Fery memijat pelipis dengan jari, merasakan pusing sebab banyaknya pekerjaan yang belum juga selesai. Tiba-tiba saja sekretarisnya mengabarkan informasi tentang adanya masalah dalam proyek baru Fery dan mengharuskannyamengurus semua saat itu juga.“Padahal kepengen cepet pulang. Ampun, deh!”Sesaat teringat Ara, ia pun mengambil ponsel berniat menghubunginya sekadar melepas kangen. Lelaki itu benar-benar kasmaran pada istrinya. Seolah masih pengantin baru saja.‘Panggilan di alihkan ....’Fery heran, tidak biasanya Ara mengalihkan panggilan.“Pak, ada wanita yang ingin bertemu,” ucap sekretaris Fery setelah mengetuk pintu ruangan dan masuk.“striku?” tanya Fery seraya bangkit dari kursi. Bibirnya sudah semringah saja.“Bukan, Pak. Tapi ....” Ucapannya terpotong kala seseorang menerobos masuk tanpa permisi.Senyum Fery langsung pudar begitu saja.“Hai, Fery ... duh, sekretarismu ini rese! Mau masuk nggak boleh, biasanya juga aku sering kesini, kan?” cerocosnya.Ria yang datang ternyata
‘Beginikah rasanya dikhianati?’ batin Ara. Air matanya terus jatuh dan sulit sekali untuk dihentikan.Setelah memergoki suaminya tengah bermesraan dengan Ria yang ia sebut sebagai perusak rumah tangga orang, hatinya bagai dihujam ribuan jarum tajam. Sangat menyakitkan.Wanita itu kini sibuk memasukkan pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam koper tanpa mempedulikan gedoran pintu disertai panggilan Fery dari luar kamar.“Ara! Buka dulu, kita bisa bicarakan baik-baik,” bujuk Fery penuh sesal.“Ra ...!”“Maaf, mas khilaf. Ara, tolong maafkan sekali saja,” pinta Fery. Gedoran di pintu pun mulai melemah.“Sayang, mas sangat menyesal. Tolong, bicaralah. Tidak apa kalau kamu tidak mau melihat mas, tapi setidaknya bicaralah, sayang.”Fery masih membujuk istrinya dengan putus asa. Ia tahu, meski semua terasa sia-sia, setidaknya dengan terus mencoba bicara dari hati akan sedikit didengar Ara walau wanita itu tak menyahuti barang sedikit saja.“Mas tidak pernah berniat mengkhianati kamu, S
Fery benar-benar mengikuti taksi yang ditumpangi Ara hingga sampai. Setelah Ara turun dan berjalan masuk ke gang menuju rumahnya sambil membawa koper, Fery langsung ikut turun dan berjalan perlahan di belakang Ara.Sunyi, hanya suara langkah kaki sendiri saja yang terdengar. Ara berada di depannya dengan jarak sekitar sepuluh meter. Fery terus memandang punggung Ara lurus.‘Ara ...,’ batin Fery begitu sedih.Terlihat Ara berhenti sejenak. Wanita itu menyentuh tumit kaki yang mungkin sedikit pegal.‘Dia memang ceroboh, ke kampung pakai high heels. Udah tahu jalannya jelek.’Ternyata bukan hanya pegal, tapi tumitnya sedikit lecet. Ara berjongkok memeriksa kaki sebelahnya lagi. Sama, keduanya sedikit lecet dan membuat perih di kaki.“Apakah sakit di hatiku belum cukup? Aku sudah merasa sakit yang tidak tertahankan. Sekarang, fisikku juga ikut terluka? Nasib macam apa ini?” gumamnya merutuk sembari menatap rembulan di atas langit.Ara kembali mengeluarkan air mata sembari mengipas-ngipas
Fery masih berada di dalam kendaraan sembari menatap gang sempit yang baru saja dilewati. Lelaki itu menghidupkan mesin mobil berniat pergi.“Kalau aku kembali ke Jakarta, bisa-bisa nanti Ara mikir aku gitu lagi sama Ria,” gumamnya seraya mematikan lagi mesin mobil.Lelaki itu mengambil ponsel di saku, lalu menelepon Mirna yang tak lain adalah sekretarisnya. Tidak peduli meski waktu sudah tengah malam.“Mir, saya enggak ngantor, ya beberapa hari. Kerjaan kirim saja lewat e-mail. Untuk rapat dan pertemuan dengan klien, tolong tangani dulu.”“Iya, Pak. Semoga sukses, ya, merayu Bu Ara, hehe ... Semoga cepat baikan,” balas Mirna.“Ck. Apa, sih! Ngejek, kamu? Awas nanti saya potong gaji bulanan kamu, lho!” Fery mendengkus kesal.“Iya maaf, Pak. Saya enggak ngejek, kok. Serius, Bu Ara itu perfect wife menurut saya, tetap pertahankan!” serunya membalas.“Saya akan urus masalah rumah tangga saya sendiri. Sebaiknya kamu kerja yang benar. Ingat, jangan sampai ada gosip tentang yang tadi,” jela
Pagi telah tiba. Tidak! Ternyata sudah siang. Fery baru bangun pukul sembilan, Ara sudah tidak ada di kamar. Selimut bekas pakai Ara sudah rapi terlipat di ujung bed.‘Tega sekali, dia. Sampai enggak membangunkan!’ batin Fery.Lelaki itu mencari-cari pakaian yang semalam dilepasnya, tetapi tidak ada dilantai. Namun, dirinya menyadari bahwa di nakas sudah ada satu setel pakaian bersih. Fery menilik-nilik kemeja garis hijau hitam itu seksama.“Ini ...,” gumamnya mengeryitkan dahi.Setelan jeans dan kemeja itu adalah miliknya, pakaian yang dulu awal menikah yang tidak terbawa pulang ke Jakarta.“Pasti Ara yang sediain,” ucapnya sembari mengulum senyum.Setelah berpakaian, ia langsung ke kamar mandi mencuci muka.“Fer? Baru bangun? Ayo makan dulu,” sapa ibu mertuanya ketika Fery keluar kamar mandi.“I-ya, Bu. Ngomong-ngomong, Ara kemana, Bu?”“Dia lagi ke rumah Erin. Dua hari lagi dia mau menikah. Jadi, Ara kesana bantu-bantu. Ibu juga sebentar lagi mau ke sana.”“Ohh,” sahut Fery hanya m
Suasana canggung melanda hati Fery. Setelah sebelumnya kesalahpahaman tentang Ara dan Rangga sudah terluruskan. Fery terpaksa meminta maaf sebab telah memukulnya beberapa kali hingga memar timbul di wajah tampannya.Ara masih dirawat di puskesmas. Beruntung cepat dibawa, alhasil dirinya tidak sempat mengalami gejala yang disebut Rangga sebelumnya dan sudah boleh pulang saat malam. Sementara Rangga, lelaki itu pulang setelah mengetahui bahwa Ara baik-baik saja.Fery membisu di ambang pintu ruang rawat, sesekali ia melirik Ara yang terlihat kesal.“Ara, sudah. Jangan marah terus, kasian suamimu,’ ucap ibunya pelan.“Ck. Gimana enggak marah, Bu! Mas Fery keterlaluan!”Fery mengeryitkan dahi.“Mas sudah minta maaf kan, sama dia? Udah, dong. Jangan marah lagi, oke?”Ara tidak menjawab, ia malah memalingkan wajah. Ibunya menoleh pada Fery, menatap dengan sedikit senyum. Seolah mengisyaratkan untuk memaklumi anaknya.Di sela kebekuan antara Fery dan Ara, tiba-tiba seseorang datang memanggil
Fery bangun jam tiga pagi karena terganggu dengan sesuatu. Ketika tangannya mengucek mata, ia mendapati bapak mertuanya bernama Pak Wisnu sedang merapikan karung-karung di rumah.“Bapak.”“Eh, Fer. Kamu keganggu, ya.”Pak Wisnu melirik Fery sekilas, tetapi tangannya tak berhenti membereskan karung-karung tipis itu dan mengikatnya dengan tali rafia.“E-enggak, Pak.” Entah mengapa, ketika melihat penampakan sang mertua yang mirip preman itu Fery menciut sekali. Teringat soal permasalahan rumah tangganya, ia sedikit ngilu membayangkan bahwa mungkin Pak Wusnu akan sangat galak padanya.“Kamu ngapain tidur di tengah rumah? Di kamar sana,” suruh Pak Wisnu. Saat itu aktivitas beres-beras karung sudah selesai.“Di kamar gerah, Pak.”Itu hanya alasan. Terpaksa Fery berbohong tentang ia yang tak diizinkan masuk ke kamar oleh Ara.“Oh, gitu.” Pak Wusnu berdiri, menenteng gulungan karung. “Bapak pergi dulu, ya. Kamu bisa tidur lagi yang nyenyak,” sambungnya seraya pergi menuju pintu.Fery dengan
“Ria, kamu apa-apaan?! Lepas, nanti orang-orang pada salah paham!” Fery berusaha melepaskan rangkulan Ria.Perempuan gatal itu mengerucutkan bibir agak kecewa. Ternyata Fery sulit untuk ditaklukkan kembali hatinya.Ara di kejauhan ternyata melihatnya. Seketika ia memiringkan bibir. Jijik dengan pemandangan tersebut.“Ra, Ara, kamu dengar saya?”Ara terkesiap, menoleh pada Rangga yang ada di sampingnya. Tak lama dirinya mengangguk.“I-iya, dengar. Mas, kita langsung pergi sekarang aja gimana? Takutnya kesiangan nanti keburu lupa,” ajak Ara sembari menarik lengan Rangga.Sebenarnya ia ingin menyingkir saja dari tempat itu, malas melihat kemesraan Ria dan Fery.Rangga sedikit aneh akan sikap Ara, tetapi pada akhirnya ia setuju saja.Rencananya hari ini Ara akan pergi ke desa sebelah dengan diantar Rangga. Ia ingin memberikan undangan yang sempat ketinggalan. Ada beberapa.Mereka pun pergi bersama. Dan ketika Fery berhasil melepaskan diri dari Ria, saat melihat ternyata istrinya sudah hil