Tangisan Kehilangan
Kelopak mata Milly terbuka. Hari sudah pagi, itu terlihat dari cahaya yang menelusup di balik tirai di ruangan keluarga. Ia tertidur di sofa, menunggu kepulangan Clara. Merenggangkan tangannya ke atas, ia kemudian beranjak.
Matanya menatap di setiap penjuru rumah, tampak sepi. Sepertinya semalam Ibunya tidak pulang.
“Mom sepertinya kau telah lupa padaku,” gumam Milly cemberut.
Lalu tanpa merasa keanehan apapun ia menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Menarik nafas singkat dan menuju dapur. Membuka lemari kecil di atas, mengambil sekotak sereal, juga mangkok kemudian meletakkannya di meja bar.
Namun tidak lama suara ketukan pintu mengagetkannya, sangat heboh. “Milly. Apa kau ada di dalam?” Itu adalah suara Bibi Rachel, terdengar rentan dan rapuh.
Bergegas, Milly melangkah menuju pintu, tapi sebelum itu ia menggeser sedikit tirai, memastikan sejenak sebelum membuka pintu itu. “Ada apa Bibi?”
“Kau harus lihat ini Milly,” Rachel yang telah menua dengan garis keriput yang tampak jelas di wajahnya itu memandang sedih ke arah Milly.
“Lihat? Tentang apa?”
“Oh, Clara. Bibi tidak tahu kenapa Ibumu tidak menyediakan TV di rumahmu,” dengus Rachel bersandiwara, padahal ia tahu jelas alasan di balik semua itu.
Tentu saja agar tidak ada sesuatu yang menghubungkan kembali ingatan Milly dengan masa lalu. Apalagi waktu itu pemberitaan tentang seorang gadis hilang bernama Evelyn Blossom sempat marak di seluruh media.
“Ayo. Ikutlah ke rumahku, Milly.”
Kemudian tergopoh-gopoh wanita tua itu membawa Milly menuju rumahnya, sementara Milly hanya menampilkan raut penasaran di sela derap langkahnnya mengikuti Rachel di belakang.
Setiba di sana, Rachel terdiam dan sejenak Milly mengernyit. Sebelum matanya terfokus pada layar TV yang memuat sebuah berita,
“Kami ingin memberitahukan bahwa pagi ini telah ditemukan seorang wanita di tempat tidur di salah satu hotel di Los Angeles yang meninggal tanpa busana. Dari identitas yang diperoleh melalui dompet korban, wanita itu bernama Clara Kincaid. Berusia 40 tahun.
“Selain itu ditemukan juga obat penenang berserakan sehingga diduga wanita ini meninggal karena mengalami overdosis—”
Telinga Milly tidak lagi memusingkan suara reporter di sana. Ia begitu shock. Wajahnya memucat dan matanya memanas. Tangannya membekap mulut.
“Tidak…” bisiknya menolak kenyataan.
Namun mata Milly masih terpaku pada layar itu, dimana kini sebuah kantong jenazah sedang dimasukkan ke dalam ambulans.
“Bibi juga tidak percaya ini, Milly.”
Perlahan Milly memandang Rachel dan wanita tua itu berkata lagi dengan getir. Wajahnya menampilkan kesedihan yang pekat.
“Bibi sudah menghubungi nomor ponselnya. Tidak ada apapun.”
“Ponselnya mati.”
***
“Aku harus menemuinya…” isak Milly pada Rachel karena wanita tua itu bersikeras melarang Milly menemui Clara. Biar bagaimanapun Rachel cemas jikalau kematian Clara bisa saja terselip rencana jahat yang tersembunyi.
Entah untuk apa maksudnya, tapi instingnya menunjukkan kewaspadaan yang begitu kuat. Mengingat seberapa pelik masalah Clara semasa hidup.
Milly meraih gelas berisi air yang diberikan Rachel, meletakkannya di meja, tidak berniat meminumnya.
“Tolong Bibi. Mengertilah…”
Saat ini ia masih berada di rumah Rachel dan wanita tua itu tengah duduk di sebelahnya. Sesekali Milly menyeka air mata di pipi.
“Aku tidak mengerti mengapa kau melarangku Bibi? Atau mungkin kau tahu sesuatu tentang kematian Mom?”
“Tidak. Bibi tidak tahu apapun.” Rachel menggeleng dengan gurat kesedihan.
“Semasa hidup, Bibi sangat mengenal Ibumu. Ia adalah sosok yang tegar dan kuat.”
Milly menangis sesegukan. “Jika kau yakin Mom bukan sosok lemah yang akhirnya memutuskan bunuh diri dengan obat-obatan, maka kau harus mengijinkanku melihatnya, Bibi…”
Rachel membelai rambut Milly, mencoba memberi penghiburan sebisanya.
“Milly, sejujurnya Bibi takut. Ibumu begitu melindungimu. Jika benar kematiannya ini bukan karena keinginannya, maka kau bisa jadi dalam bahaya.”
Seketika Milly memandang Rachel. Sendu juga terselip sebuah tuntutan penjelasan di sana.
“Apa maksudmu?” lirihnya.
Rachel balik menatap tak kalah sendu.
“Kau adalah putrinya. Banyak sesuatu jahat di luar sana yang tidak kau ketahui. Apalagi kau tahu seperti apa pekerjaan Ibumu bukan?”
“Dan mungkin semua ini terjadi karena Ibumu telah melakukan kesalahan pada kliennya,” lanjut Rachel prihatin.
“Mom tidak bertemu kliennya semalam Bibi.” Tiba-tiba pandangan Milly menerawang dan obrolan terakhirnya dengan Clara menjadi tergiang di benaknya,membuat buliran air matanya terus mengalir.
“Mom bertemu pria yang sangat mencintainya.”
“Apa?”
“Dan sepertinya…” Sorot mata Milly kemudian terpusat pada Rachel yang balas menatapnya tak percaya.
“Pria itu tidak mencintai Mom. Ia yang melakukan hal ini pada Mom.”
“Oh, Milly…” Spontan Rachel membekap mulutnya sejenak sebelum membawa Milly ke dalam dekapannya. Membelai lembut rambut gadis itu. Hingga tangisan itu menjadi teredam, tapi tetap terdengar memilukan.
Hati Rachel menjadi tersentuh seakan bisa merasakan kedukaan yang begitu dalam dari isakan Milly atas kepergian Clara.
Hingga akhirnya ia mengalah, “Baiklah. Jika kau ingin menemuinya, apa boleh buat. Bibi akan menemanimu melihatnya untuk terakhir kali.”
“Tapi dengan satu syarat.” Rachel mengingatkan,
“Kau harus menyembunyikan identitasmu. Tidak ada yang boleh mengetahui bahwa kau adalah putrinya.”
Kepala Milly seketika terangkat. Bola matanya menatap penuh terimakasih pada Rachel. Tapi tetap rasa kehilangan itu begitu kentara terukir di wajah Milly.
“Aku janji,” ujarnya dengan senyum pedih.
***
Derap langkah Milly begitu cepat di lorong rumah sakit. Rambutnya coklatnya terurai. Masker menutupi sebagian wajahnya. Sementara Rachel di belakangnya mengikuti, sesekali mengedarkan pandangan ke sekitar.
Ketika tiba di ruang jenazah, sekujur tubuh Milly bergetar waktu melangkah mendekati mayat Clara yang telah ditertutup kain. Rachel turut masuk.
Sebelumnya mereka memang sempat ditanyai perihal kedekatan apa yang terjalin dengan Clara dari pihak rumah sakit dan Rachel mengatakan mereka adalah tetangga Clara. Kemudian membeberkan bahwa tidak ada satupun keluarga yang dimiliki oleh Clara.
Tapi ia bisa memastikan bahwa mereka cukup dekat sebab sewaktu hidup Clara kerap bertamu ke rumahnya.
“Milly…” bisik Rachel memegang pundak Milly. Gadis itu sungguh terguncang. Menangis dalam diam, berusaha agar isakannya tidak diketahui siapapun.
“Bibi ada bekas belitan di lehernya…” lirihnya ketika membuka kain jenazah itu dan menampilkan bibir pucat Clara. Tidak ada aliran darah lagi di sana. Tubuhnya kaku. Wajahnya tidak lagi bersinar. Meredup sebab nyawa telah tiada.
“Bibi tahu ini sungguh berat untukmu…” usapan Rachel di pundaknya tidak juga mampu menghilangkan rasa kesedihan mendalamnya.
“Milly…” Rachel agak terkejut ketika tiba-tiba Milly berjongkok, menutup kedua wajahnya dengan tangan. Menangis keras walau agak teredam di balik masker.
Ia sudah tidak tahan. Siapapun yang melakukan hal ini, pria itu sungguh tidak berprikemanusiaan. Apa membunuh adalah hal yang sangat sederhana baginya? Apa pria itu tidak memikirkan rasa kehilangan yang akan dirasakan orang-orang terdekat dari kematian seseorang yang dimusnahkannya?
“Kau sudah berjanji Milly. Jangan seperti ini. Tangisanmu menunjukkan bahwa kau sangat terpukul. Seolah kau sangat dekat dengannya…” bujuk Rachel yang kemudian menarik tubuh Milly bangkit dan memeluk gadis itu. Mengusap punggungnya, memberikan ketenangan sesaat.
Isakan Milly perlahan mulai mereda. Tidak kencang seperti sebelumnya. Ia berusaha mengontrol perasaannya sebisanya. Balas mendekap Rachel. Lalu berbisik, “Kenapa ada pria jahat seperti itu di dunia ini Bibi?”
Kepala Milly menggeleng dalam dekapan Rachel. “Pria itu menutupi kematian Mom dengan baik. Bagaimana bisa tenaga medis juga berita malah menyiarkan fakta kebohongan?”
“Milly…”
“Semua orang awam pun pasti menyadari bekas pembunuhan itu Bibi. Tapi mereka menutupinya,” racau Milly sesengukan.
“Semua itu bisa terjadi Milly. Di dunia ini ada banyak orang berkuasa. Mereka punya banyak uang dan apapun bisa mereka lakukan. Dan kita… orang yang biasa tidak akan sanggup melawan mereka.”
Detik berikutnya Rachel menghapus cepat air mata di pipi Milly, lalu mengandeng jemari gadis itu. Menariknya, membawa jauh dari Clara walau dari tatapan Milly terlihat jelas bahwa ia belum rela berpisah dengan jenazah Clara.
“Kita harus pergi sekarang Milly.”
Tangannya Milly seolah ingin menjangkau Clara di sana ketika dirinya hendak mencapai pintu keluar ruangan itu.
“Mom…” Itu adalah kata lirih terakhir yang sarat kesedihan yang lolos dari bibir Milly dan disahuti Rachel dengan agak panik,
“Ssstt. Kau tidak boleh menyebut apapun di sini Milly.”
Lalu Rachel mulai membuka pintu itu hingga pemandangan Clara yang terbaring kaku di sana mulai lenyap dari pandangan Milly sebab perlahan pintu itu mulai menutup.
***
Bersambung
KericuhanSeminggu kemudian…“Kemana Elena?” tanya Fernandez kepada gadis yang melayaninya. Bola mata gadis itu terasa familiar di matanya, tapi ia tidak yakin mirip siapa hingga tidak terlalu memusingkan. Terlebih wajahnya sebagian tertutup masker.“Elena?” suara gadis itu agak teredam karena masker yang dikenakannya. Ekspresinya tampak bingung. Ekor matanya sekilas melirik ke arah pintu yang tertutup tidak jauh dari posisinya berdiri, tepat di sebelah kanan.“Ya. Ia bekerja di sini dan hanya ia yang tahu jelas seperti apa pesananku.” Alis Fernandez terangkat sebelah dan kedua tangannya berada di saku.“Aku ingin ia yang berdiri di depanku sekarang.”“Untuk sementara kau bisa—” Kalimat gadis itu tidak selesai karena pintu itu terbuka lebar dan memunculkan sosok Elena Corrigan yang beruraian air mata.
Sebuah KesepakatanHal pertama yang didapati Milly ketika pintu itu telah terbuka adalah penampilan Elena yang tampak agak berantakan. Rambutnya dicepol sembarangan. Blouse pinknya terlihat compang-camping. Muka temannya itu memerah.“Maaf aku baru bisa membuka pintu sekarang. Tadi aku sedikit mengatasi sesuatu hal,” jelas Elena ngos-ngosan, membuat Milly mengernyit.“Apa kau terjatuh?”Elena tertawa. “Tidak Milly.”“Aku mendengar suara-”“Tidak. Tidak ada apa-apa Milly,” potong Elena cepat. Kemudian melebarkan pintunya dan mempersilahkan Milly.“Masuklah.”Milly pun masuk ke dalam aparteman sederhana Elena. Ia lalu bertanya pada Elena. “Jadi untuk apa kau memanggilku?” Pandangannya kemudian berhenti pada satu titik. Kepada lelaki yang tadi dilihatn
Mawar Merah“Hei, Mom,” sapa Axton kepada Wella yang hanya duduk mematung di tepi kasur. Tatapannya kosong dan tampak sedang melamunkan sesuatu.Axton membuang nafas lelah. Tapi ia berusaha mengukir senyum dan menutup pintu kamar. Kemudian berjalan ke arah jendela. Melirik kebun kecil mawar merah di bawah sana. Suasana musim semi pagi ini membuat bunga-bunga itu tampak mekar dengan indah.Ia tahu betul bahwa Ibunya suka bercengkraman dengan bunga-bunga itu—sebelum pengkhianatan Ayahnya terjadi dan merusak momen kebersamaan mereka selama ini. Bunga-bunga itu bahkan dulu menjadi saksi bisu setiap aktifitas keluarga mereka di pagi hari.Kecupan mesra yang diberikan Ayahnya kepada Ibunya…Elusan lembut di puncak kepalanya sebagai bukti kasih sayang seorang Ayah untuknya…Dan Axton tidak akan membiarkan bunga-bunga itu mati. Ia tidak ingin Ayahnya tertawa dan
Kejutan Pahit“Anda Milly Kincaid?” tanya Thomas yang berjaga di pintu ruang kerja Axton.Milly yang tampak ling lung akibat tidak terbiasa dengan luasnya setiap area di gedung ini lantas menatap Thomas. Ia tadi diperintahkan untuk menuju ke lantai ini. Tepatnya lantai 30. Semburat senyum tipis dipamerkannya.“Kau teman Andez?”Thomas berdeham ketika meneliti penampilan Milly dari atas sampai bawah secara terang-terangan. Gadis itu mengenakan dress peach tanpa lengan namun panjangnya melewati lutut. Juga sepatu converse. Padanan yang cukup aneh. Terlebih masker bunga-bunga yang menutupi sebagian wajah gadis itu.“Saya bukan teman Tuan Andez.”“Lalu?”“Anda tidak perlu tahu siapa saya. Mari saya antarkan anda bertemu dengan Tuan Ax. Karena Tuan Ax sudah menunggu anda sejak tadi.”
Kehancuran Menyakitkan“Turunkan aku!” jerit Milly meronta memukul punggung Axton ketika lelaki berjalan membawanya menuju kamar rahasia di ruangan kerjanya.Milly tadi sempat ingin melarikan diri lewat jendela kerja Axton. Berniat menghancurkannya, namun batal sebab ia menjadi tertegun selama beberapa detik waktu sadar ketinggian di bawah sana. Lalu sebelum ia menghindar lebih lanjut, Axton telah lebih dulu mengangkat tubuhnya.“Ah,” ringis Milly ketika Axton melemparnya di ranjang. Tubuhnya terbanting di sana dan kepalanya terasa pening. Sementara ia mengumpulkan kesadarannya sejenak, Axton tiba-tiba menarik kakinya membuat ia meluncur ke bawah.“Apa yang kau lakukan?!” pekik Milly histeris. Apalagi saat Axton mulai merangkak ke atasnya, menangkap kedua tangannya, mengikatnya dengan dasi yang sebelumnya diambil di atas nakas.“Menurutmu?” Axton bertanya balik di sela giginya yang menarik kencang simpu
Rencana LicikMalam harinya, Milly terbangun. Ia tadi tertidur pulas karena kelelahan. Tangannya memegang kepalanya dan menatap sekitar. Bola matanya terbelalak, memandang nuansa ruangan itu yang berwarna hitam dan abu-abu.Segera ia menatap tubuhnya. Terdapat selimut yang membungkus namun dibaliknya ia tidak terhalang oleh apapun. Ia ingat jelas apa yang dilakukan Axton padanya.Lelaki itu…Lelaki itu mengoyak seluruh pakaiannya. Tidak ada yang tersisa.Lalu… mereka bercinta dengan liar dan panas.Tidak ingin mengingat hal menjijikan itu lagi, lekas ia melangkah turun. Terseok-seok karena merasa nyeri dan perih di pangkal pahanya. Kemudian menuju lemari pakaian yang dilihatnya. Dengan lancang ia membukanya. Ketika menemukan beberapa kemeja di sana, bergegas ia mengenakannya.Tapi matanya tiba-tiba berhenti ketika menangkap pantulannya di
Surat KabarKeesokan paginya Fernandez mengumpat, “Sial.” Ia memandang Axton yang tengah memegang koran—atau surat kabar—yang digulung. Ia tidak percaya bahwa ia akan ikut serta ke dalam rencana akal bulus Axton demi menyembunyikan Milly dari Elena.“Ini akan berhasil. Percaya padaku.” Axton menepuk sekilas pundak Fernandez, sementara Fernandez mulai mengetuk pintu apartemen sederhana Elena.“Elena. Ini aku.”“Tidak. Aku tidak ingin melihatmu Andez!” balas Elena dari dalam apartemen. Membuat Fernandez menyandarkan dahinya di pintu. Terlihat mengerang frustasi.“Kau membuat marah kekasihmu?”Fernandez mengabaikan pertanyaan Axton. Ia kembali berkata dengan tenang kepada Elena dari balik pintu. “Jika kau tidak membuka, jangan salahkan aku kalau aku mendobrak pintumu.”“Dan jika i
PemakamanSiang hari itu suasana berkabung begitu terasa. Walau hanya dihadiri oleh beberapa orang saja seperti teman kerja Milly. Juga tetangganya. Salah satunya Rachel. Wanita tua itu mengenakan kaca mata hitam, terus mengelap hidungnya menggunakan tisu disertai isakan.“Oh, Milly…” racaunya masih tidak menyangka.Elena yang berada di sebelah wanita tua itu hanya bisa mengusap lengan, berharap dapat memberikan kekuatan. “Bibi…”“Ia tidak seharusnya mengalami hal buruk seperti ini….” Rachel perlahan bersimpuh dan mengusap nisan yang bertuliskan nama Milly Kincaid. Ia merasa seakan mengulang peristiwa yang sama.Pasalnya beberapa bulan lalu, ia juga menghadiri pemakaman serupa. Bersama Clara, menangisi gadis belia yang tidak seharusnya merasakan segala hal mengerikan itu seorang diri hingga berujung pada kematian tragis.