Share

Terpaksa putus

"Gak ada tapi-tapi, kamu sudah pernah buat Ibu kecewa. Sulit buat Ibuk bisa percaya!" Aku menelan salivaku mendengar perkataan Ibu. 

"Cepat mandi, terus makan." Perintah Ibu. Sebelum dia akhirnya lebih dulu keluar dari kamarku. 

Kuambil gawaiku dari dalam tas. 

[Mas, besok kita ketemu di taman kota. Di tempat biasa. Jam lima sore] send. Kukirim pesan melalui aplikasi hijau ke nomor Mas Dimas. Aku tercenung, bagaimana caranya merangkai kata putus terbaik, agar Mas Dimas tak.merasa sakit hati. 

Hah, sebaik apapun aku merangkai kata. Tetap saja, kata putus akan sangat menyakitkan buat Mas Dimas dan juga diriku sendiri.

★★★KARTIKA DEKA★★★

Aku melihat mas Dimas yang sudah menunggu di warung es kelapa yang ada di pinggiran taman kota, tempat biasa kami menghabiskan waktu. 

"Ibu nunggu di sini. Ingat! Jaga kepercayaan Ibu," ujar Ibu. Ibu duduk di bangku taman dekat pohon besar. 

Ibu benar-benar tak mengizinkan aku bertemu sendiri dengan Mas Dimas, dan terus menemaniku kemanapun aku pergi.

Berat sekali rasanya kakiku melangkah menemui mas Dimas. Apakah hari ini, akan menjadi hari terakhir aku bertemu dengannya? Rasanya aku berjalan sangat lambat. Langkahku terasa berat. Sesekali aku melihat Ibu ke belakang, dia tetap saja mengawasiku. Seakan aku ini buronan, yang akan melarikan diri, bila dia lengah.

"Lama bener," kata Mas Dimas. Masih beberapa langkah lagi aku sampai, dia sudah terlebih dulu menoleh ke arahku. 

"Iya, macet tadi." Aku beralasan. 

"Apa … Ibu gak marah lagi?" Dia bertanya, mungkin merasa heran melihatku masih bisa menemuinya. Mengingat semalam amarah Ibu begitu meledak-ledak. 

"Mas, kita bicara disana, yuk." Aku mengarahkan tanganku ke dalam taman yang agak sepi. Tapi masih bisa diawasi oleh Ibu. 

Di sini terlalu ramai orang berlalu lalang. Aku merasa tak nyaman, bila membicarakan hal yang sangat pribadi hingga terdengar orang lain. 

Dia bangkit dari duduknya. 

Kami berjalan santai tanpa suara. 

"Sepertinya penting sekali. Ada apa Nawang?" Mas Dimas langsung mengajukan pertanyaan begitu kami duduk di bangku yang ada di dalam taman. 

"Mas …." Suaraku rasanya tercekat di kerongkonganku. 

"Ada apa?" Dia menggenggam tanganku. Aku tak kuasa melepas genggamannya meski aku tau, Ibu sedang mengawasi kami. Mungkin ini terakhir kalinya aku merasakan kehangatan jemari tangannya. 

"Mas … ki–kita putus." Airmataku mengalir seiring kata yang keluar dari lisanku. Tak mampu aku menegakkan kepalaku, agar dia tak melihat jauh ke dalam mataku. Ada dusta disana, hatiku tak mau sinkron dengan mulutku. Hatiku jelas menolak dan aku takut Mas Dimas akan mengetahuinya dari manik mataku.

Perlahan kurasakan, genggaman tangan mas Dimas semakin erat. Dia seolah tak ingin melepasku. 

"Hhhhhh." Aku mendengar suara hembusan nafasnya. 

"Ini permintaan Ibu?" Aku hanya menganggukkan kepala menjawab pertanyaannya. 

"Nawang … menerima dijodohkan?" Pertanyaannya membuat airmataku mengalir semakin deras. Aku tak mampu menjawabnya. 

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Pikiranku berkecamuk, entah apa yang dipikirkan mas Dimas. 

"Mungkin kita memang tak berjodoh. Mas doakan, Nawang bahagia dengan menantu pilihan Ibu." Tegar sekali mas Dimas berkata seperti itu. 

Kudongakkan kepala yang menunduk sedari tadi. Aku memandang wajahnya lekat-lekat. Mungkin ini, hari terakhir aku begitu dekat dengannya. Perlahan genggaman tangannya dia lepaskan. Aku menahannya. 

"Mas gak papa, jangan khawatir." Dia melepaskan tanganku, melangkah gontai menjauhiku. 

Dengan derai airmata, aku hanya mampu memandang punggungnya yang kian menjauh. Semudah ini Mas? Tadinya aku mengira, dia akan murka. Atau bahkan membawaku lari sejauh mungkin, seperti seorang pangeran berkuda yang pernah aku baca di buku dongeng masa kecilku. Tapi aku tau, Mas Dimas orang yang berprinsip. Dia takkan melanggar kata-katanya. Selama restu tak didapatkan, dia tak mau mencari jalan pintas.

"Yuk, pulang." Ibu sudah ada di sampingku. 

Aku menurut saja, dituntun Ibu ke tempat mobil kami terparkir. Mataku masih melihat ke arah belakang, berharap mas Dimas kembali lagi. Ah, apa yang kupikirkan. Bukankah aku sudah memutuskan untuk menuruti Ibu?

"Besok malam, keluarga Bayu datang. Ibu harap kamu jangan bikin malu!" Ibu berkata pelan tapi tegas.

Aku hanya diam tak menjawab. Pikiranku masih ke mas Dimas. Bagaimana dia  sekarang?

★★★KARTIKA DEKA★★★

"Bu, jangan terlalu keras sama Nawang." Kudengar suara mbak Asih mencoba memberi pengertian ke Ibu. 

Mbak Asih, baru datang siang tadi. Ibu yang menyuruh datang karena nanti malam acara pertemuan keluargaku dan mas Bayu. Mbak Asih hanya datang berdua dengan Fatin, keponakanku yang masih usia empat tahun. Mas Pur lagi tugas ke luar kota. Makanya gak bisa ikut hadir. 

"Ibu keras sama Nawang juga buat kebahagiaannya. Kamu juga dulu Ibu jodohkan, buktinya kamu bahagia dengan pilihan Ibu." 

Aku yang ada di dalam kamar sengaja melekatkan telingaku ke daun pintu, agar dapat mendengar jelas pembicaraan mereka. Saat ini Ibu dan mbak Asih ada di ruang makan, yang berada di depan pintu kamarku. 

"Tapi Asih dan Nawang, beda Bu. Kalo Asih dulu, tak menolak Ibu jodohkan, karena Asih memang gak punya pacar. Sementara Nawang, sudah lama pacaran dengan Dimas." Mbak Asih tetap berusaha memberi pengertian ke Ibu.

"Tetap Ibu gak setuju. Dimas itu cuma buruh. Kalian sudah terbiasa hidup senang, bagaimana nasib Nawang kalau menikah dengan dia!" Ibu tetap keras kepala. Padahal aku sangat berharap, mbak Asih bisa membukakan hati Ibu. 

"Bu, rezeki itu sudah ada yang ngatur. Kebahagiaan itu tak selalu tentang harta, Bu. Lagipula kami sudah terbiasa hidup sederhana. Asih akui, kami tak pernah kekurangan, tapi bukankah Ibu juga mendidik kami untuk selalu hidup sederhana sejak kecil? Lagipula, Dimas itu gak kere-kere amat. Dia mandor, Asih yakin dia bisa membahagiakan Nawang. Lahir batin." Aku tak mendengar jawaban dari Ibu, setelah mendengar kata-kata dari mbak Asih. Senyap.

"Mbak Asih, Fatin sudah bangun." Terdengar suara mbok Ijah, asisten rumah tangga kami. Beliau sudah lama bekerja dengan keluarga kami. Aku lupa tepatnya berapa tahun. Yang jelas sejak aku kelas enam Sekolah Dasar. 

"Makasih ya Mbok." Jawaban dari mbak Asih, terdengar derap langkahnya menjauh. 

Aku merebahkan tubuhku, ingatanku melayang ke masa-masa indah bersama mas Dimas. Masih terngiang di telingaku, impian-impian kami, bila kami bisa merajut tali pernikahan.

"Nanti kita akan punya rumah sederhana yang ada kolam ikannya," kata mas Dimas.

"Juga ada ayunannya Mas, saat Mas lagi mancing bersama anak lelaki kita, aku akan bermain ayunan bersama anak perempuan kita," ujarku pula. 

"Kamu mau anak berapa?" tanyanya. 

"Empat, biar rame di rumah. Mas, mau berapa?" tanyaku balik. 

"Asal berdua dengan Nawang, Mas sudah bahagia." Kami tertawa bersama membicarakan hayalan tentang masa depan kami saat itu. 

Tapi itu hanya tinggal hayalan yang tak mungkin terwujud. Air mataku luruh lagi tanpa kendali. Bersama dengan menghilangnya bayangan masa depanku dengan mas Dimas. 

Tok tok tok. Suara pintu diketuk.

"Nawang! Buka pintunya, kamu harus siap-siap. Sebentar lagi Bayu dan keluarganya nyampe," kata Ibu dari balik pintu kamarku.

"Iya, Bu," sahutku malas, namun tetap membukakan pintu kamarku. 

"Mata kamu bengkak. Nangisi si Dimas lagi?! Apa yang kamu pandang dari dia, sampe harus nangis-nangis begitu. Bayu lebih segala-galanya dari dia. Cepat mandi, dandan yang cantik. Jangan cemberut di depan calon mertua!" titah Ibu, yang harus dituruti. Tanpa boleh membantah.

Malam ini, mbak Asih membantu merias wajahku. 

"Terima saja Dek, mudah-mudahan Bayu memang jodoh terbaik buatmu. Percuma kamu menolak, Ibu teguh pada pendiriannya." Aku hanya diam mendengar wejangan dari mbak Asih. Walaupun Mbak Asih tak setuju dengan Ibu yang memaksa aku menerima menantu pilihannya. Tetap saja, Mbakku ini gak mungkin juga memberi saran untukku kabur dari rumah menemui Mas Dimas. 

Mataku mulai berkaca-kaca "Tuh kan, jangan nangis lagi. Nanti Ibu marah." Mbak Asih segera menepukkan tisu dengan ringan ke bawah mataku, sebelum airmataku sempat meluncur. 

"Mbak Nawang, dipanggil Ibu. Tamunya sudah datang," panggil mbok Ijah dari depan pintu kamarku. 

"Iya, Mbok. Sebentar lagi kami keluar." Mbak Asih yang menyahutinya.

Lututku terasa lemas sekali, jantungku berdegup kencang. Telapak tanganku terasa berkeringat dingin. Pandanganku mendadak buram. 

"Nawang!" 

★★★KARTIKA DEKA★★★

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status