Share

Ketegangan Di Kondangan

“Ke...ke...kenapa, Bu?” Tanyaku terbata-bata. Aku mencoba memastikan pendengaranku.

“Kau tadi lihat ayahmu ngebonceng si Galang?” Ibu kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan suara yang pelan tidak berbisik seperti sebelumnya. Namun suara itu terdengar datar, tidak seperti orang bertanya. Tangannya berhenti memetiki kangkung. Kulirik sekilas, matanya pun menatap ke arah lain dengan raut wajah yang hampa.

“I...iya, Bu.” Aku coba menjawab pertanyaan ibu walau dengan nada ragu, jujur aku takut ibu marah.

Lama tak terdengar lagi kata-kata dari mulut ibu. Perlahan aku mengambil sebatang demi sebatang kangkung lalu mulai ikut memetikinya sambil menunggu ibu kembali bicara.

“Nay, kalau ayah dan ibu berpisah, dan ibu pulang ke pulau seberang, kau mau ikut siapa?” Akhirnya ibu kembali bicara, tapi tatapan matanya masih kosong.

Kakakku sering bercerita bahwa Ibu berasal dari pulau seberang yang jauh sekali dari rumah kami yang sekarang. Katanya, untuk sampai ke sana, kita harus menaiki kapal laut selama kurang lebih satu minggu. Aku belum pernah ke rumah keluarga Ibu. Hanya Kak Yumna dan Kak Abel yang pernah ke sana, mereka sering bercerita tentang betapa serunya berada di lautan selama satu minggu. Aku tak tahu seperti apa rasanya, namun sepertinya itu tidak akan menyenangkan untukku, naik bus umum selama dua jam saja aku muntah-muntah parah, apalagi jika harus menaiki kapal laut, terombang-ambing di tengah pasang surut ombak yang tak menentu, mana satu minggu pula, membayangkannya saja perutku sudah mual.

“Ikut Ibu atau Ayah?” Ibu mengulang pertanyaannya.

Ibu menarik napas sebentar lalu kembali meneruskan ucapannya, “kalau kau ikut Ibu, aku takut kau diapa-apain nanti sama ayah tirimu nanti. Kalau kau ikut ayahmu, aku takut kau tidak dipedulikan oleh ibu tirimu nanti. Bagaimana bila kau hanya diberinya makanan sisa?! Bagaimana bila kau tak dapat seragam baru lagi tiap kenaikan kelas?! Kau lihat sendiri, ayahmu bahkan lebih peduli pada anak si janda itu dibanding anaknya sendiri.” Ibu menyeka matanya yang sedikit basah.

“Ya Tuhan bagaimanalah ini..., keluargaku semuanya jauh. Aku di sini hanya punya suamiku, tapi suamiku sendiri menyakitiku....” Kulihat Ibu menangis tergugu, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Tak lama kemudian terdengar suara ketukan dan ucapan salam dari arah pintu depan. Ibu segera mengakhiri tangisnya, cepat-cepat ia membersihkan sisa-sisa air mata dan kesedihannya, lalu berlari menyambut tamunya.

Aku menggeser sedikit dudukku agar pandanganku bisa mengikuti langkah Ibu.

“Eh..., Bu Farida, ayo masuk sini, Bu!” sambut Ibu. Itu Bu Farida, ibu dari Farah dan kak Faruq.

“Maaf berantakan ini, biasa ulah si Naya.”

“Nay... Naya! Beresin ini! Kamu kerjaan berantakin rumah mulu!”

Aku segera berlari menyusul Ibu lalu mengumpulkan barang-barang milikku yang ada di sana kemudian membawanya ke kamarku.

Cara Ibu dan Kak Yumna dalam memintaku membereskan sesuatu amat jauh berbeda. Biasanya Kak Yumna, kakak pertamaku, akan memintaku dengan lembut seperti, “Naya mau gak jadi anak baik? Kalau jadi anak baik itu harus rapi, jadi ini mejanya dirapiin ya.”

Berbeda dengan Ibu yang malah cenderung melabeliku sebagai ‘tukang berantakin rumah’. Padahal kata Pak Ustaz, kata-kata itu bisa jadi doa. Aku kadang bertanya-tanya, apa jangan-jangan kebiasaan menaruh barang sembaranganku ini adalah akibat dari kata-kata ibu, ya? Jujur aku selalu berusaha untuk merapikan kembali barang-barang yang telah selesai kupakai, tapi selalu saja ada yang mengalihkan perhatianku sehingga aku jadi lupa dengan aktivitasku yang sebelumnya.

“Eh, terima kasih Bu Rasti, gak perlu repot-repot. Saya cuma sebentar kok,” jawab Bu Farida yang masih bisa terdengar olehku.

“Ada apa, Bu Farida? Tumben ke sini?” tanya Ibu.

“Oh, ini, saya mau ngundang Pak Darman buat hadir di acara syukuran suami saya, Bu. Nanti bakda Ashar.” Jawab Bu Farida.

“Oh, kenapa gitu suaminya Bu?” tanya ibu kepo.

“Anu, Bu, suami saya diterima kerja di perusahaan besar di luar kota. Ini juga sekaligus acara perpisahan karena kami sekeluarga mau ikut pindah ke sana beberapa hari lagi.”

Jawaban Bu Farida membuatku tertegun. Apa tadi beliau bilang? Perpisahan? Pindah? Itu artinya Farah dan Kak Faruq juga akan ikut pindah? Lalu bagaimana nanti denganku? Selama ini Kak Faruqlah yang selalu membelaku jika aku diperlakukan tidak adil oleh teman-temanku yang lain ketika kami bermain. Sedang adiknya, Farah, adalah sahabat terbaikku di kelas. Hanya dia yang selalu setia menemaniku jajan di kantin, atau mengajakku yang pendiam ini untuk ikut bergabung bersama teman-teman yang lain.

Seketika aku merasa hampa. Kenapa tahun ini banyak sekali orang-orang yang kusayangi yang harus pergi dari hidupku? Pertama Kak Abel yang menjadi temanku di rumah. Sekarang dua teman yang paling kusayangi pun ikut pergi.

“Oalah..., alhamdulillah, Bu. Selamat ya. Tapi suami saya gak ada, lagi pergi, Bu. Anu..., tadi katanya ada program penyantunan anak yatim dari tempat kerjanya.” Ibu tertawa canggung, dari nada bicaranya aku dapat menebak jika Ibu tengah berbohong.

Aku tahu berbohong adalah suatu perbuatan tercela. Tapi jika Kak Abel atau Kak Yumna ada di sini, biasanya kakakku itu akan memberitahuku bahwa kebohongan yang dilakukan Ibu kepada para tetangga itu adalah baik, karena Ibu mencoba menutupi aib Ayah. Aku sendiri sebenarnya tak tahu apa yang dimaksud dengan kata ‘aib’ oleh kakakku.

“Oh, kalo gitu gapapa biar Bu Rasti sama Naya aja yang ke sana,” jawab Bu Farida.

“Oh, baik kalau begitu. Terima kasih ya Bu atas undangannya.”

“Iya, sama-sama, Bu. Kalo gitu saya permisi dulu ya, Bu. Mau menyampaikan undangan ke yang lain juga.”

“Oh iya, silakan, silakan Bu Farida.”

Selepas kepergian Bu Farida, Ibu memintaku untuk membantunya memasak. Masih ada waktu beberapa jam sebelum bakda Ashar nanti kami harus memenuhi undangan Bu Farida. Kejadian Ayah yang membonceng Galang tadi sepertinya sudah dilupakan oleh Ibu. Sekarang Ibu malah sibuk merepet membandingkan nasib baik Bu Farida dengan dirinya sendiri.

“Beruntung sekali Bu Farida punya suami kayak Pak Yunus. Udah ganteng, baik, soleh, gak banyak tingkah, sayang sama keluarga, sekarang dapet kerjaan yang mapan pulak!”

Aku hanya bisa memasang telinga tanpa ikut berkomentar, takut kena amuk.

“Begitulah kalau suami setia, sayang sama keluarga. Doa dari istri buat kebaikannya dia mudah diterima. Beda sama ayahmu yang banyak tingkah itu. Mau berapa kali pun aku berdoa buat kebaikan dia, gak akan terkabul. Terhalang sama dosa-dosa dia yang udah nyakitin aku!”

Repetan Ibu terdengar bersahut-sahutan dengan irama wajan penggorengan yang tengah ia gunakan untuk menumis kangkung.

“Coba kalau ayahmu dikasih kerjaan yang mapan, beuh... pasti makin banyak tingkah dia! Cuma karyawan biasa aja gayanya udah sok-sokan ikut ngurusin partai. Sok-sokan pengen kredit ini kredit itu! Mentang-mentang si Abel dapet beasiswa! Gak lihat apa aku belanja aja cuma bisa seadanya gini! Ngirit-ngirit biar cukup buat satu bulan, lah dia malah banyak gaya! Mentang-mentang dia yang cari duit!”

Ibu membanting serbet dengan kasar. Tangannya cekatan memindahkan panci untuk merejang air ke atas tungku kompor yang sebelumnya digunakan untuk menumis kangkung. Aku membantunya menata masakan yang telah matang.

“Nay...,”

“NAYA BANGUN!”

Aku tersentak kaget. Sedikit bingung kenapa wajah, rambut juga sebagian bajuku basah.

“Emang dasar kebo kau! Susah kali dibangunin!”

Kulihat Ibu sedang berjalan keluar dari kamarku sembari menenteng sebuah gelas kosong. Mungkin isinya sudah ia tumpahkan ke mukaku barusan.

Melihatku hanya terdiam di tempat tidur, Ibu berbalik dan kembali mengomel, “cepat bangun! Ke aer sana! Bukannya bengong! Bentar lagi kita kondangan ke rumah Farah.”

Demi mendengar omelan Ibu, aku segera beranjak menuju kamar mandi.

“Wudu! Salat Zuhur! Bentar lagi Asar ini! Kebiasaan kau salat di akhir waktu, pantes rankingmu di kelas juga paling bontot terus.”

Selesai salat Asar, kami berangkat menuju rumah Farah. Ibu tampak anggun dengan mengenakan baju gamis panjang berbordir, sementara aku hanya mengenakan busana mengajiku yang merupakan setelan tunik dan celana panjang, tapi aku tak sempat memikirkan soal busana, karena seperti biasa, Ibu selalu tergesa menyuruhku agar cepat selesai.

Sesampainya di rumah Farah, kulihat sudah banyak orang yang berkumpul di sana. Farah memanggilku untuk berkumpul bersamanya dan teman-teman yang lain. Tiba-tiba Bu Mega lari tergopoh ke arahku,

“Naya... Naya...,”

“Heh, Naya! Cepat kamu ajak ibumu ke belakang sana cepat! Itu ada ayahmu sama si Rahma mau lewat! Cepat!” bisik Bu Mega.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status