"Sebaiknya mulai sekarang kamu harus tau diri!" Sela menyeringai. "Sebelum Fiko membuangmu dengan hina, lebih baik kamu pergi dengan terhormat."
Maria menatap datar Sela. "Sepertinya kamu begitu ingin saya pergi?" Maria tidak tau letak salahnya di mana sehingga Sela bisa begitu tidak menyukainya. Harusnya, di sini yang merasakan ketidak sukaan adalah dirinya karena sela telah masuk ke dalam pernikahannya. Walaupun agama memperbolehkannya, tapi itu juga harus sesuai dengan syariat yang telah ditentukan. Dan letak poligami yang Fiko lakukan tentu tidak dapat di benarkan.
"Tentu!" Sela menyilangkan tangannya di dada dan memandang Maria rendah. "Orang sepertimu hanya bagaikan batu kerikil yang ingin dipungut untuk dijadikan berlian. Harusnya kamu sadar, sekali kerikil tetap kerikil. walau digosok sedemikian rupa pun, nilai jualnya akan tetap sama rendah. Sama sepertimu yang rendahan."
"Bicaramu seolah kamu berlian saja. Saya kerikil, namun kemanfa'atannya begitu banyak bagi orang lain. Salah satunya selain kerikil itu tahan banting, untuk jalan raya. Tanpa kerikil, tidak akan ada jalan yang kuat untuk dilalui banyak mobil. Lalu kamu seolah merasa dirimu adalah berlian. Ya, mungkin memang benar. Kamukan ular. Dalam film tuh biasanya ular juga pada punya berlian." Maria tersenyum puas mendapti wajah merah Sela. "Ternyata sebegitu tidak sukanya kamu dengan keberadaanku!"
Sela kembali menyeringai. Dia berbalik, namun sebelum melangkah, dia menengok sedikit kearah Maria. "Baguslah kamu menyadarinya. Untuk membuat Fiko hanya memandangku seorang, maka benalu sepertimu harus kusingkirkan terlebih dahulu."
Maria tertegun dengan apa yang baru saja Sela ucapkan. Apakah baru saja dia diancam madunya? Maria tertawa miris, "sebegitu tidak lakunya kamu sehingga harus merebut suami orang."
Sela yang sudah berjalan sontak menghentikan langkahnya. Dia berbalik sepenuhnya menghadap Maria. "Saya tidak merebutnya dari kamu. Fiko sendiri yang menginginkanku. Lagipula, apa yang bisa diharapkan dari perempuan mandul sepertimu. Menyusahkan."
Maria meredam gejolak rasa yang ingin meledak keluar dengan beristigfar dalam hati. "Jadilah apa yang kamu inginkan. Sesungguhnya karma tau harus pada siapa dia membalas."
"Takuuut." Sela tertawa mengejek.
Maria yang melihat kepergian Sela hanya bisa menghela napas pelan. "Kenapa kamu menikahi wanita seperti itu, mas?"
***
Rutinitas sehari-hari Maria tetap sama walau di rumah itu bertambah satu anggota, yaitu Sela. Maria tidak pernah meminta Sela untuk membantu pekerjaannya dalam mengurus rumah, memasak, bahkan memberi ibu obat dengan teratur. Semua kegiatan itu Maria kerjakan sendiri karena ingin memperlihatkan pada Fiko kalau wanita yang menjadi madunya itu tidak sebaik yang Fiko pikirkan. Sela adalah wanita ular berkepala dua.
Setelah kejadian kemarin di belakang rumah. Maria kini paham dengan niat Sela yang ingin merebut Fiko dari dirinya. Dia sengaja menarik perhatian Ibu, karena Ibu merupakan kelemahan terbesar Fiko. Maria sungguh menyayangkan sikap Ibu mertuanya yang gampang terbujuk rayu oleh Sela. Maria yakin, setelah Sela mendapatkan apa yang dia mau, perlakuan Sela pada Ibu pasti berubah.
Maria yang saat ini tengah membuka kulkas guna ingin mengambil sayuran untuk di masak hanya bisa menghela napas lelah. Isi kulkas itu ternyata kosong. Dia bertanya-tanya, apakah Sela tidak berbelanja kebutuhan dapur? Lantas di gunakan untuk apa uang gaji yang di berikan Fiko?
Maria menyeringai samar. Dalam hati dia beristigfar karena memiliki niat tidak baik. Dia tidak akan memasak sarapan untuk pagi ini. Maria akan membiarkan para penghuni lapar karena tidak ada makanan. Biarkan saja Sela yang mendapat kemarahan karena salahnya tidak berbelanja. Tentu Maria tidak akan membiarkan dirinya ikut kelaparan. Dia masih mempunyai uang yang di berikan Fiko kemarin.
Dengan langkah ringan Maria pergi keluar untuk mencari sarapan. Sekitar 1 kiloan dia berjalan, akhirnya dapat menemukan penjual bubur ayam.
"Mang, bubur ayamnya satu porsi. Jangan pakai kecap manis!" Teriaknya pada Mang Ahmad, penjual bubur ayam.
Mang Ahmad mengacungkan jempolnya.
Maria mendudukan tubuhnya di kursi kosong. Selagi menunggu bang Ahmad membuatkan pesanannya, Maria melihat sekelilingnya. Kedai ini ramai dengan para pembeli dan hampir semua kursi penuh. Mungkin kursi di sebelahnya satu-satunya yang kosong. Maria berucap syukur dalam hati karena kebagian tempat duduk. Kalau tidak, Maria terpaksa harus memakannya di rumah.
"Boleh saya duduk di sini?" Seorang laki-laki berdiri di belakang kursi yang bersebelahan dengan Maria.
Maria mengangguk. "Silahkan."
Laki-laki itu duduk dan ikut memesan. "Mang, saya pesan satu porsi bubur ayamnya, jangan tambahkan kecap manis!" Dia lalu menoleh ketika merasakan tatapan dari perempuan di sampingnya. "Kenapa?"
Maria tersenyum kecil. "Pesanan kita sama."
Laki-laki itu juga tersenyum. "Tidak menambahkan kecap manis?"
Maria menggangguk dan tertawa.
"Seleraku memang sama dengan selera adikku waktu kecil." Laki-laki itu tersenyum penuh arti. Ada emosi tertahan dalam matanya ketika memandang Maria.
Tak lama pesanan pun datang. Setelah mengucapkan basmalah dalam hati, Maria memakannya dalam diam.
"Adikku juga suka memisahkan kerupuknya untuk ia makan terakhir." Laki-laki itu berbicara kembali ketika melihat cara makan Maria yang tengah memisahkan kerupuk dari bubur.
Gerakan tangan Maria yang sedang memilah kerupuk sontak terhenti. Maria berpikir, kenapa perkataan laki-laki di sampingnya seolah mengatakan kebiasaan Maria adalah kebiasaan adiknya. Apakah Maria bisa menyimpulkan maksud dari ucapan laki-laki ini adalah Maria itu adik kecilnya karena kebiasaan mereka sama.
"Kenapa berhenti?"
Maria tersenyum kaku. "Tidak." Maria kembali melanjutkan makannya, namun kali ini dengan ritme yang agak cepat. Maria merasa orang di sampingnya punya aura yang dapat membuat orang di sekelilingnya merinding ngeri.
Setelah buburnya habis, dengan cepat Maria berdiri untuk melangkah. Karena tergesa-gesa, pinggul Maria terantuk meja dan menyebabkan Maria akan terjatuh menghantam aspal ababila sebuah tangan kekar tidak memeluk pinggang rampingnya.
Maria mengerjap kaget. Dalam pelukan seorang pria asing, harusnya Maria merasa risih, namun kenapa pelukan laki-laki ini terasa nyam dan melindungi. Perubahan emosional yang tiba-tiba, mendesak bendungan di mata bulat Maria dan menerobos banjir kecil. Isakan kecil lolos begitu saja. Seolah tubuh Maria begitu merindukan pelukan ini padahal jelas laki-laki ini adalah orang asing.
"Gak pernah berubah. Tetap ceroboh dan cengeng." Suara berat laki-laki itu terdengar mengejek. Ada senyum geli tersungging di bibirnya. Namun, binar matanya tak dapat menutupi kerinduan yang besar pada sosok dipelukannya.
Maria yang baru sadar dengan kondisinya buru-buru melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang menolongnya. Dia melihat ke sekelilingnya. Hampir semua orang kini melihat ke arahnya. "Terima kasih karena telah menolongku." Maria berlari tanpa menunggu jawaban dari laki-laki yang menolongnya.
Sedangkan laki-laki itu hanya memandang kepergian Maria dengan sendu sampai menghilang.
Di perjalanan pulang, Maria memikirkan kembali perkataan laki-laki itu. Apa maksudnya dengan kata 'gak pernah berubah. Tetap ceroboh dan cengeng'. Apakah mereka dulu saling mengenal?
"Seperti ini kelakuan istrimu Fiko! Keluarganya kelaparan eh,dianya malah keluyuran." Marni berucap sinis begitu Maria membuka pintu rumah.
***
Di ruang tamu semua orang sudah berkumpul. Ada Marni, Fiko, dan Sela. Maria melirik Marni sekilas yang duduk di kursi roda sebelum berjalan santai sampai berhadapan dengan Fiko."Kamu tau kan di rumah tidak ada makanan. Semua orang kelaparan. Kenapa kamu malah keluar?" Fiko berucap lembut. Bagaimana pun, ini bulan kesalahan penuh Maria. Sela juga istrinya, jadi yang memasak bukan kewajiban Maria seorang.Maria melirik Sela dan menyeringai samar sampai tidak ada yang menyadarinya kecuali Sela. "Tadi pagi aku udah mau masak. Tapi, pas aku buka kulkas, di sana tidak ada bahan apapun yang bisa di masak.""Kenapa gak belanja?" Fiko masih berbicara dengan nada lembut. Fiko tidak ingin mengulangi kesalahannya waktu itu yang sempat membentak Maria.Maria menampilkan wajah tak berdosanya. "Yang pegang uang gajian Mas, kan Sela. Aku kira Sela yang belanja semua kebutuhan rumah. Jadi, mana tau kalau ternyata Sela tidak bisa membagi waktu walau hanya untu
Gimana rasanya?" Sela bertanya dengan mimik wajah bahagia. Rasanya Sela ingin tertawa keras saat menyaksikan Fiko menghukum Maria. Dia puas, benar-benar puas.Maria mendongak ke arah Sela yang berdiri sambil menyender di tiang pintu. "Kamu kan, yang melakukannya?""Apa?" Sela pura-pura tidak mengerti."Kamu yang menambah garam pada sayurnya kan, Sela!" Maria menunjuk Sela penuh perhitungan.Sela tertawa puas sampai sudut matanya mengeluarkan air mata. "Ya ampun, aku kira kamu bodoh sampai tidak mengetahui kalau aku yang sabotase sayur itu. Ternyata kamu cukup cerdik juag."Setelah puas mentertawakan kemalangan Maria, Sela melenggang pergi dengan langkah ringan. Sedangkan Maria hanya bisa mengepalkan tangannya kuat sambil terus mengucap istigfar dalam hati.Maria turun dari bak mandi dalam keadaan tubuh bergetar kedinginan sampai jari-jarinya mengkeriput. Setelah membilas t
Selama Maria sakit, Maria tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Membereskan rumah, memasak, berbelanja ke pasar, dan aktivitas lainnya seperti dalam keadaan sehat.Maria bukan memaksakan diri. Setiap Maria ingin merebahkan tubuhnya untuk istirahat, Marni selalu menyuruhnya ini itu walaupun Marni bisa menyuruh Sela yang ada di sampingnya.Dan kali ini pun sama. Ketika Maria baru duduk di kursi makan untuk meredakan rasa sakit yang mendera kepalanya, Marni datang menyuruhnya membuat jus belimbing. Jus yang sering Marni minum dengan rutin agar darah tingginya berkurang.Maria membuka kulkas dan mengambil belimbing yang selalu tersedia di tempat penyimpanan. Memotong-motongnya jadi bagian agak kecil lalu memblendernya. Setelah selesai, Maria mengantarkannya pada Marni yang tengah bercanda dengan Sela."Ini bu, jusnya." Maria meletakan jus itu di atas meja dekat Marni. Maria yang melihat Marni begitu lepas saat berbicara dan bercanda ria dengan S
Sudah seminggu lewat setelah insiden di mana Maria jatuh pingsan. Kini kondisinya sudah jauh lebih membaik. Hanya lemas dan sesekali batuk saja yang masih terasa. Selepas shalat subuh, Maria bergegas membereskan rumah sampai pagi menjelang. Karena bahan makanan di kulkas habis, Maria memutuskan untuk belanja sayuran dan bahan lainnya ke pasar. Setelah siap dengan bawannya, Maria keluar rumah.Sesampainya di sisi jalan, Maria tidak menemukan angkot yang bisanya nagkring di sini. Maria menghela napas pasrah karena terpaksa harus berjalan kaki untuk ke pasar.Di tengah perjalanan ketika Maria hendak menyebrang, seorang pengendara motor melaju kencang dan tak sadar ada orang yang lewat. Maria yang saat ini melihat sepeda motor melaju kearahnya hanya bisa terpaku di tempat karena shock. Ketika motor itu hampir menabraknya, seseorang dari arah belakang memegang tangannya lalu menarik hingga mereka terguling bersama.Pengendara m
Maria sontak tersenyum lebar begitu melihat Fiko tengah menungguinya. Dengan terburu, Maria menghampiri Fiko yang tengah duduk di atas jok motornya. "Mas, udah lama di sini?" Maria bertanya penasaran. Pasalnya Maria tidak mendengar suara motor berhenti, tau-tau suaminya itu sudah menungguinya.Fiko tidak menjawab, namun matanya menyorot lurus ke arah laki-laki yang sedang menyenderkan tubuhnya di tiang rambu lalau lintas dengan tenangnya.Maria yang pertanyaannya tidak digubris sang suami, ikut menolehkan kepalanya mengikuti arah tatapan Fiko. Maria kini tau, objek tatapan Fiko adalah Arkan. "Mas, ini Arkan."Fiko mengalihkan atensinya pada Maria. Dia sedikit tidak senang ketika Maria menyebut nama laki-laki lain selain dirinya dengan nada riang begitu. Fiko cemburu, dan dia tidak suka rasa itu.Maria mencebik ketika mendapati wajah suram suaminya. "Gak usah curiga gitu, Arkan.."Fiko langsung menyimpan jari telunjuknya di depan b
Begitu Fiko memberhentikan motornya di depan rumah. Maria langsung turun dan berlari masuk tanpa menunggu Fiko. Fiko yang ditinggalkan hanya bisa menghela napas lelah. Kenapa Maria tidak mengerti juga? Fiko melakukan semua ini untuknya juga. Fiko tau Maria juga sudah menginginkan anak. Harusnya Maria mengerti, dengan adanya Sela hamil berarti dia ikut dipanggil Ibu juga.Selama ini memang dia dan Maria tak pernah memeriksakan kondisi kesehatannya karena Fiko yakin dirinya tidak mengalami kesusahan dalam kesuburannya. Satu-satunya alasan yang terpikirkan olehnya adalah Maria. Fiko jelas tau di keluarganya tidak ada yang mandul, sedangkan Maria yang asal usulnya tidak jelas sudah cukup menjadi bukti kalau kemungkinan besar di keluarganya ada yang mandul. Kadi, untuk apa mereka memeriksakan kesuburannya kalau Fiko jelas sudah tau yang mandul di sini adalah Maria. Sadar tidak sadar, perlakuan Fiko selama ini semata karena ketidak puasannya terhadap Maria.Fiko membuk
Lelah menangis, Maria keluar rumah untuk mengisi perutnya yang sudah melilit perih. Maria memang mempunyai penyakit mag yang telat makan sebentar saja sudah kambuh. Apa lagi sekarang dia telat makan sudah berjam-jam lamanya. Dia merutuki dirinya sendiri karena lalai dalam menjaga kesehatannya. Setelah memeriksa seluruh ruangan yang terdiri dari ruang tamu, dapur, kamar Fiko dan Sela, kamar Marni yang kini juga ia tempati, terakhir kamar mandi. Maria tidak menemukan siapa-siapa. Kenapa mereka belum pulang juga, ini sudah hampir tengah hari? Apa mereka pergi lagi setelah acara makan? Tanpa di cegah, air mata Maria mengalir lagi, namun buru-buru Maria hapus. Maria mengambil es batu dari kulkas untuk mengompres mata bengkaknya. Setelah di rasa matanya agak lumayan, Maria pergi keluar rumah untuk mencari makan sekaligus obat mag. Karena perutnya yang dari pagi tidak terisi papaun, di tengah jalan Maria berkaali-kali oleng ha
Maria tengah di periksa oleh Dokter perempuan begitu Arkan kembali ke ruangannya. Maria melambaikan tangannya sebagai bentuk sapaan yang dibalas lambaian tangan juga oleh Arkan. "Gimana ke adaannya Dokter Ema?" Arkan langsung bertanya begitu Dokter Ema selesai memeriksa ke adaan Maria. Dokter Ema menurunkan stetoskop dan melepas alat pengukur tekanan darah di lengan Maria. Setelah melepas masker yang menutupi sebagian wajahnya, barulah Dikter berusia ahir 40-an itu angkat suara. "Alhamdulillah. Keadaan bu Maria kini sudah membaik." Dokter Ema berjalan ke arah mejanya dan menuliskan beberapa resep lalu menyerahkannya pada Arkan. "Jangan lupa berikan tiga kali sehari pada masing-masing lembar! Obatnya bisa di tebus di apotek." Arkan menerima lertas berisi resep obat Maria. "Terima kasih Dokter Ema. Kalau begitu kami permisi." Dokter Ema mengangguk mempersilahkan Arkan untuk membawa Maria keluar. Arkan menghampiri Maria dan berniat membantu