Malam semakin larut.
Han membopong bayi tersebut sambil menelusuri jalan dengan perut kelaparan.
Dia menoleh kanan dan kiri. Namun, tiada satu pun tempat yang dapat ia singgahi.
Toko dan tempat-tempat makan semua nampak redup.
Bagai menemukan secercah cahaya dalam gulita, saat langkahnya terasa semakin berat, pandangannya berhasil menemukan sebuah toko yang masih buka.
Segera ia bergegas menuju ke sana.
Tempat yang sedang dituju malaikat kelaparan itu adalah sebuah toko yang menjual beragam roti dan kue.
Di dalam sana, terdapat sang pemilik toko yang duduk menopang dagu.
Dia terlihat bukan seperti gadis Asia dengan rambut pirang dan bola mata biru.
"Lima menit lagi aku akan menutup toko jika tidak ada pembeli yang datang," katanya sambil melirik jam dinding dengan jarum panjang dan pendek saling tumpang tindih di angka 11.
"Bisa-bisanya jumlah roti yang terjual sama saja meskipun buka lebih awal dan tutup lebih larut."
Kembali dia melirik jam, "Sepertinya sudah tidak ada lagi pembeli. Sebaiknya aku pulang."
Belum sampai ia beranjak dari tempat duduknya, Han masuk ke dalam toko.
"Permisi!"
"Selamat Datang di toko Eve cake's! Silakan melihat daftar menu untuk memesan," sambutnya dengan ramah.
Tanpa membaca daftar menu, Han langsung menunjuk beberapa jenis roti yang berada di dalam lemari kaca, "Saya ingin yang ini, yang ini juga, juga yang itu."
Gadis pemilik toko tersebut sempat merasa aneh melihat pria yang terlihat seperti sepantaran dengannya membawa seorang bayi tengah malam. Tapi, ia tak ingin banyak tanya dan langsung melayani pelanggannya tersebut, "Apakah dibungkus atau makan di sini, Tuan?"
"Saya ingin memakannya langsung."
"Baiklah. Kalau begitu, silakan duduk di meja yang sudah disediakan!"
Selang beberapa menit, ia membawakan rotinya ke hadapan Han, "Silakan, Tuan!"
Han membuka bungkus roti dengan satu tangan sebelah kanan, sementara tangan kirinya memegangi bayi yang ia pangku.
Tak butuh waktu lama, Han sudah menghabiskan dua roti dan akan menikmati roti ketiga. Namun, tangis si bayi menghambat aktivitasnya.
"Ssst ... Kumohon tenanglah sebentar, makhluk kecil!" katanya sambil menggoyang-goyangkan bayi tersebut pelan.
Melihat pelanggannya kerepotan, pemilik toko itu segera menghampiri, "Maaf, mungkin saya bisa bantu menenangkannya supaya Tuan bisa menikmati makanan Anda."
"Ah, silakan! Saya sangat butuh bantuanmu."
Bayi itu berhasil tenang di pangkuan gadis pemilik toko.
"Apakah dia ini anak Anda, Tuan?" tanyanya.
"Bukan."
"Lalu? Apakah seseorang menitipkannya padamu?"
"Bukan seseorang. Tapi, Tuhan yang menitipkan."
Mendengar jawaban Han yang membingungkan, dia memilih diam.
"Saya sudah selesai makan. Terima kasih banyak atas bantuannya. Saya pamit pergi." Han kemudian mengambil bayinya dan keluar tanpa membayar.
"Tunggu, Tuan! Anda belum membayar," teriaknya menghentikan langkah Han.
"Dengan apa saya bisa membayar?" tanya Han polos.
"Tentu saja dengan uang."
"Saya tidak memilikinya."
"Bagaimana bisa anda membeli roti sedangkan Anda tidak punya uang?"
"Karena saya kelaparan."
"Tapi, penampilan Anda tidak seperti gelandangan. Cepat bayar sekarang!"
Han merogoh sakunya dan hanya menemukan sehelai sayap berwarna putih menyerupai bulu ayam, "Apa saya bisa membayarnya dengan ini?"
"Apa kau gila?" nada dan bahasa gadis itu berubah menjadi tidak formal.
"Ah, sebentar. Saya bisa melakukan sesuatu. Tolong gendong bayi ini!"
Dia memejamkan mata sambil melakukan gerakan seperti menyulap. Sayangnya, tak ada perubahan wujud yang terjadi pada sehelai bulu tersebut ketika ia membuka mata.
"Haiss ... Aku lupa jika sudah tidak memiliki kemampuan menyihir," gumamnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Evelyn si pemilik kedai.
"Saya hanya ingin mengubah bulu ini menjadi uang. Sama seperti saat saya merubahnya menjadi tiket konser, tapi ternyata saya sudah tidak memiliki kemampuan itu," jawab Han jujur dan polos.
"Pria aneh. Sepertinya dia sedikit tidak waras," batin Evelyn dan lanjut mengusirnya.
"Silakan pergi dari sini dan bawa bayimu! Toko saya akan segera tutup."
Tanpa menjawab, Han segera pergi meninggalkan toko bersama bayinya.
Angin malam yang berhembus kencang mengingatkannya agar tak lupa untuk mengenakan jaket.Beberapa menit yang lalu, Evelyn baru saja selesai membereskan kedai. Kini, lengkap dengan pengaman kepala serta kaos tangan ia siap mengendarai motor maticnya dan meluncur pulang.Dari kejauhan, samar-samar matanya melihat seseorang sedang berjalan dipinggir jalan. Dan semakin jelas pada jarak kurang dari 50 meter."Bukankah itu pria yang tadi?"Ya, orang tersebut adalah Han yang masih berada di jalanan sambil berusaha menenangkan bayinya.Awalnya, Evelyn ingin mengabaikan. Tapi, melihat bayi yang dibawa menangis kencang, ia pun memilih berhenti meskipun sudah melewati Han beberapa meter."Kenapa kalian masih berada di sini?" tanyanya setelah turun dari motor."Oh, Nona Roti. Saya tidak tahu harus ke mana dan bayi ini terus menangis sampai-sampai saya juga ingin menangis.""Jadi kalian tidak punya tempat tinggal?"Han ha
"Tok ... tok ... tok ... " suara pintu yang diketuk oleh Han. "Nona Roti, bangunlah sebentar! Maaf kalau mengganggu tapi ini sangat darurat," katanya panik. "Tok ... tok ... tok ..." "Nona Roti!" Suara berisik Han berhasil membangunkan Evelyn dari tidur nyenyaknya. Dengan rambut berantakan dan tentunya dengan ekspresi marah, ia membuka pintu kamar. "Sudah kubilang jangan mengganggu kenapa malah ribut-ribut tengah malam?" "Tunda marahmu sebentar saja, Nona! Sesuatu terjadi pada Si bayi. Tolong bantu saya!" Dia menarik tangan Evelyn menuju kamarnya. "Owek ... owek ... " "Lihatlah! dia belum berhenti menangis sedari tadi. Bahkan aku sudah membuatkan susu untuknya malah dia seperti menolak." Mereka melangkah bersama mendekati si bayi. Evelyn mengecek popoknya, "Hoek!" Secara reflek, dia menutup hidung setelah melihat kotoran didalam popok bayi itu. "Dia buang air besar. Cepat gant
"Kita mulai dari membuat sarapan terlebih dahulu. Perhatikan baik-baik, oke!""Oke!" Mengacungkan jempol tangan kanan sementara tangan kiri menggendong bayi.""Nyalakan kompornya terlebih dahulu seperti ini! Ceklik ..." bunyi kompor dinyalakan."Aku akan mengajarkan menu paling sederhana dulu. Yaitu ... telur ceplok." Gaya bicara Evelyn meniru pembawa acara progam memasak di stasiun televisi."Panaskan teflon! Lalu pecahkan telur diatasnya! Tambahkan sedikit garam! Ini yang namanya garam. Kau juga harus belajar membedakan mana garam, mana gula, dan lain-lain."Han sangat fokus meperhatikan Evelyn, "Bagaimana cara membedakannya?""Kau bisa menjilatnya sedikit. Nanti lama kelamaan kau bisa membedakan hanya dengan melihatnya."Han pun menjilat masing-masing toples bumbu menggunakan ujung jari dengan menampilkan ekspresi sesuai rasa. Evelyn yang sedang mengangkat telur, melirik ke arah Han, "Sudah matang ... Pakai sendok, Bodoh! Itu menji
"Kau bisa memandikan Hyunki?"Belum sempat Han membuka mulut, Evelyn kembali berkata, "Sudahlah jangan menjawab! Kau pasti tidak bisa.""Hehe ... Kalau begitu tolong ajari!""Masalahnya aku juga belum pernah memandikan bayi." berpikir sebentar lalu mengeluarkan ponsel dari tas. Ia menonton sebuah video memandikan bayi di internet. Han juga ikut menonton."Aku tetap tidak berani melakukannya. Hyunki terlalu kecil," ucap Evelyn."Saya bisa melakukannya.""Kau yakin?"Sambil mengangguk, dia berkata, "Seperti yang saya bilang, saya bisa melakukan segala hal jika sudah pernah melihatnya."Segera, Han memandikan bayi yang diberi nama Hyunki tersebut dan benar dia bisa melakukannya dengan baik."Wah, ternyata kau tidak bodoh sepenuhnya," puji Evelyn, "Kalau begitu, aku juga tidak perlu mengajarimu cara melakukan pekerjaan rumah sendiri. Kau tonton saja video di internet!""Tentu saja," balas Han sambil tersenyum.
Sepanjang hari dan malam, pikiran Han tak berpaling sedikit pun dari kata-kata Evelyn bahwa dirinya adalah beban.Hal itu membuat dirinya bertekad untuk mencari kerja meski tanpa kartu identitas apa pun.Hari ini setelah Evelyn berangkat ke toko roti dan dia sudah selesai dengan pekerjaan rumah, ia pergi berangkat melamar pekerjaan.Di bawah sinar mentari pagi, ia berjalan menyusuri kota sambil mendorong kereta bayi yang berisi Hyunki.Dia mendatangi semua toko dan tempat makan menanyakan apakah ada lowongan pekerjaan.Tak banyak toko yang sedang menambahkan pekerja. Sekalipun ada, mereka selalu bertanya kartu identitas yang tak dimiliki oleh Han.Dia terus berjalan dan menemukan sebuah tempat makan yang sedang membutuhkan karyawan tanpa meminta identitas apa pun. Tapi tentunya, pemilik tempat makan itu tidak mau menerima karyawan yang bekerja membawa bayi.Hari semakin siang.Terik matahari terasa membakar kulit. Han memilih b
Biasanya, Han makan malam lebih dulu tanpa menunggu Evelyn. Tapi, berbeda dengan hari ini, ia mengganjal perutnya yang lapar dengan makanan ringan agar bisa makan malam bersama Evelyn.Waktu pulang Evelyn pun telah tiba. Ia datang dengan membawa bungkusan roti di tangan dan raut muka yang lesu."Selamat datang, Evelyn!" sambut Han begitu Evelyn masuk ke dalam."Untukmu!" kata Evelyn sambil memberikan bungkusan roti yang ia bawa, "kau pasti belum makan karena di rumah tidak ada bahan makanan.""Benar, saya belum makan karena menunggumu. Tapi, saya sudah memasak untuk makan malam kita. Ayo!""Kenapa menungguku? Setiap hari kan aku sudah makan malam di toko.""Sudah! Pokoknya malam ini kau harus makan malam dengan saya!" Han pun menarik tangan Evelyn menuju dapur.Melihat meja makan penuh dengan berbagai makanan yang tersaji, membuat Evelyn bertanya karena yang ia tahu bahan makanan dirumah sudah habis."Kau dapat dari mana semua
Di depan jendela kamarnya, Evelyn berdiri. Menatap gemerlap bintang di langit sambil menangis."Ev, Kau belum tidur?"Evelyn menoleh, "Kau? Kau sangat tidak sopan memasuki kamar perempuan sembarangan!" katanya sambil mengelap air mata."Maaf! Saya ingin mengetuk pintu tapi saya takut kau tidak mengijinkan saya masuk." Mendekat ke arah Evelyn."Kenapa menangis?" Mengelap air mata Evelyn menggunakan tangan kanannya.Evelyn hendak menolak perlakuan Han dengan menepis tangannya, tetapi Han malah memegang pipinya dengan kedua tangan dan menghapus air matanya.Hal itu membuat sebuah kenangan terbesit di kepalanya. Kenangan dengan seorang anak laki-laki yang mengusap air matanya ketika menangis di masa kecil.Air matanya mengalir semakin deras membuat Han bingung dan langsung memeluknya."Apakah saya menyakitimu sedalam itu? Maafkan saya." Mengusap punggung.Otak Evelyn hendak menolak, namun tidak dengan tubuhnya. Ia mera
Kehidupan beberapa bulan telah dilaluinya dengan profesi sebagai Model. Setiap kali ia ada jadwal pemotretan, maka Evelyn tidak akan berangkat ke toko untuk menjaga Hyunki.Gaji yang di peroleh Han cukup besar. Ia sudah bisa membeli kebutuhannya sendiri, seperti Gadget dan lain-lain. Untuk kebutuhan Hyunki juga sudah terpenuhi dengan layak.Tak terasa Hyunki juga sudah tumbuh menjadi besar. Perkembangannya cukup pesat. Ia sudah bisa merangkak dan mengucapkan beberapa kata."Papapa ... Mamama ... ""Kasihan dia tidak pernah melihat orang tuanya," ucap Han."Kita bisa menggantikannya.""Kau mau dipanggil Mama?""Awalnya, aku tidak mau. Tapi saat bersamanya, aku ingin menjadi sosok ibu untuknya."Han tersenyum.Suara tawa Hyunki memenuhi ruang kamar ketika Han mengangkat tubuhnya ke atas dengan kedua tangan. "Pesawat terbang ... ngeng ... ngeng ... ""Hei kalung Hyunki lepas!" Evelyn melihat kalung yang d