(Banyak para pembasmi berjuang untuk menemukannya,termasuk keturunan Sang Pemburu Savory yang perkasa.)Mata hazel itu menangkap banyak informasi setelah sekian jam tidak menyadari bahwa takdirnya masih berjalan di masa kini.Ya,Lucius Damien pelan-pelan tersadar dari pingsannya setelah 12 jam lebih kehilangan kesadarannya.(Di mana aku?)Sang Lady berdiri di salah satu pilar yang tidak terkena matahari. Dia merasa sangat tidak suka dengan matahari karena ciptaan Surga itu bisa membakarnya dan membuatnya menjadi abu."Anda sudah sadar?" tanya Sang Lady dengan sopan. Lucius berangsuk sambil memijit-mijit pelipisnya yang terasa sakit."Kau siapa?" tanyanya,"...dan...mengapa aku berada di sini?Mengapa kau berdiri di balik pilar tembok itu?"Sang Lady menghela napas lalu berkata,"Kau lupa jika aku ini makhluk malam. Alasanku tidak merubahmu karena-""Karena apa? Dan mengapa kau,ugh...."Sekali lagi Lucius memijit kedua pelipisnya."Tuan Damien,aku tahu kau mungkin kebingungan. Awalnya aku h
Situasinya semakin rumit dengan keberadaan Elizabeth Celeste dan misteri di sekitar Mata Celeste. Lucius harus hati-hati memilih jalannya di tengah-tengah konflik dan janji-janji yang dibuat.Setelah peristiwa pertemuan dengan Elizabeth Celeste, Lucius pulang ke tempatnya untuk merenungkan semua yang telah terjadi. Di malam yang sunyi, bayangan tentang Liontin Mata Celeste dan kematian David Doe terus menghantuinya. Meskipun Elizabeth menuntut janji, Lucius tetap merasa perlu mencari tahu lebih banyak informasi.Dengan hati-hati, Lucius mencoba menyelidiki lebih dalam tentang sejarah Liontin Mata Celeste dan kemungkinan keterlibatannya dalam konflik yang melibatkan Elizabeth. Namun, setiap langkahnya dihadang oleh ketidakpastian dan ancaman yang mengintai dari kegelapan.Sementara itu, Elizabeth terjebak dalam pertarungan batin antara keinginan untuk melindungi Lucius dan keinginan untuk mendapatkan kembali Liontin Mata Celeste yang dicurigai telah jatuh ke tangan yang salah. Dalam keg
Kisah ini berlanjut dengan suasana yang penuh ketegangan dan dilema moral yang mendalam. Di tengah konflik dan misteri yang melingkupi Liontin Mata Celeste, Lucius dan Elizabeth terus berjuang dengan ketidakpastian dan ancaman yang mengintai. Lucius, dalam kebingungannya, memilih untuk merenungkan kejadian terakhir di rumahnya. Hantu masa lalu, termasuk kematian David Doe dan pertemuannya dengan Elizabeth, terus menghantui pikirannya. Keputusan untuk menyelidiki sejarah Liontin Mata Celeste merupakan langkah yang diperlukan, meski penuh dengan risiko dan ketidakpastian. Setiap petunjuk yang ia temukan tampak membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, dan bahaya terus mengintai di setiap sudut. Elizabeth, di sisi lain, terjebak dalam pertarungan batin yang sama rumitnya. Keinginannya untuk melindungi Lucius bertentangan dengan hasratnya untuk mendapatkan kembali Liontin Mata Celeste. Liontin ini dicurigai telah jatuh ke tangan yang salah, dan kekuatan misterius yang terkandung
Alena merasa cemas dan gelisah setelah perselisihan terakhir dengan Lucius. Ia merasakan kekosongan dalam hatinya, yang semakin hari semakin terasa menyakitkan. Di tengah kesibukannya, pikirannya terus berputar tentang hubungan mereka yang kini terasa renggang.Saat sedang melamun, ponsel Alena berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Dengan hati-hati, ia membuka pesan tersebut dan mendapati pesan dari Lucius. Isi pesan itu penuh dengan ketulusan dan niat baik untuk memperbaiki hubungan mereka. Lucius menuliskan tentang rasa bersalahnya dan keinginannya untuk berkomunikasi lebih baik di masa depan.Membaca pesan tersebut, Alena merasa campur aduk. Ia merasakan kelegaan karena Lucius menyadari kesalahannya dan ingin berubah, tetapi juga masih merasakan luka dari perdebatan mereka sebelumnya. Alena merenung sejenak, mencoba memutuskan bagaimana ia harus merespon.Selama beberapa hari berikutnya, Alena merenungkan hubungan mereka. Ia menyadari bahwa kesalahpahaman dan kurangnya komunikasi t
Frank Flanders semakin cemas saat mengetahui bahwa beberapa artefak menghilang. Ia pun segera menemui Ketua Mafia yang juga menginginkan Liontin Vampir. Frank Flanders berjalan dengan cepat menuju Diagon Alley, jalanan sempit yang dipenuhi toko-toko sihir dan penuh keramaian. Pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran tentang artefak yang hilang. Sesampainya di depan sebuah kedai remang-remang dengan lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya redup, ia menarik napas dalam-dalam dan mendorong pintu masuk. Di dalam, suasana terasa tegang dan misterius, dengan bisikan-bisikan lirih dan tatapan penuh kecurigaan dari penghuni lainnya.Frank melihat Ketua Mafia, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan dingin dan senyum setengah mengejek, duduk di sudut ruangan dengan beberapa anak buahnya yang mengelilingi meja. Frank menegakkan bahunya dan berjalan mendekat."Selamat sore, Ketua," sapa Frank, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.Ketua Mafia menatapnya dengan pandangan tajam sebel
"Lucius... Damien..." sebuah suara menghentakkan kesadaran Lucius yang kala itu sedang mengalami mimpi prekognisi kembali. "Hhhh...." desahnya sambil bergumam, "Syukurlah, ini hanya mimpi." Lucius memegangi dahinya yang terasa sakit dan panas.(Demamku sudah reda rupanya.)Ia mengambil kain persegi empat dan merendamnya dalam air hangat. Lalu, ia mengompreskan kain itu pada area dahinya. Termometer yang berada di mulutnya menunjukkan bahwa ia berhasil melewati demam malam itu.Lucius merasakan rasa lega yang luar biasa. Bayangan mimpi yang barusan dialaminya perlahan memudar, menyisakan kelegaan dalam dirinya. Ia bersandar di kepala tempat tidurnya, memejamkan mata sejenak untuk meresapi momen ketenangan yang jarang dirasakannya akhir-akhir ini.Mimpi-mimpi prekognisi itu selalu datang tiba-tiba, membawa serta potongan-potongan masa depan yang tak selalu bisa ia pahami. Namun, kali ini, suara yang memanggil namanya terasa lebih nyata dan mendesak, seolah ada sesuatu yang penting yang
Frank Flanders melangkah lebih dekat ke meja wanita tua itu, merasa tekanan waktu yang kian mendesak. "Aku mencari seseorang yang baru-baru ini tertarik pada Liontin Vampir," katanya, menekankan pentingnya informasi yang diinginkannya.Wanita tua itu mengamati Frank sejenak, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan berwarna ungu dari bawah meja. "Bicara tentang Liontin Vampir di sini berbahaya, Nak. Tapi mungkin ini bisa membantu," katanya sambil mendorong botol itu ke arah Frank.Frank menatap botol itu dengan ragu. "Apa ini?""Cairan Pengungkap," jawab wanita tua itu. "Gunakan di tempat yang kamu curigai menyimpan jejak si pencuri. Jika dia ada di sana, jejaknya akan terlihat."Frank mengambil botol itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam saku. "Terima kasih. Ini sangat berharga."Wanita itu mengangguk, lalu mengisyaratkan padanya untuk pergi. "Berhati-hatilah, Nak. Orang yang kau cari tidak akan senang jika tahu kau mengejarnya."Frank mengangguk dan keluar dari t
Lucius melangkah keluar dari kamar tidurnya, meninggalkan kehangatan selimut untuk menghadapi hawa dingin malam. Ia menuju ruang kerjanya yang penuh dengan buku-buku tua dan artefak berdebu, peninggalan dari berbagai penelitian yang pernah ia lakukan. Di sudut ruangan, sebuah sakel rusak yang disebutkan dalam mimpinya tergeletak di atas meja, setengah terkubur di bawah tumpukan dokumen.Dengan hati-hati, Lucius membersihkan permukaan sakel, memperhatikan ukiran-ukiran halus yang menghiasi permukaannya. Ia mencoba mengingat setiap detail dari mimpi tadi, berharap menemukan petunjuk yang bisa membantunya membuka sakel ini dalam dunia nyata.(Tidak mungkin ini hanya kebetulan,) pikirnya. (Mimpi itu pasti ada artinya.)Lucius kemudian mengingatkan dirinya pada satu nama: Profesor Aldric, seorang ahli sejarah yang pernah ia temui dalam salah satu konferensi. Profesor Aldric dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang artefak kuno. Dengan cepat, Lucius memutuskan untu