"Gak apa-apa, Mbak. Aku yakin semuanya akan baik-baik aja. Aku juga masih punya sedikit tabungan. Jadi, Mbak jangan khawatir lagi," ucap Mazaya seraya memeluk sang kakak.
Kakak dan adik itu saling berpelukan dengan erat. Mereka seakan saling menguatkan satu sama lainnya saat ini. Di masa mendatang akan lebih sulit bagi mereka untuk menjalani hidup yang serba kesusahan.Usai sang kakak merasa lebih tenang, Mazaya pun memberitahukan pihak rumah sakit agar mengurus jenazah sang ayah.Prosesi pemakaman pun berjalan dengan lancar. Meskipun Nasuha kembali histeris di tanah kuburan sang ayah dan Mazaya lagi-lagi harus menenangkan kakaknya itu. Terlebih lagi selama ini tubuh kakaknya itu lemah dan sering sakit-sakitan.Di saat yang sama, keluarga Devan datang melayat dan mengucapkan belasungkawa kepada Nasuha dan Mazaya."Kamu jangan khawatir, Suha. Tante dan Om akan tetap tepati janji buat menikahkan kamu sama Devan," ucap Puspita- Ibunya Devan."Iya benar. Sebaiknya pernikahannya dipercepat dan kamu bisa tinggal sama Om dan Tante," sambung Mahardika- ayahnya Devan."Makasih Tante,Om. Aku gak tahu lagi harus gimana kalau gak ada kalian," isak Nasuha seraya memeluk calon ibu mertuanya itu.Sementara Devan berdiri tidak jauh dari orangtuanya itu dengan sikap dinginnya. Lalu di mana Mazaya?Wanita itu memilih untuk memisahkan dirinya karena nyatanya keberadaannya seolah tidak nampak di sana. Sakit memang. Tapi, apa yang harus dilakukannya saat ini? Tidak ada, selain menerima kenyataan bahwa ia akan hidup sendirian tanpa kakaknya.Dan benar saja, ketika pernikahan sederhana yang diadakan tiga hari setelah pemakaman. Nasuha seakan ingin membuang adik angkatnya itu dari kehidupannya. Tentu saja Mazaya akan menjadi beban baginya saat ini.Sementara Mazaya hanya bisa menjerit di dalam hatinya, di saat melihat pria yang telah mengambil kesuciannya itu mengucapkan ijab kabul untuk kakaknya."Yaya, ke sini sebentar," panggil Nasuha di saat melihat sang adik angkat ada di acara sederhana pernikahannya dan Devan.Mazaya tetapi tersenyum di tengah kegetiran hatinya. Lalu ikut dengan sang kakak ke dalam kamar pengantin yang dihias dengan cukup indah."Iya, Mbak. Selamat ya atas pernikahannya," ucapnya memberikan selamat."Makasih, Yaya. Tapi, maaf ya aku gak bisa minta tolong mereka untuk ajak kamu tinggal di sini.. Kamu gak apa-apa kan tinggal di kosan sendirian?" tanya Nasuha dengan senyum palsunya. Itu karena sebenarnya keluarga Devan memintanya agar Mazaya ikut tinggal, tapi ditolaknya dengan alasan sang adik yang tidak mau."Gak apa-apa, Mbak. Aku bisa ngerti kok. Semoga Mbak Suha dan Mas Devan jadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah," ucap Mazaya dengan tersenyum getir."Makasih, Yaya. Mbak harap kamu juga bisa ketemu sama pendamping. Uhuk ... Uhuk ...." Tiba-tiba saja Nasuha terbatuk-batuk."Mbak Suha jangan lupa minum obatnya," ucap Mazaya yang tampak khawatir karena sang kakak memang mempunyai penyakit yang tidak boleh melewatkan obat nya."Iya, aku ingat kok, Yaya. Oh iya, kamu bisa keluar sekarang, Yaya. Kayaknya Mas Devan bentar lagi mau masuk ke sini," ucap Nasuha dengan senyum mengembang di wajahnya.Sedangkan Mazaya meremas ujung pakaianya yang dikenakannya untuk beberapa saat. Ia membayangkan betapa beruntungnya sang kakak karena menikahi Devan. Sedangkan ia yang sudah direnggut harga dirinya itu oleh kakak iparnya itu, tidak bisa menuntut apapun saat ini."Kalau gitu aku pulang, Mbak."Mazaya pun pamit pergi dari kediaman keluarga Mahardika tersebut.Namun, ia harus kembali berpapasan dengan Devan di ambang pintu. Padahal sebisa mungkin dirinya agar tidak sampai bertemu dengan pria tersebut.Meskipun mereka berpapasan, tapi tidak ada saling bertegur sapa seakan tidak terjadi apapun di antara mereka.Yang ada hanya Mazaya-lah yang membawa luka itu sendirian.Mazaya sudah pindah ke sebuah kosan kecil. Tanpa ada bantuan dari siapapun. Sanak saudara yang dekat ataupun jauh sama sekali tidak mau membantu mereka saat ini.Mereka seakan lupa jika dulu pernah dibantu oleh keluarga Dwidarma. Beruntung mantan asisten rumah tangga di rumah Mazaya sebelumnya, mau membantu mencarikan tempat tinggal yang cukup layak untuk ditinggali.***Waktu begitu cepat berlalu hingga sudah satu bulan lebih beberapa hari terlewati oleh Mazaya, sejak meninggalnya sang ayah dan kakaknya yang sudah menikah dengan Devan.Akan tetapi, Mazaya sudah tidak masuk kuliah karena mengajukan untuk cuti sebelumnya. Itu karena banyak hal yang harus diurusnya. Selain itu ia pun bekerja paruh waktu ke sana-kemari untuk menyambung hidup. Meskipun sampai detik ini belum mendapatkan pekerjaan tetap.Selain itu selama itu pula, Mazaya sama sekali tidak pernah berhubungan lagi dengan kakaknya. Ia tidak ingin mengganggu kebahagiaan kakaknya tersebut."Bismillah. Semoga hari ini dapat pekerjaan bagus," gumam Mazaya yang memanjatkan doa.Siapa sangka doa Mazaya tersebut terkabulkan. Ia mendapatkan tawaran pekerjaan di sebuah toko bunga ternama. Di mana sedang dibutuhkan karyawan secepatnya. Bahkan gajinya lebih besar dari pekerjaan paruh waktunya selama ini."Alhamdulillah."Mazaya berulang kali mengucap syukur karena mendapatkan pekerjaan yang selama ini dicarinya. Bahkan tempat itu memperbolehkan pekerjanya untuk bisa tetap kuliah dengan jalur karyawan.Karena masih karyawan baru, Mazaya belum bisa kuliah dan masih ditugaskan untuk menjaga salah satu outlet bunga terlebih dahulu setiap harinya. Tapi, akan mendapatkan jatah libur seperti karyawan lainnya.Namun, siapa sangka di hari pertamanya bekerja, Mazaya malah bertemu dengan salah satu orang yang menorehkan luka di hatinya.Siapa lagi kalau bukan Devan. Pria yang paling tidak ingin ditemui oleh Mazaya dari sekian orang di dunia ini. Bahkan rasanya ia muak dan juga mual menatap wajah pria tersebut di depannya saat ini.Meskipun hari itu Devan tampak begitu rapi dan rupawan dengan memakai kemeja hitam dan seperti akan pergi ke suatu tempat. Tapi, tidak menyurutkan kebencianya terhadap Devan.Tetapi Mazaya harus bersikap profesional terhadap pekerjaannya dan mengesampingkan tentang masalah pribadinya.Sedangkan Devan untuk sesaat menampilkan wajah terkejutnya karena bertemu lagi dengan Mazaya. Ia sebenarnya sudah tahu wanita tersebut yang sudah tidak kuliah lagi dan memang tidak terlihat di kampus. Meskipun begitu itu bukanlah urusan dirinya tentang apa sebenarnya yang terjadi dengan Mazaya."Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Pak," sapa Mazaya yang seakan tidak kenal dengan Devan."Apa ada bunga mawar putih?" tanya Devan acuh."Ada, Pak. Apa mau dibuatkan buket? Besar, sedang atau--"Mendadak ucapan Mazaya terjeda, ia merasa pusing dan rasa mualnya semakin tidak tertahankan. Padahal ia sudah sarapan waktu pagi dan tidak sampai telat makan.Bersamaan raut wajah Mazaya memucat ketika terima sudah telat datang bulan.'Gak mungkin 'kan aku sampai hamil?' batinnya meringis."Yaya, kamu kerja di sini?" sapa Nasuha dengan wajah semringah dan bergelayut manja di lengan Devan.Tampak Nasuha masuk menyusul Devan ke toko bunga tersebut. Kakaknya itu kian cantik dan terawat. Ia yakin kehidupan rumah tangga sang kakak dilimpahi kebahagiaan."I-iya, Kak. Gimana kabar Kak Suha?" balas Mazaya yang memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Alhamdulillah baik, kalau kamu gimana? Maaf ya, kakak lagi sibuk urus rumah sama suami belakangan ini. Jadi, gak sempet telpon kamu, tapi kamu baik-baik aja 'kan?" ucap Nasuha yang terdengar seperti menyesal telah mengabaikan Mazaya, padahal kenyataannya memang seperti itu."Gak apa-apa, Kak. Alhamdulillah aku baik-baik aja kok," balas Mazaya dengan senyuman yang sama terpaksa seperti sebelumnya."Aku mau pesan buket bunga mawar putih ukuran besar," ucap Devan tiba-tiba memecah pembicaraan dua kakak beradik itu, tapi ia seolah-olah tidak mengenal Mazaya dan bersikap dingin."Baik," jawab Mazaya dengan mengulas senyumannya. Ia sebisa m
"Ini gak mungkin kan? Aku tadi pasti salah dengar! Aku yakin kalau mereka baik-baik saja."Mazaya sebisa mungkin menepis atas apa yang didengarnya beberapa saat yang lalu. Hal itu juga tidak akan merubah apapun bagi dirinya. Sekalipun ia akan menuntut demi anaknya? Itu sama saja seperti menyerahkan sukarela anaknya itu pada mereka."Nggak! Nggak boleh! Aku gak bisa hancurkan rumah tangga Kak Nasuha. Dia pasti kecewa dan benci sama aku kan," gumam Mazaya lirih.Dengan langkah kaki yang berat, Mazaya pun pergi dari tempat tersebut. "Yaya, kenapa kamu ada sini?" panggil seseorang dari arah belakang.Mazaya mengenal betul suara yang memanggilnya tersebut. Ia tidak lain adalah mantan sahabat nya - Nadia. Meskipun enggan untuk bertemu, tapi pada akhirnya dirinya menyahut sapaan wanita tersebut."Hei, Nad. Apa kabar?" sapanya dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Kabarnya gak terlalu baik sih .... Eh, tapi, kamu kemana aja sih, Yaya? Kamu udah gak kuliah lagi dan aku khawatir sama kam
"Apa saya bisa lihat perjanjian kerjanya dulu, Bu Erina?" ucap Mazaya yang sedikit ragu sebenarnya. Tapi, tidak ada salahnya untuk memastikan terlebih dahulu kontrak kerjanya."Silahkan, Mbak," ucap Erina menyerahkan beberapa lembaran kertas di atas meja yang ada di depan mereka.Mazaya pun membaca apa yang tertulis di lembaran kertas di tangannya itu, lalu yang membuatnya tercengang adalah nominal gaji yang ditawarkan benar-benar besar. Bahkan ada beberapa bonus tunjangan yang nilainya tidak sedikit."Apa ini gak salah, Bu. Gaji yang saya terima senilai sepuluh juta perbulan. Itu sudah dua kali lipat dari gaji gardener yang saya tahu," ucapnya heran."Itu karena mall kami sudah standar internasional dan tempat itu sering dikunjungi wisatawan asing serta para petinggi atau keluarga Kerajaan dari luar negeri. Selain itu ada satu hotel kami yang memakai jasa anda," terang Erina. "Anda juga akan mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan kendaraan pribadi, jika bersedia menerima tawaran ini
"Mazaya? Kamu Mazaya 'kan? Apa dia anak kamu? Kapan kamu menikah?" Dengan rasa penasaran di hatinya, Devan bertanya pada Mazaya tentang anak yang saat ini digendong oleh wanita di depannya itu. Terlebih lagi wajah bocah laki-laki yang ada di depannya tanpa begitu mirip dengan dirinya. Hal itu seakan membuatnya merasa memiliki ikatan dengan anak tersebut Raut wajah Mazaya semakin pucat pasi karena karena tatapan Devan mengarah ke putranya. Hal itu membuatnya tidak nyaman, sekaligus khawatir seperti yang selama ini dicemaskannya."Yaya," ulang Devan karena Mazaya malah terdiam di tempatnya. Wanita di depannya kini lebih cantik, dewasa dan matang dari kali terakhir mereka bertemu."Ibu, ayo mamamnya. Aku lapel nih." Askara meronta dalam gendongan ibunya, entah karena lelah atau mungkin memang rasa lapar mengundang perutnya dan meminta untuk segera diisi."Iya, kita pergi sekarang," balas Mazaya yang berusaha menenangkan putranya.Kemudian Mazaya menghirup udara di sekitarnya dengan be
"Will, apa ada informasi lebih lengkap tentang nama penerima kerja atas nama Mazaya," perintah Devan kepada sekretarisnya melalui saluran telepon di kantor."Baik, Pak. Akan saya kirimkan. Tapi, Bu Mazaya salah satu karyawan yang direkomendasikan oleh Bu Erina, apa karena hal itu bukan?" William terdengar penasaran karena selama ini Devan tidak pernah terlalu tertarik dengan urusan karyawan.Untuk sesaat Devan terdiam ia tidak mungkin mengatakan maksud dan tujuan yang sebenarnya terhadap Mazaya. "Iya, kamu benar. Kalau bisa Bu Elina supaya datang ke kantor hari ini dan segera membuat tanda tangan kontrak dengan Mazaya. Maksudku dengan Bu Mazaya besok aku ada acara mendadak ke keluar kota dan tidak ada di kantor." Devan sengaja berdusta agar Mazaya segera menjadi karyawannya dan terikat kontrak. Bukan tanpa alasan, mungkin saja wanita Mazaya akan menolak jika tahu bahwa dirinya adalah pimpinan di perusahaan tersebut."Bu Erina sedang dalam perjalanan bisnis, Pak. Tapi, akan saya usa
"Selamat datang di Mahardika Grup, Bu Mazaya."Dengan ramah dan senyuman di wajahnya, Devan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Mazaya yang ada di depannya itu.Tangan Mazaya rasanya begitu berat menyambut uluran tangan Devan. Itu sama saja dengan melemparkan diri di bawah aturan pria tidak berperasaan seperti Devan.'Apa gak bisa kontrak kerjanya dibatalkan aja?' batinnya yang menjerit saat ini."Bu Mazaya," ulang Devan karena Mazaya tak kunjung membalas uluran tangannya.Di saat yang sama Erina menyenggol lengan Mazaya agar segera berjabat tangan.Mazaya sejenak mengerjapkan katanya. "Ah, iya, terimakasih, Pak Devan," ucapnya dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum dan berjabat tangan dengan Devan. Padahal ia sebelumnya menghindar dengan mengatakan bahwa bukan Mazaya, tapi kini ucapan itu malah dipatahkan dengan situasi mereka saat ini.Devan tersenyum kecil, lalu melirik pada Askara yang tertidur di atas sofa dengan lelapnya."Apa itu anak anda?" tanyanya."Iya, Pa
"Om papa, Om Papa. Aka kangen."Askara menanggil Malvin dengan panggilan 'om papa' . Namun, seketika Mazaya menggelengkan kepalanya karena sikap putranya tersebut. Padahal mereka sudah tidak bertemu hampir tiga bulan karena Malvin yang sibuk dengan pekerjaannya di Ibukota."Aska, gak boleh gitu, sayang. Panggil Om Malvin ya," ucapnya pada Askara.Malvin sendiri tersenyum kecil dan tampak tidak mempermasalahkan panggilan Askara pada dirinya."Gak apa-apa, Yaya. Dari kecil dia juga udah panggil kayak gitu 'kan. Malah orang-orang sangkanya aku ayahnya," ucapnya dengan kekehan pelan di akhir kalimatnya."Kalian udah cocok, nikah aja," celetuk Erina yang berada di antara dua orang tersebut.Mazaya hanya tersenyum getir. Ia merasa tidak pantas jika harus disandingkan dengan Malvin karena pria tersebut terlalu baik untuknya. Terlebih lagi waktu itu ia mendengar bahwa Malvin katanya sudah bertunangan dengan wanita lain."Itu juga kalau Mazaya mau Bu Erina," sambung Malvin dengan senyuman kec
Begitu tiba di rumah barunya, Mazaya mengerjapkan matanya berulang kali karena rumah tersebut lebih besar dan berlantai dua, jauh lebih bagus dari rumah kontrakan sebelumnya.Selain itu ada beberapa rumah lainnya yang dapat dihuni oleh orang lain, di sisi kiri dan kanan rumahnya."Bu Erina, apa gak salah saya tinggal di tempat ini?" tanyanya dengan mata berbinar."Gak salah Mbak Yaya. Ayo, saya bantu turunkan barang-barangnya."Erina membuka pintu rumah tersebut, lalu menawarkan diri untuk memberikan bantuan kepada Mazaya, namun malah ditolak oleh wanita tersebut."Gak apa-apa, Bu. Biar saya aja, ibu pasti capek karena udah mengemudi dan antar kami sampai ke sini," ucap Mazaya yang tidak ingin semakin merepotkan Erina.Bersamaan terdengar sorak Askara yang memasuki rumah tersebut."Lumah balu ....""Gak juga kok, Mbak Yaya. Saya udah biasa bolak-balik ke luar kota," kukuh Erina yang bergerak ke pintu bagasi mobilnya.Mazaya memang tidak enakan orangnya, sama seperti hal sekarang. Tapi