"Mas Arya jahat!" seru Anara ketika Arya tanpa perlawanan lagi menuruti perintah Shanum.
Arya tampak menuntun langkah kaki Anara keluar ruangannya dengan terpaksa. Saat ini dirinya tidak ingin membuat Shanum semakin murka pada dirinya yang telah berani membawa istri barunya ke istana mereka. Ah, bukan, istana Shanum tepatnya, karena Arya hanya datang membawa dirinya saja, tak membawa harta sepeserpun saat menikah dengan Shanum tiga tahun yang lalu. "Mas, lepas ah!" sentak Anara keras, saat baru beberapa langkah mereka keluar dari ruangan Arya.Anara memanyunkan bibirnya sangat kesal, karena usahanya untuk memanas-manasi Shanum tidak berhasil. Wanita itu begitu tegar, dan sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadirannya. Padahal niatnya datang dan ikut tinggal adalah supaya bisa menyingkirkan Shanum dari hidup Arya. "Aku nggak mau pulang!" ucap Anara protes. "Kamu kan udah janji buat ajak aku ke kantor hari ini, lagian kenapa sih tiba-tiba Mbak Shanum ada di sana," omel Anara masih tidak ingin pergi dari tempat itu. "Iya, iya, kamu sabar dong. Hari ini aja, aku juga nggak tahu kenapa Shanum ke kantor, biasanya juga dia nggak tertarik ke sana sama sekali," ucap Arya masih berusaha membujuk istri mudanya yang tengah merajuk. "Terus, nanti aku pulang ke rumah sendiri gitu," rengek Anara lagi."Iya, mana mungkin aku ikut. Kan aku harus kerja, Nara," ucap Arya lagi. Amarah istri barunya itu perlahan mereda."Hmm, awas ya, kalau kamu enak-enakan sama dia, Mas!" ancam Anara. Ia tak suka jika Arya bermesraan dengan Shanum."Nggak kok, aku kerja di sini." Arya tersenyum paksa agar Anara tidak lagi cerewet."Ya udah, aku mau pulang sekarang," ucap Anara pada akhirnya. Arya tersenyum girang karena berhasil membujuk Anara agar mau pulang. Mereka lantas melanjutkan langkah yang sempat tersendat akibat perdebatan tadi. Baru beberapa langkah, keduanya berpapasan dengan Feri yang hendak menuju ke ruangan Arya."Selamat pagi, Pak Arya. Bapak mau ke mana?" tanya Feri heran, karena tadi sempat melihat Arya berjalan ke arah ruangannya, tapi kini pria itu malah berjalan ke arah yang berlainan."Pagi. Kamu mau ke ruangan saya, kan? Taruh saja berkasnya di meja," ucap Arya memberi titah tatkala melihat berkas yang dipegang oleh Feri.Sementara itu, Feri bertanya-tanya tentang sosok wanita yang berdiri di samping Arya. Namun, dia menahan dirinya untuk bertanya, walaupun dia dapat menangkap hubungan tak biasa dari keduanya. "Baik, Pak," sahut Feri singkat. Tanpa berbasa-basi lagi, Arya dan Anara melanjutkan langkahnya menuju ke lift yang akan membawa mereka turun ke lobi. 'Siapa ya wanita itu? Apakah dia yang dimaksud sama Shanum? Ck, sialan banget kalau sampai si Arya berani selingkuh dari Shanum,' batin Feri menggerutu sendiri. Sebagai sahabat, dia jelas tak suka jika sampai Shanum disakiti oleh Arya. Feri lantas melanjutkan langkahnya menuju ke ruangan Arya. Ia mengetuk pintu, dan seseorang terdengar menyahut dari dalam ruangan. Pintu pun terbuka. "Sha," panggil Feri sambil mendekati meja kerja Arya yang kini tengah ditempati oleh Shanum. "Hai, Fer. Kalau mau ngasih berkas, taruh saja di situ. Biar nanti Mas Arya yang kerjain," sahut Shanum sambil tersenyum kecil. Feri heran dengan ekspresi sahabatnya itu. Andai memang Arya berselingkuh, kenapa Shanum bisa bersikap tenang seperti itu. Ia pun menurut, langsung menaruh berkas itu di atas meja. Sedangkan, tatapan mata Shanum masih terfokus pada layar monitor di hadapannya. Feri tak segera beranjak dari tempatnya kini, dia masih memikirkan tentang apa yang tengah dialami oleh Shanum, juga bagaimana rumah tangganya dengan Arya. Shanum melihat gelagat aneh itu, ia pun bertanya pada Feri, "Kamu kenapa nggak keluar? Masih ada yang mau kamu sampaikan kah?"Feri menghel napasnya pelan sebelum menjawab pertanyaan Shanum, "Hmm… kamu bener nggak ada yang mau diomongin sama aku?""Tentang apa? Aku rasa nggak ada, Fer," jawab Shanum dengan kening mengernyit dalam. Feri sangat paham, kalau Shanum sedang menutupi sesuatu darinya. "Tadi … aku papasan sama Arya, dia sama—""Sama perempuan? Hmm, biarin saja, Fer." Shanum memotong ucapan Feri sambil mengulum senyum juga tatapan yang sulit dimengerti."Ck, perempuan itu siapa memangnya? Kamu nggak cemburu?" tanya Feri berdecak ketika Shanum tak menunjukkan reaksi apa pun mengetahui suaminya bersama perempuan lain."Nggak tuh, ngapain cemburu," sahut Shanum enteng. Ia mengedikkan bahunya acuh. "Mending kamu keluar deh, aku masih ada banyak yang harus dipelajari di sini," ucap Shanum sambil mengangkat dagunya menunjuk ke arah layar monitornya."Ah, oke deh. Aku yakin kamu baik-baik saja, melihat dari reaksimu yang biasa saja kayak gitu," ucap Feri menyerah. Ia pun lantas menjejakkan langkah kakinya keluar ruangan. Sepeninggalnya Feri, Shanum melirik ke arah pintu dengan tatapan nanar. "Belum saatnya kamu tahu masalah yang sedang menimpa rumah tanggaku, Fer," gumamnya lagi. Shanum kembali menekuri data-data yang didominasi dengan angka-angka itu. Meski kepala serta kedua matanya sudah cenat-cenut menatap deretan huruf dan angka itu, Shanum tak menyerah untuk mempelajari semua berkas itu. Demi haknya yang tengah diakui oleh Arya, si suami yang tak tahu diri itu. Sepuluh menit berlalu, Shanum tak tahan lagi dan akhirnya dia memilih untuk istirahat sejenak, menikmati secangkir teh hangat rasanya sangat tepat untuknya saat ini. Ia memang sempat meminta seorang OB untuk membuatkan teh untuknya. Matanya menatap ke arah jendela dari ketinggian lantai 25 itu. Terdengar pintu ruangan kembali terbuka. Ternyata Arya yang baru saja mengantar Anara ke lobi. Lelaki itu melangkah mendekati Shanum yang sedang berdiri menikmati secangkir teh menghadap ke arah jendela.Ia menghampiri istrinya, dan memeluknya tiba-tiba dari belakang. Shanum sempat terjingkat kaget saat Arya tiba-tiba saja bergerak melingkarkan lengan kekarnya di perutnya, serta kepalanya yang bersandar di bahu Shanum.'Cih! Andai kamu nggak mendua. Ini pasti akan menjadi sebuah perlakuan romantis antara suami dan istri dan aku pasti sangat menyukainya, tapi kenyataannya apa? Kamu sudah membagi cinta bahkan tubuhmu dengan yang lain.' Shanum mencerca perilaku suaminya dalam hati. "Maafkan aku, Sha," ucapnya lirih setengah berbisik ke telinga Shanum. Perempuan itu bergeming sejenak, berusaha memikirkan cara agar terlepas dari pelukan Arya. "Maaf untuk?" tanyanya pura-pura bingung."Semuanya. Harusnya aku menolak menikahi Anara. Kamu tahu? Aku terpaksa, dan semua itu karena permintaan ibuku," ujarnya lagi, yang malah membenamkan wajahnya di tengkuk leher Shanum, hingga perempuan itu bergidik geli. Andai dia orang yang tega, sudah dari tadi Shanum melepaskan tangan Arya, dan mendorong tubuhnya hingga jatuh. Tapi, wanita itu masih punya hati. Sehingga tak akan melakukannya. "Kamu wangi banget, Sha," kata Arya lagi dengan nada merayi. Suaranya seakan tengah menahan sebuah hasrat. "Apa sih, Mas. Ini masih di kantor, malu sama karyawan nanti," tukas Shanum memanfaatkan kesempatan untuk melepaskan pelukan suaminya. Jujur saja ia merasa risih berlama-lama disentuhnya. "Kita kan suami istri, mereka juga pasti mengerti," sahutnya enteng, lalu melangkah duduk ke kursi."Tapi aku malu, mungkin kalau itu Anara, dia nggak akan malu. Iya kan, Mas. Jangan samakan aku dengan dia!" ucap Shanum penuh penekanan."Kenapa jadi bawa-bawa Anara sih, Sha." Arya menggelengkan kepalanya heran. "Udahlah, aku capek ngomong sama kamu, Mas." Shanum merasa kesal, dan sangat tahu kalau bicara dengan Arya sama sekali tak ada gunanya. Keduanya saling beradu tatap dengan isi pikiran yang berbeda. "Oh ya. Satu lagi. Jangan berani macam-macam lagi di kantor ini, Mas. Mulai sekarang aku akan ikut memimpin kantor ini," pungkas Shanum tegas hingga membuat Arya menoleh ke arahnya, dan menatapnya dengan kening berkerut dalam."Kenapa, Sha? Kamu udah nggak percaya lagi sama aku?" tanyanya sembari menatap wajah Shanum lekat."Gimana aku mau percaya, Mas. Pernikahan saja bisa kamu khianati, apalagi perusahaan ini. Ingat, Mas. Aku bukanlah benalu yang seperti ibumu katakan. Kamu berada di posisi sekarang itu berkat kemurahan hati Papa. Camkan itu!" ucapku spontan hingga membuat Arya tergemap dan diam seribu bahasa. Arya tampak menelan ludahnya susah payah. Rupanya Shanum masih mengingat dengan jelas bagaimana penghinaan Bu Desi terhadapnya kemarin. Jika ada yang harus disebut benalu, maka yang tepat adalah dirinya sendiri. Dialah benalu yang sesungguhnya. Akan tetapi, kepiawaiannya berbicara telah membuat sang ibu, adik kandung dan istri barunya itu percaya kalau Shanum lah yang menumpang hidup padanya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Arya tak berkutik dan hanya masih diam mematung di tempatnya. Shanum mengambil tas selempangnya, lalu segera bergegas keluar dari ruangan itu. 'Mas Arya pasti syok me
Tuan Dhanu Mahendra telah mempercayakan perusahaan itu pada Arya. Tetapi, ternyata kemurahan hati beliau telah membuat menantunya itu buta hati. "Seenaknya saja dia menganggapku orang tak berguna di hidupnya. Entah bagaimana dia sampai mengarang hal seperti itu dan menceritakannya pada ibu." Shanum kembali bermonolog sendiri. Ia masih tak habis pikir dengan kenyataan yang tiba-tiba menimpa hidupnya. "Pa, Ma, tolong kuatkan aku untuk menghadapi mereka. Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Tolong bantu aku untuk menyingkirkan orang-orang tak tahu diri itu," pintanya sembari menatap pusara kedua orang tuanya secara bergantian. Shanum mengusap dua nisan bertuliskan nama orang tuanya untuk terakhir kalinya. Dia telah merasa cukup untuk menumpahkan unek-uneknya pada mereka yang sudah berbeda ruang dan waktu. Usai mengeluarkan seluruh keluh kesah yang menyesakkan di dalam dada. Shanum merasakan kelegaan. Meskipun, Papa dan Mamanya tak mungkin memberikan solusi. Namun, perasaannya
"Mbak, nggak ke sini? Udah siang lho? Mbak baik-baik aja kan? Nggak kenapa-napa kan?" cecar Shela dari ujung sana. Ia langsung menghujani Shanum dengan berbagai pertanyaan dengan nada cemas. "Aku baik-baik saja, Shel. Ini mau jalan ke butik. Kenapa? Ada masalah ya di sana?" tanya Shanum dengan suaranya yang tenang."Eh, nggak ada sih, Mbak. Aku cuma cemas aja. Biasanya jam segini Mbak udah di butik. Tapi, sampai siang begini kok belum datang ke sini, takut kenapa-napa." Shela menyampaikan kecemasannya sedari tadi pada atasannya itu."Oh, ya ampun sampai segitunya, Shel. Aku nggak apa-apa kok. Ini lagi nyetir, jalan ke sana. Udah dulu ya," ucap Shanum berpamitan mematikan sambungan telepon, karena dia harus fokus menyetir. "Oke, Mbak. Aku tunggu ya. Hati-hati!" pesannya sebelum sambungan telepon berakhir. Shanum ingin meralat ucapannya tadi. Nyatanya ia tak benar-benar sendirian di dunia ini. Ada juga beberapa orang yang berdiri di pihaknya, termasuk Shela. Wanita itu lantas melaj
Shela tiba-tiba menghambur ke arah Shanum lalu memeluknya dengan erat. "Mbak, aku ikut sedih dengan masalah rumah tangga yang Mbak alami. Aku bener-bener nggak nyangka Mas Arya bisa setega itu. Padahal sorot matanya saat menatap Mbak Shanum itu adalah jelas tatapan penuh cinta," ucap Shela mencoba menghibur Shanum."Yah, namun perasaan dan hati manusia bisa berubah dalam satu detik, Shel. Aku jadi nggak heran," sahut Shanum berusaha tegar."Huaaa… Hikkss…" Shela tiba-tiba saja menumpahkan tangis prihatinnya. "Lah, kok malah kamu sih yang nangis, Shel. Harusnya aku. Lihat, aku baik-baik aja kok. Jadi kamu nggak perlu nangis," seloroh Shanum menahan tawanya. "Hikss… Aku sedih kalau Mbak mau pisah sama Mas Arya. Siapa sih pelakor itu, sini biar aku hajar dia," ucap Shela di sela-sela tangisannya.Shanum terkekeh kecil. Bibirnya mengulas senyum tipis. Baginya, kehadiran Shela bagai oase yang menyejukkan, seakan selalu memberi warna ceria pada hidupnya yang nyaris suram."Dah, ah. Jan
Rambutnya terlihat basah, seperti habis mandi. 'Jangan-jangan mereka habis melakukan itu. Ah, kenapa aku mikir hal gak penting begitu.' Shanum membatin dalam hati.Pria itu tampak berjalan arah tangga, menuju ke arah Shanum, tentu saja dengan istri barunya. Wanita licik itu melirik Shanum dengan tatapan sinis."Duh, apaan sih ribut mulu deh, Mbak Shanum. Kayak hidupnya di hutan aja," celetuk Lila yang tiba-tiba saja keluar dari kamar tamu yang satunya dengan rambut yang acak-acakan, dan suara parau khas orang yang baru bangun tidur.'Astaga, jadi sekarang ceritanya empat lawan satu?' batin Shanum geleng-geleng kepala, menyadari jika lawannya makin bertambah banyak. "Aduh, untung kalian datang, Arya, Lila, Anara. Ini nih, si Shanum ini bener-bener keterlaluan. Masa nyuruh Ibu buat beresin semua kekacauan di situ," omel Bu Desi sambil menunjuk ke arah sofa dan meja ruang tamu yang berantakan oleh ulahnya, Lila, dan juga Anara beberapa menit yang lalu. "Bener itu, Sha? Kamu nyuruh Ibu
Shanum melangkahkan kakinya menuju ke kamar. Lalu, ia memilih untuk langsung masuk ke kamar mandi sesaat setelah dirinya masuk ke kamar. Ia mengguyur seluruh tubuh di bawah shower, membiarkan air membasuh tubuh lelahnya.Ia membiarkan kedua kelopak tangannya menjatuhkan bulirnya di antara derasnya air yang turun. Kali ini, dia ingin melanggar janjinya jika tak akan menangisi apapun yang menimpanya. "Biarkan kali ini saja aku melanggar janjiku," gumam Shanum lirih. Nyatanya sekuat apapun, dia mencoba tegar. Dirinya tetaplah wanita yang mempunyai sisi hati yang rapuh. Dan Shanum tengah rapuh saat ini. "Aku masih nggak menyangka hal seperti ini terjadi padaku. Aku bahkan mengira ini mimpi buruk. Karena semua terjadi dengan tiba-tiba." Shanum bermonolog dalam hatinya. Hati yang perlahan sudah sempat memulai percaya dan menerima Arya sepenuhnya, kini perlahan patah. Hancur menjadi kepingan kecil, dan Shanum tak berniat untuk merekatkan kembali kepingan kecil itu. Kepercayaan yang mulai
'Aku tahu, kalau kamu gak pernah memegang uang cash.' Shanum terkekeh dalam hatinya saat dia tahu kalau Arya pasti sedang kebingungan. Mana mungkin pria itu mau memesan steak, kalau nggak ada uang cash.Shanum ingin tertawa terbahak-bahak rasanya, karena drama OKB yang tengah terjadi saat ini akan segera berakhir dengan ending yang menyedihkan. Namun, ia tahan hasrat tertawanya itu dan berusaha agar tetap bersikap tenang dan terlihat elegan di depan para benalu yang mencoba menyingkirkannya itu. Arya tampak berpikir keras, lalu ia kini menatap Shanum karena dialah satu-satunya orang yang bisa memberikan solusi untuknya saat ini. "Sha, kamu ada uang cash?" tanyanya kemudian tanpa malu-malu lagi. Shanum menggelengkan kepalanya tak peduli. Seakan pertanda kalau dirinya tidak memiliki solusi. Ia tengah fokus menghabiskan makanan di piring."Bu, Lila, Ra, kalian ada uang cash, kan?" tanya Arya pada ketiga wanita itu. Kini hanya merekalah harapan Arya agar mereka bertiga tetap percaya ka
Anara tampak menelan ludahnya susah payah, dan gusar menunggu jawaban dari sang suami yang masih larut dalam diamnya."Kenapa diam, Mas? Apa benar yang dikatakan sama Ibu?" Anara akhirnya membuka suara, karena tak dapat menahan rasa penasarannya.Arya merasa ketar-ketir. Dia sungguh tak ingin rahasianya terbongkar untuk saat ini. Setidaknya, masih beberapa langkah lagi sampai dia menjadi pemilik semua aset almarhum ayah mertuanya."Kalian ini kenapa sih nanya begituan. Aku nggak pernah bohong selama ini, dan aku minta supaya kalian diam saja, jangan lakukan apa pun pada Shanum. Karena aku yang akan mengurusnya sendiri," ucap Arya pada akhirnya setelah bersusah payah menekan perasaan gugup yang sempat melanda hatinya. Bu Desi dan Anara saling bertatapan selama sepersekian detik. Ucapan Arya begitu meyakinkan sehingga mereka tak punya alasan lagi untuk meragukan pengakuan pria itu. "Baiklah, kami percaya, Arya. Tapi, tolong ya kamu harus segera mengusir Shanum dari rumah ini. Toh, dia