“WRONG WAY!” “WRONG WAY!” “WRONG WAY!” Suara narator video game playstation racing Grand Turismo membuatku bertambah panik kala menekan-nekan tombol stick video game. Mobil-mobil rivalku dalam car race ini melaju berlawanan arah denganku. Sial! Hanya lantaran tersenggol mobil lawan, mobilku jadi berbalik arah seratus delapan puluh derajat. Selama hidupku, sebenarnya aku akrab dengan dunia video game. Ketika kukecil dulu, orangtuaku rajin membelikan konsul game apa pun yang kumau. Mulai dari playstation, sega, x-box, maupun Gameboy tak ada yang terlewatkan. Tak jarang aku mengajak teman-temanku di sekolah maupun tetangga untuk bermain video game ke rumahku. Kebanyakan memang laki-laki. Kalau pun ada teman perempuan yang ikut bersama kami bermain video game, kemungkinan adalah pacarku atau pacar dari sahabat-sahabatku. Satu hal yang menarik adalah… Seingatku, aku tak pernah mengajak Aubree untuk bermain video game di rumahku. Padahal, kami berdua ini satu sekolah. Mungkin karena kuk
Aku mencintaimu. Aku milikmu. Kau adalah kekasihku. Kau adalah tambatan hatiku. Kau adalah milikku. Bolehkah aku mengkritisi kalimat yang terlontar dari bibir berlipstik maroon red cantiknya itu dan mengungkapkan dari lubuk hati terdalamku bahwa justru aku akan menjauh dari seseorang yang meyakini teori cinta tesebut untuk pedoman hidupnya? Aku tak suka diriku menjadi miliknya. Diriku hanyalah milikku, sedangkan dirinya adalah miliknya. Kalau pun ada orang lain yang ingin mengklaim kepemilikan seseorang, menurutku yang lebih pantas adalah kedua orang tuanya. Aku ada karena mereka berdua. Atau, jika aku ingin sok suci, sudah pasti diriku dan dirinya hanyalah milik Tuhan. Ah! Sekilas, pernyataan kau adalah milikku dari seseorang yang sedang kau cintai itu terdengar begitu romantis. Namun, sebenarnya, makna di balik semua itu sangat menyeramkan. Kau tak hanya sekedar menyerahkan diri, tetapi sudah mengakui bahwa jiwa dan ragamu adalah miliknya. Aku pernah mendapatkan cerita dari se
“Mungkin suatu hari nanti, aku harus bicara pada Jasmine,” aku mencoba memejamkan mataku. Aku hendak berangkat tidur. Perasaanku memang agak tak enak, mungkin karena memikirkan Jasmine. Namun sepertinya, kantukku jauh lebih menguasai. Aku ingin mengakhiri hari dengan tenang. Sampai jumpa di hari esok.Nyatanya, ketika aku sudah memejamkan mata, aku belum benar-benar tertidur pulas. Semilir AC hanyalah satu-satunya bunyi yang kudengar di telinga. Dalam gelap karena memejamkan mata, benakku rupanya belum ingin beristirahat. Baiklah! Biarkan dia berpikir terlebih dahulu tentang hubunganku dengan Jasmine.Tak hanya itu, biarkan aku juga menambahkan beban pikiranku seputar pernikahan.Entah mengapa, aku jadi teringat dengan pesta perayaan usia pernikahan lima puluh tahun kakek dan nenekku.Dalam beberapa acara perayaan lima puluh tahun pernikahan, aku sering mengkritisi perjalanan kisah panjang pasangan yang sedang merayakan kemeriahan itu. Sebenar
Rambut-rambut Jasmine Si Jempol berjatuhan di sekitar meja rias kamarnya yang serba putih. Tak hanya warna favorit dan hatinya yang berwarna putih, ada dinding kamar, cat lemari pakaian, warna tempat tidur beserta meja rias dan kabinet, pintu, jendela, boneka beruang di pojok kamar, gorden, jam dinding, bingkai-bingkai foto, karpet, sofa kecil, sampai mayoritas pakaian di lemari, semuanya berwarna putih. Kedua orangtuanya, sang pemberi nama ‘Jasmine’ juga tak mengarahkan putri sematawayangnya untuk menggemari warna putih bak warna melati. Sudah digariskan semesta rupanya gadis cantik dan manis ini menyukai warna terang macam putih. Rambut-rambut hitam legam Jasmine berjatuhan di karpet putih kamar. Jasmine yang hendak menggunting helai-helai rambut lainnya sempat melirik sejenak ke arah helai-helai rambutnya yang telah berjatuhan. Air matanya meleleh lagi. Dia bukannya sedih berpisah dengan potongan-potongan rambut itu, melainkan mengenang kisah indah bersama seseorang selama helai-he
“Si Jempol”Jasmine lagi-lagi menghubungiku. Agar Mandy tak menyadarinya, aku masukkan saja ponselku ke dalam tas dan kuaktifkan mode silent. Kurasa semuanya sudah jelas. Aku sudah tak bisa melanjutkan hubungan dengan Jasmine. Dia terus-terusan mendesakku untuk berkenalan dengan kedua orangtuanya. Lebih baik dia mencari laki-laki lain yang memang setuju dengan caranya berhubungan.“Cana, untuk kali ini, kamu tidak boleh menolak untuk minum,” ketika aku memasukkan ponselku ke dalam tas, aku melihat Mandy sudah berdiri di tengah bar. Bentuk, letak, dan interior ruangan pada villa Mandy memang kelewat unik. Dia menaruh mini bar dan lemari kaca berisi gelas-gelas alkohol di pojok ruang tamu. Aku biasanya mendapati mini bar model begini di dekat dapur atauliving room.Melihat bar di ruang tamu villa Mandy, aku jadi teringat denganwinemilik Mandy yang tempo hari aku to
“Cana?! Kamu mau ke mana?” Teriakan Mandy bukanlah penghalangku untuk meninggalkan villanya. Aku memang masih mematung di depan daun pintu ruang tamu, belum membukanya. Akan tetapi, semua ini hanya untuk memastikan apakah Mandy sudah mengenakan kembali kimono handuknya atau belum. Meski sedang menghindarinya dan ingin cepat-cepat pulang kembali, aku masih memperhatikan kondisinya apakah sudah tertutup pakaian atau belum.Aku menoleh ke belakang sedikit. Mandy ternyata sudah menutupi tubuhnya dengan kimono handuk yang tadinya dia jatuhkan ke lantai. “Sampai ketemu lagi, Mandy. Entah di kantor, atau di eventprojek kita,” ucapku seraya hendak menarik gagang pintu.PLAK!“JANGAN SOK KECAKEPAN, DEH, LO!” Mandy masih berteriak.Satu tamparan keras mendarat di pipiku. Aku tak menduga Mandy melakukannya kepadaku. Seumur hidup, aku baru ditampar satu kali oleh wanita. Seorang wanita itu adalah Mandy si Te
Selang beberapa hari setelah pertengkaranku dengan Jasmine si Jempol, Mandy si Telunjuk, dan sampai akhirnya membuatku membahas Gwen si Kelingking bersama Keanu di Cosmo King kala penghujung hari, aku mengalihkan banyak waktuku di urusan pekerjaan. Bulan ini banyak yang menyewa sound system dan alat musik di event-event kecil. Memang tak serumit jika mengurus event besar. Namun karena jumlah acaranya yang banyak, aku pun harus membagi banyak tugas kepada beberapa anak buahku. Sampai saat ini, aku memiliki delapan anak buah yang menurutku sebenarnya masih kurang untuk mengurusi lebih banyak event lagi. “Mas Cana, kapan kita follow up pemda lagi?” salah seorang anak buahku mengingatkan salah satu proyek kami ketika memasuki ruang kerja. Aku yang masih bermain video game di ponsel segera mematikannya dan kembali ke dunia realitas. Anak buahku ini membuat benakku mulai bekerja keras. Ada salah satu projek besar pemerintah ibukota yang sedang kugarap bersama para anak buahku. Aku tentu sa
Tragedi yang terjadi beberapa waktu lalu dalam hidup Gwen si Kelingking membuat ‘hubungan’ kami semakin dekat. Karena dianggap sebagai salah satu pihak yang terakhir kali bertemu dengan Bang Phiyink sebelum ajalnya menjemput, aku harus mengikuti beberapa panggilan dari kepolisian. Keteranganku diharapkan dapat menjadi salah satu sumber penyelidikan. Selama aku bolak-balik ke kantor polisi di wilayah utara ibukota tersebut, Gwen si Kelingking selalu menemaniku. “Tolong jangan bilang sama ayah dan ibu kalau saya sering bolak-balik ke kantor polisi,” sebelum aku berangkat dari rumah, sewaktu itu, aku selalu meminta tolong pada orang rumah agar tak perlu mengatakan apa-apa kepada kedua orangtuaku. Pada waktu itu, kedua orangtuaku belum sesering saat ini berada di Perth. Meski begitu, aku tetap merasa tak ditemani di rumah. Lebih jelasnya lagi, tak ada bedanya suasana rumah kala ada orangtuaku atau tidak. Kedua orangtuaku terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Ibuku lebih senang berkumpul