Richard’s
She surely has a big apetite! Dia makan seolah - olah ini adalah makanan pertamanya sejak dia datang ke sini! Jika tidak melihat sendiri, aku pasti tak akan percaya dia mampu menghabiskan tiga piring moules dalam sekejap.
Corrine bahkan belum menyentuh isi piringnya. Kulihat dia juga sama amaze nya denganku pada makhluk di depan kami.
Aku belum pulang dari Maison saat Corinne menemukanku merokok di patio depan rumah. Dia bercerita beberapa kekhawatirannya tentang Mira, tentang dia yang ingin sekali menceritakan semuanya tapi dia tidak bisa. Bukan dia orang yang tepat untuk menceritakannya, dan dia takut tidak bisa menghadapi reaksi Mira.
Yah, aku juga tidak lebih baik, harus kuakui. Dia mengira aku benar - benar meninggalkannya kemarin dan tidak menjemputnya tepat waktu. Dan aku tidak mencoba, tidak ingin mencoba, mengoreksinya.
“Kenapa tidak menghiburnya saja, jika tidak bisa meringankan bebannya?” Kataku sambil lalu.
Mata Corrine seketika berbinar cerah. Mata yang berwarna sama dengan mata Mira. Hanya saja mata Corrine agak lebih sayu.
Meskipun kami berdua sudah bersahabat sejak lama, perasaanku pada Corrine, hanya sebatas teman baik. Dan aku bisa yakin bahwa perasaan Corrine pun sama. Aku tau semua kisah asmara Corrine. Kadang bahkan membantunya sedikit, tapi hanya sebatas itu. Satu - satunya perempuan yang bisa membuatku jungkir balik adalah Arlaine. Sejak dulu. Dan belum berubah meskipun dia sudah pergi 7 bulan yang lalu.
Aku berdecak melihat si Nona Kecil memakan semua makananannya dengan rakus tapi menyisihkan kentang dari piring - piring moules di hadapannya.
“Hei hei, kentang itu dimaksudkan sebagai pengganti nasi.”
***
“Hei hei, kentang itu dimaksudkan sebagai pengganti nasi.” Richard lagi – lagi mengomentariku yang lagi - lagi menyingkirkan kentang dari piring moules.
Ini sudah piring ketigaku. Dan aku tidak berencana untuk berhenti setelah ini. Masih banyak menu terhidang di meja. Makanan penutup saja belum disajikan. Terlihat seperti orang kalap? Kelaparan? Udik? Je m’en foe! Tidak peduli!
“Makan hati - hati, Mira. Nasinya pedas karena dimasak dengan kuah kaldu yang dibumbui.” Benar sekali. “kalau tersedak akan sakit rasanya.” Benar lagi! But I can’t stop myself from this euphoria!
“Kalau tidak melihatnya sendiri, aku pasti tidak akan percaya. Tubuh boleh kurus, tapi butuh porsi besar untuk mengenyangkanmu.” Richard mendengus.
Aku mendelik sambil masih sibuk mengunyah, kebiasaan untuk diam saat makan memang sudah mendarah daging rupanya. Kuprotes dia dengan tatapan galakku. Dalam hati sedikit menyalahkan Corrine karena mengajak serta orang semenyebalkan ini bergabung dalam satu meja.
“Sudahlah Richard, biarkan dia menikmati makanannya. Kau juga seharusnya menghabiskan makananmu. Atau Sundae untuk dessert tidak akan pernah datang.”
Mendengar kata Sundae dan dessert dalam satu kalimat positif, membuatku semakin kalap. Aku ingin cepat - cepat menghabiskan makananku dan melahap Sundae coklat yang dijanjikan Corrine. Agak aneh memang pilihanku, di cuaca dingin seperti ini, aku malah memilih es krim untuk dessert. Tapi suasana yang nyaman dan ramai ini membuat hatiku hangat. Senang sekali rasanya bisa keluar dari rutinitas yang mengekang akhir - akhir ini. Walaupun bukan hal yang kubenci, tapi mengulang sesuatu yang sama setiap hari tetap saja membuat jenuh dan bosan. Tubuhku memang tidak kuat dingin, tapi kecintaanku akan es krim tidak akan pernah pudar!
Mungkin ini pertama kalinya kau merasa bahagia sesampainya di Belgia. Benar-benar bahagia, melebihi kebahagiaanku saat tahu akan melanjutkan study ku di ARBA. Perut kenyang, lidah termanjakan, suasana yang ramai dan hangat serta orang-orang yang ramah membuat suasana hatiku membaik seratus kali lipat. Bahkan fakta menghabiskan malam bersama Richard tidak menyurutkan euforiaku.
Aku banyak bicara dan tertawa malam ini. Setelah makan, kami masih duduk di Le Nil untuk menikmati kopi dan cokelat panas atau sari tebu hangat yang dicampur lemon – minuman khas timur tengah – dan membicarakan apa yang terjadi hari itu. Corrine dan Richard kaget saat aku bilang bahwa sampai sekarang aku belum mempunyai satu teman pun di ARBA. Ya, karena aku memang introvert, dan tidak mudah membuka diri. Aku juga bercerita tentang sahabat baikku, semoga dia masih mau kupanggil sahabat walaupun dalam kenyataannya hampir tiga bulan lamanya kami tidak pernah berkomunikasi.
“Ils te manquent beaucoup, kampung halamanmu.” Corrine mengelus telapak tanganku yang sedari tadi digenggamnya.
“Ya.” Tentu saja, ya. Aku merindukannya. Disana tempat aku tumbuh besar, kan.
“Ingin pulang ke sana?” Richard juga sudah menanggalkan atribut tugasnya. Beberapa kali dia memanggil namaku tanpa embel-embel Mademoiselle. Kesannya lebih terbuka dan lebih akrab. Nyaris seperti malam saat Corrine berulang tahun.
“Entahlah.” Aku menjawab pelan. Faktanya, aku memang ingin pulang, tetapi aku sama sekali tidak memiliki tujuan yang bisa kusebut pulang. Oma? Beliau sudah mengusirku dulu saat terakhir kami bertemu. Dia tidak ingin terbebani olehku. Memikirkan diriku yang menjadi beban orang lain membuat hatiku sakit. Shita? Dia juga masih bocah, sama sepertiku. Ingin mencoba hidup sendiri? Yang benar saja, bisa - bisa aku diciduk oleh dinas sosial dan dimasukkan ke panti rehabilitasi! “Karena aku tak punya tempat kembali di sana. Kurasa, aku masih harus disini.”
“Kau tidak suka di sini?”
Aku memandang Corrine dan Richard bergantian. Sukakah aku di sini? Berada di sini sama sekali bukan kemauanku. Beradaptasi dengan tempat asing dan orang - orang asing, yang membuatku membangun benteng perlindungan setebal dan setinggi mungkin, adalah hal yang paling sulit kuhadapi. Belum lagi dengan keluarga baru yang aku tak pernah tahu. Ironis, karena seharusnya keluarga adalah orang yang paling dekat dan mengerti kita. Tapi yang terjadi padaku adalah sebaliknya. Keluargaku adalah sekelompok orang asing dengan banyak sekali perbedaan dariku.
“Kurasa suka atau tidak suka, tidak akan banyak membawa perbedaan untukku. Yang paling ingin kutanyakan dan kutahu jawabannya adalah; adakah yang menginginkanku berada di sini?”
Yeah, it's true! Adakah yang menginginkanku di sini? Clairement, Daddy apakah kau menginginkan keberadaanku? Di sini? Sekarang? Bahkan alasan aku disini masih tidak kutahu hingga beberapa bulan aku menetap di sini.
***
Kami bertiga pulang hampir tengah malam. Dan paginya aku bangun kesiangan. Efek karena tertidur larut malam. Saat membuka pintu kamar, aku dikagetkan oleh seorang tamu laki - laki tak diundang yang langsung membuatku marah di pagi hari.
“Siapa kau?” Tanyanya. Kutaksir usianya menginjak pertengahan dua puluhan. Atau akhir tiga puluhan.
Aku mengernyitkan alis bingung. Siapa yang berkunjung ke rumah siapa dan siapa yang bertanya siapa. Ah, kalimatku membingungkan gara - gara orang ini! “Kurasa pertanyaan itu seharusnya milikku. Jadi, siapa kau?”
Dia kelihatan gusar mendengar kalimat balasanku. Alih - alih menjawab, dia malah bertanya lagi kepadaku. “Aku melihatmu keluar dari kamar orang lain. Apa yang kau lakukan di dalam?”
“Maaf, hari ini aku bangun kesiangan. Dan kalau aku tidak buru - buru, aku akan terlambat mengikuti kelas pertamaku. So, if you don’t mind,” aku mengisyaratkannya untuk minggir dengan menggoyangkan telapak tanganku ke samping, karena tubuh tegapnya menghalangi jalanku keluar dari koridor.
“Mademoiselle,” Suara Richard yang familiar menyapa pendengaranku.
“Richard! Tolong, orang ini menghalangi jalanku!”
“Berardi.” Panggilnya tanpa mengalihkan tatapannya dari wajahku. “siapa bocah ini?” What?!! Bocah?
“Duke Villich.” Kulihat Richard mengangguk hormat padanya. Duke Villich? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Dimana? Siapa? Aku menggeleng saat tak kutemukan padanan wajah dengan nama tersebut. Pasti salah orang. “Beliau adalah Mademoiselle Mira Goureille, putri ke dua Monsieur Goureille.”
“Jadi? Bisa tolong beri jalan? Je suis pressée!” Aku menekankan kembali bahwa aku terburu - buru.
Walaupun sempat membuka mulut untuk melayangkan protes ketidakpuasan, akhirnya dia menepi juga. Tidak menyiakan kesempatan, aku langsung berlari di sepanjang koridor sambil menyuruh Richard untuk bergegas.
“Huh, dasar orang aneh. Kau sepertinya mengenalnya dengan baik.” Aku mengomel sambil merapikan rambut dan mantelku di mobil. “Namanya juga tidak terdengar asing. Aku pernah mendengarnya entah dari siapa. Dia punya hubungan dekat dengan Daddy?”
“Sure.” Richard menjawab pelan. “Karena dia mantan calon menantunya.”
Gosh! Duke Abraham Villich! Tunangan Arlaine! How could I forget?
“Untuk apa dia datang lagi?” pertanyaan yang hampir meluncur dari mulutku itu tertelan lagi karena Richard sudah mengucapkannya untuk kami berdua.
Ya, untuk apa dia datang lagi?
***
Richard’s
Duke of Luxemburg, Abraham Villich. Tunangan dari Putri Tunggal Abdi Negara kesayangan Ratu yang bahkan tidak ada gelar bangsawan yang cocok di sematkan padanya; Monsieur Albert Guireille, Arlaine Guireille.
Mereka bertemu di pesta dansa kerajaan 5 tahun lalu, saat Arlain memulai debutnya sebagai abdi kerajaan. Banyak undangan dari kalangan bangsawan yang datang. Dia berdiri anggun ikut menyambut tamu bersama ibunya, tante dan sepupunya.
Malam itu Arlaine cantik sekali. Tidak heran dia mendapatkan banyak tawaran dansa. Tapi Gadis itu lebih sering berdanse dengan Abe Villich yang terang-terangan menunjukkan ketertarikannya padanya.
Dua hari berikutnya, dia datang ke Maison dan Arlaine memperkenalkannya sebagai ‘Pria yang sedang berhubungan dengannya’. Dan sejak saat itu, hingga 5 tahun kemudian, mereka menjalin hubungan asmara. Kabar pertunangannya diumumkan tahun lalu, tahun yang sama saat akhirnya Arlaine pergi untuk selamanya. Arlaine memberitahuku terlebih dulu dengan mata yang berbinar-binar penuh semangat. Dia tidak sabar untuk mempersiapkan pernikahannya tahun depan awal musim gugur.
Tapi, kecelakaan naas itu terlebih dulu merenggutnya, membuat Duke Villich menjadi lebih dingin dari biasanya dan sangat tidak bersahabat. Bukannya aku bersahabat dengannya, aku adalah orang yang selalu dihindarinya, tapi sejak kecelakaan itu, dia menatapku dengan penuh permusuhan dan perhitungan.
Dan kulihat tatapan yang sama mengarah pada Mira.
Enam bulan berlalu sejak kedatangan ku ke Negara ini. Cuaca sudah mulai hangat, musim Semi pun sudah mencapai puncaknya. Hampir segala hal, anehnya berjalan dengan baik dan damai kalau tidak ingin kubilang terlalu dijaga, di sekitarku. Aku mulai diberikan ruang untuk diriku sendiri di rumah, dan Corrine, Brigitte, Granny Louisa dan juga Richard (saat dia tidak sedang menyebalkan, karena mood swingnya lebih parah dari cewek PMS) bergantian menemaniku mengusir sepi. Nampaknya aku mulai agak betah disini, walaupun aku agak berat mengakuinya.Tapi tidak semua hal baik berlangsung semester ini di kampus. Oh, aku masih menyukai kampusku seperti saat pertama kali melihatnya. Masih bersemangat mengerjakan semua essay dan tugas dan juga sepenuh hati mengikuti kelasku semester ini. Tapi bukan itu. Bukan tentang kegiatan kampus, tapi tentang kehidupan kampusku. Satu semester nyaris berlalu begitu saja dan aku masih m
Richard’s“Kau tidak mengenalku, dan kau mengenal Arlaine sepanjang hidupmu. Kau tidak menyukaiku tapi kau menyayangi Arlaine sepanjang hidupmu. Kau memujanya dan kau memandang rendah diriku. Pikirkan sendiri apakah itu adil, bagiku? Dan pantaskah jika aku disebut egois dan picik disini?”Kalimatnya yang panjang sebelum berlari masuk ke rumah membuatku terdiam di mobil. Seharusnya aku datang dengannya untuk menyapa keluarga yang mungkin sedang menikmati teh di salah satu ruangan.Setitik rasa bersalah menghinggapiku. Tapi dia juga keterlaluan. Dia sudah disini selama enam bulan, dan selama itu pula dia selalu menghindari acara - acara keluarga jika memungkinkan. Membuatku benar - benar geregetan. Dia tentu saja tidak akan mengenal siapa - siapa jika tidak membuka diri, dan sebagai akibatnya dia tidak diterima d
Semua orang menoleh ke arahku saat aku tiba - tiba berdiri dengan kasar. Nenek sihir sialan! Mati - matian aku menahan diri hanya untuk dihina? Bahkan Mama juga?! Bahkan Ratu sekalipun tidap berhak menghina Mama!! Aku meradang marah, tanganku terkepal erat siap melempar apapun yang berada dalam jangkauanku. Rentetan kata - kata pedas saling bertabrakan memaksa untuk keluar dari mulutku. Semuanya kuhentikan dengan paksa saat kulihat wajah Madame Villich yang mendongak pongah dan puas. Ah, jadi ini hanya pancingan.“Permisi.” Pamitku nyaris berlari keluar.Mataku masih memerah buram karena amarah sehingga tidak kuperhatikan kemana aku melangkah.Brugh!Aku terhuyung mundur dengan sepasang lengan menahanku.
Semalam aku bermimpi. Tentang Mama, yang pergi menjauh meninggalkanku, yang tak menghiraukan tagis dan teriakanku agar tidak pergi meninggalkanku. Tentang Oma yang menolakku di sisinya dan memintaku pergi untuk menemui Daddy, tak perduli seberapa keras aku memohon, dia tetap bergeming di balik pintu rumah yang tertutup rapat untukku. Tentang kecaman Violeta Villich yang terus menggaung setelahnya, bahwa aku tidak pantas berada di sini dan Daddy tidak seharusnya membawaku kembali. Almarhumah Arlaine juga mampir di sana, bertanya dengan wajah muram apakah aku kembali untuk menggantikan posisinya, merebut semua yang dia miliki selama ini, sebelum wajahnya perlahan - lahan berubah menjadi mengerikan seiring tawa horor yang menggelegar. Kalimat terakhirnya adalah, ‘tidak akan kubiarkan kau hidup nyaman di rumahku! Memakai pakaianku! Menikmati perhatian keluarga dan teman - temanku! menikmati hidup dengan statusku dan sedangkan aku perlahan dilupakan!
Ada jeda sebentar sebelum suara langkah kaki akhirnya terdengar menjauh dari ranjangku dan diikuti suara pintu ditutup.Tangis yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah. Tangis kesakitan, tangis kesepian, tangis kemarahan, tangis penolakan, semua berbaur menjadi satu menyesakkan dadaku. Tersengal - sengal, aku meraih bel emergency dengan tangan kiriku, lalu memencetnya. Sakitnya sudah tak tertahankan, aku butuh ditidurkan. Aku tidak ingin merasakan apapun lagi untuk saat ini. Cukup. Tolong.***Richard’sLagi - lagi kalimat yang tidak ingin kuucapkan tercetus begitu saja.Aku keluar dari kamar rawat Mira dan duduk di bangku panjang di lorong rumah sakit. Kusaksikan dokter dan perawat yang berbondong - bondong masuk ke kamar Mira
Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Finalement!! Aku kangen kasurku, aku kangen Brigitte, aku kangen Ipad Penku, dan alat - alat gambarku. Aku benci dengan semua selang - selang yang menempel di tubuhku ini!Luka - lukaku sudah mengering, masih ada beberapa yang masih tertutup plester. Tapi sudah tidak separah sebelumnya, hanya perlu memakai pakaian lengan panjang untuk menyembunyikannya selama beberapa waktu sampai bekasnya menghilang. Hampir semua fungsi tubuhku bekerja dengan normal. Karena diet ketat dan latihan rutin yang kulakukan di rumah sakit. Itu juga nantinya menjadi PR ku setelah pulang.Tapi ada yang aneh. Kebahagiaanku terganjal oleh sesuatu. Aku menghilang selama dua minggu dan tidak ada yang curiga? Menanyakan keberadaanku mungkin, karena tidak terlihat di sudut manapun di rumah ini? Serius?
“Mira?!”Kami menoleh kaget pada suara yang memanggilku. Anak itu, yang mengajakku ngobrol di Gazebo dekat gerbang keluar ARBA tempo hari, aku lupa namanya. Duh siapa ya? Aku berusaha mengingat namanya sementara dia berjalan mendekat bersama seorang balita perempuan.Ah! Sonia!“Hi Sonia.” Aku tersenyum membalas sapaannya.“Its rare to see you outside your maison.” Katanya sesampainya di depanku. “Oh, ini Nagita, adikku. Dit salut, Gita.” Sonia memperkenalkan kami ramah. Nagita yang masih malu - malu bersembunyi di belakang kakinya.“Kau juga tinggal di daerah sini?” Tanyaku kaget.“Oui!,
“Richard, mind if Sonia comes with us?” Richard hanya mengacungkan jempolnya ke cabin belakang. Aku dan Sonia bergegas naik sebelum dia berubah pikiran. Beberapa hari terakhir, aku dan Sonia menjadi lumayan dekat. Kami banyak melakukan hal bersama di kampus. Sonia sering menungguku di Gazebo saat kelasnya lebih dulu berakhir. Ditemani Sonia, ada bagusnya sih, jadi tidak sepi karena Sonia suka sekali bercerita. Tapi di sisi lain, hidupku jadi terlalu berisik karena dia terlalu banyak bicara. Yah, i guess it’s the consequence i need to take. Tapi dengan adanya Sonia di dekatku, aku jadi lebih sering mendengar bisikan - bisikan yang diarahkan padaku. Aku baru tau jika kehadiranku di sini mengusik beberapa orang. Selama itu tidak mengganggu aktifitasku di kampus dan tidak dilakukan secara terang - terangan, akan kuabaikan. Bagiku, hidup dengan desas - desus seperti itu sudah biasa. Itu yang akan mengikutimu kemanapun saat kau tumbuh tanpa seorang Ayah, dan status