"Apa maksudnya?" Aira bergumam"Apa lagi yang kau pikirkan, hah?" sahut Riana lewat di belakangnya. "Griffin baik-baik saja semalam?""Hm, dia sehat.""Jangan tinggalkan dia sendirian. Kalau ada yang ambil bagaimana?"Aira menoleh perlahan. "Pikirmu Griffin sebuah benda?""Kalau begitu beritahu Deva.""Kau terus menyuruhku memberitahunya!" Aira kesal sekaligus bingung. Tanpa diingatkan dia juga berpikir setiap hari."Rahasia tidak akan selamanya tersimpan. Nanti Deva bakal tahu sendiri.""Lebih baik awasi Deva supaya tidak sering melaut.""Cih, aku tidak peduli."Dini hari listrik menyala, usai Griffin mengatakan sesuatu yang membuat jantung Aira berdegup. Bukan cuma itu, asam lambungnya ikut naik.Pertanyaan Aira adalah dia tersipu atau enek mendengar pernyataan Griffin?Riana menilik lapak sebelah. "Lama sekali Novita pergi belanja."Sepekan sekali Novita pasti menitipkan t
"Terima kasih atas pengertiannya."Tentu Deva akan terus memerhatikan mereka. "Jika dia berbahaya segera lapor aku."Yang dibicarakan sedang belajar memasak diajari Riana."Nanti malam ajak dia. Aku ingin cepat masalah ini selesai.""Hm.""Riana!" panggil Deva setengah teriak."Apa?""Kau masih mau di sini?""Kau pulang duluan saja," jawab Riana."Tidak ada yang waras di antara kalian. Aku pulang," pamitnya berdiri."Hati-hati." Aira menatap punggung Deva sampai dia keluar.Mengagumkan baginya melihat respon Deva. Riana pernah bilang Deva takkan marah jika dia bicara lebih awal. Alasannya adalah Deva tak biarkan masalah kecil membuat persahabatan mereka renggang.Ucapan Riana terbukti. Deva justru ingin ikut membantu meski sisi lain mengatakan dia tak ingin Griffin tinggal lebih lama di rumahnya."Aira yang memberi nama Griffin?" tanya Riana."Ya, benar.""Rupa tampan seper
"Grifffin, apakah kau CEO kaya raya yang identitasnya tersembunyi seperti di drama?" Seketika suasana diisi suara ombak. Mereka saling tatap canggung."Halumu itu, lho." Sekali saja Deva ingin menyentil jidat Riana. Imajinasinya menganggap Griffin orang penting di tengah ketidaktahuan asal usulnya."Bagaimana kalau aku orang biasa?" tanya Griffin."Lebih baik begitu. Aku suka kesederhanaan," jawab Aira."Selagi kau tidak tinggal di sini hidupmu dikatakan lebih mampu dari kami," tutur Riana.Griffin menganggukkan kepala mengerti."Aku ambil ikan dulu." Deva beranjak. "Hei, Aira.""Apa?""Kau tidak sembunyikan pria selain dia, kan?"Pertanyaan Deva mengundang tawa mereka."Rumahku bukan tempat penampungan.""Baguslah."*Elina meregangkan jari jemarinya yang hampir putus mengetik surat pemberitahuan atas perintah Bradly."Wakil Direktur, lama-lana kau seperti pimpinan ya suka menyuruh ini itu.""Begitu?""Begitu?" tiru Elina. "Sudah dikirim ke e-mail tuh."Bradly meninjau kotak masuk
"Bukankah terlalu nyata menganggap semuanya mimpi? Apakah pencapaianmu juga termasuk? Haha, senang mendengarmu mengakui itu.""Tidak, justru sekarang adalah hidupku yang sesungguhnya.""Aku tidak peduli. Lepaskan," suruh Elina baik-baik."Kau itu sama sepertiku! Jangan munafik!""Dari sudut mana? Kita sangat berbeda! Jangan menyamakan sifat kotormu dengan aku yang berusaha menjadi orang baik. Itu tidak pantas diucapkan, tahu tidak!"Elina membalas kakaknya dengan menarik rambutnya juga."Elina!" teriak Elisha nyaring. "Lepas, tidak!""Kau dulu lepaskan tanganmu dari rambutku!"Bradly yang baru keluar lift membelalak kaget melihat aksi pertengkaran saudari kembar di ruang tunggu tamu."Hentikan! Kalian ini pimpinan! Kasih contoh yang baik!""Aku tidak mau bersikap baik padanya!" jawab Elina."Pikirmu aku sudi? Cih!" sahut Elisha.Pancaran mata mereka berdua terlihat berapi-api.Tidak bisa
Di malam penuh aura mencekam Griffin, Deva, dan Riana berkumpul di rumah Aira mendengarkan acara horor dari saluran radio bertajuk "Rahasia di Balik Pintu".Aira menyiapkan ubi dan singkong rebus sebagai kudapan tengah malam dengan teh panas untuk teman-teman yang bersantai di ruang tamu."Menurutmu mereka pura-pura atau tidak?" Riana menanyakan pendapat mereka lantaran acara uji nyali yang diadakan di Pulau Marina terkesan berlebihan."Entahlah." Deva tidak begitu peduli selagi menghibur.Griffin menyuarakan pendapatnya. "Bisa iya, bisa tidak." "Dari kita berempat yang pernah ke Pulau Marina cuma Deva," ucap Riana."Serius?" Griffin penggemar berat acaranya sampai bermimpi pergi ke Pulau Marina."Sekadar singgah. Istirahat," jawab Deva berusaha rendah hati.Di belakang terdengar suara tawa yang berasal dari Aira. "Seingatku pulang dari sana kau demam satu minggu karena menantang hantu."Riana ikut tergelak. "Haha, rasakan itu." "Artinya benar banyak hantu di sana... " lirih Griffi
"Andai punya banyak uang... " Helaan napas Griffin mengganggu sekali."Siapa? Kau atau aku?" sahut Aira."Aku.""Kalau punya banyak uang, saran pertama dariku adalah ... Cepat pergi dari pulau ini dan tinggal di tempat layak.""Maka aku akan mengajakmu pergi bersama.""Aku?" Aira tersenyum."Aku tidak bisa hidup tanpamu."Siapa yang tidak salah paham jika pria mengatakan hal itu pada perempuan? Aira salah satunya."Kau bisa urus hidupmu sendiri," dehamnya kikuk."Tidak. Siapa yang nanti memasak dan membangunkan aku selain dirimu?" tutur Griffin menjabarkan maksud pernyataan tak bisa hidup tanpa Aira."Cari saja pembantu!" cetusnya kesal."Memang berapa tarif ke kota? Kalian selalu bilang mahal."Mumpung masih baik Aira memberinya nasihat. "Sampai kapan pun kita tidak bisa ke kota.""Sama sekali?" "Bisa saja ... Tapi selama sebulan kita puasa, mancing dan masak ikan sendiri, airnya ambil dari laut, kayu bakarnya kau yang cari ke dalam hutan."Hidup mereka bahkan sudah sulit tanpa masu
Griffin terbangun setelah bermimpi buruk lagi."Tampaknya ingatanmu mulai berdatangan," kata Aira melihat perkembangan Griffin setiap bangun tidur selalu bilang 'tidak mungkin, tidak'."Aku tidak tahu hanya mimpi atau memang ingatanku. Tapi kalau ingatanku ... Sepertinya jangan terlalu dekat denganku, Aira.""Mimpi apa?" Haris dengan ekpresif menggambarkan mimpinya dengan gerakan tangan antusias. "Dalam mimpiku, ada rumah besar dan banyak perabotan mewah. Lalu, aku sangat jahat.""Jahat seperti apa?" "Aku membentak banyak orang, berdebat dengan perempuan. Lalu tangan ini... " Griffin mengangkat tangannya gemetar."Tanganmu kenapa?" Aira tersenyum melihat betapa menghayatinya dia mendongeng.Griffin menggebrak meja.Brak!"Seperti ini," lanjutnya heran. "Aku sering memukul meja dan mengerang penuh amarah.""Benarkah?" "Aku tidak terlihat arogan dan kasar, kan? Menurutmu bagaimana?" "Pertama-tama, kau tidak harus memercayai mimpimu. Bisa jadi ingatan yang salah. Sebelum ingat kehidu
Setiap hari aktivitas mereka tetap sama. Griffin bermain-main ketika Aira bekerja, kemudian bersama-sama hingga malam.Dikatakan menyulitkan Griffin rasa ia tidak seperti itu sebelum Deva membuatnya sadar. Griffin hidup di atas kehidupan orang yang untuk bertahan hidup saja terkadang butuh berpikir.Kebersamaan, kebahagiaan, dan kenyamanan yang diperoleh Griffin rupanya tidak bisa dibiarkan lebih lama. Sudah saatnya Griffin harus mengingat jati dirinya sebelum menyulitkan mereka."Griffin, kemarin malam aku terbangun dan tidak melihatmu tidur di sini. Apa kebiasaanku berpindah padamu? Jalan-jalan tengah malam di laut."Griffin memikirkan apa yang harus ia ingat sejak pertama kali terbangun di pulau setelah fakta dan mimpi samar."Griffin," panggil Aira lagi.Aira menyetarakan tingginya di hadapan Griffin yang duduk memejamkan mata.Griffin menghembuskan pelan napasnya sebelum membuka mata.Ketika bertatapan mereka sama sekali tidak terkejut saking kebiasaan berhadap-hadapan jarak dek