Part 8. Masa Lalu
Senja berlalu, menyisakan kelam di langit yang perlahan semakin memekat, menghadirkan sedikit demi sedikit hening, menyiapkan waktu kepada jiwa-jiwa lelah untuk memeluk lelap.
Kami masih berdua, menyusuri kembali jalan yang tadi dilewati bersama, membawa keindahan yang telah tercipta dalam setiap jengkalnya. Dia mengarahkan mobil dalam diam, tapi riak wajahnya bahagia. Senyum tipis khasnya sesekali hadir, bersama itu dia akan menatapku yang curi-curi melirik. Beberapa kali satu tangannya lepas dari kemudi, beralih menggenggam erat tanganku, mengalirkan hangat yang cepat merambat ke relung hati.
“Kita mampir ke kedai dulu, ya.” Akhirnya dia memecah hening juga.
“Kedai?”
“Iya, kita makan dulu. Kamu lapar?” tanyanya sambil menatapku sebentar.
“Lapar, sih. Tapi, apa gak sebaiknya kita pulang saja, Mas. K
Part 9. PerjalananSeperti yang telah direncanakan sebelumnya, hari ini kami mengunjungi orang tuaku di kampung.Dia terlihat gagah sekali dengan balutan celana jeans birel dan jaket kulit warna hitam. Sarung tangan warna senada membungkus kedua tangannya. Hari ini kami akan menemui orang tuaku di Serimbu. Salah satu desa yang ada di Kabupaten Landak. Bakda subuh, kami siap melakukan perjalanan.“Titip Nadin ya, Bu,” ucapku pamit pada ibu mertua. Semalam Mas Kusuma memberi tahu anak itu bahwa untuk dua hari ke depan kami akan pergi.“Nadin mau ikut …,” rengeknya tadi malam. Aku sempat berpikir untuk berangkat diam-diam. Namun, menurut suamiku justru itu tidak baik.“Berterus terang dan memberi pengertian meskipun sulit akan berefek positif untuk perkembangan mental seorang anak,” katanya.&ldq
Part 10. Bertemu OrangtuaMemasuki waktu zuhur, kami tiba di Serimbu. Lelah? Tentu saja! Lebih dari enam jam berkendara sepeda motor. Hanya dua kali beristirahat. Bagian belakang tubuh terasa panas dan pegal. Punggung seperti kaku.Serimbu, merupakan ibu kota dari kecamatan Air Besar. Dinamakan demikian karena desa-desa yang terdapat di kecamatan ini dilintasi oleh sungai besar. Sungai Bahasa setempat disebut ‘aek’ atau air. Sehingga sungai besar menjadi air besar.Rumah orang tuaku sangat sederhana. Merupakan rumah panggung dengan material papan. Ketika tetangga dan sebagian besar warga telah merehab rumah mereka, kedua orang tuaku masih betah dengan bentuk rumah sederhana itu. Alasan terbesarnya tentu saja soal biaya, karena kami bukanlah keluarga berkecukupan. Untung saja kayu yang menjadi bahan pembangunan rumah ini dari jenis belian, sehingga tidak lapuk meskipun telah berpuluh tahun.
Part 11. KelamMalam ini, dia terlelap dengan mendekapku erat. Seharusnya aku merasa damai saat tak berjarak dengannya seperti ini. Saat irama jantung kami seolah menyatu. Namun, hati ini justru begitu resah.“Saya tidak ingin kamu bekerja. Saya takut kamu terpikat dengan laki-laki lain di sana. Saya tidak sanggup. Tidak akan sanggup. Karena itu, tolong, mengertilah,” mohonnya tadi sebelum tidur.“Biarkan saya saja yang bekerja, memanjakanmu, memenuhi segala butuhmu, meskipun harus memeras keringat sampai habis asalkan kamu tetap bersama saya, menjadi milik saya selamanya.” Dia bicara dengan napas yang berlomba. Seperti ada suatu emosi yang menguasai.“Sekarang, bicara! Katakan bahwa kamu akan setia,” pintanya sembari menatap mataku. Mungkin ingin menyeimbangkan kejujuran yang akan terucap dari bibirku dengan yang terpancar dari sana.&ld
Part 12. Nikah KantorKami segera kembali ke Pontianak, sama sekali tidak ada kesempatan untuk berlama-lama melepas rindu di sini, karena Mas Kusuma harus dinas.Sepulang dari bertemu orangtuaku di Serimbu, Mas Kusuma tidak ingin menunda untuk mengurus administrasi nikah kantor.“Ada apa, Mas?” tanyaku. Malam ini kudapati ia tengah duduk di atas karpet bulu di kamar. Ia tampak tersenyum sendiri sambil memandangi sesuatu.“Kemarilah!” pintanya sambil menepuk tempat di sisinya. Aku yang saat itu berdiri di depan pintu, baru dari dapur, menurut dan duduk di tempat yang dia maksud.“Saya sedang menyiapkan berkas nikah kantor, lihat foto gandeng kita. Serasi ‘kan? Kamu cantik sekali.”Dia menunjukkan foto yang kami rekam beberapa hari lalu. Padahal foto itu sudah berulang kali dilihat. Jujur aku juga sena
Part 13. PoV Kusuma“Apa maksud semua ini, Anin? Kamu sudah tidak perawan?” Aku menatap wajah yang menunduk itu. Berharap apa yang kubaca pada hasil pemeriksaan ini salah."Maaf, Mas," jawabnya pelan, mengubur semua harapanku.Aku menghela napas kasar. Tangan mengepal gusar. Jadi inikah yang dia maksud dengan kata ‘tidak sempurna?’Hah! Aku tidak percaya dengan semua ini. Aku juga tidak berpikir kearah ini. Kupikir dia bicara tentang fisik, bukan hal seintim ini! Bagaimana mungkin seorang Anindyaswari yang wajahnya terlihat begitu polos, bening bagai tak berdosa, hasil pemeriksaannya 2p?Bagaimana mungkin aku tertipu? Ini bukan sekadar pakaian yang menutupi, yang mungkin bisa menipu. Namun, ini adalah pancaran jiwanya. Semua dapat terlihat dari cahaya wajahnya. Atau mungkin aku yang sudah terlalu silau oleh pesonanya, sehingga tid
Suatu hal yang menyakitkan dan memalukan memang terlampau sulit untuk diceritakan. Bahkan sekedar untuk singgah dalam ingatan terasa berat apalagi harus diungkapkan.Jangan berkata apa susahnya bercerita. Itu teramat susah. Orang lain tidak akan pernah tahu.Aku menatapnya yang menjauh dengan mobil yang melaju sangat kencang.Aku tahu kamu terluka, Mas. Kamu pasti sangat kecewa dengan kenyataan yang tidak pernah kamu duga sebelumnya. Andai aku punya kemampuan untuk mengungkapkan kenyataan ini sejak awal. Mungkin semuanya akan lebih baik. Bukan aku tidak mau, tapi tidak mampu. Aku tidak pernah berpikir untuk memulai ikatan suci ini dengan sebuah ketidakjujuran. Namun, aku tidak punya kuasa untuk bicara. Lagi pula, kamu tidak memberiku banyak waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa berkata apa adanya.Aku melangkah gontai, menuju istana yang mungkin sebentar lagi tak sudi menerima. Sejatinya aku te
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Fortuner hitam yang dikendarai Mas Kusuma memasuki pekarangan rumah. Aku berdiri, sedikit gugup menyambut kedatangan laki-laki itu. Jantungku berdegup cukup kencang. Takut, jika dia masih marah. Setelah Fortuner hitam itu ditempatkan sesuai posisinya, dari belakang menyusul satu mobil yang pernah kulihat. Sebuah luka tergores di hati. Terasa perih. Ayla berwarna merah menyala itu berhenti setelah mengambil parkir di sisi kiri rumah, tepat di depan garasi yang ditempati Fortuner hitam milik suamiku.Laki-laki yang kini telah berganti pakaian, tidak lagi mengenakan PDH seperti saat dia berangkat, turun dari mobil tanpa menunggu pengendara Ayla merah menyala itu. Entah baju siapa yang dia kenakan. Bagaimana dia bisa pulang bersama mantan istrinya itu malam-malam begini. Apakah tadi dia pergi ke rumah wanita itu? Kuredam semua tanya dan prasangka ketika laki-l
Nurin tetap terdiam, memandang kosong ke depan beberapa saat kemudian menunduk menekuri lantai. Aku gerah dengan sikapnya, seolah menunjukkan bahwa dia begitu terluka karena aku telah mengambil hartanya yang paling berharga, Mas Kusuma dan Nadin. Padahal saat kudatang, Mas Kusuma bukan milik siapa-siapa lagi.“Mbak, pernikahan bukanlah suatu permainan untukku, yang bisa dimulai dan diselesaikan kapan saja. Di dalamnya, kita tidak hanya sedang berjanji kepada pasangan masing-masing tetapi juga kepada Sang Pencipta. Aku memang bukan wanita yang sempurna untuk mendampingi Mas Kusuma, mungkin secara fisik aku akan kalah saing dengan Mbak. Tapi aku punya cinta dan setia yang sempurna untuk Mas Kusuma,” sindirku.Kalimat ini sebenarnya tidak hanya kutujukan kepada perempuan di sampingku itu. Tetapi juga kepada diri sendiri. Sebagai penguat untuk tetap bertahan dalam mahligai pernikahan kami.Ya, aku memang bukan wa