"Terserah kau mau bicara apa. Aku melakukan ini juga bukan atas keinginanku. Yang jelas kau akan menuruti peraturan ini mulai sekarang. Coba saja melawan. Kakak akan memberi pelajaran untuk adiknya ini."
Rosie mendengus murka. Deru nafas cepat miliknya bisa Edward rasakan menerpa kulit wajahnya. Posisi mereka teramat dekat tetapi tidak ada yang mau mengalah untuk memalingkan muka. Jika, kau berpaling itu artinya kau takut.
"Kalau sudah mengerti, Kakak pergi dulu ya adikku yang manis." Edward mengulangi adegan yang Rosie lakukan beberapa hari lalu. Persis sama. Dia menepuk-nepuk pucuk kepala Rosie seperti gadis yang tingginya hanya sebahunya itu adalah anjing perliharaan lalu keluar dari ruang keluarga.
***Tidak ada pesta? Tidak ada keluar sampai malam? Harus memberi kabar? Cih! Rosie pasti sudah sinting kalau mengikuti maunya Edward. Dia pikir Rosie akan gentar dengan gertak sambal murahan begitu?"Apa yang kau lakukan?!" pekik gadis itu murka setelah dia mampu bangun dan duduk. Manik hazel miliknya bisa memancarkan laser untuk membor kepala Edwardhingga bolong."Menunjukkan padamu kalau aku tidak main-main.""Sial!" umpat Rosie sembari berusaha bangkit.Tapi, Edward menahannya. Pemuda itu memegangikedua tangan Rosie di atas kepalanya, tubuhn besarnya sendiri melayang di atas gadis itu. Rosie benci tempat ini. Baunya seperti Edward Quin. Aroma mint bercampur dengan, entahlah sesuatu yang manis."Kau akan tidur di sini malam ini. Dan renungkan kesalahanmu supaya mulai besokkau bisa menjadi gadis baik,"Edward selesai bicara, tapi penganggannya di tangan Rosie masih mengungci erat. Dia menunggu Rosie berhenti menggerak-gerakkan tangannya dan menggeliat tak sabar di bawahnya."Kenapa aku harus dikurung di sini?" Rosie masih saja mencari-cari alasan, tak t
Ada sesuatu yang mengganjal. Alice menarik kain hitam dari balik selimut. Sebuahmini dress yang sangat seksi.Gemuruh di hatinya kembali lagi. Lebih dahsyat dari ketika dia menyaksikan Rosie memakai kaos Edward. Pikiran negatif tentang Rosie dan Edward terbentuk di benaknya, membuatnya sedikit marah.Alice bangkit dari kasur, berjalan menghampiri Edward yang sedang mengacak-acak laci meja."Edward, apa ini?" dia mengangkat dress itu.Edward berhenti mencari-cari dan berbalik. Pupil matanya membesar melihat benda yang ada di genggaman kekasihnya. Alice bisa melihat itu, pria itu sedang kaget.Pikiran di benak Alice makin liar. Gadis itu mencoba tetap tenang meski rasanya ingin berteriak."I-tu jangan salah paham, Alice. Semalam terjadisesuatu yang mengharuskan Rosie tidur di sini. Tapi aku tidur di ruang keluarga kok. Kami t-tidak tidur sekamar," Edward berkata deng
"Edward, kapan kau akan menikahi gadis cantik ini? Kalian sudah cukup lama menjalin kasih. Apa lagi yang di tunggu?" canda Bibi Faye disambung dengan kikikan palsu."Edward harus menyelesaikan kuliah dulu. Nanti kalau kami sudah lulus kuliah baruakan membicarakan masalah itu,"Alice kembali bicara sembari meremat genggamaan tangannya dengan Edward."Ya. kami sepakat menyelesaikan pendidikan lebih dulu," jawaban Edward terdengar setengah hati tapi tak ada yang menghiraukan."Betul-betul. Pendidikan itu memang penting. Karena akan menjadi penilaian untuk keluarga calon pasangan kalian nantinya."''Aku setuju denganmu, Kak Marsha. Untung saja Edward pandai memilih calon istri, tidak seperti Ayahnya." perempuan yang dipanggil Bibi Jane melirik Rosie dari sudut matanya dengan sinis.Sejak tadi Rosie sudah muak mendengarkan orbrolan penuh kepalsuan. Tapi kalimat terakhir yang dia de
Setelah kejadian tidak mengenakkan yang menyudutkan anak bungsu mereka, Tuan dan Nyonya Quin memperlakukan Rosie jauh lebih baik. Mereka sangat amat menyesal setelah tahu alasan sebenarnya Rosieberlaku kasar pada orang yang lebih tua, itu semua semata untuk membela ibunya.Nyonya Quin merasa telah jadi ibu yang buruk, jadi dia meminta maaf sambil mengangis memeluk putri kesayangannya beberapa jam setelah meneriaki gadis malang itu.Tuan Lewis juga meyakinkan Rosie untuk mengatakan apapun perasaan yang dia rasa tanpa sungkan. Pria itu tidak mau Rosie merasa terasing atau bahkan merasa bukan bagian dari keluarga ini.Hubungan mereka lebih dekat dan erat berkat kejadian buruk itu. Seperti keluarga normaldan bahagia pada umumnya.Tapi, tidak demikian dengan hubungan Rosie dengan kakak tirinya tersayang. Kedua kakak beradik masih tidak akur. Mungkin mereka terlihat baik-baik saja, tapi keduanya tahu bah
Rosie sudah sampai ke titik di mana dia mampu membunuh Edward. Ah, lihat saja nanti. Tunggu saja tanggal mainnya kau, Edward!"Cih! Kau ini sok suci sekali! Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau dan kekasih lugu-mu itu lakukan di balik pintu kamarmu?! Apa yang aku lakukan kotor dan yang kau lakukan tidak?!" Rosie tersenyum menang mendapati keterkejutan di wajah sangar kakak tirinya.Ah, rasanya Rosie Wilkins ingin memanipulasi keadaan dan membenarkan perbuatannya? Jelas saja mereka berbeda. Edward tidak akan membiarkan gadis itu lolos lagi kali ini. Dia sudah terlalu banyak mengalah untuk menghormati ayah dan ibunya."Aku dan Alice sudah bertunangan. Kami bahkan akan menikah. Hubungan kami dilandasi cinta. Dan, apa yang kami lakukan jelas berbeda dengan yang kau lakukan denganbanyak pria. Jangan jadi gadisgila lalu menyamakan keadaanku dan Alice dengan hal rendah yang kau lakukan, Rosie Wilkins! Jelas itu berbeda."
"Memikirkan apa sih? Kok serius sekali sampai aku dihiraukan?"Mata hitam bening milik Alice menatapnya penuh rasa ingin tahu, pipi pucatnya berhiaskan lesung alami yang selalu menghasilkan debaran di dadanya, semua yang ada pada diri Alice merupakan daya tarik yang membuat Edward mencintai perempuan itu. Mustahil rasanya membayangkan dia bisa mengkhianati malaikat seperti Alice.Kalau dipikir-pikir lagi omongan Rosie sangat konyol dan tidak masuk akal. Tapi, yang lebih tidak masuk akal justru dirinya sendirilah yang mengkuatirkan omong kosong itu. Sampai tidak bisa tidur pula?Betapa anehnya dirinya. Benar! Tidak ada yang perlu dicemaskan.Edward mengenal dirinya sendiri dan dia tidak akan goyah apalagi sampai mengkhianati kekasihnya yang sudah setia padanya selama bertahun-tahun. Terlebih, hanya untuk jatuh pada godaan perempuan murahan macam Rosie. Edward pasti sudah gila kalau itu sampai terjadi.
"Jujur padaku. Kau hanya alasan saja membuat rencana untuk menggoda kakak tirimu yang tampan, kan? Katakan saja kalau kau memang suka dengan dia dan mau dekat-dekat dengan dia,"Claire berucap sembari berselonjoran di atas rumput lapangan. Keringatnya sudah berkali-kali dia lap dengan sapu tangan tapi masih saja bocor. Maklum. Dia, Rosie, dan Annette baru selesai mengitari lapangan dua puluh kali."Aku masih mikir itu rencana yang buruk," komentar David lalu minum dari botol yang dia bawa. Pemuda jangkung itu menghabiskan isi botol yang tinggal setengah kemudian kembali bicara."Bukannya kakak tirimu sudah punya tunangan, kan? Bagaimana dengan tunangannya?""Cih! Masa bodo! Salah sendiri dia mau saja bertunangan dengan orang brengsek macam Edward. Lagi pula Alice hanya akan tersakiti kalau tunangannya benar berkhianat. Kalau, Edward berhasil menahan godaanku, ya Alice aman."Rosie memijat pela
Lucu.Tingkah Edward yang Rosie maksud. Pemuda itu terus saja menghindar dari adik tirinya. Rosie yakin itu karena 'sapaan sopan' Rosie di dapur tempo hari. Edward langsung berinisiatif membatasi interaksi dengan Rosie.Contohnya, mulai keesokan hari setelah Rosie menggodanya, Edward selalu menjemput Alice dulu dengan alasan ingin sarapan bersama, lalu baru kembali ke rumah dan mengantar Rosie ke sekolah. Lucu bukan?Edward sungguh naif berpikir diabbisa lepas dari ancaman Rosie dengan pertahanan buruk seperti itu. Memang itu bisa mencegah Rosie berbuat macam-macam padanya ketika mereka berangkat atau pulang sekolah-ya, Edward juga memaksa untuk pulang dengan Alice sebelum menjemput Rosie.Dia kira dengan adanya Alice di antara mereka Rosie akan kehilangan kesempatan menggodanya? Sungguh lucu, Edward Quin. Sayangnya dia salah. Salah besar.Rosie hanya berbaik hati sambil menikmati raut gugup yang ka