Buyung Kacinduaan mencoba untuk tenang meski rasa perih laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum di sekujur tubuhnya itu tidak mungkin ia abaikan begitu saja. Akan tetapi, dengan menyadari kaki harimau putih itu yang menahan dadanya, Buyung berpikir, ‘Mungkin saja Inyak ingin menyembuhkan luka-luka di tubuhku.’
Semakin lama berada di bawah permukaan air, semakin membuat sang bocah merasakan dadanya tak sanggup lagi menahan rasa sesak yang ada. Ia merasa paru-parunya harus segera diisi udara yang segar.
Buyung pun akhirnya meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari tekanan kaki sang harimau putih.
Begitu sang bocah merasa tekanan kaki hewan buas itu di dadanya telah berkurang, ia pun segera muncul kepermukaan dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Tapi itu hanya untuk sesaat saja, sang harimau kembali menggunakan kaki depannya itu untuk membuat Buyung Kacinduaan tenggelam ke bawah permukaan air.
Beberapa saat kemudian sang bocah muncul lagi
Buyung Kacinduaan tidak tahu sudah berapa jauh ia memasuki gua itu, sudah hitungan berapa langkah ia menapaki lantai gua yang terasa berbatu-batu tapi juga sekaligus licin itu.Tidak sama sekali.“Inyiak?” panggil sang bocah seraya terus melangkah di tengah kegelapan yang absolut.Bahkan, ketika sang bocah mencoba menoleh ke belakang, ia sama sekali tidak melihat mulut gua. Dan itu artinya, gua itu pastilah berliku-liku, pikir sang bocah.“Inyiak?”Dan kembali terdengar suara lenguhan pendek itu, Buyung mencoba mengingat-ingat dari sudut mana suara itu berasal.Tuk!Buyung menjerit, namun detik selanjutnya ia mengatupkan mulutnya. Ia tidak tahu benda apakah gerangan yang barusan ia tendang itu, tapi yang jelas, ia merasakan sakit luar biasa pada jari kakinya.Hanya saja, Buyung mencoba bertahan untuk tidak sampai jatuh dengan berpegangan ke dinding gua berdasarkan instingnya saja.Sang bocah mungk
“Ap—apa yang harus aku lakukan terhadap makhluk-makhluk ini, Inyiak?” Buyung Kacinduaan mengumpulkan cacing-cacing pipih bercahaya itu di tangan kirinya. Untuk sesaat, Buyung marasa takjub dengan cahaya kebiru-biruan yang terkadang terlihat redup sedang yang lainnya malah terlihat benderang, di telapak tangannya itu. “Inyiak?” kembali padangan sang bocah tertuju pada sang harimau. Harimau putih melenguh pendek satu kali. Dan bocah itu masih tidak memahami apa yang diinginkan sang harimau. Makhluk buas itu mendekati sang bocah, kembali ia melenguh, menyentuhkan batang hidungnya ke tangan kiri sang bocah yang berisi cacing-cacing bercahaya itu. Mungkinkah Inyiak memintaku memakan cacing-cacing ini? gumam Buyung Kacinduaan di dalam hati. Bola mata sang bocah membesar menatap makhluk-makhluk bertubuh lunak di telapak tangannya, dan kembali memandang ke dalam bola mata sang harimau yang memantulkan cahaya biru dari cacing-cacing yang ada di
Sang bocah terlihat hening, tidak ada pergerakan sama sekali dari tubuh yang menelentang di permukaan air itu, tidak pula gerakan dada sebagai penanda ia masih hidup.Tidak sama sekali.Sepasang mata itu memang terbuka, bahkan tidak berkedip sama sekali. Tidak ada pergerakan di sana. Pupil mata itu terlihat membesar.Detik selanjutnya, seiring pupil mata itu kembali ke ukuran semula, sang bocah seperti baru saja bangkit dari kematian. Ia menghela napas sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya.Namun, justru hal itu membuat dia terbatuk-batuk. Buyung Kecinduaan bangkit, terbatuk-batuk lagi. Lalu…Hoeck!Ia muntah. Muntah sebanyak-banyaknya di aliran air tersebut. Meski ia merasakan perutnya melilit disebabkan karena perut itu kosong dan kini harus kembali muntah-muntah, tapi ia tidak peduli. Sang bocah terus saja mengeluarkan muntahnya.Ia tidak dapat memastikan warna muntahannya itu sebab ruangan di dalam gua itu tidak memili
Mata yang terpejam itu bergerak-gerak, lalu perlahan kelopak mata itu terbuka. Buyung Kacinduaan berdiam diri untuk sesaat. Dan setelah semua kepingan peristiwa kembali memenuhi ingatannya, barulah bocah tujuh tahun itu bangkit. Ia meringis, merasakan seluruh persendian di tubuhnya seolah lepas.Ia begitu lemah dengan perut yang kempis. Terduduk berselonjor kaki di atas tanah berumput tebal.Sang bocah mengingat jelas rentetan peristiwa menyakitkan yang ia alami. Mulai dari kedatangan Darna Dalun ke rumah orang tuanya itu, lalu terjadi pertikaian, satu per satu penghuni rumah yang roboh ke tanah, ia yang harus melarikan diri bersama ibunya yang sedang hamil besar. Sampai pada kejadian di tebing ngarai, ia yang menyaksikan sang ibu jatuh, lalu ia sendiri pun terjatuh.Kemudian ia bertemu dengan harimau besar yang ternyata berwarna putih dengan matanya yang biru terang. Dibenamkan ke dalam sungai hingga berkali-kali, dan terakhir, yang ia ingat ad
Buyung Kacinduaan kembali meneruskan untuk memanjat tebing berbatu-batu itu. Semakin ke atas, jumlah bebatuan itu semakin berkurang. Di satu titik, sang bocah kesulitan untuk terus merangkak naik sebab rumpun semak belukar yang lebat di hadapannya menghalangi langkahnya. Teringat lagi akan peristiwa ia yang bergelantungan pada tanaman kerakap yang menjalar di tebing sisi timur malam itu, Buyung pun mengurungkan niatnya untuk mencengkeram semak beluar itu sebagai pegangannya. Tidak, pikirnya. Rumput-rumput ini pasti akan licin di tanganku. Ia menelan ludah. Di sisi kanan, ia melihat tonjolan batu besar, dan segera sang bocah merayap ke sisi kanan itu. Buyung mencoba naik ke atas tonjolan batu besar tersebut. Bersusah payah sang bocah mencoba, namun akhirnya ia terpeleset sebab tangan dan kakinya yang belepotan tanah kuning basah. “Inyiak…!” Buyung berteriak kencang. Tubuh bocah tujuh tahun itu mengelinding, membentur bebatuan yang
Kedua wanita itu semakin merasa terintimidasi sebab dugaan mereka ternyata benar, pria gagah itu bukan orang sembarangan. Kenyataanya, dia utusan dari Kerajaan Minanga, itu artinya, dia adalah salah seorang Hulubalang Kerajaan[1].Kembali keduanya menjatuhkan diri, berlutut di hadapan pria gagah berbaju panghulu warna hijau itu.“Amak Tuo,” ujar sang pria, dan lantas mengangkat wanita tua di hadapannya itu untuk kembali berdiri. “Berdirilah, tidak usah sungkan terhadapku.”“Maafkan kami yang tidak tahu budi bahasa.”“Tidak,” ujar si pria sembari tersenyum, “aku tidak pantas,” lalu ia memandang sang gadis yang masih berlutut di samping wanita tua itu. “Berdirilah.”Sang gadis mengangguk dan lantas berdiri di samping ibunya.“Upik,” ujar wanita tua itu kepada anak gadisnya. “Ambilkan air untuk Tuan Hulubalang.”“Tidak,”
Sang gadis menggeleng, menghela napas dalam-dalam, menundukkan pandangannya. Dan pria itu, sepertinya tak hendak memaksa gadis tersebut alih-alih wanita tua di samping sang gadis.“Senja kemarin,” kata sang gadis itu kemudian. “Orang-orang bilang bahwa ada yang berkelahi di rumah Sialang Babega. Tapi…” sang gadis memberanikan diri menatap wajah gagah bermata teduh di hadapannya itu. “Tidak ada yang berani mendekat.”Sang pria menghela napas dalam-dalam, ia bisa memaklumi hal itu. Bukankah penduduk jorong ini kebanyakannya adalah petani biasa? Pencari kayu bakar?Ya, tentu saja mereka akan ketakutan jika perkelahian itu melibatkan Sialang Babega sendiri. Itu artinya, bukan jenis perkelahian biasa. Paling tidak, inilah yang dipikirkan si Hulubalang Kerajaan itu.“Rumahnya dibakar orang, kami hanya bisa melihat dari tempat yang jauh.”Yaah, itu sudah pasti, pikir pria tersebut. Dengan kenyataan ba
Harimau putih besar bermata sebiru laut di siang hari itu masih berdiri di sana. Kepalanya merunduk memandangi bocah tujuh tahun yang perlahan-lahan merayap di dinding tebing yang sedikit lebih landai. Sembari mengawasi, ekornya yang panjang bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri dengan sangat perlahan, seakan-akan ia sedang bersiaga dengan apa yang akan terjadi di bawah sana.Kembali ia melenguh pendek seolah memberi kata semangat pada Buyung Kacinduaan.Sang bocah merayap sejengkal demi sejengkal. Dua tangan dan kakinya telah terlihat sangat kotor oleh tanah kuning, begitu pula dengan celana komprang hitamnya.Meski sebelumnya ia sempat terpeleset lalu berguling jatuh dan terhempas hingga menyebabkan satu tulang rusuk di bagian kanannya patah, namun ia tetap bersikeras untuk bisa mencapai ketinggian tebing tersebut.Tubuh kecil itu semakin basah oleh keringat yang memercik dari setiap pori-pori yang ada di tubuhnya. Dan Buyung Kacinduaan c