Share

Kepo

Di dalam Mobil Alphard berwarna hitam yang terparkir di depan gerbang, Kamila duduk santai dengan bertumpang kaki. Sesekali dia menyeruput soda sembari menyaksikan satu per satu mobil mewah yang berlalu meninggalkan pelataran kediaman Keluarga Wijaya di jam 11 siang ini.

"Ternyata acara pamer berkedok arisan selesai lebih cepet daripada waktu yang dijadwalkan. Bisa jadi yang punya hajat kena mental duluan, atau para tamu undangan insecure setelah mengetahui menantu yang selama ini diremehkan ternyata meresahkan." Kamila menegakkan tubuhnya, dan membusungkan dada dengan bangga. "Lagian Kamila Anindira dilawan."

Beberapa saat kemudian dia melihat Revan yang berjalan cepat ke arahnya.

"Mau apa lagi si ganteng? Mana tuh muka tegang banget kayak yang nunggu giliran suntik vaksin."

Pintu mobil yang memang tidak terkunci langsung dibuka olehnya. Revan melongokan kepala ke dalam.

"Ikut aku!" Lelaki bermata sipit itu menarik tangan Kamila.

"Ke mana? Kalau mau muji yang tadi di sini aja!" Kamila menepis tangan lelaki bersetelan rapi itu. "Malesin masuk ke dalem, nyebelin banget mereka. Bisa-bisanya ngeremehin seenaknya. Dipikir aku nggak bisa bahasa Jawa apa? Padahal mah jangankan Bahasa Jawa, Inggris, atau Sunda. Bahasa ghibah anak 90-an pun aku hapal."

Revan terlihat memejamkan mata. "Aku tahu, dan percaya juga kalau wawasanmu jauh lebih luas daripada yang dibayangkan mereka. Tapi bukan itu masalahnya sekarang."

"Ya, terus?"

"Kenapa kamu harus bahas tentang pergi ke Paris setahun lalu?"

"Masalahnya?" Alis Kamila terangkat sebelah.

"Mereka lagi cari celah buat menjatuhkan kamu karena sudah bikin malu dengan bahas masalah PFW (Paris Fashion Week) setahun lalu."

"Loh, bukannya tas ini emang Kalina beli di Paris, ya? Struck pembeliannya juga masih ada. Katanya suruh pelajari segala tetek-bengek kehidupan Kalina dan orang di sekitarnya. Sampe ukuran kolor si Wisnu aja harus tahu."

"Iya. Tapi seharusnya nggak perlu kamu jabarkan sampai se-detail itu. Mereka bisa curiga, soalnya tiga tahun terakhir Kalina hampir nggak pernah keluar kota, apalagi luar negeri," terang Revan yang membuat Kalina sukses mengernyitkan dahi.

"Ya, terus. Tas ini siapa yang beliin? Nggak mungkin banget kalau si Crocodile. Mana ada bukti bekas penginapannya lagi."

"Kalina memang pergi ke Paris setahun lalu, tapi tidak ada yang tahu."

"Lah, terus dia pergi sama siapa? Jangan bilang sama--"

"Nya! Dipanggil Nyonya besar, tuh!" Kehadiran Cici yang tiba-tiba, menginterupsi mereka. Revan yang ketangkap basah menghampiri Kamila di luar pertemuan keluarga, langsung pura-pura amnesia.

"Ah, rupanya saya salah masuk mobil. Maaf, ya, Bu Kalina. Kalau begitu saya permisi," pamitnya dan berlalu pergi.

"Bye, Koko Reva." Cici melambaikan sebelah tangan dan mengigit jari yang membuat Kamila mengenyit geli.

"Apaan Koko Reva?" gumamnya yang masih terdengar jelas oleh Cici.

"Panggilan sayang saya buat dia," tutur Cici malu-malu.

"Dih."

***

"Lo ditunggu mama di ruang putih," cetus Yayang ketus setelah Kamila kembali.

"Ruang putih apaan?" tanya Kamila sembari menyenggol lengan Cici.

"Ck, masa Nyonya lupa? Dari semua anggota keluarga, kan cuma Nyonya yang masuknya lebih dari dua puluh kali."

"Busyet. Emang itu ruang apaan, sih? Semenjak kecelakaan aku emang agak lupa sama hal-hal yang kurang penting."

"Macam ruang interogasi, semua masalah rumah tangga yang terjadi di rumah ini pasti diselesaikan di ruang putih."

"Ck, emang ngada-ngada peraturan orang kaya ini. Risiko tinggal serumah sama mertua dan ipar, ya begini. Senggol dikit, saling bacok. Mending juga ngontrak berdua sama suami, ada masalah juga tinggal selesain di kasur."

"Ngapain di kasur, Nya?"

"Saling pijit, Ci. Curhat dari hati ke hati. Positif aja kali," terang Kamila sembari menepuk dahi Cici.

"Oh." Cici mangut-mangut tanpa mengerti.

Yayang yang berjalan satu langkah di depan, nampaknya dia mulai tertarik dengan percakapan Kamila dan Cici. Jadi dia sengaja memperlambat langkahnya agar bisa mengimbangi. Kebetulan Ruang Putih berada di lantai tertinggi kediaman ini, jadi mereka punya cukup waktu untuk mengobrol sepanjang perjalanan.

"Eh, Ci." Kamila yang menyadari adanya pergerakan mencurigakan dari lawan, langsung merapatkan tubuh pada Cici. "Kamu kelahiran tahun berapa?"

"97, Nya. Kenapa gitu?"

Kamila tersenyum lebar dan mulai mengatur rencana di kepala untuk mengelabui Yayang.

"Kagalagau digipigikir-pigikir sigi Yagayagang bagadagannya kagayagak tigiagang. (Kalau dipikir-pikir badannya si Yayang kayak tiang)," ucap Kamila dengan bahasa yang hanya dimengerti orang-orang tertentu saja.

Cici yang mendengar bahasa langka itu langsung membulatkan mata dan membekap mulut. "Sumpeh, Nya!" Antara terkejut dan antusias dia menanggapinya. "Begeneger, sagayaga kagalagau begerdigirigi digi segebegelagahnyaga ugadagah kagayagak kugurcagacigi. Buahaha. (Bener, saya kalau berdiri di sebelahnya udah kayak kurcaci."

"Cagantigik agakugu agakugui, tagapigi sogopagan-sagatugun tigidagak digigaa migiligikigi. Wkwk.(Cantik memang aku akui, tapi sopan-santun tidak dia miliki)."

Yayang yang kesal karena tak mengerti dengan ucapan mereka berdua, langsung menghentakkan kaki dan berjalan mendahului.

"Mamam noh bahasa ghibah. Lagian kepo amat jadi orang."

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status