"Mas akan berubah, asal kamu mau ingatkan, jika Mas lalai lagi."
"Semua tergantung niat kamu. Sejak awal menikah, aku harus membanting tulang sendiri. Kalau memang kamu masih mau memperbaiki, semua dengan niat."
Pelukan hangat ini membuat aku merasa rindu saat pertama kali Mas Reno mengungkapkan kalimat cinta. Namun, aku mengira dia akan memberikan aku kebahagiaan, tapi malah penderitaan yang aku rasakan.
Apa bisa dia berubah sesuai dengan janjinya padaku? Atau akan sama saja seperti dahulu. Janji manis itu terulang kembali.
Aku tak pernah menuntut untuk membeli apa pun. Asalkan dia berlaku adil padaku. Kegelisahan selama ini membuat aku berniat untuk berpisah.
Sepertinya Allah tak mendukung keinginanku. Dia menghadirkan anak diantara kami untuk mempertahankan rumah tangga ini.
"Mas, mau makan?"
"Kamu bisa masak lauk buat Mas?"
"Kalau hanya telur dadar aku bisa. Atau mau pesan makanan Online saja?"
"Ada
"Ningrum?" "Iya, wanita kaya di desaku dulu. Ibu marah karena aku tidak mau menikah dengan Ningrum, dan lebih memilih kamu." Aku mengerti sekarang, mengapa Ibu membenci aku. Bahkan, sebelum kami menikah, dia sudah menyiapkan calon istri kaya untuk Mas Reno. Aku menghela napas panjang, lalu tiba-tiba saja kepalaku terasa berat. Rasa mual kini menghampiri. Aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi dalam perutku. Mas Reno gegas menghampiriku, dia mengelus lembut pundakku. Apa pikiran ini mempengaruhi kehamilanku? "Sudah Mas bilang, jangan bertanya hal yang membuat kamu berpikir keras. Jadinya beginikan," oceh Mas Reno. "Aku penasaran, Mas." "Dasar bandel, kamu." Mas Reno membantuku merebahkan diri di kasur. Lalu, dia bergegas ke dapur membuat teh hangat untuk aku. Beberapa menit, Mas Reno menghampiriku bersama secangkir teh hangat. "Kalau Ibu tahu, aku pasti dibilang manja." "Manja
"Aku mau menikah dengan Ningrum, Dek," ujar Mas Reno mantap. "Kamu jahat, Mas!" "Ini kemauan Ibu, aku tidak bisa menolaknya. Mas takut durhaka." "Kamu jahat, Mas! Jahat!" Aku membuka mata saat merasa ada yang menggoyang-goyangkan tubuh ini. "Kamu nggak apa-apa, Dek?" Aku mengerjapkan mata bekali-kali. Napasku terasa sesak, seperti habis berlari kencang. Jadi, ini hanya mimpi? Kenapa seperti nyata? "Dek, mimpi buruk?" "Ng--nggak, Mas." Tidak mungkin aku bercerita tentang mimpi ini. Bisa-bisa Mas Reno menertawakanku. Astaga, kenapa seperti nyata? Kepala ini menjadi pusing karena terbangun dari tidur. Kuminta Mas Reno mengambilkan minyak kayu putih. "Jangan banyak pikiran, Dek. Mas sudah mulai kerja. Besok Budhe Sri, Mas yang jemput." "Aku nggak banyak pikiran, Kok." "Itu buktinya sampe ke bawa mimpi. Bilang Mas jahat, memang mimpi apa, sih?" Iyakah sampe terdengar aku
Aku capek mengejar Budhe yang sudah hampir sampai di rumah Ibu. Mau berteriak, tapi malu sama tetangga. Sedari tadi aku sudah menghubungi Mas Reno, tapi tak diangkatnya."Budhe." Aku berhenti sambil mengatur napas. Pasti aku tidak bisa mengejar Budhe, kalau aku paksa hanya mencari celaka karena akan mengalami keram lagi.Pelan aku berjalan sambil memegangi perut. Jangan sampai Budhe sama ibu ribut lagi. Malu sama tetangga, masa sama mertua ramai terus.Perjuangan sekali sampai di rumah ibu. Rumah tertutup rapat, sepertinya penghuninya sedang pergi. Aku mengelus dada, dan bisa bernapas lega. Kali ini aman, entah nanti."Kamu ngapain di sini, Wid?""Mengejar Budhe," jawabku."Aduh, jangan capek-capek. Hayo pulang, mertuamu kayanya nggak ada.""Iya, Budhe."Budhe menuntunku berjalan. Memang perut sudah mulai keram, belum lagi napasku yang sedari tadi naik turun.Bersyukur sekali ibu pergi, apa dia bersama Mas Reno makanya t
Aku pusing melihat pertengkaran mereka. Mas Reno mencoba menenangkan Ibu dan aku meredakan emosi Budhe. Mereka semakin sibuk dengan berbalas cacian, sampai aku keringat dingin untuk memisahkan mereka."Jangan pikir selama ini aku nggak tahu kelakuan kamu sama keponakanku. Asal kamu tahu, kalau nggak sedang hamil, sudah kusuruh cerai saja dia. Ngapain menghidupi parasit," ujar Budhe emosi."Halah, nggak usah karena hamil nggak jadi cerai. Pisah sekarang juga nggak apa-apa. Reno mau tak jodohin sama Ningrum. Sama-sama sudah duda dan janda."Astagfirullah. Kenapa ibu bisa setega itu sama aku. Apa salah aku selama ini sama dia?"Oalah, Wid. Kasihan kamu punya mertua seperti dia. Harusnya usir saja, buang bajunya tuh. Dasar parasit.""Sudah, Ibu, Budhe, sudah. Tolong jangan memperkeruh keadaan. Budhe, tolong diam dulu, semakin Budhe melawan Ibu, akan semakin membuat aku sakit hati. Budhe, sudah, ya." Aku memohon pada Budhe.Sementara, Mas Reno me
"Reno mana?" tanya Ibu tanpa basa basi."Sudah jalan mengojek, Bu."Ibu beralih pandang menatap wanita di sampingnya. Senyum itu tak pernah terlihat saat berbicara denganku. Bahkan, saat tahu jika aku sedang hamil.Apa yang ada di pikiran ibu mertuaku saat kemarin dengan enteng menginginkan perceraian aku dan Mas Reno. Hanya ibu dari suamiku yang tega berpikiran seperti itu."Sudah, Ning. Nanti Ibu telepon saja Renonya."Ning? Bener dia Ningrum, janda kaya yang sengaja dijodohkan ibu sama Mas Reno. Berulang kali hati ini sakit, tapi lebih memilih bertahan.Dua orang itu seperti tidak memiliki etika. Datang bertamu, pulang begitu saja. Seperti tidak ada orang di hadapan mereka. Dadaku kembang kempis melihat kelakuan mereka.Biasanya aku tak berharap ada Budhe, tapi sekarang aku sangat berharap Budhe ada di sini dan membuat mereka kapok.---Chew Vha---Masakan Budhe enak, aromanya saja sudah bikin perut keroncongan.
"Apa, Pak.""Lanjutkan pekerjaan kamu. Saya masih banyak pekerjaan. Jangan lupa teh hangat nanti di minum, kalau sakit pulang. Besok izin nggak apa-apa.""Iya."Aku menganga mendengar semua ucapan Pak Erlan. Kalimat itu tidak pernah aku dengar dari Mas Reno. Perhatian kecil pun jarang aku terima dari suamiku.Pria itu belum menikah, tapi sangat perhatian dengan karyawan yang memiliki keluarga."Wid, diperhatiin Pak bos, nih."Hmm ... biang gosip datang. Si mulut lemes datang membawa kerusuhan pasti. Sedari tadi dia memperhatikan aku dan Pak Erlan.Teringat tadi Mas Reno marah saat aku mengeluh tentang ibunya. Memang benar apa yang aku utarakan tentang dua orang yang datang ke rumah kemarin.Nasihat Budhe pun selalu aku ikuti. Katanya, bertahan jika memang harus dipertahankan. Lepaskan jika sudah tak pantas di pertahankan."Mba Wid. Ini teh hangatnya.""Eh--terima kasih, Don.""Sama-sama."
Aku terduduk lesu setelah menguras tenaga mengusir dua parasit dari rumahku. Apa yang kurasa saat ini benar-benar membuat aku tak berdaya. Hanya bisa pasrah dengan nasib.Kekuatanku habis terkuras sedari tadi. Kepala kini menjadi pusing, mereka benar-benar tidak tahu malu. Sudah membuat aku marah besar.Andai saja Budhe ada di sini, dia mungkin bertepuk tangan memujiku. Selama ini aku terlalu bodoh dengan cinta yang aku punya.Demi anak dalam kandungan, aku harus kuat menahan amarah ini. Jika aku stres, pikiranku pasti kacau dan semua menjadi runyam.Perutku sedari kemarin terasa begitu nyeri. Belum lagi saat merasakan mules luar biasa, padahal usia kandungan ini baru menginjak 10 minggu.Aku sadar dengan kondisi hamil seperti ini tidak akan bisa untuk mengurus perceraian ini. Setidaknya, aku bisa terlepas dari keluarga parasit itu. Sudah cukup penghinaan yang aku terima.Aku mengambil ponsel untuk menelepon Budhe. Akan kuc
"Biarkan saja, Bu Endah. Setelah pulih aku akan mengajukan cerai. Bagus kalau dia sudah menikah lagi, jadi akan mempercepat prosesnya.""Kamu yakin nggak akan memberitahu keadaan kamu sekarang?" tanya Bu Endah."Nggak, Bu. Saya belum siap mendengar cacian dari Ibu lagi.""Ya, sudah. Ibu gemas sama mulut mertuamu yang harusnya dikasih cabai mercon."Aku tertawa mendengar ucapan Bu Endah. Wanita tua ini yang sering membela aku di depan ibu mertua. Kadang, Ibu langsung pulang karena malu dengan teriakan Bu Endah.Salah aku kenapa harus mencari jodoh yang dekat rumah. Benar kata Mamaku dulu, kalau Ibunya Reno itu matre."Bukan Ibu aja, Nina juga." Kini Nina menimpali ucapan Bu Endah."Bener, Nin. Dia lupa kali kalau punya anak gadis. Dia pikir, anak malas dan manja kaya Rena bisa hidup enak gitu?""Biarin aja, Bu. Nanti si Rena dapat mertua yang mulutnya dobel mercon."Kami tertawa mendengar ucapan Nina. Ada benar juga