“Jawab, Vela! Apa benar, kamu hamil?” tanya Nyonya Aster dengan bola mata bergetar hebat. Kedua tangannya terkepal erat di atas pangkuan.
Perempuan yang tidak pernah berbohong kepada sang ibu pun sontak menunduk. Ia tidak mampu bertatapan langsung, takut jika kebohongannya terkuak sebelum sempat dilancarkan.
Sadar akan kekhawatiran Vela, Eridan langsung mengambil tindakan. Dengan santai, ia menyelipkan tangannya ke balik jemari si perempuan. Setelah menggenggam erat dan memberikan satu anggukan, pria itu menghadap calon mertuanya tanpa keraguan.
“Ya, Vela sedang mengandung anak kami,” ujar pria yang tidak kenal takut. Bisa-bisanya ia mengakui sesuatu yang mampu menimbulkan bencana. Orang tua mana yang tidak histeris jika mengetahui putrinya hamil di luar nikah?
Napas Nyonya Aster kini menderu. Matanya sudah kembali dipenuhi guratan merah. Sambil membuang muka, ia berusaha meredakan emosi. Tangannya terus bergerak me
Vela dan Eridan kompak tertawa datar. Mereka tidak menyangka bahwa kakak kelas yang terkenal judes itu bisa berpikir sangat maju."Cece ini ada-ada saja. Enggak mungkin kami pura-pura. Sahabat naik ke pelaminan itu hal yang biasa," tutur Eridan yang pandai bersilat lidah."Kalau begitu, lakukan yang tadi kuminta," celetuk Celine dengan tangan terlipat di depan dada. Gesturnya seperti menantang.“T-tapi, apa pose berciuman enggak terlalu vulgar untuk dijadikan foto prewedding?” timpal Vela sontak mengundang keheranan. Bahkan, si calon suami terkejut mendengar keluguannya. Detik itu juga, Eridan sadar bahwa ia harus maju melindungi kebohongan.“Sudahlah, Sayang. Enggak perlu malu. Kamu kan mahir melakukannya,” ledek Eridan mendobrak kekakuan. Tangannya kini sudah tidak ragu menyentuh tubuh langsing Vela. Ia mulai bisa menguasai keadaan.“Sebenarnya, tujuanku hanya ingin mencairkan keteg
“Hebat sekali!” seru Ares lantang. “Ternyata … seorang pria tega meninggalkan kekasihnya untuk menikah dengan perempuan lain,” hasutnya seraya menggelengkan kepala.“Hentikan omong kosongmu, Ares! Eridan sudah enggak ada hubungan lagi dengan Cassie,” sahut Vela dengan suara bergetar. Pria di sebelahnya pun tergerak untuk memegang tangannya, mengisyaratkan sang istri untuk mengendalikan emosi.“Tega kamu, Eri!” ujar Cassie menyebutkan panggilan akrabnya untuk Eridan. Wanita yang berdiri di hadapan panggung pelaminan itu semakin terisak. Telunjuknya teracung dengan penuh kegeraman.“Sejak dulu, aku memang sudah curiga pada kalian. Setiap kita jalan, kamu selalu menyebut nama Vela. Setiap kita berbincang, selalu perempuan itu yang kamu ceritakan. Dan sekarang, kamu menikahinya?”Tiba-tiba, mempelai pria tertunduk dan mendengus. Begitu ke
“Ridan ...,” panggil Vela ketika baru keluar dari kamar mandi. Perempuan itu agak ragu menunjukkan tubuhnya yang hanya terbalut pakaian tipis. “Menurut kamu, bagus enggak?”Mata sang suami pun membulat. Pupilnya melebar, sementara detak jantungnya meningkat cepat. Posisinya tidak lagi bersandar pada bantal, melainkan duduk tegak agar pemandangan di depannya terlihat lebih jelas.“Buset! Kenapa kamu pakai kantong buah?” ledek pria yang tidak berkedip itu. Ucapannya memang bertentangan dengan kata hati.“Kok kantong buah, sih?” protes Vela dengan alis berkerut.“Kamu pernah beli buah, kan? Longan atau jeruk kecil? Yang biasa digantung. Kantongnya juga berjaring-jaring seperti itu. Warnanya sama pula … merah,” celetuk Eridan sambil mengangkat kedua tangannya untuk membingkai keindahan yang enggan diakuinya. Ia malah menyamakan pakaian me
“Jangan bercanda, Ridan!” seru Vela semakin panik.“Akh! Vela!” erang sang pria tidak main-main. Tangannya telah kembali terkepal di samping kepala sang istri. “Kamu jangan menghancurkan masa depanku!”“Lagian … siapa suruh punya barang besar begitu?” timpal Vela asal. Ia tidak bisa lagi berpikir jernih. “Cepat keluarkan!”“Makanya, kamu kasih jalan!”“Bagaimana caranya?” tanya perempuan yang bernapas tersengal-sengal itu.“Relaks!”“Enggak bisa!”“Coba atur napas! Tarik, lalu embuskan!”“Kamu pikir aku mau melahirkan?” omel Vela. “Enggak bisa, Ridan.”“Harus bisa! Kalau enggak, kita bakal terus seperti ini,” desak Eridan dengan tatapan
“Kamu kenapa, sih? Masih belum puas sama yang semalam?” tanya Vela dengan kerut alis yang begitu menakutkan. Perempuan itu sangat terusik oleh kelakuan pria yang masih bersandar di tubuhnya.“M-maaf, Vel. Aku … enggak sadar,” jelas Eridan sembari beranjak dari “bantalnya”. Dengan ekspresi yang masih beku, pria itu merapatkan kedua telapak tangannya sebagai wujud permohonan ampun.“Enggak sadar?” selidik perempuan yang ikut duduk sambil menarik selimut menutupi tubuhnya. Kali ini, ia merasa tidak aman tanpa busana.“Y-ya. Tadi, aku bermimpi. Aku enggak tahu kalau tanganku ternyata bergerak sendiri,” jelas Eridan tidak ingin sang istri salah sangka.“Memangnya, apa yang kamu mimpikan?” tanya Vela dengan kepala sedikit mendongak.“Ah … itu … aku bermimpi lagi membuat adonan pempek. Iya, lagi bikin pempek,” bohong Eridan berusaha menghindari kemarahan sang istri. Akan tetapi, kerut alis perempuan itu ma
“Apakah itu bus tur kita?” bisik Vela yang membungkuk di belakang Eridan. Mereka berdua sedang mengintip dari balik sebatang pohon dekat parkiran.“Sepertinya begitu,” sahut laki-laki sambil tetap fokus mengamati keadaan di dalam bus.“Tapi, apakah tur bulan madu biasanya menggunakan bus dan ramai-ramai seperti itu?” tanya Vela meragukan. Pria di depannya pun mengangkat bahu.“Aku juga tidak tahu, Vel,” jawab Eridan singkat.“Jadi, kita harus bagaimana sekarang? Pihak hotel enggak mau memberitahukan identitas si pemesan. Aku yakin, ini pasti rencana Ares,” tuduh perempuan yang begitu yakin. Nama Ares sudah sangat buruk di matanya. “Apa kita pulang saja? Enggak perlu ikut tur itu?”“Apa kamu enggak tertarik ikut tur itu?” tanya Eridan tanpa disangka. Pikirannya ternyata berbeda dengan sang istri.
Tiba-tiba, Eridan menempatkan tangannya di pundak Vela. Perempuan itu pun tersentak dan hampir saja berteriak. “Ridan!” tegurnya dengan suara pelan. Kerut alis Vela telah melukiskan keterkejutan sekaligus ketakutan.“Ih, kok kaget, sih? Aku cuma mau mengajak kamu kabur. Kita naik ke mercusuar saja, yuk! Mumpung masih buka,” ajak sang pria seraya menunjuk bangunan setinggi 65 meter di belakang mereka.Si perempuan otomatis mendongak memeriksa puncak yang dicat dengan warna merah. Dari atas sana, pembunuhan yang diceritakan sang pemandu pasti terlihat jelas. Spontan saja, Vela menggeleng untuk mengusir pemikiran aneh dalam otaknya.“Enggak mau? Pemandangan di puncak mercusuar enggak kalah indah dibandingkan dengan pemandangan dari Menumbing, loh. Di sana, kamu pasti merasa seperti Rapunzel,” bujuk Eridan sembari memasang tampang memikat.“Rapunzel? Serius?&rdqu
“Kamu enggak sanggup melihat Cassie sama Ares?” terka Vela mengungkapkan prihatin. Sebelah sudut bibir Ridan sontak terangkat walau berat.“Tadi, ya … aku marah. Bagaimana mungkin, dia bisa menemukan penggantiku secepat ini, dan itu Ares? Padahal, kemarin dia masih mengamuk di pernikahan kita,” ujar Eridan jujur. Tatapannya menerawang pilu. Selang keheningan sejenak, lengkung bibir yang lebih ringan tertuju pada Vela.“Tapi, begitu aku keluar dari mercusuar dan menginjak tanah, tiba-tiba saja, aku sadar kalau Cassie itu masa lalu aku, sedangkan masa depanku ada di sini,” ucap sang pria dengan nada yang berbeda. Ia terdengar sehangat sentuhan jemarinya. “Untuk apa aku berlari mengejar masa lalu, sementara masa depanku selalu ada di sampingku?”Alih-alih terenyuh, Vela malah mendesah tak senang. “Ridan, kalau kamu masih mencintai Cassie, kamu seharusnya memperjuangkan dia. Masa depanmu masih bisa diubah, tapi hatimu sepertinya sudah m