Share

Bab 5

Ada rasa lega di dalam hati gadis itu, ia bersyukur karena Bu Hani ternyata sangat baik padanya. Bayang-bayang mendapatkan caci maki, kini musnah sudah.

Keduanya kembali ngobrol ngalor-ngidul, lebih tepatnya Bu Hani yang terus berbicara. Hilma hanya diam sesekali tersenyum saat ada hal yang lucu, yang diceritakan oleh mertuanya itu.

***

"Mudah-mudahan aku betah di sini, dan tidak ketakutan lagi," ujar Hilma, menatap diri di cermin, gadis itu baru selesai mengenakan pakaian selepas mandi tadi.

"Biasa saja."

"Hah!" Hilma yang terkejut medengar Zafar yang tiba-tiba mendekat. Sekilas ia melihat suaminya itu tersenyum, kemudian kembali datar.

"Sampai kapan takut terus. Kamu kan udah liat Ibu sebaiknya apa sama kamu. Sampai aku aja anaknya, malah kena omel," kata Zafar ngedumel.

"Ayo turun!" Pria itu sedikit berteriak dari luar lamar.

"Iya," jawab Hilma, sambil mengekor pria itu turun.

Matanya melotot saat Zafar menunggu dan kemudian menggenggam tangan Hilma. Gadis itu merasa tak nyaman saat mereka turun dengan tangan yang saling berpegang, ingin sekali Hilma melepaskan, tapi genggamannya sangat kuat. Alhasil dia diam pasrah, berjalan memasuki ruang keluarga.

Zafar juga hanya diam, Hilma tau dia pasti sengaja melakukan ini agar nampak anak baik di depan orang tuanya itu. Mereka duduk berdampingan, dengan tangan yang masih bertautan.

"Zafar, lalu bagaimana dengan Sinta saat dia mengetahui semua ini? Ishh, ibu yakin dia akan berlagak sangat tersakiti," kata Bu Hani, yang langsung menodong Zafar dengan pertanyaan.

"Itu...."

Belum sempat pria itu menjawab, ibunya sudah lebih dulu menyela. "Ibu bahagia, akhirnya kamu putus sama dia. Dan nikah dengan Hilma yang sudah pasti perempuan baik-baik!"

Hilma mendongak, menatap mereka berdua saling bergantian. Kemudian dia kembali menunduk saat Zafar meberi kode untuk diam. Jangan melakukan apa-apa.

"Kalau memang itu kebenarannya, Ayah tidak bisa apa-apa lagi, apalagi kalian sudah dinikahkan. Terlebih lagi, Ayah tidak kenal dengan warga desa, kalau kita nanti ke sana minta banding yang ada dikeroyok kita.".

"Demi Alloh, Bapak dan Ibu, saya hanya berniat menolongnya yang hampir pingsan karena kedinginan. Wajahnya pucat dan gemetar. Jika tau hal ini akan terjadi, saya juga tidak akan membantunya waktu itu."

Hilma menghela napas panjang, mengusap air mata yang tanpa sadar menetes. Membuat Zafar menatap gadis itu, ia tau pasti hal ini sangat berat baginya.

"Saya sadar, hanya orang kampung yang bodoh dalam segala hal. Saya tidak banyak tau apa-apa tentang kota, wajar jika Bapak dan Ibu mau marah dan kecewa melihat anak yang kalian didik dan disekolahkan dengan baik, tapi pada akhirnya menikahi gadis desa yang tidak berpendidikan. Tapi pikiran saya salah, nyatanya kalian sangat baik sekali pada saya, Terima kasih," ujar gadis itu tulus.

"Ya karena mereka marahnya cuma sama aku aja!" kata Zafar protes, membuat Bu Hilma melotot padanya

"Bukan karena kamu orang kampung, bukan juga karena kamu tidak berpendidikan. Tapi jika memang anak saya telah mengotori seseorang, siapa pun itu, harusnya dia pandai berpikir lebih dulu, jangan gadis desa yang menjadi mangsanya atau siapa pun itu."

"Tapi demi Alloh, Pak. Dia tidak melakukan apa-apa pada saya, kami bahkan tidak saling kenal saat satu saung bersama itu."

"Ibu paham, ibu mengerti, dan mana mungkin juga gadis sepertimu mau dibodohi oleh pria hidung belang kayak dia!" kata Bu Hani membuat Zafar melotot mendengar ucapan ibunya itu.

"Apa sih, Bu. Hidung belang dari mananya? Selama ini aku cuma pacaran sama Sinta ya, gak pernah tuh aku sampai gonta-ganti cewek. Apalagi celup sana celup sini. Ihhh."

"Ibu percaya kan pada kami?" tanya Hilma tulus.

"Nanya itu lagi, kan udah Ibu bilang, sedikit pun tak ada rasa tak percaya, apalagi pada gadis sepertimu," jawab Bu Hani.

"Tapi tetap, karena hal ini nama kita jadi buruk oleh warga desa. Bapak jadi malu untuk pulang ke sana."

"Bapak tak perlu malu, biarkan mereka mau berbicara apa, yang pasti, anak kita tidak melakukan hal yang hina itu. Benar, kan, Zafar?"

"I—iya, Bu."

"Kenapa kamu diam saja? Biasanya juga paling berisik di rumah. Kamu takut?"

"Itu...."

"Sudahlah, Ibu harus memberitahu Om-mu, bahwa kalian sudah sampai di rumah. Jangan tanyakan hal lain, ibu masih memikirkannya."

"Iya, Bu."

Hilma melirik pria itu yang hanya duduk diam tak berkutik. Pria yang datar ini ternyata takut juga jika di hadapkan dengan hal seperti ini.

"Hilma namamu?"

Hilma mendongak saat ayahnya Zafar memanggil, kemudian mengangguk mengiyakan.

"Kemari, Nak. Duduk di sini dulu."

Dengan ragu, kemudian Hilma beridiri, sebelumnya ia menatap pria itu yang hanya diam saja.

"Sini, Nak."

Pak Jaidi—ayah Zafar membawa gadis itu duduk di tengah, antara dia dan sang istri, kemudian merogoh sesuatu dalam saku celananya, ia memberikan perhiasan berupa kalung, kemudiam memberikannya pada Hilma.

Gadis itu menatap bingung, ia melirik sang ibu mertua yang tersenyum sambil mengangguk, mengartikan bahwa dia harus menerima kalung itu.

"Anggap ini sebagai hadiah pertama menjadi menantu. Dipakai, ya?" ujar Pak Jaidi.

"Tapi...." Hilma ragu, ia menatap kalung itu yang sudah Pak Jaidi selipkan di tangannya.

"Udah... Ini sudah jadi tradisi di keluarga Ayahmu, kalau ada mantu baru, pasti di kasih hadiah. Terima ya."

Hilma merasa tak enak hati, ia kemudian menyalami mertuanya itu satu per satu. Dan berucap Terima kasih banyak karena sudah sangat baik padanya. Meskipun dia hadir dengan cara yang salah.

"Terima kasih, Ibu. Aku pikir Ibu dan Bapak akan...."

"Suuut, udah. Ibu tidak akan memarahi yang tidak bersalah. Semua ini kecelakaan. Ibu juga paham bagaimana perasaanmu."

Hilma tersenyum menatapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Mereka kemudian menghentikan pembicaraan itu. Karena orang tua Zafar ingin keluar untuk belanja stok mingguan, apalagi sekarang ada Hilma, yang harus dijamu dengan baik karena dia pertama kali ke rumah itu.

Hilma kembali ke atas, ia berdiri di balkon sambil berpikir, sedang apa Bapaknya sekarang, apakah dia sudah makan atau belum. Bagaimana perasaannya saat ini.

Saat sedang menikmati lamunan, suara pintu balkon terbuka, Zafar datang menghampiri gadis itu yang tengah diam dengan tatapan kosong.

"Udah gak usah di pikirin. Paling juga dia udah nemu cewek lain," ujar pria itu, yang langsung duduk bersilang kaki.

Hilma yang mendengar itu berbalik. "Apa maksudnya?"

"Inget kekasihmu, kan?"

Hilma memutar bola malas, kemudian kembali menatap ke arah depan.

"Siapa namanya?"

Gadis itu menghela napas pelan. Ia mencoba untuk tenang, jangan sampai emosi menghadapi Zafar yang tak mau diam itu.

"Kamu gak perlu tau," jawab Hilma, malah memancing pria itu yang sudah sangat penasaran dari kemarin.

"Perlu, dong. Aku kan suamimu."

Gadis itu seketika menatapnya yang sedang tersenyum meledek. Kemudian menggeleng dan memilih ke bawah untuk melakukan apa pun yang bisa ia lakukan.

***

Malam datang, embali satu kamar lagi dengannya, membuat Hilma tidak nyaman. Ingin sekali ia keluar, tapi nanti apa kata orang tua mereka. Gadis itu kembali bingung, harus apa sekarang? Matanya kini melihat jam dinding, ternyata sudah jam sebelas malam, tapi Zafar yang tadi izin untuk keluar belum pulang sama sekali.

"Kalau bisa jangan pulang lah, biar aku bisa tidur dengan tenang," ujar Hilma. Ia kemudian duduk di sofa, lalu berbaring dan kembali duduk lagi. Ia menghela napas, kenapa sulit sekali untuk tertidur malam ini.

Ia kemudian membuka sedikit gorden, dan menatap Lampu-lampu malam yang indah, sampai ia tidak sadar jika ada seseorang yang masuk ke kamar.

"Mau terus berdiri di sana?"

"Hah!" Gadis itu terperanjat kaget saat mendengar suara Zafar yang tiba-tiba. "Kamu...."

"Ayo tidur!"

"Hah?" Dia kembali terkejut saat Zafar mengajaknya tidur.

"Ma—maksudnya tidur. Istirahat di sini, aku ke bawah dulu." Dia melengos pergi setelah membuat Hilma yang hampir saja berburuk sangka. Gadis itu pikir dia akan....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status