Bolehkah aku bilang bahwa hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan? Karena seorang Arman, mantan pacarku tiba-tiba saja menelpon dan bilang bahwa dia ingin bertemu denganku karena ada sesuatu penting yang mau disampaikan.
Entah aku yang merasa berlebihan atau apa, yang jelas aku berfikir Arman ingin bertemu denganku karena dia ingin memperbaiki hubungan kami yang sempat kandas di tengah jalan.
Tanpa menunggu waktu lama lagi, lima menit setelah Arman memutus teleponnya, aku segera keluar dari rumah untuk menemui Gojek yang sudah menungguku.
Sesuai dengan permintaan Arman, dia ingin kami bertemu di tempat yang dulu sering dijadikan tempat kencan. Adalah kaffee lovely, tempatnya dekat SMA Satu.
Tiba di kaffee aku mencari-cari sosok Arman. Katanya dia sudah datang lebih dulu. Ketika aku menoleh kearah kanan, kulihat Arman melambaikan tangan padaku. Aku segera menghampirinya dan duduk didepannya. Dia ternyata sudah memesankan minum untukku, sebuah capucino cincau sudah tersaji dimeja.
Astaga! Wajah Arman... Kenapa jadi semakin tampan?
“Hai,” dia menyapaku setelah beberapa detik saling terdiam karena belum bisa menyesuaikan.
Kubalas dengan senyuman manis. Biarpun dia mantan terbenciku, tapi aku masih mengharapkannya. Bagaimanapun juga dulu dialah yang selalu membahagiakanku. “Jadi, kamu minta kita ketemuan, ada hal penting apa?”
Arman ikut tersenyum. Sepertinya tangan kanannya sedang merogoh kantong jaket kulitnya. Saat tangan itu keluar, dahiku mengerut melihat kertas berbungkus plastik di tangannya. Dia meletakkannya di dekatku. “Aku akan menikah.”
Sekarang mataku sudah melotot tidak percaya. Jadi ini yang dia anggap penting? Sampai-sampai dia memohon padaku? Tanpa sadar tanganku terangkat, menyentuh sisi hatiku yang kini sudah berdenyut kesakitan akibat pengakuannya.
Rupanya Arman setega itu meninggalkan aku dengan menikah bersama orang lain. Dulu, saat kuminta dia untuk sesegera mungkin menikahiku, dia bilang umurnya masih muda dan belum niat menikah. Tapi apa sekarang? Bahkan usianya baru menginjak 22 tahun.
Aku menghela napas beberapa kali untuk menahan isak di depan mantan pacarku. Dia tidak boleh melihat kerapuhanku yang diakibatkan olehnya. Dia tidak boleh melihatku menangis. Karena tangisku mungkin akan menjadi bahagianya. Dan aku tidak sudi dia bahagia diatas penderitaanku.
Beberapa detik terdiam sekedar terpenjarat mendengar pengakuannya, aku mulai menyesuaikan diri kembali. Kuambil kertas undangan itu dan membukanya.
Arman akan menikah seminggu lagi. Dia akan melangsungkan pesta pernikahannya di hotel berbintang milik keluarganya sendiri. Aku akan datang di pestanya dan jika hati ini masih bisa bertahan untuk tidak menangis, aku akan menyumbang lagu Kandas di pestanya.
“Kamu bisa datang kan?” tanyanya. Dia sama sekali tidak melihat raut sedihku sehingga berani bertanya pertanyaan menyakitkan itu.
Kepalaku mengangguk.
Saat aku mengangkat kepala menatapnya, dia sudah menyunggingkan senyum manisnya sambil berkata, “Bawa undangannya, agar bisa masuk kedalam.”
Lagi-lagi aku hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. Mulutku seolah terkunci, tidak bisa berkata-kata.
“Yaudah, aku harus ke butik untuk fitting baju. Aku tunggu kedatanganmu, Na.” dia beranjak dari duduknya dan meninggalkanku seorang diri di kaffee.
Saat itu juga aku menumpahkan semua air mata yang sempat kutahan. Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli para pasang mata yang menatapku ngeri karena menangis sambil meraung-raung seperti anak kecil. Setelah dirasa sudah cukup lega, aku menghapus air mata menggunakan bahu kanan sambil berusaha memainkan ponsel untuk memesan ojek online.
***
Kutatap lekat-lekat kertas undangan pernikahannya Arman dan calon istrinya, bernama Emily. Ada foto keduanya di sampul undangan, membuatku semakin ingin menangis lagi dan lagi. Tetapi aku tahan terus air mata ini. Aku harus move on! Karena sudah tidak ada lagi yang bisa kuharapkan dari Arman. Dia akan segera menikah dan menjadi milik orang lain.
Tubuhku berguling mengganti posisi menjadi tengkurap. Ketika hendak memasukkan kembali kertas undangan kedalam plastik, pintu kamar terbuka. Fika masuk dengan tangan kanan mencapit bakwan goreng. Aku tidak jadi memasukkan undangan ke plastik dan langsung saja menyembunyikannya di bawah bantal. Ponakanku itu duduk di sisi ranjang, memandangku penuh selidik.
“Teteh kenapa? Kok pias gitu lihatin akunya?” tanyanya.
Memangnya tampangku saat ini bagaimana? Apa terlihat seperti orang bodoh yang gagal move on?
“Memangnya muka Teteh kenapa?” tanyaku balik.
Dia menggelengkan kepala sambil menggidikan kedua bahu.
“Teh, aku mau curhat deh.” Fika mengubah posisi menjadi ikut berbaring.
Sepertinya malam ini aku harus kembali berperan menjadi Mamah Dedeh, yang selalu menerima segala curhatan dan memberi solusi. Kepalaku mengangguk, memberi kode untuk Fika agar dia segera bercerita.
“Waktu pagi kan aku kesiangan nih, berangkat sekolahnya....” aku mengangguk mendengar celotehnya. “Terus dapat hukuman dari Pak Arsan, isuruhr nulis kalimat 'saya berjanji tidak akan terlambat lagi' sampai dua ratus kali! Uh! Gila... Capek banget, Teh! Jari-jariku hampir aja patah gara-gara hukumannya yang nggak tanggung-tanggung.” Fika memperlihatkan jari-jari tangan kanannya yang menurutku baik-baik saja.
“Selama aku nulis kalimat itu Pak Arsan nungguin aku. Dan dia tiba-tiba aja tanya-tanya tentang Teteh!”
Mataku membulat. Aku mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang, diikuti Fika. Kutatap Fika, mencari celah kebohongan disana namun tidak ada. Dia tidak bohong. Tapi, benarkah Pak Arsan menanyakan tentang aku? Untuk apa?
“Emangnya Teteh sama Pak Arsan ada hubungan apa sih? Terus juga kemarin-kemarin Pak Arsan main kesini. Jarang banget kan!”
Aku menggeleng, “Pak Arsan tanya apa aja?”
Fika berdecak kesal karena pertanyaannya tidak kujawab. “Yaaa.... dia tanya, Teteh kerja apa terus kujawab aja dulu kerja di kaffee Kakaknya tapi sekarang udah di pecat, hehehe...”
“Terus?”
“Terus... Pak Arsan juga tanya Teteh suka keluar malam apa ng—,”
“Teteh nggak pernah keluar malam, ya!”
“Iya.. Iya.. Aku juga jawab gitu. Udah ah, nggak usah terus-terus lagi! Aku ngantuk mau tidur! Besok ada ulangan Biologi.” tanpa menunggu jawabanku, Fika sudah memposisikan diri untuk tidur membelakangiku.
Akhirnya aku ikut membaringkan tubuh. Kutatap langit-langit kamar dengan bayangan yang malah berlalih pada udangan pernikahannya Arman. Kenapa selalu itu yang aky pikirkan? Aku menoleh menatap punggung Fika. “Fik, malam minggu depan kamu ikut Teteh ke pernikahannya teman Teteh, ya?”
Fika menggerakkan bahunya lantas menjawab samar-samar, “Nggak bisa, Teh. Malam minggu aku mau belajar kelompok.”
“Jadi cabe aja terus!”
“Aku bukan jadi cabe! Aku cuma mau belajar kelompok di rumahnya Wenda... teteh...”
"Kan bisa besok paginya!”
“Besoknya aku mau jalan sama pacar.”
Aku menghela napas. Orang cantik mah bebas. Apalah aku yang seorang upik abu.
***
Terpaksa aku harus menghadiri pesta pernikahan Arman seorang diri. Saat ini aku sedang merias wajah di depan cermin. Aku merias diri sebeda mungkin dengan diriku biasanya. Bukan maksud ingin pamer wajah didepan mantan. Hanya saja aku melakukan ini karena kutahu pasti ada banyak teman-teman Arman yang alumni SMA Satu dan teman seangkataku mungkin juga hadir disana. Aku tidak mau mereka mengenaliku. Terlalu malu jika itu terjadi.
Dengan gaun malam warna merah dan tas selempang hitam, setelah selesai merias wajah aku keluar dari kamar. Mobil uber sudah menungguku di luar. Untung saja para penghuni rumah sedang sibuk sendiri-sendiri di dalam kamar mereka, jadi aku tidak perlu repot-repot berbohong.
Tiba di gedung hotel tempat dilaksanakannya pesta pernikahan Arman dan Emily, aku segera masuk. Di pintu depan, lebih dulu aku di berhentikan oleh seorang bodyguard untuk menyerahkan kertas undangan. Kini aku telah masuk ke dalam gedung pesta pernikahan sang mantan.
Kulihat Arman dan Emily berdiri di pelaminan sedang sibuk menyalami para tamu dengan senyum keduanya yang selalu merekah. Aku memalingkan wajah kearah kanan dan saat itu juga kulihat ada teman-teman Arman sedang saling bercanda tawa. Kupalingkan wajah kembali kearah pelaminan. Rupanya sudah tidak ramai lagi, aku langkah menuju tempat pelaminan untuk menyalami memberi ucapan selamat pada pengantin.
Lebih dulu aku menjabat tangan Arman dan memberi ucapan, “Selamat ya, Ar. Aku turut bahagia atas pernikahan kalian. Semoga sakinah mawadah warahmah, ya.”
“Makasih, Na sudah mau datang.” katanya. Aku mengangguk.
Untuk menghindari pertanyaan 'kamu datang sama siapa?' aku segera menyudahi salaman kami dan beralih pada Emily. “Selama, ya... Semoga kalian bahagia dan cepat diberi momongan.” dia mengangguk dengan senyum merekah.
Setelah mendengar ucapan terimakasih dari Emily, aku buru-buru turun dari panggung pelaminan. Aku bersembunyi di tempat yang agak memojok. Kukeluarkan semua air mata ini. Agar tidak terlihat oleh orang-orang, aku memfungsikan kedua telapak tangan untuk menutupi wajah. Entalah, pasti dandananku ini sudah tidak amburadul sekali. Aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah hatiku. Hatiku remuk.
“Saya tau perasaan kamu saat ini.”
Suara berat itu membuatku menghentikan tangis seketika. Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Masih agak sesenggukan, aku memutar tubuh untuk melihat siapa yang barusan bersuara. Benarkan! Pak Arsan berdiri didepanku dengan tuxedo hitam melekat pada tubuhnya.
Kenapa Arman harus mengundangnya?
“Ba-Bapak ngapain disini?” pertanyaan itu keluar begitu saja.
“Menurut kamu?”
Sebelum menjawabnya lagi, aku menghapus air mata. Tidak sengaja aku mengaburkan pandangan ke belakang Pak Arsan. Disana, ada para guru-guru SMA Satu. Rupanya Arman mengundang semua guru, bukan hanya Pak Arsan.
“Saya mau pulang, kamu mau ikut?”
Aku memfokuskan mata pada Pak Arsan. “Memangnya Pak Guru nggak ngasih ucapan selamat dulu ke Arman?” tanyaku.
“Sebelum kamu melakukan itu, saya sudah lebih dulu.”
JADI?
Sejak aku berinteraksi di sini, beluau melihatku? Wajah coeg-ku pasti sudah dilihat oleh Pak Arsan. Aku menatapnya dengan mata melotot. Kenapa tidak daritadi saja menghampiri akunya? Kenapa baru sekarang, setelah aku memberi ucapan selamat pada Arman?
“Yasudah, saya permisi pulang dulu.”
pak Arsan melenggang pergi meninggalkanku. Aku buru-buru mengejar langkahnya, “Pak, ikut!”
Kami pulang bersama dalam keheningan selama setengah jam.
"Pak, pokoknya aku mau kita nikah secepatnya!""Kita?""IYA!""Saya belum setuju dengan perjodohan ini. Jangan mengambil keputusan sendiri.""Nggak mau tau! Pokoknya nikah secepatnya!"Aku menunggu sahutan dari seseorang diseberang sana, yang tak lain adalah Pak Tarsan, ralat! pak Arsan. Selama sepuluh detik tidak ada sahutan, aku mencoba memanggil-manggilnya namun bukannya sahutan malah suara sambungan terputus yang aku dengar. Sial! Aku yang menelfon, harusnya aku juga yang memutuskan panggilan!Tidak lama, aku mendapat pesan dari nomor Pak Arsan.Pak Arsan :Skrg km ada dmn?Me:Di rumah, PakPak Arsan :D rmh ada siapa?Me:Sendirian, Pak. Memangnya knp?Hari Sabtu ini aku dirumah memang sendirian. Semua para penghuni sedang berlibur pergi ke
Pemandangan pertama yang kulihat ketika mobil Pak Arsan berhenti adalah sebuah rumah bak istana yang memiliki dua lantai. Aku terbengong-bengong menatap rumah megah itu lewat kaca jendela mobil. Benarkah ini rumah keluarga Pak Arsan? Apa sekaya itu?Tin!Tubuhku terlonjak kaget, “Astaghfirullah!” sebutku.Pak Arsan dengan jahilnya menyalakan klakson mobil. Aku menatap punggungnya dan memutar bola mata sebal sambil berusaha menenangkan batin agar tidak menyumpah serapah.“Ayo turun.” ajaknya seraya membuka pintu mobil.Aku membuka pintu mobil penumpang dan keluar. Berlarian kecil untuk mensejajarkan langkah dengan Pak Arsan. Tidak lupa berdo'a dan selalu menundukkan kepala. Jantungku berdegup kencang kala langkah kami sudah di ambang pintu rumah megah ini.“Pak, malu nih...” cicitku.Entah Pak Arsan melirikku atau tidak yang jelas
Mantan sudah menikah. Sahabat, sudah ijab qabul dan malam ini akan mengadakan resepsi. Lalu, aku kapan? Mataku menatap kosong diri sendiri didepan cermin rias dalam kamar. Lima menit yang lalu aku telah sampai di rumah, setelah dua hari menginap di rumahnya Zahra karena dia minta ditemani menjelang hari H. Sahabat karibku itu kini sudah menjadi milik orang, beberapa jam lalu.Dengan malas, tanganku meraih tisu basah dan mulai membersihkan sisa-sisa make-up. Setelah dirasa sudah menghilang, aku memutuskan untuk segera tidur. Nanti malam aku harus tidur terlambat, karena harus menghadiri resepsi pernikahannya Zahra.Entahlah aku akan datang dengan siapa. Kalau Mama, jelas dengan Papa. Sedangkan Mas Jefri, Mas Reza dan Mas Rean jelas datang bersama bini dan anak mereka masing-masing. Mbak sedang hamil besar, dia tidak ikut. Kalau aku menggandeng Fika, dia pasti tidak mau.Kurebahkan tubuh di atas tempat t
Aku duduk termenung di kursi meja makan. Mataku sembab karena masih mengantuk. Ternyata ucapan Pak Arsan tidak main-main. Semalam dia datang ke rumahku membawa kedua Orangtuanya, tidak lupa juga membawa Alin. Bagaimanapun juga dia harus tahu bahwa Ayahnya akan menikah denganku, asekk.Baru semalam aku lihat wajah Papanya Pak Arsan. Beliau mirip dengan Pak Arsan, hanya saja sifatnya berbeda. Jika Pak Arsan pendiam tapi galak, Om Adi itu ramah dan nggak ada galak-galaknya. Bahkan tatapannya begitu teduh.Semalam benar-benar malam yang sangat menegangkan. Dimana Om Adi bertanya padaku apakah aku bersedia diikat dalam sebuah hubungan dengan anaknya atau tidak dan Pak Arsan meminta restu pada Papaku. Alin juga turut ikut serta. Dia diberi pertanyaan oleh Pak Arsan. Apakah merestui aku atau tidak untuk jadi Ibunya. Dan jawaban gadis kecil itu adalah.... Gelengan! Dia menggeleng keras tanpa membuka mulut berkata tidak. Saat
Usai melangsungkan ijab qabul, sorenya aku dan Pak Arsan di boyong ke hotel yang sudah kami sepakati untuk dijadikan gedung pernikahan. Sudah berjam-jam aku dirias oleh dua perias pengantin.Duduk di depan cermin dengan dua orang yang sedang menghias diriku. Sudah berkali-kali bola mataku memutar lantaran jengah melihat penampilanku sendiri di cermin. Aku tidak suka dirias begini, lebih baik merias diri sendiri lebih nyaman dan tahu mana yang terbaik untukku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Yakali, mau jadi pengantin masa rias sendiri.“Mbak, udah belum sih? Saya pegal ini!” keluhku pada dua orang perias, berjenis kelamin perempuan.“Sebentar lagi, Mbak. Sabar ya...” jawab salah satunya, sedang fokus mencepol rambut pendekku. Mungkin dia agak kesulitan karena tambutku kependekan.“Lagian, resepsinya kan masih beberapa jam lagi! Kenapa saya harus di rias sekarang co
Lepas satu minggu, aku, Mas Arsan dan Alin menginap di rumah Mama, hari ini kami akan pindah ke rumahnya Mas Arsan. Aku baru tahu semalam, kalau Mas Arsan ternyata sudah punya rumah sendiri. Kukira dulu dia dan istrinya tinggal di rumah Mama mertua.“Alin, kamu mandi dulu gih, aku mau beresin barang-barang dulu.” kataku pada Alin yang kini masih santai berguling-guling di tempat tidur. Sedang Mas Arsan, dia sudah lebih dulu ke rumahnya untuk mengangkut barang-barang secara bergantian.“Alin nggak mau mandi disini!”Mulutku komat-kamit mendengar tukasannya. Di rumahku saja dia berani membangkang, gimana kalau di rumahnya dia sendiri? Mungkin aku akan dijadikan babunya.“Yaudah terserah, paling juga Ayah kamu bakal marahnya ke kamu bukan aku.” kataku menantang.Kulihat dia bergegas turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Senyumku melebar. Dengan ancaman, dia akan luluh.
“Aku mau berangkat sekolah sama Teh Hanna!” Alin berteriak semakin keras ketika Mas Arsan melarangnya untuk jangan merepotkan Hanna.Namun anak itu bersikeras ingin berangkat sekolah dengan Hanna dan bukannya denganku yang menjadi Ibunya.“Iya, iya... Teteh anter kamu sekolah. Sekarang, mandi ya?” ucap Hanna.Si Alin langsung antusias. Dia turun dari meja makan dan berlarian masuk ke kamar.“Han, apa nggak merepotkan nunggu Alin sampai pulang? Kamu harus jaga butik, kan?” ujar Mas Arsan. Dari suaranya, menurutku sangat ramah. Berbeda jika sedang berbicara denganku, agak terpaksa dan ketus. Membuatku memutar bola mata dan lebih memilih menulikan pendengaran.Kepala Hanna tergeleng dengan senyum tidak pernah luntur pada bibirnya. Kenapa dia murah senyum sekali dengan suami orang? Mau nikung? Uh!“Nggak kok, Mas. Ada karyawan juga.” jawabnya.
Hari ini, jadwalku untuk pergi ke rumah Mama. Sebenarnya bisa saja aku kesana sebulan sekali, tapi Mas Arsan memintaku untuk dua minggu sekali, harus di sempatkan. Aku hanya menuruti ucapannya saja tanpa mau membantah, walau dalam hati kesal setengah mati. Bagaimana tidak kesal, dia menyuruhku untuk berkunjung ke rumah Orangtuaku tapi dirinya sendiri tidak ikut.Dan, disinilah aku sekarang. Usai menjemput Alin, tujuanku langsung ke rumah Mama. Mataku terus mewanti-wanti kegiatan Luna dan Alin yang tengah asyik bermain masak-masakan dibawah karpet, sedang aku duduk diatas sofa. Jujur saja, aku takut mereka akan bertengkar. Pasalnya keduanya sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah.Ponselku berdering nyaring diatas sofa. Segera aku meraihnya dan melihat nama Mas Arsan tertera di layar ponsel, dia menelfonku.“Halloo?” sapaku.“Assalamualaikum,”