Setelah kepergian Namira, Ummi Fatimah langsung mengelus kepala Nami, sehingga membuat gadis itu mendongakkan wajahnya, menatap Ummi Fatimah dengan heran. Nampak terlihat jika, air mata menggenangi pipinya yang putih, bahkan hidungnya nampak memerah."Maaf, semoga kamu mengerti ucapan saya." Ucap Ummi pelan. Dirinya tadi malam sudah mengetahui jika Nami sedikit demi sedikit mulai belajar bahasa Indonesia. Jika diajak berbicara dengan perlahan, gadis itu akan mengerti. Namun jika diajak bicara cepat, gadis itu tidak akan mengerti."Ian ... Maksud saya, Juun." Ralat Ummi Fatimah saat melihat Nami nampak masih bingung dengan nama panggilan yang dia sematkan kepada putranya. Namun kemudian terlihat mengerti, setelah mendengar kelanjutan ucapannya."Dia putra saya yang dulu pernah bercita-cita menjadi seorang dokter anak. Qodarullah, Allah mengijinkannya mencapai cita-cita tersebut. Kata Ian, maaf, maksud saya Juun, bilang kalau kalian berdua adalah dokter anak residen di Tokyo hospital. Benar?""Benar," sahut Nami. Belum mengerti arah pembicaraan."Alhamdulillah," ucap ummi Fatimah penuh syukur. Beliau pun tersenyum lembut penuh keibuan.Tangan Ummi Fatimah pun turun ke lengan kanan Nami, lalu menggenggamnya erat."Maaf, jika Ummi lancang berkata seperti ini kepadamu. Juun, Ummi didik dengan pemahaman agama Islam yang benar. Namun yang Ummi lihat, dia mulai sedikit berubah." Lanjut Ummi Fatimah berhati-hati."Maaf, Ummi tidak bilang, jika kamu penyebabnya. Ummi hanya mengatakan dia mulai berubah, mungkin ini adalah kesalahan Ummi sendiri yang terlalu mengekang anak. Namun percayalah, jika semua itu demi kebaikannya juga." Lanjut Ummi, saat dilihat Nami nampak ingin menyela. Namun kembali bungkam."Kamu gadis yang baik, santun, juga sopan. Jujur, Ummi menyukai kepribadianmu. Ummi merestui hubungan kalian, jika memang kalian berjodoh. Namun untuk saat ini, sebaiknya kalian saling berbenah diri terlebih dahulu, agar kalian tidak menyesali keputusan kalian nanti.""Ummi cuman berpesan satu hal kepadamu, jika kamu memang mencintai putra Ummi, tolong, jangan masuk ke dalam agama Islam jika niatmu untuk makhluk. Namun, masuklah ke dalam agama Islam, jika niatmu karena Allah" Lanjut Ummi, menutup penjelasan, sembari tersenyum lembut."Baik," sahut Nami, sembari menganggukkan kepalanya, meskipun dia belum mengerti sepenuhnya akan penjelasan yang ummi Fatimah berikan."Boleh saya bertanya, Ummi?" Tanya Nami."Silakan, nak,""Maksudnya masuk Islam karena makhluk, itu apa ya? Terus, karena Allah, itu juga apa?" Tanya Nami menyuarakan pertanyaannya.Ummi Fatimah langsung tersenyum mendengarnya, merasa yakin dengan keputusannya yang menyukai gadis di sampingnya ini."Maksudnya adalah, masuk Islam karena makhluk itu, artinya karena mempunyai niat terhadap seseorang, misal niat ingin bersama atau bisa menikah dengan orang yang di cintai. Dalam hal ini, misalkan kamu masuk Islam karena rasa cintamu kepada dia. Lalu, maksud dari karena Allah adalah, kamu memeluk agama Islam karena kamu yakin dari hatimu yang paling dalam, jika agama Islam adalah agama yang paling benar dan kamu yakin akan adanya Allah Subhana hu wata'ala sebagai Rabb-mu. Kamu mempercayai-Nya dan bersedia beriman kepada-Nya, serta bersedia menaati semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya." Ucap Ummi menjelaskan. Nami pun menganggukkan kepalanya tanda mengerti."Baik, saya mengerti, Ummi. Berarti, saya akan pulang ke negara saya. Semoga kami berdua benar-benar berjodoh. Saya sangat mencintai putra Ummi. Maaf, jika saya sudah bertindak lancang padanya, sehingga membuat keluarga Ummi, marah padanya.""Tidak apa-apa, Sholehah. In syaa Allah, Abi dan yang lainnya akan mengerti. Terimakasih karena sudah mencintai putra Ummi sedalam itu. Terimakasih, sayang." Sahut Ummi sembari tersenyum lembut."Ummi doakan, semoga yang terbaik dari Allah untuk kalian berdua. Aamiin aamiin aamiin ya rabbal a'alamiin." Lanjut Ummi.Nami pun ijin masuk kedalam kamar Aisyah guna berberes, lalu tanpa menunggu lama, diapun bergegas keluar, menemui Ummi Fatimah yang masih berada di posisinya semula. Bertepatan dengan itu, Juun nampak berjalan menghampiri keduanya. Dirinya nampak heran, saat melihat Nami menggeret kopernya."Kamu mau kemana, Nami-chan?" Tanya Juun bingung, seraya menatap lekat kearah koper milik Nami."Aku mau pulang, Juun." Sahut Nami sembari tersenyum manis. Membuat Juun semakin kebingungan. Pasalnya, sebelumnya mereka baru saja kena marah Abi, sekarang terlihat Nami ingin pulang. Membuat pemuda itu bertanya-tanya."Kenapa?""Tidak apa-apa, aku hanya ingin membenahi diri, agar aku layak bersanding denganmu." Sahut Nami tanpa menghilangkan senyumnya."Maksudnya?""Aku menyukaimu, kamu tahu itu kan. Karena itu, aku ingin berbenah agar layak untuk mendampingi mu." Jawab Nami lugas."Saya Permisi, Ummi." Ucap Nami, mengalihkan pandangannya kearah Ummi Fatimah, kemudian mencium punggung tangannya dengan takzim, yang di balas usapan lembut di kepalanya. Kemudian meninggalkan keduanya, saat mengetahui, jika taxi yang dia pesan telah tiba di depan."Tokyo, I'm home!" Gumam Nami lirih, seraya mengusap air matanya yang kembali berjatuhan. Lalu berusaha tegar, meski hatinya teriris. Namun dia berusaha menerima semuanya. Karena memang dirinya merasa bersalah, juga berbeda dari pria yang dia cintai.Taxi itupun meninggalkan halaman depan rumah Abi Rahmat, tak lama setelah Nami masuk kedalamnya.POV JuunAku tidak menyangka hal ini akan terjadi.Gadis yang ku cintai, terpaksa pergi meninggalkan ku.Semua ini karena kesalahanku yang suka terbawa suasana, jika sudah bersamanya.Gadis supel nan periang, yang selalu mewarnai hari-hari ku selama 7 tahun ini, akhirnya terpaksa kembali ke negaranya dengan sejuta luka dan tangis, akan ketidakberdayaan ku. Pemuda culun nan bodoh.Meskipun awalnya, aku tidak memiliki rasa sedikitpun dengannya, namun melihat keceriaan dan kebaikan yang selalu dia tawarkan, di kala gundah ku, akhirnya membuatku mencintainya, meskipun aku tau, jika untuk bersamanya, akan banyak rintangan yang menghadang.Apalagi, aku tau, jika kedua orang tua ku, tidak mungkin memberikan restu, jika keadaan kami masih senantiasa berbeda seperti ini."Ian!" Panggil Ummi sembari menyentuh pundak ku. Membuatku tersentak dari lamunan."Iya, Ummi," sahutku lembut, seraya tersenyum pada beliau. Karena mau bagaimana marahnya aku, tetap aku tidak mampu menyakiti surgaku ini. Karen
POV JuunBaru satu hari Nami pulang ke negaranya, aku sudah merasa seperti satu tahun lamanya.Kangen...Aku rindu padanya.Membuatku jadi teringat obrolan dengan sahabatku Ryu di waktu dulu. Saat dirinya ditinggalkan oleh Devina pergi begitu saja, tanpa jawaban, setelah dirinya melamar.Yang tentu saja sempat ku ledek, ketika melihat wajah frustasi dari sahabatku kala itu. Padahal dia sempat berkata, jika Devina sebelum kepergiannya waktu itu, sempat berkata jujur, jika dirinya juga mencintai sahabatku itu.Flashback on"Hei, kamu baik-baik saja?" Tanyaku pada Ryu yang ku lihat asyik meneguk minuman beralko**l di club, tanpa merespon ucapanku sedikit pun, bahkan dirinya juga tidak merespon saat ada seorang wanita berpakaian sek** menggodanya."Pergi kamu, dasar jal***! Aku benci wanita jal***!" Makinya kesal, mendorong tubuh wanita itu yang duduk di atas pangkuannya.Alunan musik terdengar begitu memekakkan telinga. Membuat telingaku menjadi pengang, apalagi saat melihat di sekitar, o
Setelah selesai membantu Ummi dan Aisyah yang berkemas, karena sebentar lagi mau pulang ke pesantren, aku pun bergegas menemui Namira, karena penasaran ingin tahu apa yang mau dia bicarakan. "Adek mau ngomong apa?" Tanyaku pada Namira, yang duduk di kursi. Membuat gadis itu menoleh ke arahku sebentar, kemudian menundukkan wajahnya kembali."Hmmm ... Itu bang, Mira mau nanya? Tapi Abang jangan marah ya?" Ucap Namira malu-malu. Bahkan dirinya menggoyangkan bahunya, membuat keningku berkerut heran. Tetapi enggan bertanya."Tanya saja?!" Sahutku cepat-cepat ingin menghentikan diskusi ini."Hmmm ... Mira ingin tahu, temen Abang yang di bawa itu siapa?" Tanyanya, sedikit menatapku kemudian menundukkan wajahnya kembali."Ya, temanku. Kenapa?" Tanyaku bingung, tidak mengerti arah pembicaraan."Iya ... Aku tau! Maksudnya itu, temen dalam arti apa bang? Orang spesial kah dia? Gitu???" Sahutnya dengan bibir mengerucut. Namun tidak terlihat dari balik niqab yang gadis itu kenakan. Merasa sedikit k
Bandar Udara Narita, pukul 08.00 waktu setempat.Dengan langkah gontai, Nami berjalan dari arah gerbang arrived, menuju ke lobi, dimana terlihat sang sahabat bersama putranya Danryuu, datang menjemput.Setelah sebelumnya, Nami menghubungi Devina, guna menjemputnya. nampak pula di belakangnya, Reiko serta Wisnu beserta putra mereka, Inoue yang kini berusia 5 tahun."Vina-chan!" sapa Nami dengan gurat sendu. yang di balas Devina dengan merentangkan tangannya. Nami pun bergegas masuk kedalam pelukan sang sahabat, yang kini menangis tersedu-sedu."Sudah! Tidak apa-apa. Kamu kuat!" ucap Devina, menenangkan."Nami-chan kenapa menangis?" celetuk Danryuu, menarik ujung jaket yang Nami kenakan.Sontak Nami dan Devina saling melepaskan pelukan mereka. sembari mengusap air mata, Nami sedikit membungkukkan badannya, menatap kearah Danryuu, yang mengulurkan tangannya, meminta di genggam.Nami menurut, menggenggam tangan Danryuu, sembari mengulas senyum tipis."Jangan nangis, Nami-chan! jika kamu be
"Pagi, dokter Okahara!" Sapa suster Mitsui, adik dari dokter Reiko, dengan ceria. Saat dirinya berpapasan dengan Nami di parkiran rumah sakit.Nami yang baru keluar dari dalam mobilnya, sontak menoleh kebelakang, "Pagi, Mitsui-chan!" Balas Nami, tak lupa tersenyum manis pula padanya."Dokter hari ini tugas pagi?" Tanya Mitsui kembali, matanya berbinar-binar, seraya mendekap buku jurnal keperawatan di dada, sementara tas ransel berwarna hitam, tercangklong di punggungnya."Huum! Iya!" Jawab Nami lugas, berpaling sebentar, menutup pintu mobil, tak lupa menguncinya. Setelahnya memasukkan kunci ke dalam tas tangannya. "Apa yang sedang kamu cari?" Tanya Nami, bingung, saat melihat Mitsui nampak celingak-celinguk, seolah mencari keberadaan seseorang atau sesuatu."Dimana, Kakak?" Tanya Mitsui, heran."Siapa? Ryu?" Tanya Nami balik, bingung akan pertanyaan yang di berikan oleh Mitsui."Bukan ... Juun-kun! Dimana dia? Bukankah, kalian selalu berdua?" Tanya Mitsui dengan mata berbinar.Nami pun
Hari-hari Nami lalui kini dengan penuh semangat. Berusaha menguatkan dirinya sendiri, jika nanti pada saatnya dirinya akan bersama-sama kembali dengan orang yang dia cintai.Rutinitasnya sebagai seorang dokter residen, kini semakin penuh dengan kesibukan. Apalagi jika dokter senior, seperti dokter Reiko meminta bantuan para dokter residen yang bertugas dalam hal menangani pasien gawat darurat. Seperti halnya hari ini, dimana seorang pasien terkena luka tembak yang berasal dari peluru nyasar di dadanya, harus mereka tangani secepat mungkin. Dimana Nami juga harus ikut terlibat didalamnya, hanya karena sang pasien menarik jas dokter yang dirinya kenakan. Terpaksa Nami ikut membantu menanganinya."Aku tidak mau orang lain yang menangani ku! aku mau istriku yang melakukannya?!" teriak sang pasien dengan wajah pucat, kekurangan darah, memaksa Nami memeriksanya. Membuat Reiko jengah. Karena pekerjaannya terpaksa tertunda oleh rengekan si pasien yang diperkirakan berusia 30 tahun. "Kenapa kam
"Wah ... siapa ini?" tegur seseorang, menghentikan langkah kaki ketiganya. Merekapun lantas menoleh ke belakang. Nampak lah sepasang suami istri di sana."Hai, brother!" tegur Juun pada sosok yang menegurnya —Ryu—. Dirinya berjalan mendekati lelaki itu yang nampak merangkul pinggang sang istri, dengan erat, takut kabur.Ryu gegas melepaskan rangkulannya, kemudian memeluk Juun dengan erat. "Apa kabar?" tanyanya, setelah pelukan mereka terlepas."Baik. Kalian?" Juun balas bertanya, seraya sedikit tersenyum sopan pada Devina, yang balas tersenyum tipis."Sangat baik. Apalagi, tidak lama lagi, anak kedua kami akan lahir. Kamu sendiri, kapan menyusul dengan Nami-chan?" celetuk Ryu, sedikit mengejek sang sahabat.Juun dan Nami, sontak merona. Keduanya nampak salah tingkah. "Doakan saja kami segera menyusul, karena setiap makhluk akan mendapatkan jodohnya di waktu yang tepat," pungkas Juun dengan tenang."Hmmm ... aku mengerti. Baiklah, kami pergi dulu, ya! Karena jadwal konsultasi Vina hari
Tangan Nami terlihat bergetar saat dirinya hendak menerima panggilan telepon tersebut. Wanita itu nampak kesulitan menelan ludah hingga membuat Aisyah menatapnya heran. "Kenapa, Kak? Ada yang tidak beres?"Nami berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya agar paru-parunya yang tiba-tiba terasa menyempit, bisa terasa lega."Kakak!" tegur Aisyah kembali. Tangan kanannya memegang lengan baju Nami.Nami menggeleng cepat seraya berusaha mengulas senyum tipis. "Tidak! Bukan apa-apa!" ungkapnya cepat. Nami lantas terkekeh yang terdengar terpaksa.Aisyah menyadari jika Nami berbohong. Namun dirinya tidak mempunyai kuasa untuk memaksa wanita itu, meskipun mereka sudah mulai dekat. "Baiklah. Jika ada apa-apa, Kakak bisa mengutarakannya padaku. Bukankah Kakak adalah calon Kakak Ipar ku?" hibur nya, ikut mengulas senyum manis.Nami terlihat terharu. Matanya bahkan berkaca-kaca. "Aisha!" serunya seraya menarik Aisyah masuk ke dalam pelukannya. Aisyah yang semula terperanjat, lantas balas memeluk Na