Share

2. Bangkitnya Iblis

Reina terbangun dari tidurnya. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot di badannya. Kemudian merapikan tempat tidur dan beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. 

Setelah selesai, dia berpakaian rapi dan merias wajahnya dengan make up yang tipis. Reina bersiap pergi. 

“Tumben udah mandi jam segini, udah rapi dan wangi. ” Goda Kemal.

“Sekarang kakak udah jadi kembang desa, jadi harus tetap cantik sepanjang waktu.” Jawab Reina sambil mengibaskan rambutnya.

“Haah apa, Kak? Cantikan juga Nenek dari pada Kakak.” Jawab Kemal tak mau kalah dari kakaknya. Kemal tertawa terbahak-bahak.

Reina menghiraukan candaan Kemal dan berjalan meninggalkan rumah.

“Kemana Kak?” teriak Kemal.

“Cari yang seger-seger.” Sahut Reina dengan lantang.

Reina berjalan menyusuri pematang sawah. Dia sangat kagum dengan hamparan sawah yang sangat luas di kampung itu.

Kompren kompreng kompreng! 

Suara orang-orangan sawah yang sedang di gerakkan.

Reina kaget, sampai-sampai kakinya  terpeleset masuk ke dalam sawah.

“Maaf Mbak, sudah mengagetkan Sampean. Sini Mbak saya bantu.” Ujar seorang pemuda sambil mengulurkan tangannya ke Reina.

“Iya nggak apa-apa kok. Salah ku juga jalan terlalu minggir. Terimakasih ya udah bantuin aku.” Balas Reina sambil membersihkan kakinya dari lumpur.

“Kenalin nama ku Reina. Pindahan dari Jakarta. Baru kemarin sore aku sampai di desa ini. Ngomong-ngomong ngapain kamu ngumpet di rumput liar itu?”

“Biar ndak kelihatan sama burung-burung pemakan padi Mbak. Oh ya nama saya Bagas, Mbak. Saya sudah tahu kok tentang keluarga Mbak yang jadi perbincangan hangat warga saat ini.” Jawab Bagas. Dia menjulurkan tangannya mengajak Reina bersalaman.

Reinan menerima tangan Bagas mereka pun berjabat tangan dan saling membalas senyuman.

“Tunggu ... tunggu. Kamu bilang keluarga aku jadi topik perbincangan di kampung ini?” tanya Reina kaget.

“Iya ... emm gimana ya ngomongnya. Anuuuu.” Bagas menggaruk-garuk kepala, kebingungan menjawab pertanyaan Reina.

“Gas, pulang!! Ngapain kamu dekat-dekat dengan wanita itu?” teriak seorang ibu-ibu dari kejauhan.

Tampaknya ibu itu adalah orang tua Bagas. Bagas pun segera berlari meninggalkan Reina sendirian dan menghampiri ibunya. Tangan ibu itu menarik Bagas agar cepat-cepat menjauh dari tempat itu.

Reina kembali pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang dia berpikir apa yang sebenarnya ingin Bagas katakan tadi.

"Kenapa raut wajahnya Bagas tadi seperti ingin menyampaikan sesuatu ya? Kayanya Bagas tahu sesuatu soal keluarga aku.” Gumam Reina dalam hati. 

Langkah demi langkah, akhirnya Reina sampai di rumah. Kedua orangtua Reina dan Kemal sedang bercengkrama di teras rumah.

Bu Mirna bertanya kepada  Reina, dari mana dan bersama siapa.

“Dari sawah, Ma. Tadi nggak sengaja ketemu teman baru, namanya Bagas. Tapi mamanya Bagas kaya nggak suka gitu, lihat aku kenalan sama Bagas.”Jawab Reina.

Bu Mirna dan Pak Arya saling menatap. Karena mereka juga merasakan warga desa itu seperti menjauhi keluarganya.

Reina dan keluarga kembali beraktifitas seperti layaknya warga kampung lain. Pak Arya mencari kayu di hutan belakang rumahnya. Reina dan Bu Mirna memasak untuk hidangan nanti malam. Dan Kemal bermain di samping rumah dekat kamar mandi.

Ssssttt-sssstttt.

Suara inang yang di gosokkan ke gigi Nenek. Sudah menjadi tradisi orang jaman dulu membersihkan gigi mengunakan inang.

“Mau nginang gak kamu, Mir?”

“Engga ah, Bu. Ndak biasa aku.” Jawab Bu Mirna sambil berjalan ke selokan kecil dekat kamar mandi, dia ingin membuang air kotor bekas untuk mencuci sayuran.

Tanpa di sengaja dia melihat Kemal sedang berbicara dengan seseorang. 

“Aku nggak boleh main jauh-jauh sama Mama ku,”

“Kita main di sini aja ya, aku punya banyak mainan lho.” Ujar Kemal kepada orang tersebut.

Bu Mirna menjadi penasaran ingin tahu dengan siapa Kemal mengobrol, tapi terhalang tumpukan kayu yang sudah di susun rapih oleh Pak Arya sebelumnya.

"Wah Kemal ngobrol sama siapa to itu. Ndak kelihatan sih. Ya sudahlah, tapi aku bersyukur akhirnya ada anak desa ini yang mau berteman dengan Kemal." Bisik Bu Mirna, ia pun kembali masuk ke dapurnya.

***

“Nak, sebaiknya tunggu adzan maghrib selesai baru mandi. Pamali mandi menjelang maghrib begini,” celetuk Bu Mirna ketika melihat Reina masuk ke dalam kamar mandi dengan membawa handuk.

Namun, Reina mengabaikan nasihat mamanya. Dia sudah merasa sangat gerah setelah seharian beraktivitas.

Reina berjalan pelan sambil bersiul lirih menuju kamar mandi.

"Brengsek, kotor banget yah ni kamar mandi," Reina menyiram ubin kamar mandi itu.

Tiba-tiba perhatian Reina tertuju pada sumur tua itu, dia melihat papan penutup sumur itu bergerak-gerak seperti ada yang mau keluar. Dengan santainya dia memindahkan batu pemberat itu dan membuka papan kayu penutup sumur itu.

"Eh ayam-ayam, eh eh." Latah Reina keluar saat dia kaget melihat 2 tikus lari dari dalam sumur itu. 

"Buset dah, anjing emang. Bau banget bangsat. Kenapa gak di timbun aja sih nih sumur, dari pada buat sarang tikus begini!! " umpat Reina sambil meludah ke dalam sumur itu. 

Reina kembali menutup sumur tua itu. Dan melanjutkan menimba air dari sumur yang baru untuk mandi. 

Perlahan dia menurunkan ember dengan tali yang terpasang pada katrol. Saat ember sudah terasa menyentuh air dan ember terisi penuh, Reina segera menarik tali tersebut pelan-pelan.

Hal tak terduga terjadi, dia merasa ember itu berat. Seperti bukan air saja yang ada di dalam ember itu. Reina terus mencoba menarik ke atas ember itu.

Braaakkkkk !!! Suara ember menyentuh permukaan air dengan sangat keras.

“Ehh .. Ehh!”

“Ampun deh. Kok berat banget, anjir!”

Reina mencoba menarik kembali ember tersebut, namun semakin berat dia rasakan. Dengan rasa penasaran Reina melihat kedalam sumur.

“Mana bisa gue lihat, gelap begini. Senter, mana senter!” Reina berinisiatif mengambil ponsel di saku celananya.

Memang hal biasa bagi Reina, saat mandi dia harus membawa ponsel untuk mendengarkan musik favoritnya.

Tangan kanan Reina masih tetap memegang tali dan tangan kiri Reina mencoba menyalakan senter di ponselnya.

Dia segera mengarahkan ponsel tersebut ke dalam sumur. Tapi ember belum juga terlihat.

“Huuuhhhhh!” dia mencoba lebih membungkukkan badannya,tangannya menjulur kedalam sumur.Dan...

“Se..se..see..seetaaaaaaannn!!”

Teriakan Reina yang sangat keras mengundang perhatian orang-orang di dalam rumah. Mereka segera berlari menuju sumber suara tersebut.

Reina sudah terduduk lemas di belakang pintu kamar mandi. Badan Reina gemetaran, matanya melotot, jari telunjuknya menunjuk ke arah sumur, giginya beradu. Keringat bercucuran, padahal waktu itu cuaca sedang dingin disana. Selang tidak lama Reina tidak sadarkan diri.

Pak Arya segera menggendong Reina masuk ke dalam kamarnya.

“Dek, tolong ambilkan kakak minum. Cepat!” seru Bu Mirna sambil menangis melihat Reina yang masih tak sadarkan diri. 

Sementara Pak Arya berlari keluar, mencari pertolongan. Beliau menuju ke rumah Pak Ponidi. Belum sempat Pak Arya  berbicara, Pak Ponidi segera berlari masuk kedalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat.

“Pak, anak saya butuh pertolongan. Dia tiba-tiba tidak sadarkan diri. Di mana klinik atau rumah sakit terdekat dari desa ini?” kata Pak Arya memohon

“Percuma! Untuk apa kamu cari dokter. Dokter pun tak akan mampu mengobati anakmu itu. Pergi sana ke rumah Mbah Darmo yang letaknya tengah hutan persis di belakang rumahmu,” sahut Pak Ponidi di balik pintu rumahnya.

Tanpa pikir panjang Pak Arya berlari menuju rumah Mbah Darmo sendirian. Menyusuri hutan lebat, tak perduli jika ada bahaya yang akan menimpanya selama perjalanan ke rumah Mbah Darmo. Yang ada dalam pikiran Pak Arya hanya kesembuhan anaknya, Reina.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status