Share

Bab 2. Tercengang

Aku maklumi jika mungkin bagi mereka aku tidak pantas dipanggil sebagai seorang atasan mereka. Karena yang mereka pandang pertama adalah penampilan. Penampilan menarik dianggapnya sebagai orang sukses serta berpendidikan seperti pada umumnya.

“Bu Rista pemilik restoran ini, Bu. Termasuk restoran induk yang ada di beberapa tempat!” Jawab Karyawanku yang aku minta menjadi manajer di restoran cabang ini.

“Tidak mungkin!” sahut mereka serempak. Aku tersenyum kecil mendengar mereka bertiga seakan terkejut dengan kesuksesan yang aku miliki sekarang.

Aku menyerahkan kembali dokumen yang sudah aku tandatangani kepada manajerku. Aku meminta Ara segera menghabiskan minumannya sebelum kembali ke boarding school.

“Rista, apakah yang dikatakan lelaki itu benar?” Mantan mertuaku serta mantan suamiku sepertinya masih tidak percaya. Kedua mata mereka bertiga menatapku seakan mengintimidasiku.

“Menurutmu bagaimana?” Aku penasaran dengan jawaban mereka.

“Menurutku itu tidak mungkin. Mana mungkin warung biasa berubah menjadi restoran terkenal dalam lima tahun!” Mas Bagas sepertinya masih tidak percaya yang terjadi padaku sekarang.

Dia memang suka merendahkan orang. Mereka tidak tahu trik pemasaran yang aku pakai untuk memajukan restoran kecil yang dirintis ayahku. Dulu aku memang pernah bilang jika ayahku cuma usaha warung makan biasa pada keluarga suamiku setelah melihat gelagat anehnya. Itulah sebabnya mereka sekeluarga selalu merendahkan aku. Belum lagi adik Mas Bagas yang tergolong memasuki usia remaja namun parasnya mirip tante-tante karena make up yang dipakai tidak sesuai dengan usianya.

“Kalau tidak percaya ya sudah. Aku tidak perlu meladeni orang yang menurutku tidak penting!” Aku menggandeng tangan Ara menuju ke lokasi parkir. Karyawanku yang kebetulan tengah senggang dengan cekatan membawakan belanjaan ku. Sebenarnya aku tidak suka memanfaatkan karyawanku untuk membantuku membawakan belanjaan ku, hanya saja aku ingin membuat mereka bertiga panas. Sengaja ingin memberi pelajaran akan kesombongan dan hinaannya kepadaku.

Sesampai di lokasi parkir, aku tidak berterima kasih begitu saja pada karyawan ini. Melainkan memberikan uang tip untuknya sekedar membeli minum.

“Harusnya Bu Rista tidak perlu memberi saya uang. Saya cukup senang bekerja di restoran Bu Rista!” Aku terkagum dengan salah satu karyawanku yang rendah hati seperti ini. 

“Tidak apa, rezeki untukmu hari ini!” setelah memastikan semua barang sudah siap, aku kembali melajukan mobilku menuju ke asrama. Tempat tinggal sementara bagi Ara yang menempuh pendidikan di sana.

Aku menatap bangunan megah yang dulu pernah bercita-cita menyekolahkan Ara disana. Setiap malam aku meminta kepada Allah supaya semua usahaku lancar dan bisa menyekolahkan Ara disana. Usaha memang tidak menghianati hasil. Usahaku lancar dan aku bisa mendaftarkan Ara di asrama.

“Ma, jaga diri baik-baik di rumah. Kalau Papa tetep ember, biarin aja!” Aku mengangguk cepat setelah Ara memberikan sebuah pesan untukku sebelum memasuki pintu utama asrama. 

“Mama ini hebat dan kuat. Mama juga sudah sabuk biru melati empat, yang pasti tidak akan kalah sama Papa!” Ucapanku membuat Ara tertawa. Aku dulu memang termasuk salah satu anggota perguruan pencak silat asli indonesia. Bahkan Ara mengikuti jejakku mengikuti kegiatan ini.

Aku melambaikan tangan pada gadisku yang sudah berusia remaja. Disana sudah ada beberapa ustadzah menyambut kedatangan anak didik mereka yang memang sudah waktunya kembali ke asrama. 

Aku kembali ke kediamanku usia mengantar anak gadisku ke asrama. Tidak lupa aku mampir ke sebuah toko kue tradisional kesukaan Ibuku. Kue carabikang yang masih hangat adalah kue kesukaan Ibu. Aku membeli beberapa kemudian kembali pulang. 

Entah kenapa nasibku begitu apes hari ini. Siang ini aku mendapati Lala, mantan adik iparku tengah berdiri di depan rumah tetanggaku. Entah apa yang dilakukannya. Aku berlalu memasuki halaman rumahku.

Aku malas sekali melihat wajahnya, bukan karena aku menjadi wanita sombong, semua kenangan buruk tentangnya menguar begitu saja. 

“Assalamu alaikum, Ibu!” Ibuku sudah berdiri menungguku di depan pintu. Sudah menjadi kebiasaan, Ibu akan menunggu kepulangan anak atau suaminya.

“Waalaikum salam, Nak. Bagaimana Ara? Apakah dia sudah sampai di asrama?” Aku mencium punggung telapak tangan wanita yang sudah melahirkan aku. 

“Alhamdulillah, meski baru satu semester tinggal di asrama, dia tidak pernah mengeluh. Malah Ara senang punya banyak teman di asrama,” Aku duduk di ruang keluarga bersama Ibuku sambil menikmati kue carabikang yang aku beli di toko kue.

“Itu ada mantan iparmu di rumah tetangga. Entah menunggu siapa, dari tadi Ibu lihat dia hanya berdiri dan berteriak memanggil anak lelakinya Bu Retno. Apa kamu tidak menyapanya?” Ibuku beranggapan semua orang akan berubah pada masanya. Nyatanya keluarga mantan suami belum berubah. Mungkin Lala juga sama, apalagi terkenal gadis judes.

“Tidak. Rista lelah habis dihina sama keluarga Mas Bagas. Tadi kami tidak sengaja bertemu di supermarket!” Wajah renta Ibuku yang pembawaannya tenang mendadak berubah. 

Dibelainya tanganku dan berkata, “Biarkan saja, Nak. Serahkan semua pada Allah. Jadilah wanita penyabar, hanya Allah yang membolak balikkan hati manusia!” begitulah Ibuku akan bicara jika aku dihina oleh mantan keluarga suamiku. Aku paham dengan karakter Ibuku, membenci perbuatan kasar apalagi balas dendam. Itulah sebabnya, mendiang ayahku sangat mencintai Ibuku. Disaat sakit, mendiang ayah sering meminta Ibu menemaninya dan membacakan shalawat untuknya. 

Tidak berapa lama, terdengar suara gaduh di depan rumah tetangga. Aku dan Ibu tidak keluar langsung, tetapi melihat kegaduhan di balik tirai jendela.

Lala tengah bersitegang dengan wanita paruh baya. Entah apa yang terjadi, tetapi sangat terlihat sekali bahwa Lala sedang memarahi seorang wanita.

“Aku tidak sudi anakku berpacaran denganmu!” Suara Bu Retno yang memang terdengar keras hingga sampai ke rumahku. Beberapa warga mulai berkerumun melihat kejadian di luar yang mengganggu.

“Anakmu itu jatuh cinta padaku, dan pantas menjadi pacarku. Aku berhak menjalin hubungan dengan Mas Tomi!” Aku melihat Lala dengan percaya diri layak menjalin hubungan dengan seseorang.

“Sudah, kita masuk saja, Bu. Urusan Lala biar menjadi urusannya. Lagian nanti jika kita melerainya, pasti dia akan memarahi kita!” Aku mengajak Ibuku untuk tidak mencampuri urusan mereka. Ibu menurut padaku, kami kembali ke ruang tengah menikmati kue yang aku beli tadi.

Drrtt

Ponselku kembali berdering dengan nomor baru. Aku melihat foto profilnya saja sudah membuatku malas menerima panggilannya.

Siapa yang menghubungi Rista?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status