Share

03. Suara Dari Gudang

Yosihara tidak menyangka jika satu keinginan sederhana yang selalu dipanjatkan di kuil sudah terkabul. Sudah terbaring pujaan hatinya di rumah Tuan Ikada, karena gadis ini. Kadang Yosihara masuk kedalam kamar hanya memastikan sang gadis baik-baik saja dalam artian masih menghembuskan napas di saat tak sadarkan diri. Balutan perban di badan tidak mengurangi kecantikannya, rambut hitam terurai sama seperti yang dilihat terakhir kali di sungai. Coba-coba, Yosihara mengelus rambut pelan dan menciuminya dengan lembut. Habis penasaran dengan rambut, dia mulai berani mencium pipi kiri pelan-pelan, adrenalinnya menguar raga kala mengecup bibir merah ranum dengan lembut. Yosihara benar-benar menghentikan perbuatannya saat sang pujaan hati melenguh tanda mulai sadar, mata indahnya perlahan terbuka—melihat setiap sudut rumah yang begitu asing bagi si gadis. Keterkejutannya mulai menjalar ketika si gadis saling tatap ke arah Yosihara yang dari malam setia menemani. 

“Akhirnya, kau sudah sadar. Biar kupanggil ibuku dulu,” ucap Yosihara. 

“Siapa kau? Di mana aku” tanya Mirae ketakutan. 

“Di Kuromori, kemarin malam kau terluka dan pingsan. Jadi aku membawamu kesini.” 

“Kuromori!” Mirae terperanjat, segera dia bangkit dari futon, namun rasa sakit membuatnya meringis dan hampir jatuh ke samping jika saja Yosihara tidak menangkapnya. 

“Berbaringlah dulu, keadaanmu masih lemah.” 

“Aku tidak lemah! Minggir, aku mau pulang!” Ingin sekuat apapun tenaga yang dimiliki Mirae, tidak akan sanggup melepaskan pelukan erat dari pria asing. Tetapi ada perasaan muskil saat badannya dipeluk seperti ini—sebuah rasa nyaman yang hilang di masa lalu dan sempat Mirae rasakan sejak kelahirannya di dunia sampai dia kehilangan. 

“Ada apa ribut-ribut? Astaga kalian berdua!” Sepertinya Yosihara harus menjelaskan kepada Nyonya Ikada yang baru masuk tadi tanpa mengetuk pintu. Melihat dua sejoli tengah berpelukan, membuat beliau menghampiri mereka dan mencubit lengan Yosihara si pelaku. 

“Apa yang ingin kau lakukan pada gadis ini, Yosihara? Jangan seperti bedebah itu!” tegur Nyonya Ikada. "Ayo anak cantik, duduklah kembali, biar ibu memeriksa lukamu. Dan kau Yosihara, pergilah! Kau belum pantas melihat tubuh gadis ini. Bersabarlah barang seminggu!" 

Kikuk. Yosihara memilih patuh sebelum Nyonya Ikada melemparnya dengan barang yang ada di kamar ini. 

Pelan-pelan Nyonya Ikada membuka perban. Sebelum menggantikannya dengan perban yang baru, obat herbal dibalur ke bagian luka sehingga Mirae meringis menahan perih. Ditunggu beberapa menit agar obat meresap sempurna. 

“Yosihara sudah menceritakan tentang dirimu.” Nyonya Ikada memulai percakapan agar suasana tidak hening itu juga untuk mengalihkan Mirae dari rasa sakit. “Bagaimana secara diam-diam dia mengagumi dirimu, dan bagaimana pula dia menceritakan hingga kau terluka seperti ini. Tenang, para pria bejat itu sudah diberi teguran dari Tuan Ikada berupa memotong kesemua ibu jari, baik di tangan maupun di kaki. Kau tahu kenapa ibu jari yang dipotong?” 

Mirae menggeleng. 

“Mereka telah melukai wanita yang suatu saat akan menjadi seorang ibu atau seorang ibu itu sendiri. Hingga ibu jari di tangan mereka tidak pantas melekat ditubuh.” 

“Lalu, bagaimana jika mereka tidak kapok?” tanya Mirae. 

“Akan ada sanksi lain jika mereka tidak kapok.” 

“Kalau begitu, pria yang memelukku tadi akan diberi sanksi berupa potong ibu jari?” 

“Tidak.” 

Mata Mirae membelalak mendengar jawaban Nyonya Ikada. “Kenapa? Apakah karena dia putra Nyonya?” 

Ada jeda sebentar sebelum Nyonya Ikada melanjutkan ucapannya. “Seminggu lagi hari pernikahanmu dengan Yosihara. Rupanya anak itu benar-benar serius denganmu. Aku berterima kasih kepada Dewa, akhirnya pintu hatinya terbuka. Biasanya Yosihara selalu menolak lamaran setiap gadis dan itu membuatku khawatir.” 

Mirae terkesiap jika dia dibawa kemari untuk dinikahkan oleh pria yang sudah sembarangan memeluk dirinya dan Mirae tidak tahu jika selama dirinya pingsan, perbuatan Yosihara lebih dari memeluk. “Tapi ... saya belum siap.” 

“Ini sudah tradisi, bujang yang membawa wanita dari marga Makigara maupun marga lain, berarti si bujang sudah siap untuk menikah. Soal mengenal satu sama lain, itu bisa berjalan sambil menjalani hidup berumah tangga.” 

“Ini mendadak! Nyonya, tolong undur pernikahan kami. Jika bisa batalkan saja!” 

“Jangan panggil aku Nyonya, panggil aku Ibu. Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau menolak keinginan Yosihara?” 

Mirae terdiam. Walau berasal dari Makigara, dia sudah tahu tindak tanduk pria Kuromori yang tidak segan membentak dan main fisik kepada wanita, terlebih jika wanita itu melawan kehendak pria. 

“Tenang saja, Yosihara sudah kudidik tidak seperti pria bedebah. Apalagi itu juga keinginan ayahnya, sebab suatu saat dia akan menjadi tetua marga.” 

“Tetua marga?” 

“Iya Mirae, kau akan sepertiku. Menjadi istri tetua marga, beruntung bukan?” 

Mirae dilema, menjadi istri Yosihara sekaligus Nyonya dari marga Kuromori. Apakah ini akan menjadikan dirinya pengkhianat? 

“Ngomong-ngomong, kau masih memiliki orang tua?” tanya Nyonya Ikada. 

Mirae menggeleng, orang tuanya sudah meninggal. Ayah dibantai oleh Kuromori dan ibu jatuh sakit akibat trauma melihat penompang keluarga kecilnya sekarat di depan mata. Nyonya Ikada tidak lagi menyinggung orang tua Mirae sebab sudah tahu sedihnya dari gelengan kepala tadi. 

Setelah selesai mengobati luka pada tubuh Mirae, Nyonya Ikada keluar untuk mengambil beberapa kimono dan yukata yang dipakai sewaktu dirinya masih gadis dan menyimpannya secara baik-baik pula ketika sudah tak terpakai. Kini, baju itu dia berikan kepada Mirae. 

“Pakai baju ini,” ucap Nyonya Ikada sambil menyodorkan pakaian. 

“Apakah ini tidak berlebihan. Maksud saya, Ibu begitu baik.” 

“Ini tidak berlebihan, kau kan kemari tidak membawa baju. Semoga baju ini terpakai dan pas di badan.” 

“Terima kasih Ibu.” 

“Satu hal lagi sebelum Ibu benar-benar pergi meninggalkanmu. Jika besok kau sudah sehat, alangkah baiknya kau berbaur dengan warga sini. Kasami, Isae, dan calon suamimu yang akan menemanimu.” 

Kasami. Satu nama yang tidak begitu asing bagi Mirae. Kasami yang selalu dia tolong lalu akrab setelahnya, Kasami yang selalu meminta lobak, dan Kasami yang menanyakan baju hanyut. Mirae segera memakai baju yukata pemberian Nyonya Ikada dan sebagian disimpan. Di kamar ini ada dua pintu. Pintu pertama sebagai keluar masuk ruangan dan pintu kedua sebagai akses ke beranda rumah. Mirae membuka pintu yang menuju beranda rumah. Dia sendiri yang akan pergi dari sini, tapi sebelumnya dia harus menemui Kasami sebagai umpan melarikan diri dengan cara menemaninya ke hutan atau Yosihara untuk membatalkan pernikahan mereka. Hatinya berdegup kencang mengingat dia tidak pernah memberontak seperti ini. 

Ini masih terbilang pagi dengan sinar kala Mirae ke luar kamar, berarti dia bisa memaksakan tubuhnya keberadaan Kasami. Beruntung ada segerombolan gadis muda sepantarnya yang bisa ditanya oleh Mirae. Seperti seorang penyamun segerombolan gadis ini menurut Mirae, pertama kali disapanya, mereka menyambut sekaligus langsung tahu identitas dirinya. 

“Kau dari Makigara, kan? Selamat datang.” 

“Ini calon istrinya Tuan Muda Yosihara? Cantiknya. Aku jadi iri.” 

Mirae kewalahan oleh sambutan dari segerombol gadis ini berikut dengan warta yang menyebar cepat jika dia seorang gadis Makigara yang akan dinikahkan oleh putra tetua marga mereka. 

“Kak Mirae, sudah sembuh?” Seorang remaja berusia dua belas tahun dengan rambut sebahu menyapa dirinya, syahdan Mirae menoleh ke kanan—sudah berdiri orang yang dia kenal dan dicarinya selama ini. Dengan senang, remaja itu menghampiri Mirae dan memeluknya sebagai tanda selamat datang. “Aku sangat senang Kak Mirae ada disini.” 

“Aku juga senang,” ucap Mirae dan melepaskan pelukan kala segerombolan gadis sebaya dirinya pamit untuk mencuci setelah teman yang mereka tunggu datang bergabung. 

“Jangan kaku begitu, Kak.” Kasami menegur Mirae. “Suatu saat Kak Mirae akan terbiasa tinggal disini. Dan pastinya Kak Mirae menjadi Nyonya Muda disini.” 

“Nyonya Muda! Jadi pernikahan itu .... Kasami, kenapa berita ini bisa menyebar?” 

“Hehehe .... aku dan Isae yang menyebarkannya. Jangan bilang-bilang Kak Yosihara, ya.” Pantas ulah Kasami hingga Mirae menjadi buah bibir orang sini. 

“Kasami, temukan aku dengan Yosihara!” 

“Untuk a–” 

“Cepat Kasami! Aku harus berbicara kepadanya!” 

Jika itu perintah dari Yosihara untuk dijadikan dia sebagai istri memang benar adanya setelah Kasami menunjukkan sebuah rumah dan mengetuk pintu tanda permisi hingga si pemilik rumah tahu bahwa remaja ingusan ini sudah menjadi dayang bagi Mirae. Yosihara menyeret masuk Mirae dan menutup pintu tanpa peduli Kasami yang melongo di luar. Perhentian mereka adalah di dalam kamar Yosihara yang begitu acak-acakan. Kertas gulung yang diberikan oleh pamannya sebagai bacaan waktu luang tergeletak dimana-mana. Futon tampak tak dilipat oleh pemiliknya. Melihat kamar pecah belah membulatkan tekad Mirae agar tidak menikah dengan pria yang tidak menyukai kerapihan. 

“Apa yang membuatmu kemari? Minta dipeluk lagi?” tanya Yosihara menyebabkan Mirae semakin sebal dengan pria ini. 

“Yosihara kumohon, batalkan pernikahan ini.” Sebisa mungkin Mirae berhati-hati dengan ucapannya sebab posisi dirinya yang menyandar di pintu dan Yosihara menahan Mirae dari depan. Sorot mata tajam Yosihara membuat nyali Mirae ciut seketika. 

“Kenapa? Bahkan aku belum tahu namamu.” 

“Mirae. Sekarang kau sudah tahu namaku, jadi biarkan aku pergi ke Makigara. Ingat ini Yosihara, walau aku yatim piatu disana, aku akan tetap tinggal karena itu adalah tanah kelahiranku.” 

“Menarik. Aku berharap suatu saat anak cucu kita akan mengingat tanah kelahiran ini sama sepertimu.” 

“Apa maksudmu Yosi–” 

Yosihara membekap mulut Mirae. Dilucuti pakaian sang gadis satu per satu dengan ganas. Tubuhnya mengikuti cumbuan yang diberikan Yosihara pada tubuhnya. Andai Tuan dan Nyonya Ikada tahu putranya sedang bercumbu sebelum perayaan pernikahan dimulai, mungkin Mirae segera dipulangkan ke tempat asalnya dan untuk Yosihara mungkin akan diusir dan mengangkat Isae sebagai pengganti Yosihara. 

*** 

Maksud hati Isae ingin hantarkan makanan dari Pak Haede untuk Pak Rogiku yang sakit, naga-naganya beliau sedang tidak ada di rumah—memaksakan diri berkebun dengan perban masih menghiasi leher. Hanya ada seorang wanita berpeluh banyak sebab pekerjaan rumah yang tiada habisnya. 

Selesai menghantar makanan, Isae ingin menemui Tuan Ikada untuk undur diri menjadi pria Kuromori yang haus akan peperangan dan mungkin tumbuh menjadi pria lemah. Suara barang jatuh berasal dari gudang yang tidak terpakai sangat menarik bagi Isae untuk dijumpa daripada rumah sang tetua marga. Semakin Isae mendekat semakin jelas suara gaduh berupa tawa pelan nan berat dari pria yang terhitung lebih dari satu orang, terkadang dibarengi rintihan wanita, jelas itu mengusik rasa penasarannya. Dia berhati-hati melangkah agar tidak terkena ranting atau apapun yang bisa menimbulkan suara agar orang di dalam tidak kabur, tapi panggilan Yosihara dipastikan yang di dalam gudang bekas terdiam sama dengannya Isae yang tidak lagi melangkah ke gudang melainkan ke Yosihara. Bagi Isae, mengganggu Yosihara dengan berbagai pertanyaan nyeleneh lebih utama dibandingkan suara misterius dari gudang. 

“Kak Yosihara, kenapa rambutmu berantakan?” tanya Isae. 

“Itu–” 

“Yosihara.” Mirae yang berdiri di ambang pintu sambil memanggilnya lemah lembut lebih penting dibanding Isae yang menanyakan rambutnya. Gadis itu mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Yosihara. “Tepati janjimu.” Syahdan Mirae kembali ke rumah tetua marga yang terpisah lima petak, menghiraukan jeritan hati rindu milik Yosihara. 

“Itu Kak Mirae yang sering Kasami ceritakan?” Isae kembali bertanya. 

“Iya, cantik bukan?” Yosihara malah balik bertanya berharap jawabannya sesuai dengan yang dia mau. 

“Tidak, lebih cantik ibuku!” 

Yosihara mendengkus kesal. “Ada apa kau ke gudang itu?” 

“Aku mendengar suara dari gudang itu. Suara orang tertawa dan rintihan.” 

Sekilas di mata Yosihara tidak ada yang aneh dengan gudang bekas, tertutup rapi seperti biasanya. 

“Jangan bercanda Isae.” 

“Sumpah, aku dengar! Kalau tidak percaya, ikuti aku!” Susah payah Isae menarik lengan Yosihara yang masih bergeming dan menerka jika itu hanyalah akal-akalan Isae agar dia bisa mengganggunya. 

“Ayolah! Aku serius!” ucap Isae sekali lagi. Yosihara menyerah, lebih baik mengabulkan permintaan anak keras kepala nan iseng agar rasa penasaran pada remaja ini tuntas dan tidak mengganggunya lagi. 

“YOSIHARA!” Siapa yang tidak takut kepada Nyonya Ikada jika sudah berteriak marah seperti itu tak terkecuali Yosihara sebagai anak. Jika sang Nyonya marah, maka wejangan lima hari berturut-turut harus di simak tanpa bosan, mulai dari permasalahan masa lampau dan masa sekarang di absen seingat Nyonya Ikada. “KEMARI! TERMASUK YOSIHARA!” 

Andai Mirae tidak ketahuan ke luar dari kamar dan memberitahu jika dia ke rumah Yosihara dan andai Nyonya Ikada tidak menuntut Mirae untuk lengkap menceritakan apa saja yang terjadi dengan dirinya di rumah Yosihara, mungkin telinga Yosihara tidak dicemari wejangan. 

“Sudah aku bilang harus bersabar barang seminggu. Kenapa kau tergesa-gesa, Yosihara? Kau juga Mirae, kenapa kau tidak cubit lengan Yosihara saat itu? Aku sangsi jika ayahmu yang mengajari ini,” papar Nyonya Ikada. 

“Maaf. Ibu, saya takut,” lirih Mirae. 

“Kak Yosihara sama Kak Mirae kenapa?” tanya Isae penasaran. Dia tidak begitu paham dengan kata 'menunggu' dan 'tergesa-gesa', sampai Mirae pun meminta maaf dan Nyonya Ikada marah besar. 

“Kau makan saja yang banyak, Isae! Sudahlah istriku, masalah ini jangan diperbesar. Dulu kita begitu, kan?” timpal Tuan Ikada. 

“Jadi benar kan, kau yang mengajarinya, Ikada?” tanya Nyonya Ikada penuh tekanan di setiap ucapannya. “Kau harus menjelaskannya nanti malam! Isae, ayo ke dapur. Ada makanan untukmu dan Kasami.” 

Sang Nyonya masuk ke dapur bersama Isae. Tinggal sepasang kekasih dan pria tua di ruang keluarga. 

“Nyonya Ikada marah, dan ini salahku,” lirih Mirae. 

“Ini bukan salahmu, Mirae,” ucap Tuan Ikada, “Lebih baik akan kuceritakan kisah asmara pria tua ini bersama bidadari yang telah menemaniku selama ini. Waktu kami masih muda, kami pun sama seperti kalian. Kami pasangan yang dimabuk cinta kala itu, kami saling menginginkan satu sama lain sampai kedua orangtua kami tidak tahu apa yang diperbuat anaknya. Untung saja kedua orangtua kami merestui hubungan kami sehingga rahasia itu  tertutup rapat dengan apiknya. Tapi tidak dengan Dewa. Perbuatan kami dibalas dengan dua kali keguguran dan kami memutuskan mengadakan ritual pengampunan di kuil. Waktu itu hanya Hayade yang sudah tahu rahasia kami sehingga Hayade secara sembunyi-sembunyi membawa kami ke kuil dan tetua kuil disini. Berselang satu bulan, akhirnya kami mendapatkan satu putra, hanya satu saja. Rupanya kandungan ibumu sudah lemah. Jika dipaksa hamil pun akan keguguran kembali atau yang lebih menakutkan adalah kematian. Yosihara, Mirae. Pergilah ke kuil. Minta pengampunan.” 

Hening. Tiga orang ini tengah menempatkan rasa penyesalan di hati masing-masing. 

“Terima kasih Nyonya Ikada! Tuan Ikada aku pulang dulu!” Hanya seruan Isae yang mampu mencairkan keadaan kembali. 

“Isae, tunggu dulu!” Cegat Tuan Ikada. 

“Ada apa Tuan Ikada?” 

“Yosihara, Mirae, dan aku, akan pergi ke kuil. Kau juga harus ikut ya, untuk mendoakan mendiang ibu dan ayahmu. Apa kau tidak merindukan mereka?” 

“Akan aku usahakan nanti. Oh iya Tuan Ikada, aku lupa. Tadi aku mendengar suara aneh di gudang.” 

“Suara aneh?” heran Tuan Ikada. 

“Iya. Suara tawa dan rintih kesakitan. Tadinya aku dan Kak Yosihara ingin memeriksa, tapi Nyonya Ikada memanggil.” 

“Suara tertawa dan merintih seperti apa yang kau maksud?” 

“Laki-laki yang tertawa dan ..... aku tidak tahu laki-laki atau perempuan yang merintih, kadang ada laki-laki yang merintih seperti perempuan, kan? Atau jangan-jangan ... hantu. Apakah desa ini sudah di kutuk?” 

“Jaga bicaramu. Mana ada hantu siang begini! Lebih baik kau segera menyimpan makananmu ke dalam rumah. Aku paksa kau harus ke kuil untuk berdoa, Isae. Cepat, sebab Yosihara ingin ke Makigara untuk berziarah ke makam orangtua Mirae.” 

Dari apa yang dilihat dan didengar Mirae, rupanya Isae bukan sanak saudara dari keluarga ini. Apakah mereka mengurus Isae sebab kehampaan karena hanya memiliki satu anak? Dan anak itu sudah tumbuh dewasa sehingga tidak ada lagi yang bisa diperlakukan layaknya anak kecil. 

*** 

Sudah tahu jika berjaga malam dilarang minum sake agar kewarasan tetap terjaga hingga terbit fajar. Alangkah bodoh dua pria dewasa ini yang tengah berjaga—terbujuk rayu oleh remaja tengil agar ikut-ikutan teler disertai racauan tak jelas lantas tertidur tanpa sepengetahuan Tuan Ikada, atau Tuan Ikada sudah tahu dan lelah memarahi mereka. Ichida dan Isae tentu memanfaatkan momen ini untuk berjalan pelan menuju gudang yang kata Isae muncul suara aneh. 

“Kau serius?” Ichida telah mengatakan ini ketiga kalinya. 

“Aku serius, ada suara aneh di dalam gudang, lihat aja nanti!” tegas Isae. 

“Kenapa mengajakku? Kenapa tidak Tuan Ikada atau Kak Yosihara?” 

“Tuan Ikada tidak percaya denganku. Kak Yosihara percaya sih, tapi keburu lelah sehabis ke Makigara untuk menemani Kak Mirae berziarah.” 

“Oh.” 

"Nah, sudah sampai! Silahkan pasang pendengaranmu cermat-cermat." 

Gudang bekas tidak terlalu luas maupun tidak terlalu sempit ruangnya. Dahulu gudang ini berfungsi sebagai penyimpanan senjata dan tak terpakai seiring terjadinya pencurian serta orang-orang yang mulai menyimpan senjata di dalam rumah, serta aturan tidak merampas senjata musuh. Ichida dan Isae menempelkan telinga ke pintu gudang yang terkunci dari luar dan tidak tahu siapa pemegang kunci sesungguhnya. Dua remaja ini berdiam lama di situ. Tidak ada suara yang seperti Isae katakan. Hanya suara jangkrik saja yang terdengar. 

“Katamu ada suara, tapi mana buktinya?” protes Ichida. 

“Tadi siang aku mendengar sayup-sayup suara itu dari dalam sini,” elak Isae. 

“Bohong! Kau ingin menipuku, kan?!” 

“Sungguh aku—” 

“Tolong!” Walau terkesan lirih, suara itu sangat jelas dari dalam sana. Membuat dua remaja ini terkejut dan menghentikan perseteruan kecil mereka. 

“Siapa di sana?” teriak Isae. 

Jawaban dari dalam gudang hanya meminta tolong, kali ini begitu lantang diselingi tangisan. Dari sini mereka tahu, sudah terjadi peristiwa penyekapan dan korbannya lebih dari satu. Reflek, dua remaja ini dengan nekatnya mendobrak pintu gudang yang sudah jelas mereka tak kuasa membuat pintu itu runtuh, malah membuat suara keributan lain yang mengganggu Tuan Ikada dan para bujang yang duduk-duduk di beranda rumah. 

“Kalian berdua sedang apa?!” teriak Tuan Ikada serta protes dari para bujang yang terganggu waktu bersantainya oleh dua remaja tengil. 

“Tuan Ikada, ada orang di dalam gudang!” panik Isae 

“Itu benar Tuan, ada orang di dalam gudang!” sahut Ichida agar pria dewasa disekitaran mereka percaya. 

“TOLONG! SIAPAPUN, TOLONG KAMI!” Ditambah dengan teriakan di dalam gudang, maka cukup membuat para pria dewasa percaya dan segera mendobrak pintu gudang. Keributan di malam ini juga mengundang orang-orang yang di dalam rumah segera ke tempat kejadian sehingga menimbulkan kerumunan. 

Di dalam sana, ada tiga wanita dengan pakaian koyak, tangan diikat ke belakang sedangkan kaki dipasung, jika diamati ada darah kering di paha dalam—para wanita ini rupanya habis direnggut kehormatannya secara paksa. Bekas sake berantakan dimana-mana membuat sang Tuan Ikada geram dan menyuruh diadakan pengadilan atas tindakan ini, sedangkan tiga wanita di boyong oleh wanita Kuromori lain ke rumah Tuan Ikada biar Nyonya Ikada dan Mirae merawat mereka. 

Pagi ini lebih mencekam dari malam kemarin. Sudah ada enam orang pria sebagai tersangka—berhasil ditangkap karena tiga wanita korban pemerkosaan hapal betul wajah dari setiap pelaku. Tiga pria sudah beristri dan tiga pria masih melajang, sudah siap dieksekusi dengan enam algojo berbadan besar nan menyeramkan sebagi pemandu mereka menuju maut. Cambuk yang digenggam para algojo seperti menyeringai ke arah enam orang ini, meronta-ronta minta darah yang menetes di setiap cambuknya. 

Walau ketua algojo sudah tahu sampai kapan anak buahnya menyiksa, tidak ada salahnya menanyakan ini kembali. Siapa tahu Tuan Ikada berubah pikiran. “Tuan, sampai mana anak buah saya menghukum enam orang ini?” 

"Sampai mati," jawab Tuan Ikada dingin. 

Ketua Algojo tersenyum dan menyuruh enam anak buahnya mulai melaksanakan tugas. Tangisan keluarga pecah begitu saja diselingi suara pacut, teriak kesakitan, dan sorak sorai. Sebagian warga di desa ini memilih bersembunyi di masing-masing rumah sambil memeluk erat anaknya yang masih kecil agar tidak melihat.  Lolongan para tersangka bagai siksa para pendosa di neraka. Tidak ada yang berani melihat ini, bahkan orang-orang yang ikut menyaksikan harus repot-repot menutup mata, lalu di buka lagi kelopak mata mereka untuk menyaksikan selanjutnya yang terjadi, dan tertutup lagi kala hal ngeri menjalar di sanubari mereka. Tetapi, gadis berani nampak menikmati suguhan itu dengan bibir tersenyum, membuat Ichida yang terpisah oleh tiga baris dari orang dewasa di sebelah kiri turut merinding dengan sikap gadis yang tidak normal bagi sebagian orang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status