***
"Kenapa bertanya padaku, Mas? Tanya sendiri 'lah sama orangnya," jawabku santai, kulihat matanya menatapku serius mungkin ia berharap aku takut, aku sama sekali tidak takut dengannya.
"Kamu mempengaruhi mereka," tuduhan bodoh apalagi ini, tapi nada bicara Mas Arga sangat lembut, hantu mana yang di dalam tubuhnya sekarang.
Aku langsung menurunkan tanganku dan menatap matanya serius, tapi anehnya matanya tidak mau berhadapan langsung dengan mataku, matanya merayap kemana-mana.
Apa mata ini yang kamu gunakan untuk memilih pelakor yang pas untukmu? Seketika senyum mengejek terlukis di bibirku.
"Sekarang aku tanya kenapa kamu nggak marah lagi seperti tadi meletup-letup di depan mukaku hingga anak-anak gemetaran melihatmu?" tanyaku tidak kalah lembut, kulihat matanya terbelalak mungkin ia tidak tahu kalo tadi kedua anakku gemetaran melihatnya.
"Mereka gemetar?" bukannya menjawab ia malah balik bertanya, suami macam apa ini. Aku menggedikkan bahuku lalu menunjuk ke arah anak-anak yang sedang menonton, Mas Arga berbalik mengikuti tanganku.
Kulihat Dani anak bungsuku sedang melihat kotak mainan yang di letakkan Mas Arga di dekat mereka, Dani bahkan ngesot pelan-pelan untuk meraih mainan itu. Mataku memanas melihat pemandangan itu, aku kasihan melihat anakku dan kuyakin Mas Arga juga melihatnya.
"Buka aja, Nak," suruh Mas Arga lembut, Dani langsung kaget mendengar suara Mas Arga lalu ia berbalik melihat Mas Arga lalu bergeser kembali ke dekat Hana. Air mataku hampir luruh melihat anak-anakku.
Kulihat raut wajah Mas Arga yang sedang memperhatikan anak-anak, aku tahu pasti ia kasihan, kuakui suamiku sangat baik pada Hana dan Dani. Tapi kebaikannya hanya sebatas mainan yang sering di kasih pada mereka.
"Harga diri anak-anakku tidak serendah mainan Mas, mereka juga butuh kasih sayang tidak hanya mainan," bisikku lalu ku dekati kembali Hana dan Dani. Begitu aku duduk Dani langsung mendekatiku kemudian mengendus-endus seperti anak kucing.
Aku tahu pasti Dani sangat ingin mainan itu, ku peluk tubuh Dani erat ku ciumi pipinya yang gembul.
"Kenapa nggak jadi ambil mainannya sayang?" bisikku lembut di telinga Dani, kurasakan pergerakan kepala anakku mendongak melihatku.
"Ayah jahat Bunda, Bunda beliin Dani sama Kak Hana mainan ya bunda," rengek anakku, hatiku seperti di sayat-sayat mendengar penuturan anakku.
Ku elus-elus rambut Hana yang sedang tiduran sambil menonton, lalu aku mengangguk pada Dani.
"Iya sayang, doain Bunda ya, besok bunda lamar kerja," jawab sambil menciumnya. Kulirik Mas Arga masih mematung melihat kami, terutama kedekatan anak-anak padaku.
"Bunda … bunda, beliin Kakak mainan makeup-makeup dong, Kakak 'kan udah gede," Hana duduk lalu ikut bergelayut di tanganku, aku hanya tersenyum lalu mencium pipi Hana.
"Iya sayang nanti bunda beliin ya, nanti kita pinjam mobil anty Sinta buat pergi beli mainan, hem," ucapku menyenangkan hati anak-anak.
PoV Arga
Hari pertama aku diperkenalkan dengan Hanin, banyangnya tidak bisa hilang dari pikiranku, aku bahkan mendesak Ayah untuk menikahkanku dengan Hanin.
6 tahun pernikahan kami semuanya lancar mulai dari kekuangan serta jabatanku naik, seiring sibuknya aku dengan jabatan baruku maka semakin sering pula aku harus dinas keluar kota dalam rangka bisnis.
Aku pertama kali ketemu dengan Mita di restoran saat kantorku dan kantor tempatnya kerja saling kerja sama. Awalnya aku sama sekali tidak tertarik dengannya, namun ia selalu mengejar-ngejarku, serta sifatnya yang manja dan penurut membuatku lama-kelamaan mulai menyukainya.
Mita selalu berpakaian seksi setiap hari, tapi anehnya ia selalu mepet-mepet denganku, tidak jarang pula ia mengedipkan matanya sebelah jika kami berpapasan di jalan.
Aku mulai terbiasa dengan itu semua, bahkan yang mengajakku pertama ke hotel itu Mita bukan aku. Ia selalu memuaskanku kapanpun kuminta, tapi anehnya lagi minta tidak pernah menuntut nikah.
Dari situ aku semakin berani dan liar kepadanya karena ia selalu menuruti kemauanku, tidak jarang pula aku kebablasan tidur di hotel bersamanya.
Hanin juga tidak pernah menanyakan lebih jika aku sudah menjawab kalau aku lembur, intinya yang tidak pernah terlupakan olehku adalah mainan untuk Hana dan Dani.
Hari ini Mita meminta jalan-jalan ke pantai, aku paham mungkin ia sudah bosan kubawa ke mall dan ke restoran mahal. Kuturuti permintaannya karena dia sudah memberi kode, setelahnya kami akan ke hotel.
Namun semua rencana gagal saat aku, Hanin dan anak-anak ketemu di pantai. Setelah melihat Hanin dan anak-anak pergi, aku sadar apa yang telah aku lakukan. Membentak Hanin dan anak-anak juga takut saat kudekati.
Ku bujuk Mita untuk menunda jalan-jalan kami dengan alasan warisan, cukup lama membujuknya akhirnya dia luluh juga dan aku bisa pulang setelah mengantarnya pulang terlebih dahulu.
Sebelum pulang ke rumah, kusempatkan membeli mainan untuk kedua anakku dengan tujuan mereka mau menerimanya dan tidak takut lagi padaku seperti di pantai.
Ku ketuk pintu rumah, tidak berapa lama kemudian Hanin membukanya setelah menjawab salamku, ia malah pergi ke dapur. Ake berjalan menuju ruang tengah, kulihat Hana dan Dani sedang menonton.
Aku semakin semangat memberikan mainan yang kubawa pada mereka berdua. Tapi anehnya mereka malah tidak menghiraukanku yang menawarkan mainan pada mereka.
Pikiranku langsung berkecamuk tertuju pada Hanin, aku yakin dia sudah menghasut anak-anak untuk tidak mendengarkanku.
Kulihat Hanin sedang berdiri sambil bersandar pada tembok melihatku dan anak-anak. Ku usahakan menetralkan tubuhku jangan sampai aku membentak Hanin untuk yang kedua kalinya.
Suaraku hampir meninggi saat Hanin menjawab pertanyaanku, tapi detik kemudian aku kaget saat mendengar jawaban Hanin kalau anak-anak tadi gemetar saat aku membentaknya di pantai.
Aku langsung berbalik, begitu aku berbalik kulihat Dani sedang ngesot untuk mendekati mainan yang kubelikan.
Aku tersenyum melihat putraku yang begitu menggemaskan tangannya hendak meraih mainan, tapi kelihatan dari tangannya ia tidak berani membuka mainan itu, Dani hanya mencolek-colek kotaknya. Ku suruh ia membuka mainan itu, tapi alangkah terkejutnya aku saat Dani kembali ke posisinya semula ia bergeser kembali ke dekat Hana, tangannya tadi yang hampir mengambil mainan itu langsung ditariknya kembali.
Ada rasa nyeri di ulu hatiku melihat putraku seperti itu, aku tidak ada niatan sedikitpun membuat mereka seperti itu. Apakah mereka beneran takut atau mereka di hasut Hanin? Pertanyaan itu muncul di otakku tiba-tiba.
Saat tatapanku berubah menjadi sangat teduh melihat Dani, ingin rasanya kupeluk bocah mungil itu, tapi Hanin malah berbisik di belakangku lalu duduk di dekat anak-anak.
Kulihat Hanin mencium Dani dengan tulus lalu memeluknya, beberapa detik kudengar Hanin menanyai Dani kenapa tidak mengambil mainan yang kubeli.
Jleb!
Hatiku seperti di sambar petir mendengar jawaban Dani yang mengatakanku jahat, anak umur 4 tahun itu sudah bisa mengatakanku jahat. Lalu aku tertegun saat mendengar permintaan Dani pada Hanin untuk membelikannya dan Hana mainan.
Awalnya aku mengira Hanin akan melempar permintaan itu padaku, setelah mendengar jawaban Hanin jika ia ingin kembali kerja.
Ingin rasanya aku melarangnya mentah-mentah, tapi bibirku terkunci saat Hana duduk dan ikut merengek pada Hanin. Kulihat wajah Hanin begitu sayu menghadapi permintaan anak-anakku.
Detik kemudian dadaku terasa sesak saat mendengar Hanin akan meminjam mobil demi membawa Hana dan Dani membali mainan yang mereka inginkan, apa maksud Hanin berkata begitu? Seolah-olah kami tidak punya mobil.
Ingi rasanya aku menjawab semua obrolan mereka karena Hanin tak kunjung melempar pertanyaan anak-anak padaku.
''Pakai uang Ayah dan mobil kita aja,' ingin rasanya ku katakan begini, tapi ntah kenapa bibirku terasa terkunci rapat, kakiku mematung seperti sudah di semen dan mataku tidak bisa di alihakan dari mereka bertiga.
Jawaban Hanin membuat Hana dan Dani bahagia padahal uangnya belum tahu dimana dan mobilnya juga masih harus di pinjam, tapi kenapa Hana dan Dani begitu senang? Padahal belum ada kepastian sedikitpun.
Sekarang ini, ingin rasanya aku ikut duduk bersama mereka memeluk Hanin dan kedua anak-anakku serta bercanda riang seperti dulu.
Kulihat Hanin sesekali melirikku yang masih mematung lengkap dengan pakaian lengkap bahkan tas kantorku pun masih di atas meja makan.
*** Cukup lama kulihat Mas Arga mengamati aku dan anak-anakku yang sedang merengek padaku, tiba-tiba kakinya melangkah melewati kami dan menuju kamar. Ku biarkan ia di kamar sendiri, biasanya selalu ku susul untuk mengambil baju gantinya. Tapi kali ini kakiku terasa berat untuk berdiri ditambah lagi Dani yang sedang tiduran di pangkuanku. Dua jam kemudian setelah Mas Arga masuk kamar ia tak kunjung keluar, apa yang dilakukannya di dalam? Sedang menelepon pelakor itu 'kah? Atau tidur? Pertanyaan-pertanyaan mencurigakan akhir-akhir ini selalu muncul di otakku. Kulihat Dani sudah tertidur di pangkuanku dan Hana juga matanya mulai kedap-kedip menahan kantuk, bibirku tersenyum dan tanganku terulur membelai rambut Hana. Mata Hana kembali cerah lalu mendongak ke atas melihatku yang sedang tersenyum manis padanya. "Kenapa, Bunda?" pertanyaan polos itu keluar dari bibir mungilnya, aku langsung menggeleng. "Tidur di kamar yuk sayang, udah jam 9 lebih, Adek juga udah tidur ini," ajakku, Ha
Kurogoh saku celanaku untuk melihat kemana dia pergi, aku memicingkan mata melihat jalan yang di tempuh Mas Arga, ku kira ia akan pergi ke rumah orang tuanya dan mengadu pada Ibunya seperti anak TK yang habis berantam. Aku tidak mempermasalahkan kemana dia malam ini karena nggak mungkin aku meninggalkan anak-anakku yang sedang tidur demi suami yang tidak tahu malu itu, sudah jelas-jelas salah masih saja keras kepala. *** Pagi hari; Aku sedang mempersiapkan Hana hendak berangkat sekolah tidak lupa denganku juga yang sudah berpakaian rapi untuk pergi melamar kerja. Sekarang kami bertiga sudah di teras, aku sedang menunggu Hana memakai sepatunya. Tiba-tiba saja mobil Mas Arga masuk ke halaman, aku yang melihat itu hanya jutek dan pura-pura tidak peduli dari mana dia semalaman. Kulihat ia turun dari mobil, kaki jenjangnya ia langkahkan mendekati kami bertiga. Entah kenapa Dani kembali memelukku saat Mas Arga sudah dekat. "Hana mau berangkat sekolah, Nak?" tanyanya lembut, Hana langsu
Setelah menitipkan Dani di rumah Sinta, aku menuju SMP Nusa, selama perjalanan ku sepatkan menelpon Sinta. [Assalamualaikum, Hanin kamu dimana?] sapa Sinta dari seberang sana terdengar di sekiranya ribut sekali mungkin suara murid-muridnya. [Walaikumusalam, aku udah di angkot Sin, gimana berkasku diterima nggak?] tanyaku penuh harap, terdengar ia terkekeh mendengar pertanyaanku. [Ya diterima 'lah, Aku nelpon Bapakku minta tolong biar di bilangin sama kepala sekolah] jawabannya membuatku senang sekaligus kaget, ingin rasanya sekarang ke peluk Hana dan Dani berkat mereka aku semangat untuk melamar kerja. [Serius kamu, Sin? Emang kepala sekolah siapanya, Om?] tanyaku lagi semakin penasaran. [Temen kuliahnya, Bapak. Aku juga dulu masuk ke sini di bantu sam Bapak. Udah ah, sini cepat] lanjut Sinta mendesak, dia pikir aku yang nyupir angkot apa di suruh cepat-cepat segala. Sekitar 10 menit perjalanan akhirnya aku sampai di sekolah tersebut dan langsung di suruh ngajar, aku merasa seper
Disisi lain, Mas Arga yang sedang sibuk mengerjakan beberapa file langsung berhenti karena melihat ada pesan dari Mita. Mataku tertuju pada sofa ternyata Hana sudah bangun, segera kuhampiri anak sulungku itu, lalu ku usap kepalanya. "Udah bangun Nak, ini kenapa nggak di habiskan sayang makanannya?" tanyaku lembut karena mlihat ada beberapa makanan lagi yang berlum di buka. "Ini buat Adek, Ayah," jawabnya membuatku langsung bungkam, tanpa membuang waktu aku langsung menggendongnya ke mobil. *** Disisi lain, di dalam mobil aku hanya diam saja pikiranku berkecamuk sekarang, bukan masalah Mas Arga dengan pelakor itu, tapi aku takut Hana dipengaruhi oleh mereka berdua, jangan sampe Hana disuruh manggil bunda juga sama pelakor itu. "Bunda beli es klim," ucap Dani membuyarkan konsentrasiku, aku langsung menoleh ke samping melihat anak kecil itu sedang memegangi sabuk pengamannya. "Iya sayang, kita beli ice cream sekarang ya," jawabku, kulihat Dani menganggukkan kepalanya sambil matanya
Prang! Vas bunga tersebut jatuh ke lantai menggema di seluruh ruangan, hancur berkeping-keping, tidak ada ubahnya seperti hatiku yang sekarang. Pov Arga Aku keget mendengar ada yang jatuh di dekat pintu, langsung kuhentikan aksiku dan memakai celana dan bajuku secepat kilat. Lalu kaki jenjangku melangkah keluar kamar, memeriksa apa yang pecah. Mataku langsung terbelalak melihat Hanin berdiri dengan melipat kedua tangannya memasang muka yang sangat marah, tapi terlihat jelas olehku matanya merah dan masih membendung sedikit air mata. "Hanin," panggilku. "What!" bentaknya membuatku langsung kaget, seumur-umur Hanin tidak pernah membentak, tapi kali ini suaranya sangat tinggi. "Aku bisa jelasin," lanjutku mencoba menenangkannya, bukannya menjawab malah mempertajam tatapannya. "Tidak ada yang perlu kau jelasin Arga Wijaya!" Hanin kembali membentakku, tapi kali ini ia mengucapkan nama lengkapku dengan lantang. "Sayang," panggil Mita, tiba-tiba sudah bergelayut manja di tanganku, k
"Apa kesalahan Hanin dalam berumah tangga, sehingga kamu tega berbuat seperti ini," tanya Ayah, kulihat Mas Arga hanya menggeleng. "Jadi kenapa kamu selingkuh? Dibilang Hanin mandul, tidak, kalian bahkan punya dua anak. Dibilang Hanin tidak bisa memiliki keturunan laki-laki, tidak, kalian punya Dani. Dibilang Hanin nggak bisa mencari uang, tidak, dia sarjana, ngajar juga, bahkan dulu kamu yang membujuk-bujuknya untuk berhenti bekerja. Apa Hanin tidak memberi nafkah batin sehingga kamu putuskan untuk selingkuh?" Ayah mengungkap semuanya. Aku memang salut sama Ayah, ia tidak pernah menyalahkan satu sisi. Aku semakin bingung, lagi-lagi Mas Arga menggeleng, kenapa dia? Dan Ibu mertuaku tetap pada posisi antagonisnya, ia bahkan membuang pandangannya dari kami. "Kenapa kamu hanya menggeleng Arga? Jawab!" bentak Ayah membuatku langsung kaget, untunglah anak-anak berada di teras, kalo tidak mereka bisa ketakutan. "Hanin nggak salah apa-apa, Ayah," kata-kata itu keluar dari mulut Mas Arga,
"Wah ... Pangeran sudah datang rupanya, silahkan bergelayut tuan putri selangkangan," ledekku saat melihat yang datang adalah Mas Arga, aku juga nggak ngerti kenapa mulutku benar-benar tajam sekarang ini. Hanin! Bentak Mas Arga, tapi suaranya tidak setinggi tadi pas di dampingi ibunya. Tidak ku hiraukan bentakannya, kakiku dengan tegas melangkah ke kamar menyusun pakaianku dan anak-anak. Tidak selang berapa lama Mas Arga menyusulku ke kamar saat aku mulai mengangkat satu per satu koper yang sudah ku isi penuh. "Hanin," panggilnya lembut, ku tulikan telingaku, kuseret dua koper sekaligus saat hendak melewatinya, Mas Arga kembali memegang pergelangan tanganku membuatku kembali emosi. "Apa, sih?!" bentakku lalu ku hempaskan tangannya dengan kasar. "Kamu kok jadi kasar, sih?" bukannya menjawab ia malah balik memberi pertanyaan yang sangat bodoh. "Kamu tanya aku kenapa kasar, tanya sendiri pada dirimu Arga, jawabannya ada pada dirimu," jawabku berusaha tenang sambil menunjuknya. "O
"Sinta, nyampe kapan?" tanyaku saat ia sudah berdiri di samping kulkas, Sinta langsung tertawa lalu menaruh kantong plastik di tangannya ke atas kulkas. "5 menit yang lalu," jawabnya tanpa melihatku. "Anty, itu apa?" tanya Hana sambil menunjuk kantong plastik yang dibawa Sinta tadi. "Ini apel, kamu mau?" lanjut Sinta yang dibalas anggukan oleh Hana, setelah memberikannya pada Hana. Sinta kembali mendekatiku yang sedang mengiris bawang sambil menahan perih. "Nggak terasa ya Nin, udah tiga minggu aja setelah kamu cerai sama Arga," ucap Sinta membuatku langsung berhenti mengiris bawang lalu melihatnya. "Iya Sin, tapi aku belum sempat juga ngurus surat perceraian kami. Aku nggak boleh boros dulu sekarang ini demi anak-anak," curhatku membuat Sinta langsung mangut-mangut. "Iya udah sih, itu mah bisa belakang toh kamu juga belum mau nikah 'kan?" godanya membuatku langsung terkekeh. "Nikah dari Hongkong, cukup melihat anak-anakku bahagia, itu udah lebih dari cukup buatku, Sin," lanjutk