"Jadi aku tak diceraikan?" gumam Aeera tanpa sadar. Dia keceplosan! Alarich seketika itu juga melayangkan tatapan tajam pada Aeera. Raut muka senang di wajahnya langsung lenyap, berganti dengan guratan marah yang cukup menyeramkan. "Jadi kau sengaja menggunakan uang pemberianku supaya memancingku untuk menceraikanmu?" Aeera tidak menjawab, hanya melototkan mata dengan gugup–menatap takut sekaligus panik pada Alarich. Jantungnya berdebar kencang, terasa akan pecah dalam sana. Sial, kenapa dia harus keceplosan disaat seperti ini? "Jawab!" geram Alarich, mengatupkan rahang secara erat. Sorot matanya menggelap, penuh amarah yang meluap-luap. Dia paling membenci kata perceraian. Di antara dia dan Aeera, tak ada kata pisah ataupun cerai. Selamanya! Mereka akan menjadi pasangan suami istri selama-lamanya. Aeera menganggukkan kepala secara kaku. "Kau--" geram Alarich kembali, kali ini nadanya lebih rendah tetapi semakin menyeramkan. Sorotnya yang gelap lebih pekat–menandakan kemarahan ya
Brak'Secara tergesa-gesa, Alarich membuka pintu menuju balkon kamar. Mimik mukanya terlihat panik, dia sangat mencemaskan keadaan istrinya. "Ara," panggilnya, menoleh ke arah sofa tetapi tak menemukan istrinya di sana. Raut panik dan khawatir semakin kentara jelas. Hell! Di mana istrinya? Aeera tak ada di balkon. ***Aeera menyerup teh hangat buatan sahabatnya. Hujan turun lebat ke permukaan bumi, membuat suhu terasa dingin. Aeera pecinta musim hujan, tetapi tidak dengan suhu dingin yang ditimbulkan. Tubuhnya kurang suka pada suhu dingin. "Trus kalau kamu kabur dari rumah Tuan Alarich tanpa membawa apa-apa, kamu ke sini pakai apa?" Shila memicingkan mata, menatap penuh tanda tanya pada Aeera. "Naik taksi," jawab Aeera, meraih remot TV lalu menyalakan televisi sesuka hati. Dia sekarang berada di apartemen Shila. Sebelum hujan turun, Aeera sudah sampai di sini. Aeera memilih kabur–turun dari balkon dengan cara yang cukup amazing. Kebetulan Aeera bisa memanjat. Meskipun saat turun
Bug'Alarich mendorong Aeera ke atas ranjang, berhasil membuat Aeera terjerambab dan berakhir berbaring tak mengenakkan di atas ranjang. Karena merasa tak enak dengan posisi tersebut, Aeera segera bangun–berniat berdiri tetapi tertahan karena Alarich menekan pundaknya. Pada akhirnya Aeera berakhir duduk di pinggir ranjang. "Mau kabur kemana lagi, Humm?" Suara berat Alarich mengalun dengan rendah, terkesan seksi; erotis secara bersamaan. Sebenarnya Alarich marah karena istrinya ini kabur. Namun di sisi lain, dia merasa lega karena Aeera baik-baik saja. Dia lega setelah menemukan serta membawa pulang Aeera dari rumah sahabatnya istrinya tersebut. "Kabur?" Aeera mengerjab beberapa kali, mendongak untuk menatap pada suaminya, "siapa yang kabur, Pak? A--aku hanya berencana menghilang tanpa izin doang. Letak kaburnya di mana?" cerewet Aeera, menampilkan raut muka dongkol dengan pipi menggembung. Pria ini hanya tahu marah, tak peduli jika dia yang salah atau Aeera. Jelas Alarich yang me
"Cik, aku ingin sarapan, Pak!" keluh Aeera ketika Alarich membawanya keruangan pria ini. Aeera dengan kesal melepas cekalan tangan Alarich kemudian menatap berang pada pria itu. "Panggil aku 'mas!" peringat Alarich, menarik kembali pergelangan tangan istrinya–membawa paksa perempuan itu menuju ke arah sofa. "Aku nggak mau, Pak. Ini kantor dan statusku di sini adalah stafmu," jawab Aeera, terduduk kasar karena dipaksa oleh Alarich. Semakin ke sini, Aeera merasa jika Alarich semakin menyebalkan. Pria ini sudah sekali memaksakan kehendak pada Aeera, sangat otoriter dan tak terbantahkan. Hak yang paling Aeera benci adalah Alarich suka memberikan hukuman. "Membantah, Humm?" Alarich mencondongkan tubuh me arah Aeera, tangannya berada di sisi kepala Aeera–menopang pada sandaran sofa. Tatapan Alarich sayup, dalam dan sangat berat. Namun secara bersamaan itu terasa mengintimidasi, menundukkan Aeera yang sudah pucat pias dan gugup. Satu lagi yang dia tak suka dari pria ini, Alarich sangat
"Kembalikan bekalku!" geram Aeera, berlari masuk dalam lift lalu berniat merampas bekal tersebut. Tanpa Aeera sadari, Bian buru-buru keluar ketika dia masuk–sehingga sekarang hanya dia dan Alarich yang berada dalam lift tersebut. Ketika Aeera berupaya merampas kotak bekal tersebut, Alarich langsung mengangkat tangan dengan tinggi-tinggi. "Cik." Aeera berdecak sangat kesal, menatap Alarich sekilas–melayangkan tatapan marah, galak tetapi malah sangat menggemaskan di mata Alarich. "Paaak!" pekik Aeera, setengah menggeram pelan–gemas sekaligus gregetan sebab Alarich meninggikan tangannya di setiap kali Aeera berupaya mengambilnya. Alarich hanya berdecis geli, terus menjahili istrinya dengan mengangkat bekal tersebut ketika Aeera berniat meraihnya. Aeera berjinjit, berusaha lebih tinggi agar bisa meraih bekal. Kepala Aeera mendongak sepenuhnya, suaminya sudah sangat tinggi–dia hanya sepundak pria ini, lalu ditambahAlarich mengangkat tinggi bekal tersebut, Aeera semakin merasa pendek
"Pantas saja yah," ucap keduanya, membuat Shila mengerutkan kening. "Pantas apa?" tanya Shila keheranan. "Pantas Aeera nggak peka-peka sama Big Boss. Jujur saja yah, semua penghuni gedung ini udah tahu sejak lama kalau Big Boss suka ke Aeera. Bahkan kami semua pendukung AlAe." "Hah? Loh! Heh … kok … aaaa … ceritain ceritain! Aku penasaran banget!!" pekik Shila, memegang kepala–heboh sendiri. "Yah, kita udah tahu kalau Pak Alarich itu sudah sejak lama suka pada Aeera. Emang dasarnya Aeera yang … errrr-- menggemaskan! Sampe rasanya ingin kucekik dia." Dewa berkata dengan penuh kegregetan pada akhir kalimat. "Sudah sering Pak Alarich mengirim sinyal suka, kentara banget loh, Beib. Bahkan kami saja sadar loh, tapi si Aeera malah enggak.""Hu'um. Pak Alarich itu sering memperhatikan Aeera, baik saat tak sengaja berpapasan ataupun saat lagi rapat. Pernah-- kami semua ditraktir makan siang dan diberi minuman yang lagi tren hanya karena Pak Alarich ingin memberikan makan siang itu pada Ae
Sangat kuat! Bukan hanya membuat Nadien tertoleh tetapi juga hilang keseimbangan–terdorong ke arah dinding lift. "Auuu…," ringis Nadien, memegangi pipinya yang sakit akibat tamparan Aeera. Dengan marah, dia menoleh tajam pada Aeera–memperbaiki posisi tubuh yang sempat menabrak sisi lift. "Eiii …-" nyinyir Aeera, meniru suara ringisan Nadien dengan julid. "Apa? Matamu mau kucongkel?" galaknya selanjutnya, menatap sebal bercampur dongkol ke arah Nadien. Perempuan sejenis ini memang harus dikasih pelajaran, bukan dibiarkan. "Kamu!!" Nadien berjalan cepat ke arah Aeera, langsung menjambak perempuan tersebut. Dia sangat tak terima ditampar oleh wanita rendahan seperti Aeera. Aeera tak tinggal diam, dia dengan brutal balik menjambak Nadien. "Aaaaa … lepaskan rambutku, Jalang sialan! Aaa, sakit!" rintih Nadien, masih menjambak Aeera. Namun tak sekuat awal, sebab dia kesakitan karena tarikan Aeera di rambutnya. Ah, sial. Rambutnya sepertinya banyak yang rontok karena tarikan Aeera.Bug
Aeera menatap ke sekeliling, memperhatikan kamar–tersenyum tipis sembari mengingat kembali ketika dia digendong oleh Alarich. Cara Alarich khawatir tadi, membuat Aeera merasa sangat istimewa dan spesial untuk pria itu. 'Aku jatuh cinta?' batin Aeera, merasa aneh pada dirinya yang sejak sadar terus tersenyum sembari mengingat kejadian itu–kejadian di mana Alarich memeluknya dengan hangat, mencium keningnya lalu menggendongnya. 'Hais, tapi nggak mungkin lah. Masa aku jatuh cinta semudah itu? Nggak bisa dan nggak boleh. Tapi …- perempuan yang menikah dengan pria yang mencintainya saja belum tentu seberuntung diriku. Dia datang padaku dengan raut khawatir, mencium keningku dan … Pak Alarich baik sekali,' batin Aeera lagi, menepuk-nepuk pipi yang terasa panas akibat salah tingkah. Setelah diperiksa di rumah sakit–lebih tepatnya setelah Aeera sadar, Alarich tiba-tiba mengajaknya pulang. Awalnya Aeera tak mengerti kenapa Alarich seperti keukeh merawatnya di rumah. Namun, Aeera sekarang p