Sekian menit menumpahkan isi hati, plot, alur, dongeng dan seribu kisah tentang hidupnya, akhirnya Melody bisa bernafas sedikit lega.
“Jadi seperti itu, Sil, nasib gue. Sekarang gue harus gimana dong, elo pokoknya harus bisa bantuin gue. Titik,” penyambung kalimat Melody yang sekaligus sebagai penutup curahan hatinya. Kepalanya menunduk dan tangannya sibuk memukul-mukul guling di pangkuannya penuh emosi. Seolah bantal itu adalah punggung keras Alfa yang ingin dia patahkan tulang-tulangnya sampai terpotong-potong menjadi seukuran satu atau dua sentimeter saja. Psycho banget, ya. Di larang ketawa!
Beberapa menit tak mendengar suara Sisil. Melody mengangkat kepalanya kemudian menatap ke arah sahabatnya yang tidur tengkurap tak jauh dari posisi duduknya.
“Sisil, dasar lo, ya. Kenapa bengong gitu, sih? Jangan kesambet di kamar gueeee …” teriak melody gemas melihat Sisil yang menatapnya dengan muka bego nan bengong plus mulut terbuka. Merasa teriakannya tidak ada hasil seperti harapan, akhirnya bantal guling di pangkuan melayang di gebukkan dengan gemas ke punggung Sisil.
“Ish … ish … ish … elo beruntung atau bernasih tragis sih, Mel? Bingung gue mengartikannya,” Sisil yang berucap sambil cengar cengir akhirnya bangkit dari rebahan. Ikutan duduk di depan Melody dengan posisi bersila. Jadilah mereka berdua duduk berhadapan seperti dalam posisi mau transfer ilmu kanuragan tenaga dalam layaknya lakon pendekar-pendekar film kolosal jaman bahula.
“Elo kok nyebelin banget ya, Sil … bantuin gue dong. Gue beruntung dari sisi mana? Yang ada nasib gue ini tragis se-tragis-tragisnya,” wajah Melody Kembali memerah, terutama di bagian hidungnya, yang udah merah, kembang kempis pula. Mirip kayak hidung jambu air yang suka rontok karena orang-orang ogah ngambilin dari pohon sangking banyak buahnya. Jadinya rontok dan biasanya banyak ulat di dalam daging buah, nggak bisa di makan. Apalagi musim buah selalu bertepatan dengan musim hujan. Eh, kok jadi deskripsikan nasib jambu air, padahal awalnya tentang hidung merah Melody, lho.
“Oh, kalau gitu artinya nasib Alfa yang beruntung udah berhasil merawanin pipi elo dua kali. Dan, nasib elo emang bener-bener tragis. Iya itu, yang bener kayak gitu, asli dah,” ungkap Sisil tanpa dosa niat menggoda sahabatnya yang sedang emosi tingkat dewa.
Tangan Melody segera terulur melintir gemas telinga Sisil. Sesuatu hal yang selalu di lakukannya kalau sedang kesal banget sama sahabatnya yang satu ini.
“Eh iya-iya ampun, Mel. Tolong lepasin kuping gue. Gue serius sekarang,” ujar Sisil memohon ampunan.
“Udah gue lepasin tuh. Sekarang gue harus gimana, katanya elo pasti ngasih saran paling jitu ke gue?”
“Mel, elo jangan segitunya dong bencinya. Ntar lama-lama cinta, lhoh.”
“Eh kupret, nyumpahin gue, Lo?”
“Bukan begitu Melody sayang, gue ngingetin aja, kok.”
Belum sampai Melody membuka mulut.
Drrttt … drrttt … drrrttt … getar ponsel dengan iringan nada khas ringtone handphone bersimbol apel tak utuh habis di gigit drakula itu menginterupsi obrolan dua cewek yang hampir di fase serius. Melihat nomor yang tak bernama tapi sudah masuk di memori kepala cantik ber-IQ 130 itu membuat bibir cantik Melody manyun panjang.
“Siapa? Nggak elo angkat dulu?” tanya Sisil heran.
“Ogah.”
“Siapa, sih?” tanya Sisil ulang ikutan kepo ke ponsel Melody ketika panggilan kedua menyambung panggilan pertama yang terabaikan.
“Es batu, ya?” Sisil memastikan ingatannya, sedangkan Melody mengangguk sebal.
“Oemji … benar-benar ya, gue tambah bingung, dia suka atau benci sama elo.”
Panggilan kedua kembali terabaikan. Namun malang tak dapat di sangkal. Semenit kemudian tiba-tiba pintu kamar Melody terbuka tanpa ketukan. Meira masuk kamar sambil menenteng ponselnya.
“Mel, Alfa nelpon kamu kenapa nggak di angkat, sih? Nih, dia telepon ke handphone Mama,” ucap Meira pada putrinya.
“Melody sibuk sama Sisil, Ma.”
“Udah, ayo angkat dulu, bentar aja,” paksa Meira.
“Nyebelin banget, sih? Suruh matiin aja di handphone mama, biar dia telepon lagi ke handphone Melody,” cemberut Melody menahan kesal.
Meira menggelengkan kepala pelan, kemudian berbicara sebentar dengan Alfa, selanjutnya segera keluar dari kamar Melody.”
Tiga detik kemudian.
“Elo, apa-apa’an sih?” sembur Melody begitu berbicara dengan Alfa di handphone-nya.
“Gue cuma mau mastiin keadaan elo aja, selamat sampai rumah apa kagak, kan tugas gue jagain elo, wajar dong,” jawab Alfa di seberang dengan santai.
“Dasar penjilat, Lo. Terusin aja kebusukan elo di depan orang tua gue, kena karma tau rasa ntar. Sibuk pacaran sama janda aja pake bilang jagain gue.”
Sisil mendelik mendengar ucapan kasar Melody, namun anehnya yang dia dengar justru Alfa yang di seberang telepon malah tertawa. Handphone yang sengaja di loudspeaker membuat Sisil dengan jelas bisa mendengar percakapan Tom and Jerry made in Indonesia.
“Salah elo sendiri nggak mau angkat telepon gue, lagi apa sih sama si cicilan itu?” Melody melirik ke arah Sisil yang tengah mengepalkan tangannya penuh emosi mendengar penyebutan namanya oleh Alfa, menahan sekuat tenaga biar nggak ikutan teriak.
“Eh, namanya Sisil, bukan cicilan, dasar kerbau dodol. Jangan ganggu gue, gue sibuk, lagi belajar biar dapat nilai 100.”
“Alah … belajar sehari semalam dalam 365 hari nggak bakalan elo dapat nilai 100. Model elo kan kayak dodol garut, nggak mungkin bisa ngalahin gue. Gue bakal tetap lebih unggul dari elo. Liat aja kalo nggak percaya.”
“Eh, kerbau, kalo elo cuma mau musuhan sama gue, tutup teleponnya segera dan jangan usik gue atau mama gue lagi. Cukup sekian dan terima kasih.”
“Eh dodol, tunggu dulu, gue mau video call, ayo buka kameranya.”
“Ogah.”
“Ayo.”
“Gue nggak pake baju, cuma pake tanktop aja.”
Sisil yang tadinya emosi menyemburkan tawa ngakak tertahan sambil guling-guling di kasur hingga perutnya mulas.
“Pake BH nggak? Pokoknya gue mau lihat elo.”
“Otak mesum karatan, efek janda pasti, ya?”
Dengan terpaksa akhirnya Melody menerima panggilan video dari Alfa. Cowok itu senyum-senyum melihat wajah jutek gadis yang di jodohkan dengannya itu.
“Elo cantik ya kalau di kamera, tapi tetap aja lebih cantik janda.”
“Bener-bener maniak janda, Lo. Udah, gue tutup teleponnya, udah puas kan lihat gue?”
Melody menutup sepihak teleponnya, dan ternyata Alfa juga sudah tidak meneleponnya Kembali. Nafas Melody kembali kembang-kempis menahan emosi. Sisil sebagai sahabat yang baik segera memberikan sebotol air mineral yang kebetulan tersedia di meja belajar.
“Tarik nafas, hembuskan … nah gitu, pinter.”
“Asem, lo, udah kayak dukun bayi aja lagi bantu gue lahiran.”
Akhirnya keduanya tertawa ngakak.
…
Beberapa saat mereka berdua ngobrol menyusun solusi untuk Melody.
“Jadi, intinya gue harus punya pacar atau gebetan?’
“Iyalah, elo berhak bahagia juga, Mel, jadi berusahalah buka hati untuk cowok yang pengin deketin elo.”
“Tapi gue takut dan kasihan sama mama papa gue kalo jadi anak durhaka, Mel.”
“Mel, ini hidup elo, masa depan elo.”
“Iya juga sih, terus caranya boleh via sosmed atau iyain cowok-cowok yang lagi suka deketin gue gitu?”
“Iya, itu terserah elo, terserah hati elo, yang penting elo harus segera milih satu orang. Jangan biarin Alfa ngerusak hari-hari elo dan bikin elo tersulut emosi terus. Buat enjoy aja hidup ini dengan cara elo sendiri, toh dia juga ngelakuin hal seenak jidat dia juga.”
“Iya deh, ntar gue mantepin hati. Emang elo nggak ada calon yang bisa gue langsung comot aja gitu, Sil? Kan elo tahu selera gue kan?”
“Gue nggak tau selera elo. Sahabatan puluhan tahun nyatanya sampai sekarang elo jomblo terus, darimana gue bisa tahu?”
“Ya kali aja ada yang bisa di comot gitu, Sil. Buntu gue kalo suruh mikir urusan gini.”
“IQ aja 130, tapi dodol urusan mikirin cowok. Comat-comot emang jajanan di kantin Mak Erni? Iya deh nanti kalo ada yang gue sreg dan menurut gue cocok buat elo ta rekomendasikan.”
“Nah, gitu dong Sisil gue yang cantik, gue bener-bener sayang elo. I love You,” pekik Melody sambil memeluk erat sahabatnya.
“Lepasih ih, gue normal, ini di kamar jangan sampai terjadi yang iya-iya, gadis gue tetap buat Kevin seorang.”
“Ya Ampun, ta*k lho, gue juga normal kali meskipun masih nyaman jomblo sampai sekarang. Fikir gue bakal jadi anak yang berbakti kepada ortu, biar mereka yang cariin jodoh buat gue, eh … malangnya nasib gue ketemunya es batu songong, gue lupa doanya nggak sebutin kriteria jodoh yang gue pengin, huhuhuhu … “
Sisil hanya menggeleng-geleng pasrah melihat tingkah absurd gadis yang begitu setia dan baik menjadi sahabatnya selama ini.
“Gue cuma berharap elo bahagia, Mel.”
“Penginnya gue juga gitu, Sil. Tapi kenapa yang di jodohin sama gue orangnya absurd juga kayak gitu, orang yang bikin gue alergi karena adem kayak es batu, sombong, songong, angkuh, lengkap wes pokoknya.”
“Lihat elo gini gue jadi bener-bener bersyukur punya Kevin, Mel. Gue pilih-pilih sendiri, dapat restu orang tua kami dan selangkah lagi gue menuju tahap selanjutnya. Semoga elo udah bawa gandengan waras pas datang ke acara tunangan gue bulan depan.”
“Aamiin … doakan gue selalu bisa sebahagia elo ya, Sil, biar papa sama mama keturutan punya cucu sebelas di usia muda mereka. Biar gue nggak pake repot momong banyak balita.”
“Astaga … istighfar gih, elo doa baik-baik kok ujungnya gitu, sih.”
“Astaghfirullah … iyaya dosa gue, maaf ya Allah, gue pengin bahagia, pengin mama sama papa juga bahagia karena gue anak-anak satu-satunya, kalo nggak gue siapa yang bakal bahagiakan ortu gue?”
“Alhamdulillah waras lagi. Aamiin … elo pasti bahagia, kok. Yang sabar ya, ada gue disini.”
“Iya, makasih ya, Sil, elo selalu ada buat gue.”
Selebihnya mereka bercanda penuh tawa sepuas-puasnya hingga akhirnya Sisil pamit pulang ketika Kevin menjemputnya. Mereka berdua sesungguhnya memiliki acara akan selesaikan administrasi acara pertunangan mereka bulan depan di WO yang mereka sewa. Tapi demi Melody, Sisil dan Kevin rela menunda kepentingan yang seharusnya bisa di selesaikan siang tadi.
Bagi Sisil, Melody tak hanya seorang sahabat. Gadis itu juga menganggap Melody sebagaimana seorang adik baginya. Kebetulan usia mereka juga terpaut satu tahun dengan Melody yang lebih muda. Orang tua mereka juga sudah saling mengenal dengan sangat baik selayaknya saudara.
Persahabatan keduanya yang mendekati usia enam tahun ini membuat ikatan persaudaraan itu menjadi semakin erat. Sisil menangis ketika Melody menangis, meskipun di luar dia nampak begitu tegar dan berusaha selalu membuat joke supaya sahabatnya bahagia, tapi sesungguhnya hatinya pedih melihat wajah cantik sang sahabat yang sedikit kehilangan cerianya. Berkebalikan dengan Melody, jika Sisil menangis maka dia akan ikut menangis sekeras tangisan Sisil. Hal itu biasanya terjadi ketika Sisil sedang curhat masalah percintaannya dengan Kevin. Atau, jika Sisil sedang kambuh sakit asam lambung akutnya yang membuat gadis itu tak bisa melakukan apapun, sampai harus opname di rumah sakit. Maka di jamin mata Melody akan membengkak kebanyakan nangis dan rela nggak tidur menunggui Sisil dan bahkan rela bolos kuliah.
Jadi, bagi Sisil, menyarankan Melody memiliki kekasih meskipun ada Alfa yang di jodohkan dengan sahabatnya itu adalah saran yang tepat. Supaya sahabatnya tidak terkena penyakit hypertensi karena kebanyakan emosi dan beban fikiran. Supaya Melody selalu bisa melewati hari-harinya tetap penuh keceriaan. Dia sama sekali tidak mau kehilangan keceriaan gadis itu. Bagi Sisil, Melody lebih tepat menjadi seorang adik baginya. Lebih tepatnya sebagai pengganti adiknya nomor dua yang meninggal dunia karena sakit kanker yang di derita. Sisil sangat menyayangi Melody sebagaimana dia menyayangi adik-adik kandungnya. Sisil anak pertama dengan dua adik perempuan. Namun Tuhan lebih menyayangi adiknya yang berjarak usia dua tahun di bawahnya untuk kembali ke pangkuan-Nya sejak kurang lebih tujuh tahun yang lalu.
Melody sedang serius membaca buku di perpustakaan kampus ketika seseorang tiba-tiba duduk di depannya tanpa permisi. Sebuah buku tebal terbuka begitu saja menampilkan deretan abjad yang entah membahas tentang apa. Gadis itu mendongak sekilas, memastikan siapa yang duduk diam-diam tanpa kata permisi padanya padahal banyak bangku kosong yang lain di sana-sini. Begitu mengetahui sosok itu spontan rasa sebal menderanya tanpa ampun. Gadis itu mendengus halus, ungkapan rasa kesal sekaligus penanda kalau dirinya mengakhiri acara membaca di perpustakaan. Padahal sesungguhnya belum genap lima belas menit Melody duduk dan membuka buku yang sejak beberapa hari lalu menjadi incarannya. Tanpa banyak berfikir lagi, gadis itu segera berdiri, menutup buku yang sedang dia baca kemudian berjalan menuju ke meja petugas perpustakaan. “Mbak Atik, buku ini gue pinjem, ya,” ujar Melody sambil menyodorkan kartu anggota perpustakaan. Perempuan setengah baya yang di panggil Melody segera menerima kar
Setelah memarkir mobilnya di garasi, Melody melenggang santai masuk rumah dengan lagak tanpa dosa. Padahal aslinya, jangan di tanya seberapa dag dig dug jantung ini saat membayangkan omelan panjang kedua orang tuanya nanti. Apalagi di garasi tadi sudah di lihatnya mobil papa bertengger dengan gagahnya. Jika sekedar beradu mulut dengan Alfa, semenjak acara kenal-kenalan kapan hari sudah menjadi hal biasa bagi Melody selayaknya iklan pemutih atau pengharum cucian yang tiap hari mondar mandir di layar televisi tanpa pernah mau mengerti pemirsanya pada pengin lihat atau enggak. Namun untuk menerima omelan panjang kedua orang tuanya, terlebih omelan papa, yang parahnya lagi bisa-bisa di bumbui fitnah si tukang jilat calon menantu kesayangan mereka itu benar-benar membuat nyali Melody menciut. Selain karena harus repot-repot menyiapkan jiwa dan raga mendengar omelan yang harus dia terima, mengingat sikap penjilat seorang Alfa yang suka berkata manis di depan o
Melody tersenyum seorang diri di bangku bawah pohon taman kampus. Tangan gadis itu sibuk memencet abjad-abjad di layar touchscreen handphone-nya. Di sebelahnya Sisil tak kalah sibuk, gadis itu asyik bertelepon ria dengan Kevin calon tunangan pujaan hatinya. Semakin mendekati acara pertunangan sepertinya mereka nampak semakin lengket. "Sil, elo yakin kan si Ansya ini bukan teman atau kenalan elo, dia bener-bener tahu banyak tentang kita, lho," jawil Melody pada sahabatnya yang baru saja mengakhiri acara berteleponnya. "Gue yakin banget, Mel. Sejak elo cerita kapan hari gue udah nyari info kemana-mana, ke teman-teman gue yang lain juga dan pada yakin nggak ada yang kenal dia." "Iya nih orang, akrab sama gue tapi kok misterius juga, ya?" "Di ajak video call sama ketemuan belum mau juga?" "Belum Sil, tapi gue nyaman aja, sih, pada dasarnya gue juga nggak ngebet banget pengin ketemu dia, terserah dia aja, orang dia yang datang ke gue." "But
Tiga hari berlalu dari permintaan Ansya. Setiap harinya mereka masih tetap berkomunikasi dengan baik, penuh dengan canda tawa dan perhatian yang manis dari Ansya untuk Melody. Melody belum berani memberikan keputusan untuk cowok itu. Dia sudah jujur pada hatinya sendiri bahwa dia menyukai Ansya. Sejujurnya juga ingin segera memberi jawaban "iya". Tapi keberadaan Alfa meski penuh dengan tingkah menyebalkan dan juga memikirkan hati orang tua mereka tetap menjadi pertimbangan yang utama. Di satu sisi, meskipun belum pernah bertemu, dia tidak mau asal menjawab sekedar untuk bersenang-senang saja. Melody tetap berusaha menghargai perasaan Ansya. Gadis itu selalu begitu, meski banyak hati yang dia tolak, tapi dia selalu berusaha untuk melakukannya dengan baik supaya tidak terlalu menyakiti hati orang itu. Bukan tanpa alasan, apalagi untuk seorang Ansya. Melody bisa merasakan dia cowok yang baik, kedekatan komunikasi mereka beberapa hari ini, pendekatan manis dari Ansya yang tanpa pa
Semilir angin memainkan rambut kecoklatan Melody. Gadis itu duduk santai di balkon kamarnya. Sejauh mata memandang nampak taman kesayangan mama yang segar bersih terawat, kolam ikan koi kesayangannya dan kolam renang tempat biasanya dia dan keluarga bersantai sekaligus berolah raga. "Jadi apa yang pengin elo bicarakan sama gue?" tanya Ansya di telepon mereka sore ini. "Sebelumnya gue minta maaf, Bad. Gue siap apapun yang bakal elo putusin ke gue setelah tahu semua tentang gue." "Iya, Cinta. Gue siap dengerin apapun yang mau elo sampaikan. Gue simak dulu. Sekarang elo bicara dulu aja biar gue sempat memikirkannya." Ini adalah acara bertelepon langsung mereka yang kedua dan kali ini Melody yang berinisiatif menelepon duluan meskipun berawal dengan rasa dag dig dug teleponnya bakal di terima atau enggak. Ada rasa adem dan tenang mendengar suara Ansya yang begitu sabar dan pengertian padanya. "Elo sekarang dimana? Gue ganggu nggak kalau ma
Melody duduk bersebelahan dengan Sisil yang setia menemani di aula gedung tempat di laksanakan presentasi final lomba karya ilmiah remaja. Total peserta ada 25 mahasiswa dan mahasiswi dari seluruh universitas di kota mereka. Dari total peserta, empat orang adalah perwakilan dari almamater Melody. Sungguh pencapaian yang luar biasa dan membuat bangga. Dari 25 peserta tersebut hanya akan di ambil enam orang pemenang yaitu juara 1 sampai dengan juara 3 dan juara harapan 1 sampai dengan juara harapan 3. Pemenang pertama otomatis akan mewakili universitas di kota mereka menuju persaingan nasional universitas se-Indonesia. “Nomor peserta sembilan, Melody Cinta Efenira Atma dari Universitas Saktya Jaya di persilahkan ke atas panggung.” Melody segera berdiri dari tempat duduk, menggenggam sejenak tangan sahabatnya yang mengangguk sambil tersenyum memberikan semangat. Menoleh sebentar ke arah dosen-dosen pendamping sekaligus ke teman-teman satu universitasnya. Senyuman dan ac
“Ayo dong, Ma, dandannya lama banget sih, ngalah-ngalahin gadis yang belum laku kawin,” celetuk Melody yang menunggui mama merias diri di kamarnya. Sudah ketiga kalinya gadis itu menengok ke kamar mama, dan akhirnya dia duduk di ranjang orang tuanya sengaja merecoki Meira yang belum selesai-selesai berdandan sejak tadi.“Aish, kamu nih, ya, sabar dikit dong ah. Ini lho wajah mama banyak kerutan, bikin nggak sempurna penampilan. Iya kalau kamu, pake make up gitu juga udah cantik banget, pasti nanti Alfa terpesona.”“Ngapain bawa-bawa nama Alfa sih, Ma. Emang dia bakal tahu secantik apa Melody malam ini?”“Ya pasti tahulah, kan nanti dia berangkat bareng kita.”“Hah, apa? Ogah ah, Ma, lagian dia nggak di undang tuh sama Sisil.”“Oh, ketahuan nih akhirnya, jangan-jangan Sisil nggak undang Alfa karena kamu, ya? Padahal semua teman sekelasnya katanya di undang, tapi kemarin
Melody mematut diri di depan cermin. Blouse pendek warna biru langit, celana jeans 7/8 warna putih, tas selempang kecil dan flat shoes putih menyempurnakan gaya santainya di minggu pagi ini. Seperti biasa, rambutnya yang tak terlalu panjang dia biarkan tergerai, kali ini sebuah jepit mungil dia sematkan di bagian samping antara rambut poninya, mempermanis tampilannya dan tampak semakin imut. Lipgloss tipis dia ulaskan di bibir pink alaminya, pun begitu dengan bedak tipis yang juga menyapu wajah cantiknya. Wajah putih dan bersih Melody sepertinya emang tak membutuhkan banyak polesan, apalagi karakter gadis itupun adalah type yang santai. Pesolek bukan, tapi di kata tomboi pun enggak. Simple, itulah keseharian Melody. Wajah oriental manadonya yang sedikit bergeser ke wajah gadis ala korea mungkin oleh-oleh dari ngidam Meira yang pada waktu hamil pengin banget pergi ke negeri gingseng yang penuh oppa-oppa cakep dan unnie-unnie cantik itu, namun tak kesampaian karena kondisi kesehatan p