Pria bertopeng itu kaget ketika mendengar pintu kamar terbuka dan secara spontan menoleh ke belakang dan ternyata Lucas yang datang, ia telah mengejutkannya.
"Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan," kata Lucas sambil melangkah maju menghampiri pria bertopeng."Kenapa masuk tanpa mengetuk?" ujar pria bertopeng itu kesal."Terserah aku dong!" jawab Lucas dengan santainya."Minggir, aku mau memeriksanya," ucap Lucas ketus.Pria bertopeng itu memiringkan badannya, ia menyingkir dari hadapan La Rossa dan memberi ruang kepada Lucas untuk memeriksa La Rossa."Sepertinya ia enggan untuk bangun, kemungkinan terbesar ada sebuah trauma yang membuatnya tidak ingin kembali ke dunia ini," ucap Lucas menjelaskan kondisi La Rossa pada pria bertopeng itu."Trauma?" ulang pria bertopeng itu."Huum," jawab Lucas singkat.Pria bertopeng itu mengerutkan dahinya, ke dua alisnya bertaut menjadi satu. Nampak ia tengah berpikir keras."Apa yang membuatmu takut untuk kembali ke dunia ini? Apa tragedi itu?" gumam pria bertopeng lirih."Aku kesini mau pamit sama kamu, kalau malam ini aku akan pergi ke Amerika dan pekerjaanku dilimpahkan pada dokter Harun," kata Lucas."Kenapa mendadak!" ucap pria bertopeng kesal dengan penjelasan dari Lucas."Semuanya mendadak, aku juga baru dapat kabar dari Papa barusan, kalau Oma masuk Rumah Sakit," ucap Lucas dengan nada sedih karena Omanya sakit."Pergilah!" ucap pria bertopeng."Tidak bisakah kamu berubah menjadi seperti dulu lagi, orang yang ku kenal dengan kehangatannya, senyuman itu, aku rindu," ucap Lucas sedih."Dia sudah mati! Jangan pernah mengingatkanku tentangnya," pria bertopeng itu marah."Tapi ...," Lucas menghentikan ucapannya ketika ia menatap kedalam retina pria bertopeng itu.Ada kebencian dan kemarahan dalam tatapan matanya, ia menatap tajam ke arah Lucas dengan sorot mata yang penuh dengan amarah."Maafkan aku," lirih Lucas dengan nada yang sedih.Disaat mereka tengah berdebat, La Rossa menggerakkan jari tangannya. "Air," lirihnya.Lucas yang berada dekat dengan La Rossa mendengar suara lirihnya, ia langsung membalikkan badannya menghadap ke arah La Rossa yang tengah terbaring tak berdaya. Pria bertopeng pun mendekat dan pada saat Lucas akan memberinya minum, tiba-tiba tindakannya dihentikan oleh pria bertopeng."Biar aku saja," pinta pria bertopeng.Lucas menyerahkan botol air mineral yang ada dalam genggamannya pada pria bertopeng dan ia juga mundur kebelakang memberi ruang pada pria bertopeng.Pria bertopeng itu meraih air mineral dalam botol itu dan meneteskannya pada bibir La Rossa setetes demi setetes menggunakan sedotan, La Rossa yang bibirnya basah mencoba menyesap air itu dengan mata masih terpejam.Pria bertopeng itu terus memberi La Rossa air melalui sedotan sedikit demi sedikit karena ia masih belum pulih sepenuhnya. Melihat La Rossa menyesap air itu, pria bertopeng menyunggingkan sudut bibirnya, ada binar bahagia dimatanya. Sayangnya Lucas tidak melihat itu."Kamu sudah sadar?" pria bertopeng itu bertanya pada La Rossa saat melihatnya membuka kedua matanya.La Rossa mengerjap-ngerjapkan matanya, ia mencoba untuk mengatur cahaya yang masuk kedalam retinanya."Dimana aku?" tanya La Rossa dengan suara lirih dan lemah."Kamu ada ditempat yang aman," jawab pria bertopeng.La Rossa yang sudah mampu melihat dengan jelas mengedarkan pandangannya ke segala arah, ia melihat sebuah ruangan yang serba putih. Didepannya berdiri sosok yang tinggi dan gagah meski tubuhnya dibalut dengan jubah hitam yang hampir menjuntai dilantai. Wajahnya tertutupi topeng perak yang hanya menyisakan kedua bola mata dan bibirnya saja."Kamu siapa?" tanya La Rossa lirih."Aku ...," Pria bertopeng itu menghentikan ucapannya ketika ia melihat La Rossa yang sedang berusaha bangun dari tidurnya dan meringis menahan rasa sakit diperutnya."Jangan bangun dulu!" teriak Lucas yang dengan cepat bergegas menghampiri La Rossa.Lucas menghentikan gerakan La Rossa, ia menahan tubuhnya yang sedang berusaha untuk bangun."Lukamu belum benar-benar sembuh, jangan banyak bergerak dulu," ucap Lucas.Lalu Lucas memeriksa kondisi La Rossa, ia merasa heran dengan daya tubuh gadis yang ada dihadapannya. Bagaimana bisa gadis yang terlihat begitu lemah namun menyimpan kekuatan yang begitu besar, jika bukan dirinya mungkin ia sudah meninggal akibat tidak kuat menahan serangan racun dalam darahnya dan menahan luka tusukan yang hampir mengenai organ vitalnya."Kamu hebat mampu bertahan sampai saat ini, itu merupakan sebuah keajaiban." puji Lucas pada La Rossa.Lucas yang tidak mengetahui profesi La Rossa menganggap lemah gadis yang ada dihadapannya, kalau saja ia tahu siapa La Rossa sesungguhnya, mungkin ia tidak akan percaya. Bagaimana tidak, La Rossa yang memiliki tubuh mungil dengan wajah yang begitu imut menjadi wanita yang kejam berdarah dingin dengan profesi sebagai pembunuh bayaran profesional.Dalam kelompoknya ia sebagai anak emas, misinya tidak pernah gagal. Tapi saat menjalankan misi kali ini ia hampir kehilangan nyawanya akibat dari tidak validnya data yang ia terima.La Rossa menatap pria bertopeng, ia membatin dalam hatinya, 'sorot mata itu.'La Rossa menatap lekat kedalam retina pria bertopeng itu, sorot matanya mengingatkan kepada seseorang yang La Rossa kenal tapi entah siapa?. Ia berusaha mengingat orang itu tapi La Rossa sama sekali tidak menemukan dalam memorinya. La Rossa ingat jika sorot mata itu juga sama persis dengan milik Gilbert sang target yang gagal ia bunuh. Taoi Gilbert hanya memiliki satu bola mata, sementara pria bertopeng yaang ada dihadapannya memiliki dua bola mata. ' Apa mereka satu orang yang sama atau mereka dua orang yang berbeda namun memiliki sorot mata yang sama? Tapi rasanya tidak mungkin dua orang yang berbeda memiliki sorot mata yang begitu sama persis.' batin La Rossa dalam hatinya. Tatapan mata La Rossa bertemu dengan pria bertopeng, ia menampakkan sorot mata yang teduh dan menenangkan. Tapi sedetik kemudian ia merubah tampilannya dengan menampakan sorot mata yang dingin dan kejam. La Rossa merasa bingung dengan keadaan ini, bagaimana bisa ia merubah tampilan hanya dalam hitungan detik s
La Rossa meninggalkan Rumah Sakit, ia menyelinap dengan mengambil pakaian seorang Dokter yang tergantung disebuah ruangan kosong milik salah seorang Dokter praktek di sana. Ia pergi dengan menggunakan taxi yang kebetulan lewat di depan Rumah Sakit, ia meminta pada sang supir untuk mengantarkannya pada alamat yang ia sebutkan. Mobil pun melanju mengantarkan La Rossa ke sebuah lingkungan komplek perumahan yang sederhana. Ia turun ketika mobil berhenti tepat disebuah rumah bercat kuning pucat dengan halaman rumah yang penuh dengan bunga mawar beraneka warna. La Rossa meminta supir untuk menunggunya karena ia tidak memiliki uang sepeser pun. "Pak tunggu sebentar ya," pinta La Rossa pada supit taxi itu. "Ya neng," ucap supir itu setuju. Lalu ia berjalan membuka pintu gerbang dan melangkahkan kakinya hingga sampai di depan pintu dan mengetuknya. Pintu terbuka dan menampakkan sosok gadis cantik berhijab seusianya, ia menatap bingung La Rossa. "Cari siapa Ka?" tanya gadis itu. "Cari
Dirumah Sakit tempat La Rossa dirawat perawat itu datang dengan membawa nampan yang berisi makanan, ia mengetuk pintu kamar tapi tidak ada jawaban. Ia kembali mengetuk pintu itu hingga tiga kali tapi tetap tidak ada jawaban.Lalu ia mendorong pintu kamar itu, betapa terkejutnya ketika tidak mendapati La Rossa di sana. Ia meletakan nampan secara sembarang. Lalu Rita mendekat ke ranjang brangkar tempat La Rossa di rawat ia mendapati selang infus yang menggantung dengan meneteskan cairannya dan ada bercak darah di seperai putih itu.Perawat itu lalu mengambil HP-nya dan ia mulai menelepon Lucas. Orang yang telah mengutusnya untuk menjaga La Rossa. Akibat keteledorannya La Rossa kabur dari RS tempatnya dirawat."Halo, Pak. Orang yang dirawat di kamar 305 ruang VVIP hilang," ucap Rita sang perawat dengan suara bergetar ketakutan."Bagaimana bisa? Bukankah ia sedang sakit dan baru sadar dari komanya?" tanya Lucas penasaran."Aku tidak tahu, setelah aku kembali dari luar ia sudah tidak ada d
Pria bertopeng itu meninggalkan kamar VVIP. Ia pergi ke suatu tempat yang letaknya berada diujung gedung bangunan inti. Bangunan itu terlihat kumuh dan tidak layak ditempati.Pria bertopeng itu membuka pintu bangunan tua, suara kriet! terdengar, menandakan bahwa pintu jarang dibuka. Pria bertopeng masuk ke dalam gedung tua itu.Siapa yang menyangka kalau ternyata di dalam ruangan itu terlihat begitu bersih dan tertata rapi, semua perabotan yang ada di dalamnya juga nampak baru dan mewah. Pria bertopeng itu membuka topeng yang selama ini menutupi wajahnya.Ia mengelus lembut pipinya yang memiliki bekas luka yang memanjang dan lebar hampir menutupi sebagian wajahnya, siapapun yang melihat akan ketakutan karena terlihat seperti monster.Dan kemudian ia juga membuka lapisan yang menutupi matanya, ternyata mata itu hanya bola mata palsu yang dirancang menyerupai sebelah matanya yang utuh."Sudah saatnya aku menampakkan diri ke dunia nyata yang selama ini membuatku menderita," gumamnya liri
Pria bertopeng masuk ke kamarnya dengan memanjat tembok balkon kamar, ia lalu masuk melalui jendela kamar. Pria bertopeng itu mengubah penampilannya menjadi orang yang lemah dan begitu menyedihkan. Ia duduk di kursi roda dan wajah monsternya memasang sebuah wajah yang penuh kesedihan. "Tuan anda sudah kembali?" tanya Jonathan, yang selama ini menjadi orang kepercayaannya. "Hmm ...," jawab singkat pria bertopeng yang ternyata ia adalah Gilbert. Gilbert pria lumpuh berwajah monster, ia kini sedang berpura-pura menjadi orang yang lemah demi mengelabuhi orang yang selalu menginginkan kematiannya. "Apa Paman Alfredo sudah datang?" tanya Gilbert. "Belum Tuan, mungkin sebentar lagi," jawab Jonathan sopan. "Bantu aku ke balkon," pinta Gilbert pada Jonathan. Jonathan mendorong kursi roda milik Gilbert ke balkon, ia kemudian mengunci kursi roda itu. Gilbert melihat ke luar dengan mengedarkan pandangannya, motor yang ia gunakan sudah tidak terparkir di halaman. Pintu depan gerbang terb
Gilbert berdiri melihat ke arah luar, tatapannya penuh. Ia melihat iring-iringan Alfredo meninggalkan rumahnya. Jonathan masuk ke dalam dan melihat Gilbert sedang melihat keluar lewat jendala kaca kamarnya. "Tuan," sapa Jonathan. "Sudah aku katakan berulangkali jangan panggil aku Tuan jika kita sedang berdua saja," tegur Gilbert pada Jonathan. "Tapi ...," ucap Jonathan. "Sudah jangan beralasan! Ada apa?" ucap Gilbert dengan pandanga tetap mengarah keluar, kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celananya. "Semuanya sudah siap Tuan, maaf maksudku Gilbert," ucap Jonathan gugup. Jonathan mengenal Gilbert, ia tahu bagaimana karakternya. Sudah sejak lama Jonathan bekerja dengan Gilbert. "Kemas semua barang-barang yang aku butuhkan, kita berangkat malam ini," pinta Gilbert pada Jonathan. "Semua sudah siap, kita hanya menunggu waktu saja," jawab Jonathan. "Bagus!" ucap Gilbert dengan sorot mata yang tajam, membuat siapa saja yang melihatnya bergidik ngeri. Malam pun tiba Gilbert b
Alfredo keluar dari ruang kerjanya, senyumannya terus terukir di bibirnya. Ia berjalan menaiki tangga satu demi satu, langkahnya begitu ringan. Beban yang selama ini akhirnya terlepas juga.Kematian Gilbert adalah kebahagian terbesarnya setelah ia menunggu sekian lama, Alfredo menyenandungkan lagu sebagai ungkapan kebahagiaannya."Selamat jalan keponakan tersayangku, akhirnya kamu menyusul kedua orang tuamu ke neraka," gumam Alfredo."Akhirnya aku bisa menikmati semua ini dengan tenang, kamu pasti merindukan kakak tiriku alias Ayahmu dan ingin segera berkumpul dengan mereka, tenang saja aku akan mengurus pemakan termegah yang pernah ada," ucap Alfredo sambil tersenyum.Ia memasuk kamar tidurnya, sudah lama ia tidak pernah menikmati tidur di ranjang empuk bersama istri sexynya. Ia mengganti bajunya dan mulai merangkak naik ke atas ranjang. Ia mendekap tubuh istrinya yang hanya mengenakan baju tidur yang tipis menerawang.Ia mulai meraba, menggerayangi tubuh istrinya yang sudah sejak la
Alfredo tampak panik, wajahnya pucat. Darimana para direksi itu mendapatkan berita kematian Gilbert sang pewaris tunggal kerajaan bisnis milik ayahnya yang kini dipegang oleh Alfredo sebagai wali sahnya. Alfredo berdiri dan langsung pergi meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sedikit pun makanan yang sudah terhidang. Sisca mengikuti langkah suaminya dari belakang, ia mensejajarkan dirinya dengan Abraham. Sisca membisikkan sesuatu ke telinga Abraham yang kemudian dijawab dengan anggukan kepala oleh Abraham. "Kita ke kantor sekarang!" perintah Alfredo tidak senang. Baru saja semalam ia tertawa bahagia karena penghalang terbesarnya selama ini sudah meninggal, tapi dipagi buta begini ia menerima berita yang membuat perutnya mual dan ingin muntah akibat kesal. Baginya jam 08.00 pagi masih pagi buta, ia bergegas masuk ke dalam mobil mewahnya. Semua fasilitas mewah yang ia miliki adalah milik Gilbert, keponakannya. "Katakan pada Siren untuk menyiapkan semuanya!" perintah Alfredo pada