MENOLAK UNTUK RUJUK 8
"Sayang, Tante itu namanya Monalisa. Dia temannya Om Anwar. Tadi pagi sebelum Hawa dan Adam bangun, Tante itu datang ke sini untuk mengerjakan tugas kantor bersama dengan, Om," kataku berusaha memberi penjelasan pada mereka berdua.
"Oh ...." Hanya itu yang keluar dari bibir keduanya.
"Nah, sekarang Adam dan Hawa kan sudah selesai sarapan, jadi sudah boleh pergi main. Mau main di mana? Di taman belakang atau di depan?" tanyaku lagi sambil memberi pilihan buat mereka.
"Papi kapan datang, Tante?" Hawa malah balik bertanya. Bola matanya yang jernih itu menatapku meminta penjelasan.
Aku mendekat ke arahnya, berjongkok mensejajarkan diri ini pada wajah imut itu.
"Em ... kata Papi, nanti kalau Mami sudah datang akan jemput ke sini kan?" Gadis kecil itu manggut-manggut, aku juga mengikutinya sambil memberikan senyuman yang sangat manis.
"Jadi ... kita tunggu aja, oke," kataku lagi, sambil mengangkat tangan untuk melakukan tos, gadis berponi itu dengan semangat menepuk tanganku.
"Oke, Tante. Kami main dulu. Ayo, Kak!" ajaknya pada Adam yang masih duduk di kursinya. Bocah laki-laki itu masih menatap Monalisa.
"Ayo, Kak!" seru Hawa
Mereka berdua beranjak ke belakang. Namun, belum juga beberapa langkah Adam berhenti lalu menoleh kepadaku sambil bertanya. "Tante, boleh minta es krim?" Matanya mengerjap sambil tersenyum manis.Aku pura-pura menolak permintaannya dengan sengaja melipat Kedua tangan ini sambil memutar bola mata, kemudian tersenyum pada keduanya.
"Boleh, Sayang. Yuk! Kalian mau rasa apa?" tanyaku membuat mereka bersorak kegirangan. Kami bergandengan lalu melangkah ke dapur meninggalkan dua makhluk yang sudah tak punya rasa malu itu.
Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Adam dan Hawa lalu bergegas ke taman belakang. Di sana memang ada taman bunga lengkap dengan kolam ikan, sepasang kelinci dan juga ayunan.
*****
"Apa ini, Mas? Kurang jelas kah yang kukatakan semalam?" tanyaku setelah kembali ke ruang makan. Mereka sudah duduk bersiap untuk menikmati makan pagi.
"Siapa yang mengizinkanmu makan di sini?" tanyaku sambil melangkah mendekati Lisa, mengambil piring yang berisi nasi goreng yang hampir saja disendok olehnya.
"Mas ...." Dia merengek memanggil kekasihnya seperti anak kecil.
"Ayolah, Rin! Jangan keterlaluan seperti itu. Biarkan dia sarapan," sahut Mas Anwar membela teman wanitanya itu atau lebih tepatnya lon*tenya.
"Enak saja! Kamu sudah gak ada uang untuk mengajaknya makan di luar?! Ingat baik-baik ya, Mas. Ini rumahku!"
Lelakiku itu membanting sendok yang dipegangnya, sehingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Aku tak peduli dan mulai membereskan meja makan.
"Ayo, Lisa!" ajak Mas Anwar pada wanitanya. Mereka berdua bangkit lalu beranjak pergi membuat kursi yang tadi mereka duduki bergeser dari tempatnya semula.
*****
Mbak Ijah datang lewat pintu samping, dia menyapa anak-anak yang sedang bermain dengan kelinci.
Aku sudah selesai membereskan meja makan dan sedang mencuci piring saat dia masuk ke dapur.
"Loh, Ibu sedang ngapain? Sini, Bu. Biar aku saja yang nyuci," katanya merasa tak enak hati. Dia sudah bersiap mengambil piring yang sedang kupegang.
"Gak pa-pa, Mbak. Mending Mbak Ijah sarapan dulu. Tuh, ada nasi goreng," titahku sambil menunjuk ke arah meja menggunakan dagu.
"Iya, makasih, Bu. Aku makannya nanti saja. Biar aku saja yang nyuci, Bu," pintanya lagi.
"Sudah selesai, Mbak," kataku sambil menunjukkan beberapa piring yang sudah berada di rak.
*****
Seharian Mas Anwar tidak pulang ke rumah. Semenjak kehamilan ini biasanya lelakiku itu akan pulang saat jam makan siang atau kalau lagi tidak sibuk dengan kliennya.
Aku sendiri sibuk bermain dengan Adam dan Hawa, mereka sungguh membuatku senang sekaligus kelelahan.
Sudah menjelang malam. Namun, Mas Sanusi dan Mbak Fifi belum juga menjemput anak-anak. Aku tidak keberatan dengan keberadaan mereka di sini. Namun, bukankah besok kedua bocah itu akan pergi ke sekolah? Ingin aku menghubungi Mas Sanusi, tapi aku urungkan karena ada rasa sungkan pada lelaki yang sangat irit bicara itu.
Sudah menjelang pukul sepuluh malam, bel rumah berbunyi. Mungkin, itu Mas Sanusi dan istrinya yang akan menjemput Adam dan Hawa. Kalau Mas Anwar gak mungkin dia membunyikan bel jika ingin masuk rumah.
Saat pintu terbuka ternyata bukan mas Sanusi yang ada di depannya. Mas Anwar yang datang, lelaki itu datang sendiri tak ada Lisa di sisinya.
Mas Anwar menatapku sejenak kemudian masuk ke rumah. Setelah selesai menutup dan mengunci pintu, tiba-tiba dia menarik tanganku, membawa diri ini ke kamar. Sungguh aku sangat khawatir, apa yang akan terjadi? Apa dia akan melakukannya? Bagaimana dengan janinku?
Mas Anwar melepaskan tanganku, kemudian berjalan mendekat, membuang jarak antara kami. Kubuang rasa takut dengan membalas tatapan matanya.
Aku bisa merasakan hembusan nafasnya karena memang jarak yang sangat dekat. Dia mulai melingkarkan tangannya di pinggangku, menarik tubuh ini hingga benar-benar tanpa jarak.
Aku masih menatapnya, ketika dia mendekatkan kepalanya, reflek aku menamparnya. Mas Anwar melepaskan pelukannya, kemudian membuang pandangannya.
"Apa yang akan kamu lakukan, Mas? Setelah kamu menyentuh wanita lain, kini mau kembali padaku? Menjijikkan!" Aku berbalik setelah mengucapkannya.
"Kalau memang kamu sangat membutuhkan Lisa, nikahi dia dan ceraikan aku! Apa susahnya, Mas? Apa?!" Kamu bisa bahagia dan aku tidak merasa tersiksa karena perlakuan mu," imbuhku yang terdengar frustasi.
"Jadi selama ini kamu tidak bahagia, Rin?" tanyanya.
"Bahagia?" Hampir saja aku tertawa saat mendengarnya. "Kamu pikir siksaan yang sering kamu lakukan itu tidak menyakitiku, Mas? Kamu masih berpikir kalau aku bahagia?!" Akhirnya tawaku lepas juga. Ah, sungguh lucu.
"Bahagia atau tidak, aku tak akan melepaskanmu. Sudah banyak harta yang kuberikan pada keluargamu. Ingat itu, sampai kapanpun!" sungutnya.
Dia kembali mendekat, meraih kembali tubuh ini lalu membawa ke dalam pelukannya.
"Lepas! Kamu sudah menyakitiku, Mas! Lepas!" Aku berontak mencoba melepaskan diri darinya.
Lelakiku ini kembali buas seperti biasanya. Jika biasanya aku hanya diam, tidak untuk kali ini. Sekuat tenaga memberi perlawanan, walau kutahu itu akan sia-sia.
Aku terus berontak, memukul, menendang dan mencakar. Semakin keras melawan, itu akan membuatnya menjadi bergairah. Namun, aku ingin menunjukkan kalau sekarang sudah tak lemah lagi. Biar seandainya aku harus meregang nyawa saat ini aku rela.
Nafsu telah menguasai hati dan pikiran Mas Anwar, dia bahkan tidak peduli dengan janin yang biasanya sangat dijaganya. Setelah mendapat perlawanan, lelaki itu mendorong diri ini dengan sangat kuat, membuatku jatuh tersungkur.
Dia mendekat, memegang pundak lalu mengangkat tubuh ini hingga aku berdiri, menyeret tubuh ini hingga sampai di pinggir tempat tidur. Saat hendak membanting diri ini ke ranjang terdengar ada yang mengetuk pintu kamar diselingi dengan teriakan Adam dan Hawa di sana.
Mas Anwar menghentikan aksinya menatapku cukup lama kemudian pelan-pelan melepaskannya. Napasnya masih memburu. "Masuk kamar mandi," titahnya dengan suara pelan. Aku berjalan gontai menuju kamar mandi, sementara dia berjalan ke arah pintu.
MENOLAK UNTUK RUJUK 9Terdengar bunyi pintu yang dikunci, gegas aku meraih handle-nya mencoba untuk membuka. Benar saja, pintu kamar mandi ini sudah terkunci dari luar.Tanganku menggantung ketika hendak menggedor pintu, mengingat di luar sedang ada Adam dan Hawa. Mereka masih terlalu dini untuk melihat pertengkaran antara aku dan Mas Anwar.Entah berapa lama aku berada di dalam sini dan entah apa yang telah terjadi di luar sana. Hanya resah dan gelisah yang menyelimuti hati dan pikiran. Bergidik ngeri saat teringat perlakuan Mas Anwar tadi.Mengapa dia kembali bersikap kasar? Apa prilakunya yang seperti itu tak bisa dihilangkan?Aku menoleh ketika mendengar anak kunci yang diputar. Detak jantungku berdebar cukup cepat, nyaliku tiba-tiba menciut, khawatir kalau lelaki itu kembali melakukan kekerasan.Perlahan diri ini bangkit sambil terus menatap ke arah pintu yang sebentar lagi terbuka. Lelaki itu hanya berdiri di am
Rupanya Papa dan Mama mertua yang lebih dulu datang ke rumah sakit. Keduanya terlihat sangat bahagia menyambut cucu pertama dari putra kesayangan.Wanita paruh baya itu mendekatiku sambil menggendong Anwar junior, begitulah mereka menyebut bayi yang baru saja lahir itu. Namun, aku bisa melihat kalau ada kesedihan yang terlihat dari sorot matanya."Terima kasih, Sayang. Kamu sungguh luar biasa. Lihatlah, dia begitu menggemaskan," ucapnya sambil mencium pipi yang masih sangat halus dan lembut itu, lalu dia beralih mencium keningku."Maafkan suamimu yang tidak bisa menemani saat kamu tengah berjuang," imbuhnya. Sekali lagi wanita paruh baya itu mencium kening ini. Aku benar-benar merasa bahagia dan terharu, karena selama ini Mama Ana memang selalu baik dan sayang padaku.Siapa yang akan tega menyakiti hatinya? Mas Anwar adalah putra kesayangannya. Bagaimana jadinya kalau Mama Ana sampai tahu kebiasaan yang dilakukan putranya tersebut. Apa yang ak
Aku tertawa setelah melihat semua video yang telah dikirim oleh wanita sun-dal itu.Menertawakan kebodohan yang selama ini kujalani. Aku telah tertipu dengan sikap manis Mas Anwar. Sungguh ib-lis tetaplah ib-lis, tak kan pernah berubah menjadi malaikat.Bagaimana pun aku berusaha untuk membantunya pulih, tak akan pernah berhasil kalau dia sendiri masih berhubungan dengan partnernya. Sungguh aku benar-benar merasa bodoh!Lama diri ini merenung, memikirkan nasib diri ini. Apa salahku, Tuhan? Ibu selalu bilang kalau aku adalah anak yang manis juga baik dan kata Bapak tak ada anak yang patuh selain aku. Lalu apa salahku, Tuhan?Aku sudah tak bisa membendungnya lagi, tetes demi tetes butiran bening ini mulai membasahi pipi, kubiarkan saja. Biarlah, biarlah beban ini ikut luntur bersama dengan air mata. Semua rasa ini berkecamuk dalam dada, terasa sesak sehingga sulit untuk bernafas. Terbuat dari apa hati lelaki yang telah menghalalkanku itu? Sehingga dia
Waktu berjalan sangat lambat, itulah yang sedang kurasakan saat ini, hanya bisa mondar-mandir dalam rumah dengan rasa cemas menunggu kedatangan Mas Anwar.Menebak-nebak, kira-kira apa dan bagaimana sikapnya nanti ketika sampai di rumah, setelah dia menerima surat gugatan cerai itu.Senja sudah berlalu, digantikan oleh malam. Namun, lelaki yang pernah menghalalkan diriku itu masih belum juga datang. 'Kemana Mas Anwar' itulah yang saat ini memenuhi pikiranku, karena lelaki yang akan menjadi mantan itu belum juga nampak batang hidungnya.Bintang pun sudah terlelap di ranjangnya, balita itu kelihatan nampak tertidur pulas. Sementara aku masih saja terus mondar-mandir tak jelas, bahkan hampir stress memikirkannya.Aku bergegas keluar kamar saat terdengar pintu depan dibuka, baru saja diri ini melangkah sampai di ambang pintu, tiba-tiba ada yang membekap mulutku. Spontan aku berontak, menendang dan meronta agar bisa terlepas. Namun, us
Emosi seketika memenuhi hati ini, setelah aku menerima surat dari kantor pengadilan, surat yang tak pernah sedikitpun melintas di dalam pikiran. Bagaimana bisa dan kenapa tiba-tiba Rina mengajukan gugatan cerai."Hah!" Aku melempar semua benda yang ada di mejaku untuk menyalurkan amarah.Aku masih tak habis pikir dengan semua ini. Bukankah sikapku sudah berubah, tak lagi menyakitinya. Bahkan aku hampir bisa menguasai emosi saat berhubungan badan dengannya, tapi apa ini?!Kulempar surat gugatan itu, tepat ketika Lisa masuk ke ruangan ini. Wanita kesayanganku itu mengambil kertas yang berserakan di lantai, menyusunnya kemudian mulai membaca."Kabulkan saja, Dear, tapi berikan dia pelajaran dulu," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.Lisa berjalan mendekati, kedua tangannya merangkul leherku. "Aku ada ide," katanya lagi sambil membisikkan sesuatu di telinga ini.Aku tersenyum mendengar idenya, tanpa menunggu lagi kuraih pinggang ra
Aku menangis tergugu di depan rumah orang tuaku sendiri, masih berlutut di tempat yang sama, ketika aku datang tadi.Aku mendongak saat mendengar pintu rumah terbuka, ada sedikit rasa senang di hati ini, hampir saja bibir ini tersenyum. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi, seluruh tubuhku basah, karena tersiram oleh air yang dibawa oleh bapak."Cepat pergi dari rumahku! Jangan kamu kotori halaman rumah ini dengan dosa-dosa yang melekat di tubuhmu!" Bapak mengusirku lagi anak kandungnya sendiri. Lelaki cinta pertamaku itu benar-benar telah termakan oleh kebohongan mas Anwar.Diriku seperti orang yang benar-benar hina, seolah tubuh ini adalah barang yang sangat najis, sehingga bapak, orang yang telah mengukir jiwa ragaku tega memperlakukan hal seperti itu."Pergi!" Kali ini bapak berteriak sambil melempar ember padaku. Sakit akibat terkena lemparan ember tak sebanding dengan sakit hati yang kurasakan.Tetangga sekitar sudah banyak yang keluar rum
Sudah hampir setahun aku berada di kota kecil ini dan selama itu pula masih terus belajar menata hati dan hidupku, sungguh suatu keberuntungan bisa tinggal di lingkungan yang dikelilingi dengan orang-orang baik.Karena kedekatan diantara kami, para warga meminta agar aku membantu mengajar di sebuah taman kanak-kanak yang ada di kampung ini, karena mereka masih kekurangan tenaga pengajar dan dengan senang hati aku menerima tawaran itu. Sementara siang sampai sore hari aku menerima jasa les untuk anak sekolah dasar. Syukurlah mereka dan para orang tua merasa puas dengan hasil didikan dariku.Sedikit demi sedikit aku juga mulai belajar lagi tentang agama. Hal yang terlupakan selama berumah tangga dengan Mas Anwar. Adalah Pak Imron dan Bu Dewi pasangan suami-istri yang sangat berjasa dalam hidupku. Mereka lah yang selalu menuntun den
"Kita harus secepatnya menikah, Lis. Kalau kamu tidak mau, aku akan mencari wanita lain," katanya seusai kami melakukan aktivitas yang sangat menggairahkan. Kembali Anwar mengungkit tentang pernikahan, sebuah pembahasan yang selalu membuatku jengah.Saat ini lelaki itu sedang duduk di sofa, sepertinya dia sangat kelelahan setelah menuntaskan hasratnya. Aku yang sedang berdiri di depan meja pantry, hanya menatapnya sendu. Dia lelakiku, pujaan hatiku, kini telah dilanda dilema karena tuntutan untuk segera menikah oleh orang tuanya."Kenapa harus menikah sih, Dear? Bukankah begini lebih asyik? Kita bisa saling mencintai tanpa harus terikat satu sama lain," ujarku sambil mendekatinya, memberikan segelas jus jeruk."Papa dan Mama, mereka selalu mendesak agar aku lekas menikah, Lisa. Usiaku sudah 30 tahun, jadi ... kamu mau kan menikah denganku?" tanyanya sekaligus sebuah permintaan yang sangat sulit untuk terkabulkan. Dia mener