"Oh, itu dia," Pak Hendra beranjak. Menyambut tamu yang ditunggu sejak tadi. Seperti tamu agung saja, pak kepala sekolah itu menyambut Bima dengan senyuman hangat.
"Mari, Pak. Silahkan duduk, kita bicara di sini saja nggak apa-apa, kan?"
"Baik," Jawab Bima tegas, lalu pandangannya beralih ke arah Cakra yang duduk tak jauh dari mereka, "Oh. Ada Pak Cakra juga, rupanya?"
Sementara yang disapa hanya bergeming, Pak Hendra berdehem kecil. Membuat Bima terkesiap, kembali pada posisinya yang tadi.
"Benar, Pak Bima. Ini Pak Cakra, belum ada setahun beliau ikut mengajar di sini. Bapak kenal juga?" Terang Pak Hendra.
"Bukan hanya kenal, Pak Hendra. Kami sekarang tinggal satu atap," Bima menyahut tanpa peduli bagaimana reaksi wajah Cakra yang mulai berubah tak nyaman.
"Satu atap?" Suara Pak Hendra, tentu saja pria penuh wibawa itu penasaran. Karena yang ia tahu, selama ini Cakra tinggal di rumah pamannya yang berada di dekat pasar Arjowinangun, sementara rumah Bima dekat pantai.
"Benar sekali, Pak Hendra. Paman Pak Cakra itu terjerat banyak hutang dari keluarga kami. Hingga tidak bisa membayarnya, makanya dia dijadikan sebagai alat untuk melunasi hutang Pamannya."
Terlihat sekali ada wajah kaget, penuh tanya dari Pak Hendra. Tatapan tajamnya bergantian dari Bima dan Cakra.
"alat melunasi hutang?" Gumam Pak Hendra, tatapannya masih bingung. Mengarah kesana-kemari, antara wajah Bima dan Cakra. Sementara itu, Bima mengangguk tegas. seperti hendak memberitahukan pada semua orang, bahwa saat ini sedang memiliki adik ipar miskin.
Pak Hendra sepertinya hendak kembali berbicara, tetapi mengatupkan mulutnya yang sudah terbuka. Mungkin ingin bertanya lebih detail, karena penasaran. Namun, segera tersadar agar tak ikut campur terlalu dalam pada proses hidup orang lain.
Akhirnya ia hanya bisa mendesah lirih, tatapan ibanya tertuju ke arah Cakra. guru yang satu itu memang lebih banyak diam, daripada membahas sesuatu yang tidak penting. Seperti membicarakan orang lain, misalnya.
"Ah, sudahlah Pak. Bukannya kita tadi mau membahas masa depan sekolah ini, ya? Kenapa malah jadi membicarakan orang lain?" Bima berucap, memecah keheningan di antara mereka bertiga. Nampak Pak Hendra melepas nafas berat.
"Iya, Pak. Benar sekali. Membicarakan orang lain itu tidak ada artinya sama sekali. Bukan begitu, Pak Cakra?" Yang disapa terkesiap, lantas mengangguk cepat.
"Iya, Pak. Saya juga bukan tipe orang yang senang menggunjingkan sesama. Kita menyadari saja, bagaimana rasanya bila kita digosipkan? Nyaman apa tidak rasanya?" Celetuk Cakra menyindir.
Seketika raut wajah Bima berubah menjadi tak enak. Tanpa di sadari oleh Pak Hendra yang sudah fokus akan persiapan pembahasannya. Hanya Cakra yang diam-diam memperhatikan, akhirnya ia menunduk sambil menahan tawa.
"Benar sekali Pak Cakra. Apalagi jika gunjingan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya," Pak Hendra menanggapi sambil tersenyum hangat. Aura khas yang dimiliki oleh kepala sekolah penuh wibawa dan bijak itu.
Terkadang membuat Cakra ingin sekali bermimpi, suatu saat nanti karirnya terus merangkak naik. Hingga bisa seperti Pak Hendra Wiryawan itu.
"Bagaimana, Pak Bima? Bisa kita mulai saja pembahasan kita tadi?" Pak Hendra kembali tersenyum ke arah Bima yang nampak terkesiap, gugup. Entah kenapa.
"I, iya Pak. Lebih cepat lebih baik, pekerjaan saya sudah menunggu di kantor," jawabnya cepat.
Cakra, karena merasa tak memiliki kepentingan di sana, ia memilih untuk segera membayar camilan yang telah dimakan tadi.
"Ah, Bapak-bapak. Saya permisi dulu," ucapnya membuat kedua lelaki kaya itu serentak menoleh ke arahnya.
"Lho. Pak Cakra buru-buru sekali?" Pak Hendra saja yang menanggapi.
"Iya, Pak. Ada tugas siswa yang harus saya koreksi," kilahnya, tanpa menunggu jawaban, ia segera angkat kaki dari tempat yang sudah tak nyaman lagi baginya.
Ketika melewati Bima, laki-laki itu tak bergerak. Hanya melirik sinis, seperti tersirat sebuah ancaman 'awas saja nanti jika sudah di rumah!' kira-kira begitulah arti lirikan tajam itu.
Cakra mempercepat langkahnya keluar dari pintu kantin. Suara bel istirahat berbunyi melengking, berasal dari tiap-tiap kelas yang memenuhi setiap sudut bangunan sekolah itu. Membuat anak-anak berhamburan keluar dari kelasnya.
Cakra yang berjalan menuju kantor guru pun harus berpapasan dengan mereka. Terlebih dengan siswi yang tingkahnya aneh-aneh saja. Semakin berani menggodanya. Namun, ia mengetahui benar posisinya sebagai pengajar di tempat itu. Tak lantas mengikuti saja permainan para remaja itu.
"Pagi, Pak Cakra," sapa salah satu siswi sambil memainkan ujung rambut berkepang samping. Mata sebelahnya mengerling, membuat Cakra menggeleng samar. Heran dengan tingkah laku anak jaman sekarang, berbeda jauh dengan dirinya saat sekolah dulu.
"Pagi," sahutnya sambil tersenyum hangat dan menganggukan kepala. Ketiga siswi itu meringis, tersenyum kecut lalu saling melangkah cepat meninggalkan guru bersahaja itu.
Cakra tiba di depan kantor, belum sempat melangkah melewati pintu, orang-orang di dalam sudah melempar pandangan aneh ke arahnya.
"Pak Cakra, kok baru kesini, Pak? Bukannya jam sudah habis satu jam yang lalu?" Tanya salah satu guru laki-laki yang duduk di sebelah pintu masuk.
"Iya, Pak. Mampir kantin dulu cari sarapan," Cakra lagi-lagi berkilah.
Ia melangkah tegas, melewati para guru yang berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arahnya. Ada pula guru berusia tua yang hanya diam, menatap penuh iba. Ini yang membuatnya cukup risih berlama-lama di dalam kantor. Melihat reaksi mereka yang berbeda dari biasanya, membuat Cakra ingin segera keluar saja dari ruangan itu.
Tubuhnya terhempas ke atas kursi kayu, menatap kosong pada tumpukan kertas di depan mata. Diambilnya selembar kertas paling atas, mengamatinya dengan malas. Hingga tak mengerti sama sekali dengan tulisan jawaban anak bernama Sasongko Projo Negoro.
"Pak Cakra," ia terpaksa menoleh. Disebelahnya telah duduk seorang guru wanita berwajah teduh, berusia setengah abad. Sejak ia masuk di sekolah ini, hanya dengan Bu Nuraini itulah bisa berbagi keluh kesah. Sosok Bu Nur sangat baik dan bersahabat, selalu memberikan nasehat naik pada Cakra. Seperti ibunya sendiri.
"Sabar, Pak. Manusia hidup ini telah berada pada porsinya masing-masing. Tidak boleh iri, apalagi mengeluh. Kita yakin saja, hukum sebab akibat itu akan tetap berlaku sampai kapanpun," tutur Bu Nur dengan wajahnya mengurai senyum hangat keibuan.
Cakra tersenyum getir, mengamati sekeliling yang ternyata telah kosong entah sejak kapan. Biasanya ketika istirahat berlangsung, para guru pun berhamburan keluar ruangan. Mencari udara segar di kantin dan taman depan sekolah.
"Iya, Bu. Memang ini sudah menjadi porsi hidup saya," sahutnya tak bersemangat.
"Tapi saya juga kaget, bahwa bapak tiba-tiba sudah menikah. Tanpa kabar-kabar, lagi," Bu Nur menanggapi.
"Ini mendadak, Bu. Bahkan diluar dugaan saya."
"Yah. Yang penting Itu tadi, sabar. Jalani saja dengan ikhlas."
***
Jam dua siang. Semua murid bergantian keluar gerbang dengan kendaraan masing-masing. Rata-rata mereka membawa kendaraan keluaran terbaru, nyaris tak ada yang menggunakan motor bekas seperti yang dipakai salah satu guru mereka. Cakra.
Ia memilih untuk keluar paling belakang, dari pada tergesa-gesa karena berdesakan dengan ratusan murid.
"Mari, Pak Cakra. Saya duluan," ucap Bu Nur dengan membuka pintu mobil mewah yang dibawa Pak Sarjito. Suami Bu Nur yang bekerja di kantor dinas pendidikan.
"Iya, Bu. Mari," sahutnya, memundurkan motor dan menaikinya.
"Saya duluan, Pak Cakra," suara Pak Hendra. Berada di dalam mobil berjalan pelan melewatinya.
"Iya, Pak."
Cakra benar-benar pulang paling belakang. Ia melewati gerbang yang masih dijaga dua satpam tersenyum hangat kepadanya, sambil berhormat.
Sekitar setengah jam kemudian, ia telah sampai di depan rumah. Rumah mertua, maksudnya. Di halaman luas itu berjajar dua buah mobil berwarna hitam, yang satu dapat dikenali karena milik Pak Moko. Serta yang satunya lagi, mungkin saja sedang ada tamu di dalam sana. Tamu kehormatan keluarga ini, barangkali.
Setelah memasukkan motor ke dalam garasi di samping teras depan, Cakra melangkah ragu menuju pintu yang terbuka lebar. Dari dalam sana terdengar sayup-sayup, suara beberapa orang sedang asyik berbincang.
"Permisi," Cakra menyapa sesopan mungkin, semua orang di ruang tamu itu mendongak. Menatap penuh tanya ke arahnya.
"Ah, itu suami Mega," tunjuk Pak Moko pada teman-temannya. Sementara Bu Moko menatap datar ke arah Cakra yang masih berdiri mematung.
"Oh, ternyata tampan juga ya suami Mega?" Celetuk salah satu.
"Kok jam segini sudah pulang, kerja apa dia?" Tanya yang lain.
"Ah, maaf sekali. Menantu kami yang satu ini memang belum terbiasa di rumah ini. Kemarilah, nak," ucap Bu Moko berjalan menghampiri Cakra, merangkul pundaknya dan menyuruhnya duduk di kursi.
"Namanya Cakra. Dia pengajar di salah satu SMP negeri di kota ini," celoteh Bu Moko, benar-benar membuat Cakra tak habis pikir. Mengapa bisa mendadak berubah baik? Tanyanya dalam hati.
***
"Namanya Cakra. Dia pengajar di salah satu SMP negeri di kota ini," celoteh Bu Moko, benar-benar membuat Cakra tak habis pikir. Mengapa bisa mendadak berubah baik? Tanyanya dalam hati."Wah, seorang guru berarti?""Benar sekali, Pak.""Hebat sekali, ya. Guru itu pekerjaan mulia lho, Pak. Buk," komentar salah satu dari mereka, diiringi anggukan bangga oleh yang lain. Dengan suara itu, Bu Moko semakin tersenyum lebar. Ia pun menatap bangga pada menantu yang baru kemarin resmi menjadi suami Mega."Cakra, kebetulan tamu kita ini belum dibuatkan minuman. Ibu bisa minta tolong, kan?" Tanya Bu Moko pada Cakra yang masih berfikir. Ia lantas mengangguk saja menyetujui permintaan ibu mertua itu."Iya, bukan. Kalo begitu saya permisi ke belakang dulu,""Iya iya. Silahkan,"Cakra berjalan lebih dulu ke kamarnya, dengan perasaan penuh tanya. Hari ini aneh sekali, mertua yang sebelumnya bersikap kasar, kini telah berubah baik. i
L"Bagaimana pekerjaan kamu hari ini, Bima?" Tanya Pak Moko di sela-selanya mengunyah makanan."Bagus, Pak. Tadi aku juga sempat mampir ke beberapa sekolah yang ku bantu tiap bulan," Bima membanggakan dirinya."Bagus!""Aku juga baru tau, menantu baru di rumah ini, sebagian gajinya juga berasal dari bantuanku."Sontak semua orang berpandangan, fokus mereka terarah pada Cakra."Oh, iya? Berarti nggak salah Bapak memilih menantu sepertimu," pujian sang Bapak itu tentu saja membuat Bima melambung tinggi.Ia memamerkan senyum puas sambil mengangakat sebelah alisnya. Memandang cakra dengan tatapan meremehkan. Sementara yang dipandang itu memilih untuk tak mendengarnya hingga ke hati. Ia tetap sibuk dengan sendok dan garpu di tangan, seperti tak terjadi apapun."Emang siapa sih, istrinya? Aku gitu lho. Masa iya, kayak Mega itu, dapatnya laki-laki miskin. Punya kerjaan pun nggak ada keren-kerennya sama sekali," celetuk Mentari, anak p
"Memang posisimu apa? Sama seperti Mas Bima, kan?" Mega mencecar, entah apa maksudnya."Iya, tapi ada yang membedakan kami," Cakra menyahut dengan wajah penasaran. Apa gadis itu tidak tau alasan sesungguhnya mereka menikah? Ia hanya membatin."Karena pendapatan kalian berbeda?" Mega masih bertanya dengan tatapan menuntut. Sementara Cakra berhembus lirih, rupanya gadis itu belum tahu alasan sesungguhnya mereka menikah.Namun, ia tak sampai hati intuk menjelaskannya. Bagaimana jadinya bila Mega tahu semua itu, sementara dengan kondisi yang seperti itu? Cakra menggeleng cepat. Tak ingin mengatakannya sekarang. Gadis itu memang tidak boleh tau."Mungkin iya," Jawabnya. Lantas menunduk, Mega pun sama. Hingga beberapa saat mereka saling tertunduk tanpa kata. Sibuk mengeja perasaan masing-masing."Mega," Cakra bersuara. Memecah keheningan mereka malam itu. Di Tengah suasana sepi malam hari, semua orang di rumah
"Cakra!" Ia tersentak. Menoleh ke asal suara, di ambang pintu, rupanya Bu Moko telah berdiri di sana dengan wajahnya yang khas. Melorot tak bersahabat, apalagi dengan orang miskin seperti Cakra.Wanita itu berjalan mendekat, Lama-lama seperti monster yang siap menerkam mangsa. Bergidik Cakra melihatnya."Ngapain kamu tidur di sini? Bangun kesiangan, lagi!" Cetus suara wanita itu. Cakra yang belum usai rasa kagetnya pun harus bertambah, heran dengan pertanyaan itu."Maaf, bukan. Saya tadi malam ketiduran di sini," Jawab Cakra sekenanya, membuat mata Ibu mertuanya kian membulat."Kamu biarkan istrimu tidur sendirian di kamar sana?" Tanya Bu Moko dengan suara kencang."Katanya saya ini cuma pelayanan di rumah ini, Buk. Ya, saya merasa tidak pantas tidur satu kamar dengan Mbak Mega," Cakra masih menjawab enteng."Heh! Kamu itu sudah menjadi suaminya Mega.
Langkah mereka berhenti di depan taman pinggir pantai yang dikunjungi banyak orang. Apalagi akhir pekan seperti ini, banyak sekali pasangan keluarga bergerombol di sana. Menunggu anak-anak mereka berebut membeli cilok dan siomay."Mega, Cakra? Ngapain kalian di sini?" Keduanya terkejut, melihat segerombolan orang menatap aneh kepadanya."Ibuk?" Mereka bergumam. Keduanya melihat dengan mata membulat, ketika bu moko muncul dari celah-celah gerombolan orang itu. Menatap mereka dengan tatapan tajam menyala, seperti tak suka sama sekali Mega dan Cakra berada di tempat itu."Itu anakmu?" Salah satu dari teman-teman Bu Moko itu bertanya. Yang lain memandang remeh pada sosok sederhana di sebelah Mega."Iya," Bu Moko menjawab singkat."Itu suaminya, kayaknya orang miskin, deh?" Celetuk yang lain. Diiringi dengan anggukan kepala dari yang lain. Ucapan lirih mereka sama, "iya, tuh," Katanya."Iya,
Ketika piring kotor tinggal satu, tanpa sengaja tangan mereka menuju pada piring yang sama. Membuatnya saling menatap heran."Kalian sedang apa?"Mereka yang awalnya saling berpandangan itu, serentak menengok ke belakang. Pada sosok berwajah penuh tanya, menatap dengan pandangan menyelidik.Mentari dan Cakra segera menguasai dirinya masing-masing. Sementara Cakra menghela nafas berat, mengumpulkan kekuatan untuk menjawabnya."Maaf, Mas. Kami tadi sedang membersihkan dapur, tidak ada yang kami kerjakan selain mencuci piring kotor," Suara Cakra dibuat sehalus mungkin untuk menghormati Kakak iparnya, yang mungkin saja hendak salah paham. Terlihat dari tatapan menusuk, pria beranak satu itu sudah pasti mengira yang tidak-tidak."Ah, sayang," Mentari mendekati suaminya, lantas mengalungkan kedua tangan pada leher Bima yang masih bergeming. Wanita itu bergelayut manja."Aku tadi sedang mencuci piring di
Siang ini, Cakra baru saja pulang dari sekolah. Langkahnya tergesa-gesa, menuju kamar temen istrinya berada. Di sana, Mega duduk di sofa, tempat biasa Cakra menjalani tidur malamnya. Gadis itu sedang asyik dengan gawai di tangan. TV yang terpasang pada sisi ruangan depan ranjang juga menyala. Ia tak menyadari ketika suaminya masuk."Mega?" Cakra menyapa sambil melepas tas ransel dan menggantungnya di dekat gantungan baju. Ia mendekati Mega, duduk di sebelahnya.Tak ada kata terucap dari gadis itu setelah lirikannya tadi. Mungkin masih marah dengan suaminya. Hanya sesekali melirik, ketika Cakra mencuri pandang ke arahnya. Dan kembali membuang muka, ketika tatapan mata mereka ternyata bertemu.Mega akan kembali tertunduk menatap layar pipinya, tentunya dengan rona merah di sepasang pipi. Hal itu, membuat Cakra menggeleng sambil terkekeh dalam hati. Menyadari betapa besar gengsi yang dipunyai seorang Mega.Cakra berdiri
Sudah adakah cinta untukku? _Seperti biasa, ketika malam tiba, seluruh anggota keluarga pak moko berkumpul mengelilingi meja makan besar. Aneka makanan terhidang di sana. Acara makan malam itu, selain untuk makan bersama juga untuk saling bercurah keluh kesah. Tentunya selain Cakra. Hingga saat ini, sepertinya ia belum mendapatkan tempat di hari bapak dan ibu mertuanya.Malam ini, ada yang berbeda dari raut wajah mentari, sejak beberapa hari yang lalu. Sejak wanita itu hendak berbuat jahat pada Cakra, lalu terhalang oleh Mega. Perubahan wajah mentari itu, hanya Cakra yang bisa memahaminya. Tanpa ada siapapun di keluarga itu yang tahu, selain mega tentunya."Pak, Buk," Cakra membuka percakapan yang sejak tadi belum terdengar. Semua orang menoleh, termasuk Mega yang duduk disebelahnya."Saya mau minta ijin, sebulan lagi akan mengikuti tes CPNS di luar kota," Ucap Cakra agak ragu."Apa? Tes PNS? Emang kamu sepintar