"Altaf biar Aminah ajak pulang aja Bu. Siapa tahu Ashraf sama Nina mau menginap di rumah sakit," ucap Mbak Aminah saat mereka hendak pulang."Nina gak enak merepotkan Mbak Aminah terus. Altaf biar sama aku aja nggak papa," ucapku. "Memangnya masih di hotel?""Masih, soalnya kan di rumah sakit riskan bawa anak-anak. Jadi aku tinggal sama Karina tadi.""Ya Allah."Aku sampai meninggalkan anakku cukup lama dengan orang lain dan aku merasa bersalah untuk hal itu. "Kita balik ke hotel dulu ya pah? Soalnya anaknya Nina ada di hotel dan nggak enak sama yang ditinggalin kalau terlalu lama," ucap bang Ashraf.Aku lega ternyata Bang Ashraf sangat peka dengan perasaanku dan akhirnya ayah mertua menyetujui kami untuk pulang terlebih dahulu . Bagaimanapun aku tidak boleh lupa kalau aku adalah seorang istri yang mempunyai satu anak yang masih bayi dan aku tinggalkan bersama dengan orang lain.Kami sampai di hotel pukul jam 20.00 malam dan langsung menuju ke kamar di mana ada ditinggalkan. Di sana
Aku mendapat kabar jika Mama mertua sudah bisa dibawa pulang. Setelah satu minggu lebih dirawat, akhirnya kabar bahagia itu membuat semua keluarga besar Bang Ashraf bahagia. Untuk pertama kalinya aku datang ke rumah Bang Ashraf dan diminta menunggu mama di rumah. Bang Ashraf menjemput mamanya bersama dengan Fadil sedangkan papa di rumah juga menunggu.“Bi, aku bantu ya?” Aku tak enak jika hanya duduk saja. Altaf sedang tidur, aku pun bangkit untuk membantu asisten rumah tangga membuat makanan."Nggak usah, Non. Lebih baik jagain Dede Altaf aja. Nanti Mas Ashraf marah kalau sampai tangan Non Nina kotor.""Gak apa apa."Aku pun membantu memasak, Altaf aku letakan di dalam box bayi dan aku bawa ke dapur. Tentu agar bisa memastikan jika anakku itu tertidur dengan lelap dan bisa menemaniku di dapur. Sampai hampir selesai memasak, Altaf tertidur. Bahkan, saat suara salam terdengar dari luar pun Altaf masih anteng tidur.Aku langsung mencuci tangan, lalu mendekat pada Bang Ashraf yang s
Pagi ini senyum bang Ashraf mengembang sempurna. Bagaimana tidak, semalam dia menikmati sekali bagaimana permainan di atas ran-jang, tanpa terganggu suara Altaf atau tangisannya.Ya, entah kenapa bocah itu semalam anteng. Sepertinya tahu, ayah angkatnya butuh ibunya untuk malam ini. Aku pun tersenyum dan meletakkan baju yang akan digunakan untuk bekerja Bang Ashraf pagi ini. Dia mendekat dan mengecupku pelan."Kerja kan?" tanyaku."Maunya yang semalam diulang," kekeh Bang Ashraf. "Cuma tadi ada panggilan dari rumah sakit. Nanti malam lagi ya?" Dia berkedip genit sambil meraih kemejanya."Kalau Altaf bisa diajak kerjasama, nggak ada masalah bagi Nina. Kewajiban yang gak bisa ditolak karena sama sama senang," kekehku. "Aku udah siapkan sarapan di bawah tadi, buat mama juga. Tapi aku nggak berani ke kamarnya, takut mood sarapan mama rusak. Abang aja ya, yang anter ke kamar mama?"Bang Ashraf mengangguk, lalu aku membantunya mengancingkan baju."Kalau mama udah agak sehat, kita pindah bi
Mama sudah bersih dan wangi setelah aku bantu untuk mandikan. Awalnya memang menolak Tapi lama-kelamaan Mama terbiasa dengan kedatanganku. Beliau tidak lagi membuang muka dan bahkan kini sudah mau disuapi olehku. Meskipun ketika anak-anaknya pulang dia berubah menjadi sosok yang benci. Yang hanya ingin anak-anaknya peduli kepada beliau."Tadi Mama mau makan nggak?" Tanya bang Asraf saat aku menyambutnya pulang di depan pintu."Makan," jawabku. "Mau mandi dulu atau mau ke ruangan mama?""Mandi dulu lah, ada Papa dan Fildan kok."Aku mengangguk. Mengekor langkah bang Ashraf yang lebih dulu masuk ke dalam kamar. Altaf yang ada di gendongan pun sudah tertidur Saat bang Asraf pulang dan aku membaringkannya dengan pelan agar tidak terbangun."Enak banget ya jadi bayi. Habis nen, bobo," kekeh Bang Altaf yang sedang melepas pakaiannya."Abang pengen jadi bayi?""Pengin dong." Bang Ashraf mendekat padaku, lalu meraih pinggangku. Memulai hal manis dengan apa yang biasanya suami istri lakukan."
“Bang Ashraf mau Altaf di sini saja, katanya takut kangen kalau nggak ada di rumah,” jawabku saat Ibu kembali menanyakan Altaf.“Kamu yakin di sana nggak kerepotan?” tanya Ibu, dari nada suaranya terdengar sedih dan khawatir.“Nggak, Bu. Ada ART yang bantuin kami, Ibu tenang saja. Lagian, Nina di sini juga selama Mama sakit aja. Kalau udah sehat, kami pindah ke rumah kami. Bang Ashraf cuma nggak tega kalau mama sendirian di rumah. Di rumah, Nina cuma diminta pantau aja kok. Nggak harus melakukan hal hal berat,” jawabku mencoba meyakinkan Ibu agar tak cemas.“Ya sudah kalau begitu. Jaga diri dan jaga kesehatan. Ngurus anak itu capek, kalau kamu sakit atau lelah, pulang ke sini. Nanti biar gantian jagain Altaf.”“Iya, Bu.”Ku iyakan saja ucapan Ibu karena tak ingin IBu banyak pikiran. Sesuai saran dari Bang Altaf tentang Ibu yang mungkin akan sedih jika mendengar kabar tak enak dari kami. Sebagai istri aku harus menurut dan melakukan saran yang sekiranya baik bagi kami.Aku melihat Alta
“Hari ini aku piket malam. Kamu gak apa apa kan aku tinggal?” tanya Bang Ashraf.“Iya, gak apa apa. Dokter kan kerjanya melayani pasien yang membutuhkan pertolongan,” jawabku dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin.“Makasih ya. Kamu udah sangat perhatian dan pengertianmu selama ini. Aku sangat beruntung memiliki istri seperti kamu yang bisa memahami kondisiku."Aku tersenyum dan mengangguk mendengarkan pujian dari suamiku sendiri. Bagaimana tidak, dia selalu bisa membuatku bersemangat untuk melakukan hal-hal yang terlihat sepele tetapi berkesan bagi semua orang. Aku mengantar suamiku hanya sampai depan pintu kamar saja karena memang dia akan pergi dinas malam bersama dengan Fildan. Keduanya memang sering piket bersama-sama karena memang sengaja dibuat bersama agar lebih aman dan nyaman. "Papa mau kerja juga?" tanyaku saat berpapasan di depan pintu kamar."Enggak, ada acara makan malam bareng sama teman kantor. Papa titip mama ya? Jam 10 palingan sudah pulang," ucap Papa."Iya,
Saat aku bangun ternyata Bang Ashraf sudah pulang. Entah jam berapa suamiku sampai di rumah yang jelas aku sangat gelap malam ini hingga tidak sadar jika suamiku sudah pulang pagi-pagi buta.Aku tersenyum saat melihat wajah polos Bang Ashraf yang terlihat sangat kelelahan. Dia sudah memakai piyamanya saat tidur dan itu menambah kesan menggemaskan brondong yang aku nikahi saat ini.Berondong? Bahkan umur dia lebih tua dariku tetapi karena aku yang lebih dulu menikah jadinya aku merasa lebih tua darinya. Aku sama sekali tidak kelihatan jika harus mengalah dalam segala hal termasuk Jika dia mendadak seperti anak kecil seperti sekarang. Tidur dengan memelukku dan menaikkan satu kakinya di atas pinggul.Aku angkat kakinya perlahan agar dia tidak terbangun tetapi rupanya dia sengaja malah menghukum tubuhku agar tidak bangkit."Sudah jam 04.40 lah, Bang. Nanti keburu Altaf bangun aku belum setting sarapan," ucapku sambil berbalik dan menatap wajahnya yang tersenyum meskipun masih memejamkan
"Baru bangun, ya?" tanyaku. "Biasa, bujang mah tidurnya bebas apalagi kalau hari libur. Dari mana gendut?" tanya Fildan sambil mencubit pipi anakku dan akhirnya anakku menangis karena cubitan Fildan pastilah keras dan sakit. "Aduh, Omnya pagi-pagi udah bikin anak orang nangis," sahut Papa yang juga sudah siap dengan pakaian olahraganya. "Hehehe, Papa nih. Mau ke mana, Pa?" tanya Fildan sambil menggaruk kepalanya tidak kasar karena ketahuan mencubit Altaf. "Olahraga lah, mumpung anak-anak semuanya di rumah. Nin, olahraga yuk!" ajak Papa. "Tadi Nina udah olahraga, Pa. Altaf juga udah keringetan dan pengen mandi. Mama dan Bang Ashraf masih di depan kok, lagi minum susu sama makan camilan," jawabku. "Weh, udah akur tah?" tanya Fildan. "Emangnya dari kemarin kita nggak akur? Kita kan Besti," kekehku yang langsung berjalan membawa Altaf masuk ke dalam kamar. Terlihat keduanya saling melirik saat aku hendak pergi tadi. Semudah itu mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Meskipun ke