P.O.V Ira
Hari yang melelahkan, dari pagi buta Bu Naji mengajakku ke pasar untuk berbelanja keperluan tahlil tujuh harinya Bapak. Beliau bilang tidak akan kebagian apapun di pasar jika berangkat terlalu siang.
Saat kami sampai rumah, sudah banyak ibu-ibu yang bersiap rewang (membantu memasak). Entah siapa yang menyuruh mereka datang, yang jelas tak ada satupun yang pulang sebelum semua urusan dapur usai. Tak terbayang olehku jika saja tak ada seseorang sebaik Bu Naji yang mau membantuku mengurus acara ini satupun. Pasti acara ini tak akan terselenggara.
Meski siang tadi Bu Naji sempat kesal padaku lantaran aku lupa melaksanakan pesannya untuk memisahkan beras lawatan di hari pertama dengan hari berikutnya, tapi Beliau tetap mau mengurus tetek bengek acara ini dengan paripurna.
Sampai adzan isya' berkumandang, aku bergegas menuju kamar untuk salat dan bersiap-siap mengikuti tahlil, meski dari dalam rumah. Kulihat Pak RT sudah mengambil perannya menyambut setiap tamu yang datang.
Sedang mematut di depan cermin, aku mendengar seperti suara derit pintu yang dibuka perlahan, disusul suara jeritan yang menggema dalam kamar ini.
Betapa terkejutnya aku saat berbalik dan mendapati Bu Naji tergeletak tak sadarkan diri di depan pintu. Reflek aku berteriak meminta tolong sekerasnya supaya terdengar sampai luar rumah karena kutahu tak ada satu orang pun didalam rumah ini.
"Ini kenapa, Ra?" tanya Pak RT yang datang lebih dulu.
"Saya, saya gak tahu, Pak. Tiba-tiba Beliau pingsan di sini," gugupku.
"Panggil Bidan saja, Pak!" seru bapak-bapak di belakang Pak RT.
Pak RT menempelkan telapak tangannya di dahi Bu Naji dan memandangku sekilas, "Sepertinya Beliau hanya kecapean. Mari Pak, kita angkat ke kasur sana! Dah mepet ini waktunya, sebentar lagi ustadz datang memandu tahlil. Gak papa kan, Ra, kamu tungguin?"
"Iya, Pak. Nanti berkatnya ada di kamar sebelah ini, tolong bagikan dan lihat siapa yang gak hadir, supaya bisa diantar ke rumahnya."
"Beres," mantap Pak RT setelah membenarkan posisi Bu Naji di Kasur.
"Terima kasih, Pak."
Aku menutup pintu dan mengenyakkan bokong di kasur samping Bu Naji dengan bersandar pada tembok kamar. Mulanya masih jelas kudengar suara tahlil dari luar, tapi makin lama makin samar sampai telingaku tak dapat mendengarnya sama sekali.
"Ssst... Ra, bangun!" Kurasakan tangan kananku dicubiti pelan.
"Ira! Bangun! Ada bapak kamu pamit, sahutin, gih!"
Bapak? Pamit? Apa sih? Tunggu, aku kan disuruh jagain Bu Naji, kok aku tidur, ya. Terus itu, kok kayak suara Bu Naji?
Kupaksakan membuka mata saat terdengar suara gaduh dari dapur. Seperti piring dan panci yang sengaja ditabuh. Netra ini memandang bertanya-tanya pada Bu Naji yang terduduk di sampingku sambil menatap diri ini jengkel. Kulirik jam dinding, pukul 01:15. Wah, aku tertidur rupanya, udah lewat tengah malam ini. Berarti kalau tahlil udah selesai, terus siapa di dapur?
"Ada apa, Bu? Kok, rame?" tanyaku. Kulihat wajah Bu Naji pucat, pelipisnya penuh dengan peluh. Mungkin tubuhnya belum terlalu enak.
"konser," jawabnya datar.
"Hah?"
"Ck! Itu bapak kamu lagi pamit. Sahutin cepet!" omel Bu Naji sambil memutar bola mata malas. Membuatku semakin bingung. Kok bisa?
"Kamu bilang gini, 'Iya, Pak, Ira ikhlas. Bapak yang tenang di alam sana,' cepetan!"
Meski tak mengerti dan merasa janggal, kuturuti saja perintah Bu Naji.
Ajaib!
Kegaduhan itu berhenti dengan sendirinya. Penasaran, segera aku beranjak menuju dapur untuk melihat keadaan.
"E-eh ... mau ke mana kamu?" cegah Bu Naji tanpa turun dari kasur.
"Ke dapur, pengin lihat."
"Gausah! Pamali! Lanjut tidur aja, kamu."
Lagi, aku hanya bisa menurut tanpa membantah seolah mengerti maksud ucapan Bu Naji.
***
Pagi yang cerah, hari ini akan di adakan arisan kampung di rumah Bu Naji. Selaku tetangga yang sudah dibantu saat ada hajat dirumahnya, aku harus kesana untuk bantu-bantu, membalas kebaikan yang telah dilakukannya saat di rumahku.Dulu Bapak memang aktif mengikuti berbagai kegiatan masyarakat, termasuk arisan kampung ini. Karena Bapak belum 'dapat' arisan, jadi aku diwajibkan hadir meneruskan nama Bapak. Jika tidak datang, meskipun nama Bapak keluar saat diundi maka tetap akan diundi ulang. Aku sempat memberi alasan pada Pak RT bahwa aku tak mampu meneruskan iuran arisan tersebut, tapi dia baik sekali mau membayarkan iuranku dan akan dibayar saat aku dapat nanti. Yang terpenting hadirnya, kata Beliau.
Pukul 09:30 WIB, mulai ada satu dua tamu yang datang. Arisan ini wajib diikuti per rumah karena selain arisan, juga diadakan kegiatan musyawarah perihal desa dan ketetanggaan. Sebab itu yang hadir tidak diharuskan ibu-ibu. Pokoknya ada perwakilan satuorang dari setiap rumah.
Acara dimulai dengan pembacaan Maulid Diba', sambutan-sambutan, musyawarah dan acara terakhir undian disambi ramah tamah. Di sesi akhir ini lah, suasana yang semula khidmad menjadi bising.
"Bu Naji, kemarin yang sampean pingsan di rumah Ira itu kenapa?" bisik Bu Nia.
"Gini loh ...." Kulihat sang tuan rumah berujar sambil melambaikan tangan seakan memanggil ibu-ibu di sekitarnya. Aku yang juga penasaran ikut menggeser dudukku, menguping lebih tepatnya.
"Saya itu emang sengaja mau nemenin Ira tidur, kasihan. Dia mana ngerti kalau pas tujuh harinya, orang meninggal itu bakal pamit. Eh beneran, pas aku masuk kamar Ira, ada Si Tar, bapaknya itu duduk di ranjang."
Ucapan Bu Naji membuatku tersentak. Bapak? Ngaco! Wong gak ada siapa-siapa juga.
"kalau Bu Naji takut, ngapain sok-sokan nemenin Ira? Pingsan kan, jadinya," sahut Bu Sita sambil terkekeh, diikuti derai tawa Ibu-ibu yang lain.
"Heh! Siapa yang takut?! Saya pingsan itu gara-gara asam lambung saya kambuh, sembarangan!"
"Oh, jadi, kemaren itu Bu Naji bawa selimut ke rumah Ira? Kok saya lihat nenteng sesuatu gitu," timpal Bu Nia.
"Iya, bantal juga. Kan pamali tidur pakai bantal bekasnya orang mati."
Ah iya, baru ingat gulungan itu. Aku memang belum sempat memeriksanya saat Bu Naji pingsan malam itu. Tapi seingatku paginya Bu Naji pulang tanpa membawa apapun. Apa tertinggal ya? Nanti akan aku periksa di kamar.
"Lah, berarti Bapak cuma pamit sama Bu Naji, dong. Saya kok gak lihat?" celetukku yang dibalas tatapan tajam Bu Naji. Ibu-ibu yang mengelilinginya menoleh padaku bersamaan.
"Eh, kamu ini tahu apa?! Disuruh misahin beras lawatan aja gak becus! Apa jadinya kalau malam itu saya gak tidur di rumahmu? Bisa mati kamu sangking takutnya karena gak tahu cara menghentikan suara itu!"
"Suara apa, Bu?" Bu Nia kepo lagi.
"Ya itu, bapaknya pamit. Alat-alat dapur ditabuhi. Rame banget, kayak konser."
"Serem iih. Jadi, cerita orang mati yang pamit gitu, beneran ada, ya?" ucap Bu Sita sambil bergidik.
"Iya, lah. Kalau gak di sahutin gak bakal berhenti," tegas Bu Naji sambil melirik jengkel ke arahku.
Merasa tak enak, aku segera pamit sebelum mendengar lebih banyak obrolan mereka tentang mitos-mitos tak masuk akal itu.
"Tunggu, Nak Ira!"
Kuhentikan langkah, menoleh pada sumber suara di samping rumah Bu Naji.
Aku mengerutkan kening melihat pria di hadapanku. Bapak ini ...
Kalau tidak salah, teman bapak yang dulu sering mengunjungi keluarga kami.Ah, iya benar, aku ingat. Wajahnya persis. Hanya saja dihadapanku saat ini versi tuanya, kulitnya lebih berkeriput, tubuhnya pun tak segagah dulu."Ada yang mau saya bicarakan," lanjutnya.Aku mempersilahkan Pak Warjo duduk di teras rumah setelah sebelumnya aku menyetujui ajakannya untuk berbincang di rumahku. Beliau menolak untuk masuk, "Bukan mahram, tak baik," katanya.Ya, namanya Pak Warjo, teman Bapak. "War," begitulah Bapak memanggilnya. Aku sedikit mengingat wajahnya karena terakhir kali bertemu saat acara pemakaman Ibu, saat aku kelas empat SD. Seingatku Bapak sempat bersitegang di pemakaman dengan Beliau ini waktu itu. Aku yang saat itu masih kecil tak mengerti apa yang mereka ributkan, meski mendengar dengan jelas ucapan yang mereka lontarkan. Sejak saat itu, tak pernah lagi ku jumpai Pak War ini berkunjung ke rumah kami hingga saat ini."Gausah repot-repot Ndu
"Mungkin apa, Pak?" Tanyaku tak sabar."Mungkin sengaja ditabung untuk masa depanmu. Bisa jadi, kan?" Pak Tar meringis setelahnya."Kamu ingat, dulu setiap kamu liburan semester saat ibumu masih hidup, bapak pasti kesini. Ya untuk itu, bagi hasil. Nah, waktu kamu udah sekolah itu, pas jaya-jayanya rumah makan kita, jadi lumayan banyak emas batangan yang diterima bapakmu. Gak mungkin habis buat makan kan, kalau katamu kalian gak pernah hidup mewah?". Aku membenarkan ucapan Pak War. Seperti tidak mungkin memang."Apa kamu ndak pernah diajak Bapakmu ke bank atau tempat apa gitu yang buat nabung-nabung emas?" Selidiknya lagi.Pertanyaan Pak War kali ini membuatku mengerutkan kening mengingat-ingat kebersamaanku bersama Bapak. Benar, Beliau memang selalu datang dan mengajakku sekeluarga berlibur saat liburan sekolah tiba. Tapi mengenai tabungan emas, aku benar-benar tak tahu. Aku masih terlalu kecil saat itu. Apa mungkin Bapak ngojek itu cuma pura-pura?
Dia adalah Aryo, anaknya Bu Naji. Bagaimana aku bisa lupa, ya, pada kakak kelasku yang baik hati itu, dasar aku!"Hayo! Ngapain?!"Aku berjingkat kaget. Ternyata ada Bu RT dibelakangku, dia menenteng barang belanjaan, sepertinya terhalang jalannya olehku yang diam agak lama di sini. Hihi."Eh, itu, Bu, lihat Pak War," gugupku."Pak War yang muda apa yang tua? Haha," goda Bu RT sambil berjalan terbahak melewatiku menuju rumahnya yang bersebelahan dengan Bu Naji.Ih, beneran yang muda kok, Bu. Eh.Sebenarnya ingin ketemu Pak War sih, pengin tau lebih banyak hal. Tapi sekarang gak tepat, besok-besok saja jika aku luang.***Hari ini rencananya aku akan ke pasar menjual sembako lawatan untuk bertahan hidup. Setelah kupikir, lebih baik mengikuti saran Mpok Siti kemaren supaya lekas terjual, keburu ngapang (menjamur) juga sembakonya. Nanti sekalian mau cari lowongan kerja di toko pasar. Siapa tahu ada yang butuh tenagaku menjaga to
Nampak Bu Naji menenteng belanjaan dua kantong kresek merah besar baru mendudukkan diri di kursi kayu sampingku."Buk, saya bungkusin seperti biasa," ujarnya pada pemilik warung. Tanpa bertanya apapun, wanita yang baru saja berbincang denganku itu menuju bagian belakang warungnya. Sepertinya Bu Naji sudah langganan di sini."Bawa apa kamu itu, Ra?""Ini, mie kuning, Bu."Bu Naji terkekeh sebelum menjawab, "Lawatan? Mau jual buat makan, ya?" Ejeknya agak keras sambil mencomot gorengan yang tertata apik di hadapan.Aku malu pada pelanggan lain yang seolah menatapku prihatin. Kenapa ketemu di sini, sih! Nanyanya juga gak pakai kira-kira lagi. Tetanggaku yang satu ini memang ajaib, kadang seperti malaikat, membantu tanpa pamrih kadang juga kayak gini ini, pengin tak sleding, hih!Aku hanya menanggapi pertanyaan Bu Naji dengan anggukkan kepala yang kutundukkan dalam-dalam setelahnya untuk menutupi rasa maluku."Mangkannya, Ra, Ibu ny
"Ya Allah .... " gumamku dengan dada yang terasa sesak seperti ada ribuan benda yang menghimpit.Entah mengapa, ada rasa sesal dan kecewa yang sangat mendominasi di hatiku. Mengapa secepat ini? Bukankah banyak hal yang masih belum kutanyakan?.Segera kuletakkan kembali kotak-kotak ini dan mengunci pintu lemari Bapak. Biarlah baju-baju ini berserak dulu, aku akan ke rumah Bu Naji sebentar. Jika melayat tidak dibolehkan, ya sudah aku kesana tanpa membawa lawatan. Biasanya jika di hari pertama begini banyak orang yang masih menanyakan kronologi kematiannya. Aku juga ingin tahu kenapa mendadak seperti ini.Di luar kulihat Bu Nia dan Bu Sita berjalan beriringan menuju arah rumah Bu Naji. Santai sekali mereka, pikirku. Mereka berjalan sambil mengobrol dan sesekali tertawa lepas. Aku mempercepat langkah agar segera sampai."Kenapa di kubur sini ya Bu? Kan rumahnya di kota."Ku dengar Bu Sita bertanya pada Bu Nia. Terdengar jelas karena posisiku mengekor
Dua orang yang sangat kukenal. Pria yang sangat kucintai, kuhormati dan kurindukan saat ini. Dan wanita itu, Ibu, kah? Sepertinya bukan. Lebih mirip Bu Naji. Bapak dan Bu Naji.Ada yang terasa perih saat melihat potret ini meski kutahu pasti, foto ini diambil ketika mereka masih lajang. Bukankah bapak pernah bilang kalau ibu dan Bu Naji itu bersahabat baik? Lantas apa maksudnya ini?Hei, tidak!Lihatlah, perut Bu Naji sedikit membuncit seperti ... orang hamil!Kuamati setiap inchi tubuh wanita tersebut. Benar! Ini Bu Naji yang tengah hamil."Sebelas sebelas delapan tujuh," gumamku mengeja angka di belakang foto ini. Itu berarti 6 tahun sebelum aku dilahirkan. Bukankah Ibu, yang asli orang sini? Setauku bapak adalah perantau dari pulau sebrang yang menetap di sini setelah menikahi Ibu. Sebelum itu beliau mengontrak di kota. Tapi kenapa bisa foto ini diambil sebelum bapak tinggal di sini? Apa mungkin ada kejadian lain yang di maksud oleh ta
"Kami tidak mungkin menjelaskan kasus dalam keramaian seperti ini. Baiknya saudari Ira langsung ikut kami ke kantor."Kami berempat akhirnya mengekori dua polisi ini menuju mobil ke kantor polisi. Bu Nia menolak untuk ikut, silakan dipanggil jika dibutuhkan saja, katanya.Hening. Tak ada percakapan sama sekali dalam perjalanan kami, hanya sesekali isakan Bu Naji terdengar."Mari Pak, Bu, silakan duduk," tutur salah satu polisi ketika kami sudah masuk salah satu ruangan.Pak RT memberi isyarat padaku untuk duduk di sebelahnya. Sedang istrinya berada di belakang kami bersama Bu Naji."Jadi, saya akan jelaskan keseluruhan kasus ini secara global terlebih dahulu. Nanti akan ada pengambilan keterangan dari setiap personal untuk mendapat keterangan detilnya, jadi mohon disimak dengan baik. Begini,"Ku lihat Pak polisi di depanku mengambil napas dalam-dalam dan memperbaiki posisi duduknya terlebih dahulu sebelum mulai menjelaskan. Dia membaca sekil
P.O.V Bu Naji"Boleh saya tahu akan dipertemukan dengan siapa, Pak?"Tanya yang diucapkan Ira sambil berjalan agak tergesa mengejar polisi yang lebih dulu keluar ruangan introgasi. Sayangnya kulihat sepertinya tak ada tanda polisi tersebut hendak menjawab pertanyaan Ira, dia tetap berjalan lurus menuju pintu keluar."Pak Hadi selaku pendakwa kasus ini. Beliau ingin menjelaskan langsung kepada anda bagaimana skema kasus ini terjadi, motif dan hal lain yang dapat membantu memulihkan kembali bisnis keluarga anda." Samar kudengar jawaban polisi tersebut dari arah luar setelah keduanya tak tampak.Tubuhku panas dingin setelahnya. Hatiku berdebar tak karuan mendengar jawaban tadi. Ira akan dipertemukan dengan orang itu, Hadi. Orang dari masa laluku yang licik lagi cerdik itu. Bagaimana ini, bukan hanya hidup Aryo di masa kini yang Ia ketahui, bahkan hidup Aryo sebelum dilahirkan pun dia hapal. Aku takut, belum siap jika masa laluku harus dibuka kembali. Ata