Di tempat lain"Kenapa kamu menghianatiku, Jasmine? Apa salahku? Apa kekuranganku? Ke mana kamu sekarang? Apa kamu sudah menikah dengan pria itu? Aku ...."Rasanya tak sanggup Darren melanjutkan deretan kalimat yang selalu menyulutkan amarah sekaligus kesedihan yang amat terdalam. Sudah berkali-kali, dia mencoba membuang nama dan wajah wanita masa lalu dalam hidupnya, tetapi selalu gagal. Bayangan Jasmine seolah seperti hantu yang terus menari di tempurung kepala dan mengakar di hati."Bro, kamu sudah menemukan Jasmine? Itu dia, kan? Karyawan baru di bagian divisi desain?"Entah sejak kapan, Fito datang dan langsung duduk di depannya. Mereka memang ada janji di kafe untuk membahas perencanaan mendistribusikan produk ke negara kangguru."Entahlah, yang kulihat wajah memang mirip, tapi nama dan gelagatnya beda. Aku belum yakin itu dia."Perhatiannya tiba-tiba tertuju pada layar 14 inch yang menampilkan foto gadis dua puluh tahun
Sudah berkali-kali Fito mengingatkannya. Darren belum move on meski sudah ada Emma yang mengisi hidupnya. Cinta? Iya, Darren mencintai istrinya itu. Sebesar apa? Tentu tidak sebanding untuk Jasmine karena kata orang cinta pertama itu memang cinta yang sulit dilupakan. Lantaran bayangan wanita itu telah meninggalkan jejak pada area sensorik otak Darren.Helaan napas Darren terdengar kasar, tangannya menutup layar yang ada di depan. Suasana hati tiba-tiba kacau detik itu. Pernikahan siri dengan Giandra kemarin pagi membuatnya harus berada di dekatnya kembali. Apalagi keinginan Emma yang di luar nalar, segera menghamili istri muda tersebut. Bagaimana mungkin?"Tapi peristiwa itu masih cukup misteri, menurutku." Setelah menyeruput teh hijau panas, Fito melanjutkan opininya. Seketika rasa hangat menjalar tenggorokan sampai ke lambung. Aroma khas teh tersebut memanjakan hidung sehingga otaknya mudah berpikir jernih. Lalu, dia menatap lawan bicara tanpa berkedip
"Kamu tidak perlu melakukan hal itu, Emma. Aku tidak suka dengan caramu."Selesai menikmati makan malam, sepasang suami istri sedang berbincang di meja. Pembahasan yang sama kerap menjadi perseteruan ringan di antara mereka."Aku harus melakukannya. Aku tidak mau dipandang sebelah mata oleh mamamu.""Beliau tidak pernah mempermasalahkannya."Tentu Darren tak pernah tahu apa yang menjadi keinginan terbesar ibu mertua Emma selama ini. Jika wanita senja itu yang kini bermukim di London tiba ke Indonesia, hal pertama yang ditanyakan selalu masalah cucu. Kalimat yang diucapkan terdengar biasa, tetapi nadanya penuh penekanan. "Siapa bilang, Mas? Dia selalu bertanya tentang kapan kehamilanku. Mana mungkin aku memberitahukannya kalau aku mandul. Rahimku kecil yang sudah divonis dokter kalau seumur hidupku tak akan ada janin yang bisa hidup di organ itu. Aku tidak mau ....""Sstt, tenang, Emma. Aku tidak pernah menyalahkanmu. A
"Tapi aku lihat ada potensi darinya, Mas. Dia berbeda dengan calon yang datang melamar di perusahaan kita. Mereka fresh graduation yang harus kita papah. Berbeda dengan Gian, talenta dan kemampuannya sudah melebihi jam terbang orang-orang baru itu." Emma terus berusaha meyakinkan dengan nada dan mimik serius."Aku belum melihat potensi itu, Emma. Aku semakin bingung dengan sikap kamu akhir-akhir ini. Kamu tidak seperti Emma yang aku kenal."Wajah itu tampak pasrah. Pria bertubuh 175 cm itu terus menghindari perdebatan dengan mengalah hingga terpaksa menuruti keinginan istrinya."Nanti kamu pasti akan suka dengan hasil jerih payahku mencarikan karyawan seperti Gian. Kita lihat saja nanti, Mas-ku sayang."Bukan berniat untuk menjodohkan lalu menyuruh Darren jatuh cinta pada istri sirinya, Emma hanya ingin si suami rela menanamkan benih ke rahim wanita pilihannya secepatnya. Hanya itu. Terlihat gampang tetapi rumit dilakukan oleh pria sedingin Darren
"Malam ini ada diskon besar di supermarket Sederhana. Apa kamu mau aku temani untuk memborong bahan makanan itu?"Satu pesan dari aplikasi hijau membulatkan mata Gian. Membaca diskon besar membuat hatinya berdebar. Sebagai pemburu diskon sejati, Giandra tak pernah sekalipun mau melewati momen langka tersebut."Boleh, malam ini harus ke sana." Dibubuhi emot tokoh smile yang menunjukkan semua giginya."Aku jemput, jam berapa selesai dari kantor? Langsung jemput dari kantor saja, biar tidak terlalu malam sampai ke sana.""Jam lima kalau tidak ada halangan dan rintangan yang disengaja." Cepat sekali jari itu menari memberi jawaban."Siap, Cantik. Aku tunggu di lobi. See you." Kali ini, lawan chat memberi emot ada hati di mata tokoh smile tersebut.Sempat membuat dahi Gian terlipat dengan emot dan kata cantik di balasan Jacky. Namun, wanita itu segera menepiskan prasangka yang ada di benak. Dia dan Jacky murni hanya teman berbagi dan
"Yes, dapat!"Tangan terampil Giandra menyentuh ikan bakar yang tinggal satu-satunya di rak supermarket, lalu dibawanya ke dalam dekapan. Jika tidak, bisa saja ikan tersebut bisa pindah tangan ke wanita yang berbibir tebal yang juga berjuang memburu diskon di tempat itu."Mbak, pake sopan santun dong kalau belanja. Itu ikan, aku duluan yang memergoki, kenapa situ yang main rebut aja?""Maaf, ya, Mbak. Tapi aku duluan yang ambil berarti ini jadi milikku. Di sini bukannya siapa cepat dia yang dapat?" Gian masih ngotot dan mempertahankan haknya. Dia tak peduli dengan mata melotot yang ditampilkan wanita gendut yang ada di hadapannya."Tapi aku duluan yang melihat ikan ini dari kejauhan. Baru mau aku ambil, eh, situ mau nyambar aja. Memangnya situ tidak pernah diajarkan cara berbelanja yang baik dan benar. Tidak pernah belajar antri atau ....""Eh, Mbak. Kalau bicara itu difilter dulu. Mana ada aturan baku cara belanja yang baik dan benar. Di
"Hei, kadar kecantikan yang kamu miliki sekarang berkurang jika pasang wajah seperti itu terus."Pria berdarah Jerman Sunda itu terus menggoda sembari menarik hidung bangir yang melekat di wajahnya. Kedekatan fisik seperti itu sudah sering dipraktikkan lantaran Gian sudah menganggap Jacky sebagai sahabat sekaligus penyelamat hidupnya."Senyum dong." Kedua jari Jacky menarik sudut bibir hingga membentuk lengkungan. Terpaksa, Gian menyunggingkan senyuman sebab ia tak mau menjadi tontonan gratis penghuni unit yang tak sengaja melintas ke daerah lobi."Besok sore ada acara ulang tahun anaknya Tante Mirna jam tiga. Aku jemput jam satu, oke?"Secercah senyuman kini terbit dengan tulus di bibir ranum wanita tersebut. Mendapat jemputan agar dapat memangkas pengeluaran dan pekerjaan yang dapat menghasilkan cuan."Iya, besok jadwalnya hanya membawakan acara itu, kan?"Pria itu mengangguk dan mengusap kembali puncak kepalanya. Jac
"Kamu seharusnya jaga jarak dengan pria lain karena statusmu adalah istri orang sekarang."Di dalam lift, hanya ada mereka berdua. Darren buka suara setelah sekian detik hening memeluk ruang sempit tersebut. Masih sama, pria itu tidak menoleh, hanya memperhatikan wanitanya dari pantulan pintu stainless."Istri? Hanya istri kontrak, kok. Tidak begitu pengaruh dalam kehidupanku." Gian merasa sedikit risih atas pengakuan status istri yang diucapkan lidah Darren dengan gamblang. Selama ini, dia mengira dirinya bukanlah istri yang diinginkan. Namun, mengapa tiba-tiba pria itu berucap hal yang membuat gendang telinganya geli."Istri kontrak dengan pernikahan sah di mata agama. Kamu harus paham itu."Sahutan Gian berhasil membuat Darren berpaling dengan tatapan tajam, kupingnya panas seketika mendengar kalimat yang menggampangkan sebuah pernikahan. Namun sayang, tatapan Darren tak disambut, lantaran lawan bicara sudah membuang muka terlebih dah