“Rara?” panggil pria tampan itu dengan alis tertaut, seakan tak menyangka akan melihat sosok Rara di sana.
Dengan wajah kebingungan, Rara memiringkan kepala. “Anda mengenal saya?” tanyanya dengan bahasa yang sangat sopan.
Raut wajah yang tadi dingin dan serius itu sedikit melembut. “Kamu tidak ingat?” balasnya, membuat Rara menggelengkan kepala. “Aku Arjuna.”
Sontak, Rara terbelalak. “Arjuna?!” ulangnya sembari memeriksa penampilan pria itu dari atas ke bawah, mencoba meyakinkan diri sendiri. “Kak Arjuna temannya Kak Satria?!”
Arjuna mengangguk, wajahnya datar. "Ya. Lama tidak bertemu."
Kedua sudut bibir Rara tertarik membentuk sebuah senyuman. "Lama tidak bertemu, Kak Juna."
Arjuna Maheswara, itu adalah nama lengkap pria di hadapan. Pria dingin yang merupakan sahabat Satria sejak SMA … sekaligus cinta pertama Rara yang tak pernah terungkapkan.
Kalau bukan karena dulu pria itu bertunangan lebih dulu dengan wanita lain sebelum Rara berani mengutarakan perasaannya, mungkin Rara tidak akan pernah menikahi pria bajingan seperti Nizam.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Juna, membuat lamunan Rara buyar. "Bukannya kamu sudah menikah dan tinggal dengan suamimu?"
Rara tersenyum canggung. "Ada beberapa hal yang terjadi dan sekarang aku tinggal di sini lagi." Pertanyaan tentang rumah tangganya masih sukses membuat mood Rara sedikit menurun.
Arjuna terdiam dan menatap Rara sesaat, pandangannya tampak melembut sekilas dan bibirnya terpisah untuk menanyakan sesuatu. Namun, suara seorang bocah laki-laki telah terlebih dahulu memotongnya.
"Tante kenal sama Papa?" tanya Daffa sambil menatap Rara dan Arjuna bergantian.
Rara terkejut. "Jadi, Papa yang tadi Daffa maksud–”
Daffa tersenyum semringah. “Iya, itu Papa Daffa!” Dia seakan sangat bangga dengan sosok sang ayah. “Ganteng ‘kan, Tante?!” tanyanya. “Tapi, jelas gantengan Daffa!”
Mendengar hal itu, Rara terkekeh, sedangkan pandangan Arjuna menjadi dingin saat menatap putranya.
“Daffa, pulang,” titah Arjuna.
Perintah sang ayah membuat Daffa mempererat pelukannya pada sosok Rara. "Nggak mau! Papa udah langgar janji untuk temenin Daffa tidur!" Bocah kecil itu langsung melawan sembari memonyongkan bibirnya.
“Papa sudah pulang, sekarang Papa temani kamu tidur,” bujuk Arjuna lagi dengan usaha untuk tetap sabar.
Akan tetapi, anak kecil sensitif dengan suasana hati seseorang. Melihat sang ayah menarik napas dalam sebelum berbicara dengannya, Daffa tahu sang ayah marah dan sebenarnya akan melakukan kerjaan lain di rumah.
“Nggak mau! Nggak mau! Aku mau sama Tante Rara!” rengek Daffa heboh sembari melingkarkan kedua lengannya di leher Rara dan membelakangi sang ayah.
Arjuna merasa malu pada Rara karena sikap Daffa. Hal itu pun membuat pria tersebut meninggikan suaranya, “Daffa! Turuti kata Papa!” bentaknya.
Sontak saja hal itu membuat Daffa tersentak dan menjadi semakin takut untuk pulang. Bocah itu semakin memeluk Rara dengan lebih erat, mencerminkan ketakutan dalam hatinya.
“Tante … Papa nggak sayang Daffa lagi ….” Daffa mulai merengek dan membenamkan wajahnya di leher Rara.
Melihat kelakuan Daffa, Arjuna menautkan kedua alisnya. Sungguh pemandangan yang tidak biasa baginya melihat sang putra bersikap manja dengan orang lain.
Lalu, kenapa Daffa sekarang bersikap lemah di depan Rara?
Rara yang menyadari ketakutan Daffa langsung menepuk-nepuk punggung bocah itu guna menenangkannya. Dia pun menatap Arjuna.
"Jangan tegur Daffa dengan begitu keras, Kak. Lagi pula Kakak yang lebih dulu ingkar janji, ‘kan?" Rara mencoba menengahi ayah dan anak itu. Mengingatkan Arjuna yang mungkin terlalu emosi saat itu.
Arjuna terdiam sesaat. "Aku sibuk, dan Daffa tahu itu."
Rara menghela napas, ingat bahwa dari dulu memang Arjuna seperti ini. Selalu super sibuk dan seperti tak punya waktu untuk orang-orang di sekitarnya. Ditambah dengan sifat pria itu yang dingin, jelas putra kecil Arjuna akan menganggap sang ayah menelantarkannya.
"Daffa …,” panggil Rara dengan lembut, membuat bocah itu mengangkat wajahnya. Hidung mancung bocah itu memerah, dan kedua mata indahnya berkaca-kaca. “Daffa pulang dulu sama Papa ya," ucap wanita itu dengan lembut. "Papa pulang dari kerja sudah capek, sekarang langsung lari sampai sini untuk cari Daffa."
Daffa mendengarkan, tapi masih tetap diam sambil memeluk Rara.
"Itu berarti Papa sayang banget loh sama Daffa, Nak,” tutur Rara dengan senyum lembut yang menenangkan. “Daffa juga harus coba mengerti Papa ya, Sayang. Pulang dulu ya sekarang."
Dengan saksama, Daffa memerhatikan ekspresi Rara. Setiap kalimat wanita itu seakan sedang dicernanya.
Sampai akhirnya, Daffa pun mengangguk perlahan sembari menjawab, “Iya, Tante ….”
Bocah kecil itu setuju turun dari gendongan Rara dan langsung jalan ke arah Arjuna. Dengan taat, dia menggandeng tangan sang ayah.
“Maafin Daffa, Pa …,” gumam Daffa sembari menengadah untuk menatap sang ayah.
Melihat Daffa yang biasanya blingsatan berubah menjadi sangat penurut, Arjuna cukup tercengang. Namun, dia pun menganggukkan kepala dan berniat pergi sembari membawa putranya.
"Kami pulang dulu," ucap Arjuna ketika sudah menggenggam tangan Daffa yang hanya dibalas Rara dengan anggukan dan senyuman.
Namun, sebelum benar-benar pergi, Daffa menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menatap Rara. "Tante, lain kali Daffa boleh ketemu sama Tante lagi, nggak?” tanya bocah itu dengan mata berbinar.
Mendengar hal itu, Rara pun tersenyum. “Tentu saja, Sayang.”
Balasan itu membuat Daffa tersenyum semringah dan melambaikan tangannya ke arah Rara dengan semangat. Dia pun berjalan pergi bersama sang ayah.
“Kamu sesenang itu bertemu Tante Rara?” tanya Arjuna saat mereka sudah cukup jauh dari taman.
Daffa menganggukkan kepala dengan semangat. “Ya!”
“Kamu suka Tante Rara?”
“Ya!”
“Hmm,” balas Arjuna pada akhirnya, merasa penasaran kenapa daya tarik Rara bagi putranya itu begitu kuat.
Tidak diduga-duga, Daffa bahkan mengumumkan, “Kalau bisa, Daffa mau Tante Rara jadi mama baru Daffa!”
Pelayan wanita yang tadi mengejar Daffa terbelalak mendengarkan ucapan tuan mudanya, merasa itu adalah usulan gila yang bisa membuat Arjuna marah. Namun, di luar dugaan, pelayan wanita itu mendapati sosok Arjuna terdiam sembari berpikir keras.
“Usulan menarik,” ujar Arjuna sebagai balasan terhadap usulan putranya.
Pelayan wanita itu pun ternganga.
Sembarangan menentukan istri dan ibu baru, apa ayah dan anak ini … masih waras?!
Wahh, calon suami barukah? Gimana pendapat kalian terhadap Daffa dan Arjuna?
Tiga hari setelah tinggal bersama Satria, Rara telah didorong kakaknya itu untuk membenahi berbagai macam hal dalam hidupnya. Dimulai dari penampilannya, pola makannya, juga waktu istirahatnya. Bahkan pendidikan Bella pun diwajibkan oleh Satria untuk diurus dengan lebih hati-hati.Walau kelelahan dan penderitaan selama empat tahun ke belakang masih sedikit terlihat dari kantung matanya, tapi pancaran mata Rara yang sebelumnya kuyu itu sudah berubah menjadi jauh lebih cerah. Sekarang, berbalut kemeja putih dan rok pensil hitam, terlihat wanita itu sedang dalam perjalanan ke suatu tempat.Sambil menatap ke luar jendela mobil, Rara mengingat perkataan Satria tiga hari yang lalu."Kamu harus melatih kemampuan bisnismu lagi," titah Satria. “Temui aku di Jaya Corp besok jam sembilan.”Dengan tekad bulat untuk membenarkan hidupnya dan juga memastikan hidup Bella tercukupi, Rara pun hanya bisa menuruti perintah sang kakak. Walau sejujurnya, dia ragu apakah kemampuannya masih bisa digunakan.
Permintaan Arjuna membuat suasana di lobi menjadi menegang. Semua orang langsung memusatkan perhatian kepada sosok Rara, bertanya-tanya apa sebenarnya identitas wanita itu beserta apa hubungannya dengan Arjuna.“Mungkinkah … wanita itu calon Tuan Arjuna yang baru?”“Cantik sih memang … jadi iri ….”Komentar-komentar itu membuat Rara merasa tidak nyaman. Dia pun menarik lengan pakaian Arjuna lagi.“Kak … sudah, jangan diperpanjang ….”Arjuna menautkan alis. “Tidak bisa,” tegasnya. “Yang bersalah harus minta maaf.”Mendengar balasan Arjuna, Rara merasa hatinya tergelitik. Sungguh … sudah berapa lama dirinya dibela seseorang seperti ini?Jujur, Rara jadi terharu.Sementara itu, di sisi Jeny dan Nizam, keduanya tampak marah dan tidak rela. Tangan Nizam bergetar, dia jelas tidak akan sudi minta maaf kepada mantan istrinya itu! Apa lagi saat melihat jelas Rara dan Arjuna saling menggoda di depan matanya!‘Dasar jalang!’ maki Nizam.Akan tetapi, di luar dugaan Nizam, Jeny akhirnya menyatakan
Mendengar ucapan Satria, kedua mata Rara membola. "Kakak, pikirkanlah dengan baik!” sergah Rara. “Posisi presdir bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan sembarang orang, terlebih aku yang tak pernah memiliki pengalaman bekerja."Selain membantu Satria perihal laporan keuangan dulu saat kuliah, Rara tidak sempat bekerja karena dirinya langsung menikah dengan Nizam. Oleh karena itu, wanita itu tidak yakin bisa menjabat dengan baik posisi presiden direktur perusahaan!“Bagaimana kalau perusahaan merugi di bawah pimpinanku?” tanya Rara.Satria menaikkan alis kanannya. "Bukan masalah,” jawabnya santai. “Yang penting dirimu belajar sesuatu.”Rara merasa keputusan Satria terlalu gegabah. Dia pun kemudian menoleh pada Arjuna, mencoba mendapatkan dukungan.Perusahaan Arjuna juga bekerja sama dengan Jaya Corp. Kalau Jaya Corp merugi, maka hal itu akan berdampak pada usaha pria tersebut juga."Kak Arjuna, tolong katakan sesuatu ….”“Aku tidak lihat ada masalah,” sahut Arjuna cepat tanpa keraguan.
Bab 9“Ini pasti ada kesalahan! Mana mungkin saya ditawarkan jadi cleaning service?!” sahut Nizam dengan setengah panik.Jeny yang ada di seberangnya juga tampak bingung."Ini sudah menjadi keputusan direktur Jaya Corp, tidak bisa diganggu gugat." Dari sisi telepon yang lain, terdengar perwakilan HRD Jaya Corp dengan suara yang tegas. "Jika Anda menolak, maka tawaran ini akan diberikan pada orang lain."Mulut Nizam menganga, tentu dia ingin protes dengan keputusan yang menurutnya sangat tidak benar itu. "Tapi, ini pasti ada kesalah–" "Saya menunggu jawaban Anda, satu kali dua puluh empat jam. Terima kasih."Belum sempat membalas, panggilan tersebut telah terlebih dahulu diakhiri, membuat Nizam melongo di tempat.Jeny yang sejak tadi terus mengamati Nizam pun ikut mengerutkan keningnya. "Kenapa, Zam? Kok kamu sebut-sebut cleaning service?" tanyanya.Nizam langsung mengalihkan pandangan pada Jeny. "Kamu yakin ‘kan ketika kita bicara dengan Pak James tadi kita sudah jelas bilang aku mau
“Pak Nizam, Bu Jeny, kita bertemu lagi.”Saat melihat mantan istri yang telah dibuangnya itu tiba-tiba kini berdiri tepat di hadapannya, di ruang presdir Jaya Corp, Nizam spontan mundur satu langkah dengan mulut terbuka. “Rara?!” seru Nizam dengan suara keras, membuat Linda mengerutkan keningnya dengan tidak nyaman, tidak suka nama sang atasan dipanggil langsung oleh pria itu.Tak jauh beda dengan ekspresi yang ditunjukan oleh Nizam, Jeny pun teramat kaget dan sampai membelalakkan matanya. 'Rara lagi?!' batinnya.Hanya saja, berbeda dari Nizam, wanita licik itu lebih mampu mengontrol perasaannya. Dengan agak ragu dia pun bertanya, "Kamu … presiden direktur Jaya Corp?"Otak dua orang itu–Nizam dan Jeny–berputar. Kalau jawaban pertanyaan itu adalah ‘ya’, maka lupakan saja bekerja di perusahaan ini, menginjakkan kaki lagi saja mungkin tidak akan bisa!Akan tetapi, bagaimana mungkin wanita seperti itu bisa menjadi presdir Jaya Corp? Memangnya dia itu putri hilang keluarga kaya!? Nggak m
Suara teh yang dituangkan ke dalam gelas terdengar dalam ruang kantor presdir Jaya Corp yang hening.Jeny dan Nizam tengah duduk berseberangan dengan Rara. Di dekat mereka, sosok Linda tengah menyuguhkan minuman untuk tiga orang tersebut.“Terima kasih, Linda,” ucap Rara setelah minumannya selesai dituang.Di seberang Rara, tampak wajah Jeny dan Nizam agak gelap. Berhadapan dengan Rara dalam posisi seperti ini, membuat Nizam ingin berkata kasar dan mengejek Rara seperti tadi pagi. Hanya saja lelaki itu terfokus pada inti masalah.“Jangan banyak mengulur waktu, Rara. Aku tidak punya waktu untuk dibuang karena harus kembali ke kantor!” celetuk Nizam dengan tidak sabar. “Apa pesan presiden direktur?!”Rara tersenyum tipis, lalu dia pun berkata, "Pesan sang presdir adalah … jika Pak Nizam ingin menjadi manager, maka harus menunjukkan kemampuan terlebih dulu." Dia sudah tidak sudi memanggil mantan suaminya itu dengan panggilan ‘mas’."Main curang dengan rekomendasi buta dan kolusi orang d
"Sial! Kenapa bisa seperti ini sih?!" Di dalam mobil, Nizam memukul setir dengan penuh amarah. "Kenapa wanita itu bisa jadi asisten presiden direktur?! Atas dasar apa?!"Sepanjang perjalanan pulang, Nizam terus menggerutu mengenai sikap Rara dan juga tawaran yang diberikan oleh presdir Jaya Corp. Sementara pria tersebut melakukan tersebut, di sebelahnya, Jeny terlihat melipat tangan dengan wajah serius. Ucapan Rara di ruang sang presdir tadi terus terngiang di otaknya. “Apa Nizam sungguh mencintaimu … atau hanya menginginkan harta dan mendapatkan keuntungan dari dirimu?”Dari detik pertanyaan itu terlontar, jujur saja hati Jeny diselimuti ketidaknyamanan. Bukan hanya karena sosok Rara yang dia kenal dari cerita Nizam jauh berbeda dari aslinya, tapi juga karena ucapan wanita itu menghantui ketenangannya.Diam-diam, Jeny melirik Nizam. Ada sejuta pertanyaan dalam hatinya.Dahulu, Nizam berkata bahwa Rara adalah wanita bodoh dan dekil yang bahkan tidak becus mengurus rumah. Tidak hanya
Mendengar teriakan itu, Rara cukup kaget. Dia sedikit ragu untuk masuk, tapi pada akhirnya tetap memutuskan untuk masuk. Saat itu nampak Satria yang sedang bertengkar dengan sejumlah wanita dan pria paruh baya. Dalam satu kali lirikan, Rara langsung mengenali setiap wajah itu. Mereka semua adalah paman dan bibi dari pihak ibunya!Salah satu wanita paruh baya itu tampak pusing dan memijit pelipisnya, tapi begitu melihat Rara, matanya langsung berbinar. “Rara!?” panggilnya seraya berlari menghampiri Rara dengan mata berkaca-kaca. "Rara, ini kamu, Nak?" Wanita itu nampak meneliti Rara dengan wajah rindu.“Bibi Siska,” sapa Rara dengan senyuman canggung, masih mempelajari mengenai apa yang terjadi.Siska adalah kakak dari mendiang ibu Rara, seorang wanita lembut dan bijak. Rara ingat jelas bagaimana wanita itu satu-satunya orang yang dengan tulus menjaga dirinya saat keluarga ibunya yang lain berperang ingin merebut warisan yang ditinggalkan."Bagaimana kabarmu, Nak?" Rara segera mencium