Share

2 5T

"Yaa, siapa aja. Pokoknya dia punya duit dan pangkat tinggi. Jadi nggak bikin aku susah, aku mau hidup di kota, Buk. Nggak mau terus-terusan di dusun kayak gini," jawab Menik.

“Lho jadi niat kamu nikah itu berarti buat dapat kekayaan?” tanya Bu Tina sedikit tidak senang.

“Yaa, bukan begitu, Buk. Tapi yaa realistis saja tho bu, kan nikah itu butuh banyak biaya. Dan aku kan juga mau hidup yang lebih baik, lebih enak gitu lho, Buk. Pokoknya cari suami yang bisa bayar pembantu buat bantuin kerjaan rumah, biar nggak begini,” jawab Menik sambil membuka kedua telapak tangannya menunjukan dirinya yang sedang sibuk membersihkan bumbu dapur.

“Walah, modelmu, Nik. Mau pakai pembantu segala. Nikah itu harusnya niatnya ibadah. Bukan karena cari kaya. Kaya tapi kalau nggak bahagia yaa buat apa?” nasihat bu Tina.

“Kalau gitu yaa cari yang kaya, dan bikin bahagia yaa, Buk.” Ujarku.

“Sekarepmu, Nik,” (terserah kamu, Nik) ujar bu Tina pasrah.

“Jadi calon suami aku itu, hmm.. harus 5T, Buk?” ujar Menik yang membuat Bu Tina langsung menoleh pada anak gadisnya itu.

“5T opo maneh iku?” (5T apa lagi itu?) tanya bu Tina penasaran. Menik mengulum senyum.

“Ditanya orang tua kok malah mesam-mesem,” Bu Tina geleng-geleng kepala. (mesam-mesem = tersenyum-senyum).

“5T itu yaa, Buk. Tajir, Tampan, Tinggi, Takwa, dan yang terakhir itu Terpelajar. Jadi calon suami menik itu harus memenuhi 5T itu, Buk.”

“Apa aja itu artinya?” Bu Tina sedikit tertarik.

“Masa ibu nggak ngerti. Tajir itu artinya dia kaya, minimal dia punya kerjaan tetap dengan gaji yang bagus. Tapi paling bagus dia kaya raya turun temurun. Tampan yaa ganteng gitu lah Buk. Biar enak dipandang setiap hari. Gandengannya Tampan jelas harus Tinggi, biar nurun ke anaknya nanti. Habis itu Takwa artinya yaa harus seiman, Buk, kan nggak mungkin menik nikah beda agama. Yang terakhir Terpelajar. Suami Menik harus pinter dalam segala hal. Gitu, Buk,” jelas menik panjang lebar. Bu Tina hanya mendengarkan sambil menggut-manggut.

"Walah kok banyak banget tho, Nik syaratnya itu. Seharusnya syarat nomor satu dan yang utama itu ya, harusnya Takwa, Nduk. Pilih suami itu harus baik agamanya. Karena dia yang akan menjadi imam dan memimpin kamu ke surgaNya, Allaah. Selebihnya yaa bonus. Jika dia baik agamanya, insyaallah yang lainnya pun akan baik," nasihat Bu Tina pada Menik.

"Ya, intinya kan sama saja tho Bu. Kriteria yang ibu sebutkan tadi kan juga masuk di syarat yang Menik bilang barusan," Menik agak tidak setuju dengan Ibunya. Bagi dia yang penting itu kaya dulu. Karena menik sudah bosan jadi orang yang tidak bebas membeli ini itu.

“Iya, ibu hanya bilang saja. Terus Kalau Naryo? Berapa T itu?” tanya Bu Tina iseng.

“Naryo.. setidaknya masih 3 T lah, Bu,” jawab Menik serius.

“Lho kok cuman 3? Apa aja?” Bu Tina makin penasaran.

“Naryo itu, Tajir, Tinggi, Takwa. Udah itu aja Buk.”

“Lho Naryo itu nggak tampan dan terpelajar tho?” goda bu Menik.

“Ibu iki, yaa mungkin ada yang bilang Naryo ganteng. Tapi buat Menik nggak lah, Buk,” jawab Menik sambil bergidik.

“Hush! ora oleh ngunu! lha ya, daripada kamu nyari jauh-jauh. Kan mendingan sama Naryo itu. Bapaknya kaya. Sawah ladang berhektar-hektar. Anak tunggal. Seumuran sama kamu. Klop wes, kan itu yang kamu cari,” goda bu Tina.

“Apa ibu mau bermantukan Naryo?” tanya Menik sambil menatap tajam ibunya.

“Lho, kenapa tidak? Naryo itu anak yang baik, meski agak unik,” jawab Bu Tina sambil tersenyum, membayangkan perawakan Naryo.

“Ibu iki lho,” Menik memberengut, tidak senang digoda ibunya.

"Wes talah, nduk. Sekarang sing penting awakmu kerjo sing bener. Sementara nggak usah neko-neko," kata ibunya sambil menggoreng ikan mujair. (Sudahlah, Nak. Untuk sekarang ini kerja yang benar. Jangan macam-macam.)

"Iki tenan lho Bu. Begitu aku dapat calon yang bagus aku mau langsung nikah," dengan wajah serius Menik berkata pada ibunya.

"Ya sudah. Nanti ibu matur Bapak sama Mbakmu. Calonnya salah satunya itu Naryo kan?" jawab ibunya mengakhiri pembicaraan.

Menik menatap ibunya dengan sorot tajam. Tapi Bu Tina hanya tertawa terpingkal-pingkal.

Ibu dan anak itu melanjutkan menyiapkan makan malam. Pikiran Bu Tina dipenuhi dengan perkataan anaknya yang nomor dua. Sejatinya Bu Tina lebih senang jika Menik melanjutkan sekolahnya dulu ke jenjang yang lebih tinggi. Misalnya Setara diploma satu atau mengikuti kursus-kursus. Meski harus mengeluarkan biaya untuk uang sekolah atau kursusnya beliau tidak keberatan. Bagi Bu Tina ia lebih senang jika anak-anaknya berpendidikan tinggi.***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status