Share

Rintangan Terbesar

“Velma, mau sampai kapan lo keras kepala kaya gini? Apa  harus banget lo buat semuanya jadi rumit?”

Velma menatap kakaknya itu tajam. “Gue yang bikin semua rumit? Dari semua perempuan, kenapa harus dia sih, memangnya?”

Deril mulai capek, dia tidak pernah menyukai perdebatan. Dibanding Velma, dia akan selalu kekurangan kosakata untuk meladeni adiknya itu. “Jadi, lo lebih milih Anira sama Reksa dibanding sama gue?” tanyanya tajam.

Seketika itu juga, air mata yang sejak tadi masih menumpuk di mata Velma, mulai jatuh mengalir ke pipinya. “Lo bilang apa?” suaranya yang keluar dari mulutnya sampai bergetar.

Nyaris saat itu juga, Deril langsung menyesali apa yang dia ucapkan tadi. “Bukan apa-apa! Gue balik ke apartemen dulu, kayanya kita nggak bisa ngomong sekarang.”

Tadinya dia datang ke sini hendak membicarakan tentang semuanya ke keluarganya, tapi sepertinya dia harus menerima kegagalan.

“Nggak! Lo nggak boleh pergi, sebelum jawab gue! Lo bilang apa? Cincin itu? Punya siapa sebenarnya?”

Deril berbalik, dia memegangi kedua sisi tubuh adiknya itu.  “Vel, gue  tahu lo suka sama Reksa, tapi lo juga tahu kan kalau dia Cuma nganggep lo adik aja?”  

Velma menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Kasih tahu gue, cincin itu, bukan punya Kak Reksa kan?”

 Perasaan itu bagai misteri, tidak ada yang bisa menentukan kepada siapa dia akan berlabuh. Kalau dia bisa memilih, tentu saja dia ingin agar Reksa dan adiknya bisa bersama. Mereka adalah dua orang yang sangat berarti untuknya.

Sayangnya, hidup seringkali bergerak ke arah yang tidak diinginkan.  Dia dan Reksa harus terjebak mencintai perempuan yang sama, dan dengan perasaan Velma, keempatnya semakin berputar di hubungan yang menyakitkan.

“Cincinnya punya gue, lo tenang aja.” Deril pada akhirnya menjawab dengan enggan. Dia lalu melepaskan adiknya itu dan melangkah mundur. “Gue balik dulu, lo pikirin kata-kata gue tadi.”

Velma terdiam, dia tidak lagi menahan kepergian Deril, dia tidak menyangka kalau jadinya akan seperti ini. Jawaban Deril tadi sama sekali tidak membuatnya lega. Matanya bergerak liar, panik.

Butuh beberapa menit, sampai akhirnya Velma  bisa bergerak dari tempatnya. Melupakan semua rencana awalnya untuk pergi ke kampus. Dia mengambil ponselnya, berlari keluar, dan naik taksi menuju ke suatu tempat.

***

Di tempat lain,  Reksa sedang makan bersama dengan Anira. 

“Deril sibuk apa sih? Akhir-akhir ini susah banget ketemu dia,”  gumamnya sembari 

“Nggak usah mikir aneh-aneh! Nih makan aja, daging favorit lo. Biar nggak overthinking.” Reksa dengan cepat meletakkan sepotong daging yang baru saja matang di atas piring Anira.

Hari  ini, keduanya memutuskan untuk makan di sebuah korean barbeque yang baru buka di Jakarta. Harusnya Deril ikut, tapi di detik-detik terakhir pria itu memutuskan untuk membatalkan secara sepihak.

Anira mengambil potongan daging itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya, matanya sedikit menyipit, merasakan lumernya daging itu di mulutnya. “Hahh, gue Cuma mikir aja, sesibuk apa sih dia, sampai nggak punya waktu sedikit pun buat gue? Lo yang sekantor aja, masih ada di sini kan?”

Reksa dan Deril memang merintis usaha bersama semenjak mereka lulus kuliah. Dengan jurusan yang sama sebenarnya keduanya juga mengajak Anira, tapi dengan cepat Anira menolak, dan memilih kerja di perusahaan lain yang lebih stabil.

“Kerjaan gue sama dia beda.”

Anira memutar bola matanya kesal. “Terus aja lo belain dia!”  Anira kembali memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya.  Protes itu hanya sekedar untuk menghilangkan kekesalannya saja, dia tidak benar-benar marah pada  Deril.  

Reksa tersenyum tipis. “Lo protesnya jangan sama gue, ngomong langsung sama Deril,” ejeknya. 

“Nanti gue bakal omelin dia, tapi sekarang adanya lo doang, jadi terima aja.”

Reksa membuka mulutnya, kemudian menutupnya kembali.  Dia tidak tahu harus mengatakan  apa pada Anira, saat ini tanpa membongkar rencana Deril.

Keduanya diam, makan apapun yang ada di atas panggangan itu. Lebih tepatnya, Reksa sibuk membakar dan, Anira sibuk menghabiskan daging itu, sampai ponsel Reksa berbunyi nyaring.  Reksa melihat nama pemanggil itu, mengerutkan keningnya, kemudian menerimanya. “Halo?”

Anira  menatap dengan pandangan bertanya.

“Velma,” gumam Reksa tanpa suara. Anira mengangguk, membiarkan pria itu melanjutkan pembicaraannya.

“Gue lagi di  sudirman, kenapa emangnya?” tanya Reksa,  kemudian keningnya berkerut, mendengar jawaban dari penelepon itu.  “Lagi sama Anira.” Dia lalu menyebutkan nama restoran tempat mereka makan. 

Anira tidak tahu apa yang dikatakan oleh Velma, tapi dia bisa melihat kerutan di kening  Reksa, semakin dalam. “Gue rasa, itu sama sekali nggak ada hubungannya sama lo!” ujarnya datar.

Setelah mengatakan itu, dia langsung memutuskan panggilan itu tanpa  mendengarkan apapun yang diucapkan oleh  Velma.

“Kenapa?” tanya Anira.

“Bukan apa-apa, nggak begitu penting, makan lagi.”

Dia tidak mungkin mengatakan pada Anira, kalau Velma salah mengira, dia yang hendak melamar Anira, karena itu berarti dia membocorkan rencana Deril.

“Yakin?”

“Hmm, dia Cuma lagi kesal sama Deril, terus curhat.” 

Mendengar jawaban itu akhirnya Anira hanya bisa mengangkat   bahunya, dan tidak lagi bertanya. Dia tidak begitu dekat dengan adik  kekasihnya itu, jadi tidak banyak yang bisa dibicarakan juga.

Tetapi, sepertinya hari itu, Reksa terlalu mengentengkan masalah, karena kira-kira setengah jam kemudian,  Velma sudah menghampiri mereka.

Reksa ingin sekali meringis, ketika melihat Velma berjalan ke arah mereka. Wajah gadis itu menunjukkan dengan jelas apapun yang dirasakannya saat ini. Semua yang melihat bisa langsung menyadari kalau Velma sedang dalam keadaan marah.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Reksa terkejut.

“Lo belum jawab pertanyaan gue, Kak!” jawabnya ketus.

Dia menatap Anira yang duduk di seberang Reksa dengan pandangan sinis. “Lo mau ikut gue, atau gue harus bicara di sini?” tanyanya.

Reksa menatap Velma marah. “Nggak usah cari gara-gara.”

“Ini sebenarnya ada apa?” Anira kebingungan, dari yang dia lihat, Velma bukan bermasalah dengan Deril, tapi dengan Reksa.  “Vel, lo bisa duduk dulu, kan? Semua bisa dibicarakan baik-baik. Nggak enak juga dilihatin orang.”

“Diem! Gue nggak ngomong sama lo!”

Anira langsung terdiam, tidak menyenangkan rasanya dibentak oleh orang lain, apalagi itu adalah gadis yang berusia lima tahun lebih muda daripada dirinya. Dia menghembuskan napas panjang, berusaha menahan diri, agar tidak tersulut. 

“Gue pergi duluan, ya?”  Reksa menyadari, suasana sama sekali tidak baik. Dia tidak tahu apa yang bisa diucapkan   dari sana. Sebelum pergi, Velma masih sempat menoleh ke belakang, menatapnya dengan pandangan tajam.

Anira  hanya bisa menghela napas panjang. Dia hanya berniat untuk keluar dan sejenak menikmati sedikit waktu luang yang dia punya, bersama dengan teman terdekat dan kekasihnya, tapi apa daya, keadaan sedang tidak berpihak padanya. 

Anira menatap daging daging yang  masih masih terletak begitu saja di atas meja, makanan yang sudah diinginkannya sejak seminggu lalu, mendadak tidak lagi menggugah seleranya.

Dia  memutuskan untuk berusaha menghabiskan semua yang sudah mereka pesan, karena takut mubazir, tapi pada akhirnya dia harus meninggalkan sepertiga daging itu tanpa disentuh sama sekali.

Dengan langkah gontai, dia meninggalkan tempat itu, berjalan setengah hati dengan pikiran melayang jauh. Dia tidak tahu, kenapa Velma, tidak menyukainya. Adik Deril itu sudah seperti itu, semenjak mereka pertama kali bertemu.

Itu membuat Anira malas bertemu, dan menimbulkan masalah. Dia sudah tahu itu, tapi tiap kali dia mengalami sendiri perlakuan itu, dia tidak bisa menahan rasa kecewanya. Bagaimana juga, Velma adalah keluarga Deril.

“Apa karena itu, Deril tidak kunjung melamarnya?” batinnya dalam hati.

***

Sementara itu, Anira tidak tahu, Reksa pergi, karena berusaha menjaga kejutan Deril,  tentang jawaban yang sudah lama dia nantikan.

“Lo takut banget, gue bongkar rencana lo ngelamar dia, kak?” cecar  Velma sinis.

Reksa langsung melepas tangan Velma, sembari menoleh marah ke arah adik sahabatnya itu. “Lo ngomong apa sih? Memangnya Deril bilang apa sama lo?”

“Jawab aja pertanyaan gue!”

“Mau gue ngelamar dia, atau siapapun itu, apa hubungannya sama lo? Kenapa lo jadi marah gini?”   tanya Reksa blak-blakan.

Dia kesal, tapi nada suaranya tidak banyak berubah. Bahkan kalimat pedas itu bisa keluar dari mulutnya dengan nada datar.

“Kenapa harus perempuan itu sih? Apa nggak ada perempuan lain di luar sana?”

Reksa tidak tahu apa yang dikatakan  Deril pada adiknya itu sehingga Velma jadi bersikap seperti ini.  “Vel, gue udah nganggep lo kaya adik gue sendiri, tapi bukan berarti lo bisa ikut campur urusan pribadi gue. Siapa yang gue suka, sama siapa  gue berhubungan, itu sama sekali bukan urusan lo!”

Velma melotot kesal, ingin sekali dia  menghentakkan kakinya, tapi dia menahan diri. Tidak ingin terlihat kekanakan di depan pria yang disukainya itu. “Siapa yang mau jadi adek lo! Lo tahu gimana perasaan gue!”

Reksa menggelengkan kepalanya. “Gue bakal anterin lo pulang!”  

Dia sama sekali menolak untuk menyinggung mengenai topik itu.   

“Kak, apa sih kurangnya gue, dibanding dia?”

Reksa menatap Velma tajam, seolah menilai gadis itu. “Gue nggak tertarik sama anak kecil.”

“Reksa!” Wajah Velma merah padam, marah bercampur malu, membuatnya menghilangkan sebutan kakak yang sudah lebih dari 10 tahun dia sematkan pada Reksa.

Reksa menatap Velma dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, hubungan Reksa dan Velma sangat baik. Reksa juga menganggap gadis itu sebagai adiknya sendiri. Namun, semua itu berubah semenjak dia mengetahui kalau gadis itu memendam perasaan lebih padanya.

Meskipun berusaha tidak  memperlihatkan, tapi Reksa mulai menjaga jarak dari Velma, tidak ingin memberikan harapan yang salah.

“Lo tadi ke sini naik apa?” tanyanya, seakan tidak mendengar teriakan itu.

“Reksa!”

Reksa menghembuskan napas gusar. Kesabarannya mulai menipis. Dengan kesal dia menelepon Deril. “Lo ngomong apa sama Velma?”

“Memangnya Velma kenapa?”

Reksa menceritakan dengan singkat apa yang dilakukan gadis itu.

“What?! Sorry, Kam. Gue nggak nyangka dia bakalan salah paham gitu. Sebentar, gue ke sana!”

Reksa memutus panggilan itu, kemudian menatap Velma. “Sebentar lagi Deril datang, apa yang lo mau tahu, lo tanya aja sama dia.”

Reksa bukan orang yang memiliki kesabaran lebih. Dia paling benci diteriaki, dan dia paling benci jadi perhatian banyak orang, hari ini dia mengalami dua kejadian itu di waktu yang bersamaan. 

Kalau ini orang lain, dia sudah akan pergi tanpa memperhatikan lagi. Sayangnya, terhadap Velma, dia sama sekali tidak bisa melakukan itu.

“Salah paham darimana. Gue tahu, lo sama Kak Deril suka sama dia. Apa  lo mau ngehancurin persahabatan kalian hanya karena satu perempuan?”

“Pertemanan gue sama Deril nggak akan hancur karena hal kaya gitu.” Reksa tersenyum pahit. Anira sudah memilih, dan dia berusaha menghargai pilihan itu. 

Velma ingin sekali menjambak rambutnya frustrasi. Kenapa Reksa tidak juga mengerti apa yang dia maksud.  

“Anira nggak seburuk itu. Belajarlah untuk membuka hati lo ke dia. Lo akan sadar, dia itu baik.” Anira akan menjadi bagian keluarga Deril, dan Velma harus mulai menerima itu suka atau tidak.

Sayangnya, panik dan kalut membuat Velma overthinking. Dia menggelengkan kepalanya. “Sampai kapan pun, gue nggak akan pernah nerima dia!”

Reksa  merasa dia buang-buang waktu, berbicara pada Velma, ketika gadis itu sama sekali tidak mendengarkannya. Velma terlalu emosi untuk mendengarkan apapun pendapat orang lain saat ini.

Untungnya, tidak lama kemudian Deril datang  menghampiri mereka. “Lo ngapain sih Vel!” serunya.

Velma melotot marah ke Deril. “Nggak usah sok peduli!”

Deril menatap Reksa dengan pandangan penuh tanya. Kenapa adiknya bisa sampai semarah ini?  “Gue yang akan ngejelasin semuanya ke Velma, lo bisa pergi sekarang. Thank you, Kam.”

Reksa mendengus. “Hmm ....” Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia berubah pikiran. “Gue pergi dulu.”

Apa yang dia ucapkan, bisa jadi melewati batas yang dimilikinya sebagai teman. Reksa tidak ingin itu.

“Gue kan udah bilang, Vel. Cincin itu punya gue. Kenapa lo masih  datang ke Reksa?”

“Punya kakak? Perempuan itu, masih asyik tebar pesona dan keluar sama Kak Reksa. Itu perempuan yang kalian berdua terus bela?” 

Deril tidak mengerti, bagaimana menjelaskan pada adiknya itu, hingga Velma mengerti. “Anira bukan tebar pesona, mereka Cuma makan bareng.” Demi Tuhan, bagian sebelah mana yang begitu sulit dimengerti.

“Bullshit!”

“Iya, gue berencana ngelamar Anira dalam waktu dekat.”

Velma  menatap tajam Deril. “Sampai kapan pun gue nggak akan pernah setuju, perempuan itu jadi kakak ipar gue!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status