Siulan itu semakin tedengar begitu jelas. Jelas saja Livia tidak ingin memutar badannya, melihat siapa yang kini sedang berada di belakangnya. Langkah demi langkah lelaki itu ajukan, terdengar suara langkah kaki yang mulai mendekat, Livia terlihat gemetar, walaupun menghiraukan suara itu.
"DOR!!!" kejut Rafael menyorotkan wajahnya dengan lampu senter.
Lelaki itu sengaja sekali membuat wajahnya menjadi seram, akibat serangan lighting dari smartphone nya itu. Kaget, semua itu benar-benar membuat sport jantung. Ekpresi Livia yang ketakutan, di tambah dengan terkejut oleh kejahilan Rafael.
"Astaghfirullah!" teriak Livia kaget.
Wajahnya mulai memucat, entahlah. Kini kejahilan Rafael sudah tak bermoral, untung saja Jantung Livia tidak jatuh ke jalanan.
"Kebiasaaan banget sih lo. Gimana kalo lo beradapan sama orang yang punya riwayat jantung? Udah lah, kelar." kesal Livia yang mulai sadar siapa dalang dari semua ini.
Rafael hanya terbahak melihat ekspresi yang Livia keluarkan, terus tertawa sampai matanya hampir mengeluarkan air mata. Wajahnya yang ketakutan sangatlah lucu, membuat Rafael puas.
"Lawak banget serius. Tauga, muka lo tadi gimana? Gapaham lagi serius lawak banget," ejeknya terus tertawa.
"Please, silent! Gausah berisik, bisa?" rajuk Livia karena malu, hingga tangan refleksnya mencubit pelan Rafael.
"Ahhh. Sakit! Kesan pertama ketemu tuh gini yah?" rengeknya sambil mengelus kesakitan.
"Pelan juga ko. Lebay banget sih, dari dulu emang sebenernya Rafael tuh lebay, ga Badboy engga. Lebay Rafael tuh," ledek Livia memberikan nada di setiap kalimatnya.
"Seriusan, sakit tau!"
"Auah," terlihat Livia yang kesal, dibuat pergi meninggalkan Rafael tanpa berfikir.
"Livia!" Teriak Rafael.
"Mau kemana? Emang lo tau jalannya?" sambungnya.Livia menghentikan langkahnya, menyadari tujuan awal Rafael datang.
'Ohh iya lupa. Alesan dia kesini kan mau jemput gue ...,'
' ... Astagfirullah. O-on banget sih, malah pergi duluan,' gumamnya sambil menepuk-nepuk keningnya.Livia memutar badannya tersipu, memutar kembali langkahnya menuju Rafael dan menampilkan senyumannya.
"Nyengir aja nyengir," sindir kembali Rafael.
"Lupa ih," Livia tersenyum malu, bagaimana bisa melupakan hal yang jelas.
"Malu ga?"
"Engga. Ayo buruan keburu kemaleman ih," pinta Livia cepat.
Sebelum itu, Rafael sempat meminta pelukan pertama setelah beberapa tahun mereka berpisah, namun Livia masih saja seperti dahulu. Dingin dan tidak bisa di tebak, semua sikap itu tidak berubah, walaupun dia telah kunjung menjadi wanita dewasa. Karena sikap mereka yang berlawanan arah, kadang semua itu tidak selalu dapat berjalan dengan mulus. Manjanya Rafael saat bersama Livia, kadang membuat Livia semakin bersikap dingin terhadapnya. Namun tetap saja Livia punya cara tersendiri untuk membahagiakan ataupun memanjakan Rafael tanpa dia merasakan hal itu.
"Tungguin gue ih!" teriaknya Livia menyamakan langkah Rafael yang terlalu cepat untuknya. Sepertinya Rafael merajuk karena sikap Livia ini.
Livia terus mengejar dan menyamai langkahnya dengan Rafael, membawa koper besarnya itu yang belum sempat dia simpan. Alasan pertama dia berlibur ke Indonesia adalah untuk bertemu dengan Rafael, mengobati rasa rindunya walupun sedikit saja. Hingga menyimpan barangnya saja dia jadikan prioritas ke dua. Namun, tidak bisa dia untuk memberitahukan semua itu pada Rafael. Jika Rafael tahu, hal yang menyakitinya mungkin akan terulang untuk kedua kalinya, atau bahkan berkali-kali. 'Cukup dia saja yang tau tentang hati ini,' begitulah pikir Livia.
Entah mengapa, Rafael mulai berhenti di tengah jalan yang sepi. Tidak bergeraknya Rafael membuat Livia celingak-celinguk mencari dimana letak rumah Rafael berada.
"Ngapain berenti? Udah nyampe?" tanya Livia bingung.
Tanpa menjawab pertanyaan Livia Rafael hanya sontak memutar badannya dan memeluk Livia. Kagetnya Livia hingga membulatkan mata, semua ini masih terasa sama dengan orang yang sama dan mungkin perasaan yang sama.
"Kenapa?" lirih Livia mulai bertanya.
"Udah lama banget ya?"
"Gue udah nunggu banget bisa kaya gini lagi sama lo, Liv!" bisik lelaki itu.Kedekatan itu sampai membuat Livia bisa mendengar hembusan nafas dari Rafael. Sekaligus dia bisa mendengarkan detak jantungnya yang samar-samar membuatnya merasa nyaman. Kehangatan itu, kedekatan itu. Seakan dia tidak ingin untuk melepaskan semua itu.
"Maapin gue ya Raf, gue kelamaan,"
Gelengnya kepala Rafael.
"Nggak. Gini aja gue udah seneng, banget.""Tapi tetep aja, gue disini cuman liburan dan gaakan menetap. Lo harus bisa lupain gue dan hidup bahagia," sanggah Livia melepas pelukannya.
"Gue gamau ngomongin hal ini dulu. Dengan kaya gini aja gue udah seneng ...," peluk kembali Rafael.
" ... Sebentar aja vi. Biarin gue kaya gini!" sambungnya setelah jeda.Livia hanya terdiam mendengar ucapan lelaki yang tepat berada di depannya. Lagi-lagi dia tidak tau apa yang harus dilakukannya. Kini yang dia tau hanya harus menahan air mata kepedihan ini, agar Rafael tidak melihat semua itu, dan dapat melupakan dia sepenuhnya. Sepertinya, setelah dia merasa ketenangan, Rafael mulai melepas peluknya terpaksa. Mengajak Livia untuk melanjutkan langkahnya.
"Ayo!" Ajak Rafael.
Livia yang hanya mengangguk mengikuti langkah demi langkah lelaki itu. Air matapun jatuh begitu saja, tangannya segera menghapus air mata yang sempat terjatuh itu. Rafael yang berjalan terlebih dahulu saja sempat menjatuhkan air matanya sebelum melanjutkan langkahnya kembali.
Setuju. Mereka sama-sama menyembunyikan rasa sakitnya, menunggu pasangannya, sampai bisa menerima kehidupan mereka masing-masing. Menunggu salah satu dari mereka menghilangkan keegoisan di dalam dirinya. Rafael saja sampai saat ini selalu menyembunyikan air matanya di hadapan Livia.
Walau Livia sering kali tau tentang perasaan yang Rafael rasakan, tapi lelaki itu sungguh tangguh untuk tidak meneteskan satu tetes di hadapan wanita itu.
*
"Welcome!" sapa Iqbal yang sedari tadi ternyata sudah berada di dalam rumah bersama Aka. Mereka hendak menunggu kedatangan Livia.Rafael saja tidak tahu akan keberadaan dua teman biadapnya yang datang tanpa di undang, dalam situasi seperti ini. Seperti ingin mengamuk, namun harus menjaga harga dirinya di depan Livia. Mata Rafael memelotot melihat Iqbal yang so asik di hadapan Livia, mempersilahkan masuk ke dalam rumahnya. Rafael hanya bisa mengelus rambutnya kasar karena prustasi melihat kelakuan temannya itu.
"Duduk Liv!" pinta Iqbal santai.
Livia yang tidak mengenalinya sama sekali, hanya mengangguk pelan tanpa banyak bicara.
"Anjim, lo so asik banget sih Iqbal!" ledek Aka yang sedari tadi hanya bermain gadget. Dia berbicara santai, sambil Menendang bokong Iqbal hingga terpental jatuh dibuatnya.
Rafael mulai merasa malu, kelakuan teman-temannya benar-benar tidak tau tempat. Setidaknya mengertilah dengan sitkon ini, seseorang yang penting bagi Rafael datang dan mereka sangat membuatnya prustasi.
Livia memalingkan wajahnya menemui mata Rafael, bibir itu mulai bergerak-gerak menahan tawa. Melihat Livia yang seperti itu membuat Rafael kembali tidak habis fikir.
"Heh anjim sakit!" kesal Iqbal memberikan satu pukulan menggunakan bantal sofa yang tengah tergeletak tak terpakai. Aka yang kelihatannya sedang bermain game benar-benar di kejutkan dengan hantaman bantal kecil itu, membuatnya kalah telak dari pemain lain. Merasa tidak terima Aka pun mulai membalas serangan Iqbal yang sedari tadi hanya bisa mengganggu dirinya.
"Lo itu bisanya cuman ngusik orang lain anjim, kesel gue! Ini mati gara-gara, lo!" teriaknya dengan keras.
Iqbal mulai tertawa keras memberikan raut wajah seperti sedang meledek Aka. Tidak berhenti begitu saja, pertengkaran kecil itu terus berlangsung. Menghiraukan keberadaan Livia itu, kalang tanggung hidup Rafael di permalukan oleh mereka. Rafael mulai melerai mereka, menjitak satu persatu kepala para bestie itu, sampai membuat mereka berdua kembali menyadari keberadaan Livia.
"Udah. Selesai ya! Jangan buat gue malu lagi!" tekan Rafael memberi kode.
Livia mulai terkekeh melihat kelakuan Iqbal juga Aka. Tidak tau kelakuan para bestie Rafael yang bisa sampai seperti itu. Membuatnya melihat betapa indah pertemanan yang mereka jalin.
"Eh, iya, anjim, jangan berantem dulu. Ini ada tamu," ujar Iqbal yang mulai sadar.
"Lo, yang mulai set!" kesal Aka.
"Udalah kenapa si?" kesal Rafael kembali.
"Uda ganteng. Kalo mau berantem keluar ya!" sambung Rafael setelah jeda.Semua itu berhasil membungkan Iqbal juga Aka. Aka memang berhasil menjadi anak yang tidak banyak bicara, semua itu karena tugas kuliah yang sangat banyak akhir-akhir ini. Dia lebih sering merelekskan pikirannya lewat game.
"Liv maafin ya, gue kira mereka gaada di rumah gue," ujarnya.
"Kesel banget, setiap kesini ga pernah bilang dulu," sambungnya."Yaudalah, gapapa. Gue kehibur ko, udah lama banget ga liat kehangatan kaya gitu setelah keluar sekolah," jawabnya.
"Lagi pula Raf, temen yang gitu, yang harus lo perhanin. Gue ngeliat kalian saling menyayangi, ko.""Em iya sih, tapi bener-bener malu-maluin!" kesalnya kembali.
"Ya lo harus tahan lah, gue emang gatau menau tentang masalah temen. Tapi jujur sih, gue aja pengen punya temen yang kaya gitu,"
Livia mulai tersenyum ceria, menampilkan senyuman pada pertama kalinya setelah sekian lama. Di ikuti dengan balasan senyuman yang Rafael berikan.
"Lo bisa ko, temenan sama mereka. Karena temen gue, temen lo juga. Tapi jangan pake hati yah!" Rafael membuat ucapan itu seakan menjadi hal yang indah pada kalimat awal. Namun benar benar seperti gombalan untuk kalimat terakhirnya.
"Ga. Gue ga perlu main hati, karena hati gue udah ada pemiliknya," jawabnya menyeplos tanpa sengaja. Rafael mulai tersenyum cerah, kepo. Benar-benar ingin tau apa maksud dari perkataan itu.
"Hah? Gimana gimana? Siapa?" Rafael berkali-kali bertanya, kini dirinya dibuat penasaran oleh Livia. 'Apa dia akan membuka hatinya kembali?' pikirnya.
******
"Nah bener Liv, anggep aja kita tuh temen lo. Karena mulai hari ini kita temenan yah. Gila aja sih, kalo ga temenan sama cewe cakep kaya gini," serobot Iqbal. Betul-betul yah, sikapnya yang pecicilan itu membuat suasana menjadi kacau. Hari ini saja, sudah sukses membuat schedule Rafael berantakan. Dan semua ekspentasinya benar-benar jauh dari reality. Iqbal tersenyum manis merayu Livia, membuat Livia membalas senyumanya. "Hah, tipe-tipe buaya nih!" kekeh Livia.Lagi-lagi Rafael dibuatnya kesal, dia menghalangi wajah Livia dengan buku kecil agar Iqbal tidak melihat Livia, juga Livia tidak membalas senyuman Iqbal itu. "Iya temenan boleh, tapi sikap lo itu, gausah di keluarin ya!" ujarnya dengan nada di tekan kembali. Livia memperhatikan Rafael, tersenyum tipis melihat tingkah Rafael hari ini. Terlihat begitu jelas Rafael tidak menyukai Livia yang memberikan senyuman itu pada Iqbal. "
"Ngapain?" tanya Livia mengangkat satu alisnya. "Naik!" titah Rafael. Perintah itu membuat Livia terdiam sejenak, memandangi punggung Rafael yang samar-samar terlihat kekar. Rafael menoleh ke arah belakang, menatapi Livia yang melihat punggungnya, lalu menggeleng kesal. Tanpa mendengarkan penolakan apapun yang keluar dari mulut Livia, Rafael mulai menggendongnya memaksa. Sempat kaget, Livia melihat kelakuan Rafael kini, dia sampai memukul-mukul pelan bahu lebarnya berulang. Namun pukulan itu terhenti, ketika kepalanya mulai pusing dan terasa seperti nut-nut tan. "Raf, Raf. Gue ga kuat ini, pusing banget," ujar Livia menghentikan langkah Rafael. Livia menidurkan kepalanya tepat pada bahu milik lelaki itu. Berbicara semakin membisik, karena rasa sakitnya yang mungkin membuat Livia tidak sanggup berbicara seperti biasa. "Pulang aja ya, gausah ke tempat makan. Nanti makan di rumah aja!" pinta Livia lirih. Livia mulai memejamkan matan
"Sabar bro!" Iqbal mulai mengingatkan Rafael agar bisa bersabar, mendapatkan teman seperti ini."Sabar banget gue!" tekan Rafael kesal.Iqbal merangkul bahu Aka, menyekiknya pelan. "Gatau sitkon banget yah lo" ujarnya tidak sadar diri.Livia kini sedang asik memakan makanan yang Iqbal berikan. Dengan ekspresi datar, seperti sedang menonton sebuah serial drama tentang pertemanan itu."Siniiiiii!" ujarnya memegang dagu Rafael memutar, membuat lensa matanya saling bertemu. Livia kini memberikan satu suapan kecil untuk pangeran kodoknya itu."Nih, lo mau kan? AAA" sambungnya memberi aba-aba.Rafael tersenyum puas, menikmati satu suapan ini. Iqbal tersenyum melihat teman kecilnya yang manja, berhasil mendapatkan suapan pertama dari seorang wanita setelah ibunya. Aka tidak mengerti apa yang sedang mereka senyumi, tak paham dibuatnya Aka hanya memutuskan untuk duduk dan berusaha melepaskan lengan Iqbal yang masih merangkulnya.Ringtone dari sa
Menurut Kiara Awal petemuan diantara mereka, tidak dapat dia lupakan. Awal pertemuan yang menumbuhkan rasa cinta di dalamnya. .FLASHBACK ON. "IQBAL, KA IQBAL DIMANA?" teriak Kiara mencari-cari Iqbal. Waktu itu Iqbal hanya meninggalkan Kiara untuk membelikan ice cream. Iqbal sempat berpesan, untuk menunggunya kembali dan jangan pergi kemana-mana. Namun, kupu-kupu yang indah menghampiri Kiara secara tidak sengaja. Membuat Kiara menatap gemas melihat kupu-kupu itu, terus memperhatikannya. Sampai kupu-kupu itu pergi, terus dan terus, Kiara mengekornya. Disitulah awal Kiara sampai bisa terpisah dengan Iqbal. Saat Iqbal kembali, Kiara sudah tidak ada di tempat yang sempat dia duduki. "RARA, DIMANA?" teriak Iqbal mencari-cari. Iqbal mulai cemas mencari kembarannya itu, umur mereka memang tidak selisih berjauhan. Namun Kiara tidak sepintar Iqbal dalam menjaga dirinya. Kiara berlari mencari-cari dimana Iqbal berada sambil menangis
Kiara pun mulai melepaskan kedua tangan dari matanya. Dia pun mulai berbalik, melihat keberadaan Dafa yang tengah menahan buku-buku itu agar tidak terjatuh. "Gapapa?" Dafa mulai bersuara setelah memandangi Kiara beberapa saat. "Iya," Kiara mengangguk tersipu, dia benar-benar salah tingkah oleh perlakuan Dafa. "Hati-hati!" Ingat Dafa pada Kiara. "Iya, makasi," Kiara memperlihatkan wajah malunya, lalu pergi meninggalkan Dafa. Membuat Dafa tersenyum manis melihat tingkah laku anak satu ini. Setelah benerapa lama menunggu, akhirnya satu jam pelajaran pun berakhir. Kiara memutuskan memasuki kelas tanpa mengajak Dafa. Dia masih mengingat kejadian yang membuatnya malu, sekaligus sangat senang. Diapun pergi meninggalkan Dafa yang tengah duduk di perpustakaan. "Lo mau kemana?" tanya Dafa melihat Kiara yang pergi tanpa permisi. Sontak Kiara pun menoleh, tanpa menjawab pertanyaan Dafa dan hanya kembali melanjutkan langkahnya. Dafa seseger
Iqbal menggeleng tak percaya. Satpam itu hendak menutup gerbangnya, meninggalkan Kiara yang masih di luar gerbang. Kiara kini berjalan mendekati mobilnya, masuk kedalamnya dengan wajah tertekuk. Kiara terdiam tak percaya di dalam mobil itu. Menatap Iqbal bingung dengan mata yang menggenang air di dalamnya. Iqbal juga benar-benar tak percaya, dia mendesah pelan menyebut nama Dafa. Kiara menatap Iqbal kembali, meneteskan air matanya yang sedari tadi dia tampung. Tak habis pikir dengan semua ini, Iqbal akhirnya memeluk Kiara erat. "Gapapa. Rara, gaboleh nangis ya, kan ada gue," ucap Iqbal menegelus pelan Kiara berusaha menenangkan Kiara. Kiara mengangguk, berhenti menangis. Dia memejamkan matanya sesaat. 'Dafa, Dafa jahat banget,' batinnya menggerutu. Pelukan itu terhenti, Iqbal menghapus semua air mata Kiara yang terjatuh. Dafa benar-benar tidak ber hati, untuk urusan sepenting ini saja, dia tidak berbicara.Mereka memutuska
Jelas sekali kemarin Iqbal mendengar jeritan Kiara memanggil nama Dafa. Itu semua kadang membuat Iqbal khawatir, dia takut hal yang sama terulang kembali. Waupun mereka sangat dekat. Tapi terlihat dari tatapan Dafa, dia hanya menganggap Kiara sebagai seorang teman. Kenyataan itu sangatlah berbeda dengan Kiara, dia terus memendam perasannya sehingga menjadi sangat dalam. Waktu itu saja Kiara hampir mengangis di setiap malam yang gelap memikirkan Dafa. Iqbal tidak dapat membantu banyak, apapun yang Iqbal katakan. Satu perkataan pun tidak ada yang Kiara dengar, dia hanya berfokus terus mencintai Dafa."Iqbal, jangan marah," ujar Kiara merayu."Ternyata bener," desah Iqbal."Iqbal gu-gue kangen Dafa dan nyoba hubungin dia. Ternyata dia angkat telepon gue, lo jangan marah ya. Jangan marah ka," jelas Kiara terbata-bata."Gue ga marah Ra, gue gapapa kalo lo mau berhubungan sama Dafa. Tapi apa lo tau perasan Dafa ke elo gimana? Apalagi setelah 3 tahun ga ada kaba
"Misiiiii, Mas Rafael ganteng laper Ka," ujarnya pada Aka.Aka benar-benar sudah tau tentang kode yang Rafael bicarakan. Dia meminta makanan yang sedang berada di pangkuan Aka."Ga mau yang lain emang? Ini lagi gue makan loh?"Rafael menggeleng. Aka dengan berat hati memberikan makanan yang sedang dia nikmati. Sebagai balasannya dia merebut makanan yang sedang Iqbal makan, juga mengambil satu minuman yang sedang Iqbal minum."Aduh, Aka temen gue yang baik. Ga boleh jadi rampok makanan," tekan Iqbal merasa kesal. Bayangkan saja dia sedang di posisi yang sangat menyenangkan dengan beberapa makanan juga minuman yang ia nikmati. Namun Aka tiba-tiba merampasnya."Gapapa lah, lo ambil yang lain lagi aja," ujar Aka kesal.Iqbal yang melihat Aka kini uring-uringan akhirnya menatap Rafael."Lah, makanan lo di ambil Rafael? Kenapa ga lo marahin aja anaknya?" tanya Iqbal menggeleng."Ck. Lo, takut ya sama Bos Besar?"Decak Iqbal.