Sorot mata Lily tajam meladeni tatapan wanita yang baru saja menghajar Parmin. Tangannya sudah mengepal keras.
“Anna,” panggil sang ibu. Lily menoleh dan melihat ibunya menggeleng pelan.
Seperti melawan nalurinya yang menyukai pertarungan, Lily tak begitu saja menurut. Namun sorot mata ibunya ternyata mampu meredam keinginannya sendiri. Dilepasnya genggaman tangan di lengan wanita tersebut.
Namun diluar dugaan, sebuah pukulan dilayangkan ke tulang pipinya.
Bugh!
Teriakan dari ibu dan adik-adiknya terdengar beberapa saat kemudian. Diperlakukan demikian, darah Lily kembali mendidih. Napasnya memburu menahan amarah.
“Ayo. Aku ingin lihat kamu akan melakukan apa,” tantang wanita tersebut. Tampak kedua temannya juga bersiaga di belakangnya.
"Anna," panggil Atmarini.
Lily melihat ibunya. Sekuat tenaga ia menahan gejolak amarah.
Deru napasnya perlahan melambat dan Lily bisa kembali tenang. Melewati wanita yang menghajar Parmin begitu saja.
"Iya benar. Pergi dari sana dan jangan coba cari masalah denganku," ejek wanita yang menghajar Parmin.
Lily tak menggubris omongan itu dan menghampiri ibunya. “Kita pulang, Bu.”
Atmarini membantu Parmin berdiri dan memapahnya pergi. Lily menoleh ke belakang dan menunggu adik-adiknya mengejar lalu menyusul ibunya. Dari kejauhan, Lily masih sempat melihat kesewenang-wenangan tiga gadis itu ke beberapa orang di pasar tradisional.
***
Parmin duduk di sofa ruang tamu dan Atmarini membersihkan mukanya yang lebam. Lily duduk tak jauh dari keduanya. Parmin beberapa kali mendesis ketika lukanya disentuh.
“Sakit ya?” tanya Atma.
“Ga sesakit harga diriku yang diinjak-injak Rinja dan teman-temannya, Bude. Mereka wanita dan aku tak sanggup melawan,” seru Parmin kesal.
Agafia datang beberapa saat kemudian dengan membawakan teh hangat dan menaruhnya di atas meja.
“Siapa mereka ini?” tanya Lily pada sang ibu.
“Yang berhadapan dengan kamu tadi adalah Rinjani. Biasa dipanggil Rinja. Lalu ada Wati dan Wita, kakak beradik yang sudah seperti pengawal pribadinya. Mereka memang suka berbuat onar di desa karena merasa pernah belajar ilmu bela diri ketika bersekolah di kota,” tutur Atma.
“Mereka wanita, dimana para pria di desa ini, kenapa tak ada yang melawan?” tanya Lily.
Atma mencelupkan kain putih ke air dalam baskom lalu memerasnya. “Sebenarnya beberapa kali sudah ada perlawanan. Namun semuanya berhenti ketika salah seorang pemuda dihajar habis-habisan oleh anak buah Ronggo, ayahnya Rinjani.”
“Jadi dia dari keluarga yang ditakuti,” gumam Lily.
“Kaya, sekaligus ditakuti,” imbuh Atma. “Aga,” panggil Atma yang mengedik ke baskom air. Agafia segera paham mengambil baskom lalu membawanya ke belakang.
“Maafkan saya, Bude. Saya janji akan mengganti uang bude secepatnya,” kata pemuda dua puluhan itu pada Atma.
“Sudah jangan dipikirkan. Yang penting sekarang mereka takkan mengganggu kamu lagi,” sahut Atma.
***
Lily terbangun karena mendengar tawa renyah Agafia di ruang tamu. Lily duduk di tepi tempat tidur. Senyumnya terbit.
“Akhirnya aku bisa tidur nyenyak.”
Keluar dari kamarnya, pusat perhatian mereka yang berada di meja makan berpindah padanya. Lily ragu mendekat karena ada dua orang asing di meja.
Natasha turun dari kursi dan menghampirinya. Menarik tangannya menuju meja makan.
Atmarini tersenyum pada putrinya, “Anna kenalkan, ini pak Ruslan ketua RT di desa ini. Dan ini putranya Raga.”
“Salam kenal, Anna.” Raga cepat-cepat berdiri dan menjulurkan tangannya dan memasang senyum paling manis.
“Halo.” Lily duduk di samping adiknya tanpa membalas jabatan tangan pemuda di depannya. “Ada apa ini, Bu?” tanya Lily pada Atma.
“Mungkin kamu sudah lupa kalau di negara ini, jika ada tamu yang bermalam harus melapor ke ketua RT,” tutur Atma.
“Ibu benar, aku sudah lupa,” jawab Lily sekenanya. Ia menyentuh pipi Natasha yang baru saja mengambilkannya sepiring nasi.
“Tak masalah, Nak Anna. Saya kenal baik dengan ibumu jadi aku yakin, ibumu takkan sembarangan memasukkan orang ke rumahnya.” Mata lelaki paruh baya itu berputar pada Atma.
“Terima kasih, Pak Ruslan.” Atma mengangguk sopan.
“Dek Atma ini, kan sudah berkali-kali aku bilang. Panggil mas saja biar lebih akrab.” Lelaki paruh baya itu tertawa diujung kalimatnya.
Kesan pertama Lily pada lelaki bernama Ruslan itu langsung menerbitkan ketidaksukaan. Ruslan dengan jelas mencoba menggoda ibunya yang memang masih sangat cantik di usianya yang beranjak 40 tahun.
Acara makan malam selesai dan lelaki ganjen bernama Ruslan itu masih mencoba menggoda ibunya saat hendak pamit. Lily mengamati dari kejauhan ibunya yang berusaha tetap meladeni dengan sabar.
Helaan napas panjang yang lega diperlihatkan ibunya saat pintu rumah itu ditutup. Atma balik badan dan tersenyum janggal pada Lily.
“Kenapa, Anna?” tanya wanita dengan rambutnya yang diikat membulat itu.
“Ibu tak berubah. Masih saja menjadi wanita yang menekan perasaannya sendiri.”
“Apa maksud kamu, sayang?” tanya Atma sembari membereskan piring kotor di meja makan.
“Aku tahu ibu tak nyaman dengan perlakuan pria bernama Ruslan tadi.”
Atma menoleh cepat lalu tersenyum dan kembali fokus menumpuk piring kotor. “Ibu berusaha menghormati posisinya sebagai orang yang dihormati di desa.”
“Tidak semua orang pantas dihormati, Bu.” Lily beranjak dari tempatnya dan kembali duduk di kursi.
“Ibu memperlakukan siapapun sama, Anna.”
Anna tak mendebat ibunya. Ia bangkit dari kursi dan berjalan ke halaman belakang rumah. Diambilnya handphone dari dalam saku.
“Tidak ada sinyal. Baguslah. Lebih baik mereka tak mengetahui posisiku,” gumamnya. Tiba-tiba saja Lily ingin berjalan-jalan di sekitar kampung. Ia masuk ke kamarnya dan kembali lagi sudah mengenakan hoodie. Berjalan cepat dan melompati tanaman Topiary yang memagari rumahnya.
Tangannya masuk ke dalam saku. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar tempat tinggal ibunya. Desa itu cukup besar. Meskipun demikian, saat malam suasananya sepi.
Lily memeriksa jam tangannya. “Padahal baru jam 8 malam.”
Langkah kakinya terhenti karena tiba-tiba menyaksikan seorang gadis muda tersungkur di tanah. Tak berselang lama, sosok yang baru saja dikenalinya siang tadi mendekati gadis tersebut.
“Ampuni aku, Rinja. Aku sama sekali tak berniat mendekati Adi."
Wanita yang dipanggil Rinja tak menggubris dan menendang perut gadis tersebut. Disusul tawa bengis dua gadis di belakangnya yang setahu Lily namanya Wati dan Wita.
“To—“
Gadis muda itu mencoba berteriak namun buru-buru dihadiahi tendangan di muka. Lily mendadak geram karena melihat pertarungan yang tak seimbang.
Matanya berputar dan tangannya dengan sigap menyambar kain yang tergantung di tali jemuran warga. Digunakannya sebagai cadar untuk menyembunyikan identitasnya.
“Tak ada yang akan menolongmu. Ini jalanan paling gelap dan sepi di kampung. Jika pun ada yang lewat, takkan ada yang berani melawanku,” kata Rinja sesumbar.
Gadis malang itu merangkat dan berusaha menjauh sampai sepasang kaki menghentikannya. gadis itu mendongak. Lily hanya memandangi dengan sorot mata birunya.
“Siapa kamu?” tanya Rinja.
Lily tak menjawab dan membantu gadis malang di depannya berdiri. Kepalanya mengedik ke samping memintanya menjauh.
“Ada yang mau jadi jagoan di desa ini rupanya,” ujar Rinja. Sembari melemaskan otot tangannya. Lily diam siaga.
Satu pukulan cepat dilayangkan Rinja ke arah Lily. Tanpa susah payah, Lily meraih tangan Rinja dan membanting tubuhnya ke tanah. Wati dan Wita kompak kaget karena Rinja dijatuhkan dengan mudah.
Rinja berusaha bicara namun tak satu pun kata keluar dari mulutnya karena kesakitan yang baru saja diterimanya. Wati dan Wita mendadak gentar. Mereka akhirnya memilih memapah tubuh Rinja dan menjauh.
“Terima kasih sudah menolongku,” kata gadis muda di belakang Lily.
Lily balik badan mata birunya sempat terkena cahaya. Membuat gadis muda itu terkesiap.
“Siapa kamu sebenarnya?”
Tunggu bab berikutnya ya. Jangan lupa subscribe dan tinggalkan review di kolom komentar ya. Kasih tau pendapat kalian tentangg novelku.
Lelaki berkulit legam dengan banyak bekas luka di tangan, terkejut melihat sosok itu menggeliat di pembaringan. Kesakitan memegangi punggungnya. Di sisi kiri dan kanannya, wanita paruh baya berkebaya memegangi tubuhnya dengan resah.Kehadiran lelaki dengan postur tegap dikelilingi beberapa anak buahnya membuat semua orang di ruangan membungkuk hormat.“Siapa yang melakukan ini?” suaranya yang berat mampu menyusutkan nyali.Wati menyenggol Wita, Wita menunduk lalu menyenggol Wati. Keduanya sama-sama takut menatap lelaki tersebut.“Kalian kenapa diam? Mau kupukuli, huh?“Maaf, Pak Ronggo. Kami tak tahu siapa yang melakukan ini pada Rinja,” jawab Wati takut-takut.“Bagaimana bisa kalian tak tahu siapa pelakunya? Kalian bersama putriku setiap saat.”“Orang ini memakai penutup muka, Pak Ronggo,” ucap Wita yang giliran bicara.“Penutup muka?”“Betul,
Melihat Lily diam saja pemuda berambut merah kian curiga. Tangannya bergerak pelan ke atas lemari sambil tetap melihat ke arah Lily.“Bos!”Salah seorang anggota dari anak buah Ronggo tiba-tiba menghampiri.“Ada apa?” tanya pemuda berambut merah.“Kami sudah menemukanya. Sosok dibalik selendang biru sekarang sedang diarak ke tengah lapangan.”Mendengar penuturan itu, pemuda berambut merah bergegas keluar dari kamar Lily. “Cabut!” teriaknya mengkomando anak buahnya meninggalkan rumah Atmarini.Lily berdiri dan segera menghampiri ibu dan adik-adiknya. Melihat Agatha dan Natasha memeluk erat sang ibu, rasa iba perlahan merambat dalam dirinya. Terlebih setelah Natasha tiba-tiba menubruknya dan memeluknya erat. Gadis kecil itu sesenggukan.“Semuanya akan baik-baik saja.” Lily mengelus punggung Natasha. Mata birunya lalu beralih memandang jauh ke luar pintu.‘Apa yang
Seluruh mukanya tampak lebam dan bengkak. Bibirnya sobek dan berdarah."Siapa yang melakukan ini pada Adi?" tanya lelaki dengan postur kekar berwajah tampan. Yang berdiri memandangi adiknya yang tak sadarkan diri di pembaringan. Amarahnya membuncah.Salah satu dari lima pemuda yang berdiri di belakangnya mendekat. “Anak buah Ronggo yang melakukannya, Bang.”Lelaki tersebut menoleh dan terkejut, “Apa? Memangnya adikku salah apa?”“Menurut berita yang saya dengar, Ronggo mencurigai ada yang memukuli Rinja. Dan pelakunya adalah seseorang yang memiliki selendang biru.”Lelaki tersebut kembali melihat ke sang adik. Tak jauh dari pembaringan, ia melihat sebuah selendang biru yang penuh dengan noda darah.“Tidak masuk akal. Adikku tak pernah jahat pada siapapun. Tega-teganya mereka berbuat demikian pada Adi.” Tangan lelaki tersebut mengepal kuat. Ia balik badan dan melihat lima pemuda di belakangnya.
Mata biru Lily menyaksikan keterkejutan di mata orang-orang ketika mukanya terlihat. Termasuk Din sang kakak korban yang tak menyangka bahwa sosok misterius yang mengenakan selendang biru ternyata adalah seorang perempuan.Lily kembali ke posisi tegap setelah melakukan gerakan bantingan pada lawannya. Lelaki yang dibantingnya menggeliat kesakitan memegangi punggungnya. Beberapa saat menunggu, salah seorang rekan Din mendekat dan berbisik di telinga lelaki tampan berbadan kekar itu.“Bang, bagaimana selanjutnya?” tanya salah seorang rekan Din yang melihat lelaki tampan berbadan kekar itu mematung.Lily melepaskan sikap kuda-kudanya karena tampaknya Din tak berniat melakukan serangan susulan. Lelaki tersebut mendekatinya.“Siapa kamu sebenarnya? Aku baru pertama kali melihatmu?” tanya Din.“Lily.”“Anak Bu Atma, Bang,” imbuh seseorang di belakang Din memberi penjelasan.“Begitu
Lily menyusuri jalanan pinggir kampung di tempat yang sama ia memperoleh sinyal hari sebelumnya. Sorot matanya waspada memastikan tak ada yang membuntutinya.Diambilnya handphone dari saku. Digunakannya untuk menelepon seseorang.“Halo.”“Lily. Kamu dimana sekarang? Liam mencarimu!” kata suara di seberang terdengar panik.Lily melihat jam tangannya. Ia hanya punya tiga puluh detik agar lokasinya tidak terlacak.“Aku tahu. Aku mendapat pesannya kemarin,” sahut Lily.“Kamu harus pulang, Lil. Kamu sudah melewati batas waktu cutimu.Aku dengar, Liam punya tugas baru untukmu.”Lily diam. Ia memandangi kejauhan. Ke hamparan sawah yang hijau dan indah.“Lily!?” suara di seberang semakin panik.“Mungkin aku takkan kembali,” jawab Lily yakin.“Apa!? Jangan bercanda kamu?!”“Aku sudah bekerja untuk White Lotus sejak usiaku
Dua orang itu sama-sama membuka mata di kedalaman air sungai. Lily menatap lelaki di depannya, mengamati struktur mukanya. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh. Ia tak merasakan apapun.Tak lama, gelembung air menyembur dari mulut lelaki bernama Din itu. Lalu mendorong tubuhnya naik ke permukaan. Lily menyeringai kecil dan menyusul naik. Lily muncul dan dihadiahi tatapan heran dari lelaki tampan di depannya.“Bagaimana kamu melakukannya?” tanya Din yang masih mencoba mengumpulkan oksigen ke paru-parunya.“Melakukan apa?” tanya Lily bingung.“Haah ... menahan napas selama itu. Kita nyaris 2 menit di bawah air. Aku yakin kamu masih bisa melakukannya lebih lama lagi. Lihat saja dirimu. Kamu bahkan tidak kelihatan kehabisa napas. Hah ... “ tutur Din masih dengan napas yang terengah-engah.‘Aku tentu takkan memberitahu lelaki ini kalau kemampuanku berasal dari latihan yang kulakukan selama berada d
Keduanya saling diam di dapur yang merangkap tempat makan itu. Lily mencuri pandang pada wanita berambut hitam panjang di depannya yang tampak memainkan gelasnya yang sudah kosong.“Aku mau minta maaf sama ibu atas sikapku sebelumnya.”Kalimat itu akhirnya terucap dari bibir Lily. Membuat Atmarini mendongak melihat putrinya kemudian tersenyum. Menjulurkan tangannya meraih tangan Lily erat.“Ibu juga minta maaf, Anna. Ibu tahu ... kamu hanya ingin melindungi adik-adikmu. Hanya saja ... ““Aku mengerti, Bu,” kata Lily menyambar kalimat Atmarini. “Aku yakin kita hanya ingin melindungi Aga dan Nata dengan cara kita masing-masing.”Lily merasakan tangannya digenggam makin erat. Senyum Atmarini juga semakin hangat. Wanita yang nyaris mengainjak usia empat puluh tahun itu menarik tangannya lagi dan kembali melamun.“Ada yang ibu pikirkan lagi?” tanya Lily yang menduga ada yang dipikirkan s
“Kok melamun?”Lily kembali ke realita dan melihat ke sumber suara. Tampak Din tersenyum dengan gelas berisi cendol disodorkan padanya.“Terima kasih,” ucap Lily. Ia menerima gelas yang disodorkan dan meminumnya.“Jadi gimana tadi di dalam?” tanya Din seraya duduk di sebelah Lily.“Sedikit lebih ribet dari perkiraanku. Tapi ga masalah.” Lily mengangkat bungkusan berisi uang dan mengguncangnya. “Aku dapat uangnya.”Din terbelalak melihat bungkusan berwarna coklat itu tampak berat."Kenapa ngelihatnya begitu?" tanya gadis berambut pirang itu.“Dengan uang sebanyak itu, harusnya kamu dikawal petugas.”“Iya mereka menwarkan itu tadi. Tapi aku menolaknya. Ribet.”Din hanya tertawa mendengar komentar Lily. Gadis di sampingnya benar-benar cuek bahkan dengan hal sepenting menjaga keamanan dirinya.“Jadi sekarang kita kemana lagi?&rdq