“Itu sih memang udah kodratnya tamu, Mba. Tamu adalah raja kalau di rumah ini, Mba.”“Tapi, aku tetap akan bantu Mbok Nah. Aku nggak tau lagi harus ngapain, Mbok Nah. Aku udah biasa kerja setiap bangun tidur subuh hari dan kalau nggak kerja saat pagi, aku akan merasa lemas sepanjang hari,” jelas Susan yang sebanarnya hanyalah kebohongan saja agar dia diberikan izin untuk ikut membantu di dapur pagi ini oleh mbok Minah. Siapa sangka, triknya itu sangat berhasil kali ini.“Benarkah begitu, Nak? Kalau begitu, kamu harus bekerja agar tubuhmu tetap sehat dan bugar.”“Tentu saja, Mbok Nah. Terima kasih karena sudah memahamiku.”“Sama-sama. Apa yang ingin Mbak Susan lakukan?”“Mbok Nah panggil aku Susan aja deh, nggak usah panggil pake mba gitu. Aku justru senang saat tadi Mbok Nah manggil aku dengan kata ‘nak’.” Susan berkata dengan jujur.Mbok Minah melihat jelas raut kejujuran di wajah Susan saat ini dan sepertinya wanita itu berasal dari kelurga yang tidak harmonis atau kurang kasih saya
“Yang masak sarapan hari ini tuh Susan, Mas, Mba.” Mbok Minah berkata dengan suara kecil.Renata jelas mendengarnya dan dia mencuri pandang pada kunyahan suaminya yang melambat. Seperti baru saja menyadari ada hal yang tak biasa yang bisa dilakukan Susan. Ternyata, hal itu tidak membuat hati Renata sakit sama sekali.“Susan, sini duduk sarapan bareng sama kita,” ajak Renata dengan senyum tulus.“I-iya, Mba. Tapi, nanti aja deh. Aku masih kotor dari dapur, belum mandi. Aku nanti aja sarapannya,” tolak Susan dengan malu-malu.“Nggak apa-apa kok. Keringat pagi itu sehat dan makanan harus dimakan selagi masih hangat begini. Selesai makan, duduk bentar, baru deh kamu mandi biar segar dan tenang pikirannya,” terang Renata dengan nada yang sangat lembut dan bijaksana.Susan tidak berani mengiyakan permintaan Renata karena masih teringat dengan pertengkaran suami istri itu semalam karena kedatangannya ke rumah ini. Walaupun Susan tidak datang sebagai wanita kedua dalam rumah tangga mereka, ta
Susan masih tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar dari mulut Evan. Betapa mudahnya pertanyaan penting seperti itu keluar dari mulut pria yang sudah beristri. Terlebih lagi, istrinya duduk di samping dirinya saat ini. Hal yang sangat tidak bisa dipercaya oleh Susan, bahkan Renata sendiri tidak merasa terkejut dan marah mendengar suaminya bertanya seperti itu pada wanita lain. Selain itu, Susan juga adalah wanita yang baru saja hadir dalam hidup mereka berdua. Bukan sengaja hadir sebagai orang ketiga, tapi mungkin takdir yang membuat mereka bertiga akhirnya bertemu saat ini. “Maaf, Mas Evan! Aku bukan perempuan seperti itu. Aku nggak akan merusak rumah tangga wanita lain hanya untuk membalas budi. Aku tau, Mas Evan udah menyelematkan aku dari lembah hitam yang selama ini menjerat kaki dan tubuhku, tapi bukan seperti ini juga caranya aku membalas kebaikan yang udah Mas Evan lakukan untukku,” cecar Susan dengan emosi yang meluap dan air mata yang menggenang di bola matanya yang
“Ya Tuhan! Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran mba Renata itu? Kenapa dia dengan mudahnya bicara seperti itu?” tanya Susan yang sudah kembali lagi ke dalam kamar tamu.Tadinya, dia ingin meminta maaf pada Renata karena sudah bicara terlalu kasar. Padahal, saat ini pun posisinya sedang menumpang di rumah wanita itu. Namun, belum sampai langkah kaki Susan ke meja makan, dia sudah mendengar semua yang diucapkan oleh Renata kepada mbok Minah tadi.Di meja makan, Renata masih tersedu sedu karena merasa tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia sudah merasakan titik terendah dalam hidupnya sebagai seorang wanita. Berharap pada wanita lain untuk bisa mengandung anak suaminya. Semuanya itu tentu saja tidak lah mudah, tapi dia terus mencoba untuk menanggung sakitnya sendiri dan hanya ingin memperlihatkan senyumannya.“Mbok Nah, aku ke kamar dulu. Aku mau bicara lagi sama mas Evan.”“Nanti aja, Mba. Sepertinya mas Evan juga lagi dalam suasana hati yang nggak baik sekarang. Nggak usah membahas ha
Satu hari setelah kepergian Renata ke Bali dan untuk pertama kalinya dia tidak bersama dengan Evan. Sudah bisa dipastikan bahwa akan banyak pertanyaan dan juga gosip menyebar di kalangan para sahabat dan kolega bisnisnya. Selama ini Renata dan Evan selalu terlibat bersama dalam acara apapun dan tidak pernah hanya hadir seorang diri.Di rumah, Evan sudah bersiap untuk pergi bekerja dan tidak menemukan dasi yang biasa dia gunakan di dalam kamarnya. Evan merasa Renata sengaja tidak mempersiapkan pakaian kerjanya seperti biasa dan itu membuatnya kesal.“Mbok ... bisa bantu aku carikan dasi warna maroon yang biasa aku pakai itu nggak? Aku nggak nemu di kamar, mungkin masih ada di laundry room.” Evan berkata dengan pasrah sambil memasang kancing kemejanya di depan wanita tua itu.“Duh, gimana ini, Mas? Mbok Nah lagi goreng ini, takutnya gosong. Tapi, di ruang menyetrika ada Susan yang lagi bantu-bantu juga. Coba Mas Evan tanya sama dia aja, mungkin dia bisa bantu,” jelas mbok Minah yang mem
Evan melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan yang biasa dipakai untuk menyetrika dan di sampingnya ada mesin cuci otomatis seperti yang biasa dipakai oleh tukang laundry di luaran sana. Terdengar oleh Evan senandung indah dari dalam ruangan itu, pertanda memang ada sesesorang di dalam sana.“Suaranya bagus juga kalau nyanyi.” Evan berkata dengan sangat pelan dan mengetuk pintu ruangan itu.Tidak ada sahutan dari dalam dan tetap hanya ada suara seorang wanita yang sedang bernyanyi lagu sedih. Evan merasa bahwa sepertinya Susan menyanyikan lagu itu untuk mengungkapkan perasaannya saat ini.Evan melirik jarum jam di tangan kirinya dan sudah jam tujuh lewat tiga puluh menit. Biasanya, jam segini Evan sudah selesai sarapan dan bersiap untuk pergi ke kantor. Namun, hari ini bahkan dasi saja dia belum memakainya dan masih harus mencarinya. Perlahan, Evan menarik kenop pintu dan mendorong pintu itu ke dalam.Terlihat seorang gadis berpakaian daster kensi yang berdiri membelakanginya dan ma
Susan menatap Evan dengan lekat dan tak berkedip sama sekali, karena tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh pria itu selanjutnya. Terlebih lagi, Susan teringat dengan pertengkaran antara Evan dan Renata tempo hari dan melibatkan dirinya juga. Jadi, Susan tidak punya keberanian untuk bertanya hal apa yang bisa dia lakukan untuk membalas jasanya kepada Evan.“Apa dasinya udah ketemu, Mas Evan?” tanya mbok Minah yang mendadak datang dan menepis kecanggungan antara Susan dan Evan.Evan menoleh ke arah pintu masuk dan melihat mbok Minah yang juga menjadi serba salah seperti sudah memergoki sepasang kekasih dan tidak sepantasnya dilihat. Namun, Evan dengan cepat membuat jarak pada Susan dengan mengayunkan langkah ke arah pintu masuk itu.“Udah, Mbok Nah. Udah rapi belum? Aku sarapan dulu, ya Mbok Nah.” Evan berkata dengan sedikit canggung dan hal itu bisa ditangkap dengan jelas oleh mbok Minah.“Iya, Mas. Sarapannya udah Mbok Nah siapin sejak tadi. Buruan gih, udah mau jam delapan. Mas Eva
Susan masih memikirkan yang tadi dikatakan oleh mbok Nah. Wanita tua itu tidak menjelaskan lebih detail maksud dari ucapannya tadi. Susan yang sedang menyetrika pakaian menjadi tidak tenang dan terus memikirkannya. Mbok Minah berkata bahwa pria akan lebih mencintai darah dagingnya dari pada apapun.“Aku nggak mau serakah nantinya kalau ternyata aku jadi suka dan nggak mau melepaskan mas Evan. Seperti yang terjadi dalam film india itu. Tapi, kalau dipikir-pikir kok memang mirip juga dengan kisahku sekarang, ya? Ah, udahlah! Yang penting kan aku nggak mau!” gumam Susan dan kemudian menghela napas panjang lalu melanjutkan pekerjaannya.Memang tidak ada yang menyuruhnya bekerja dan melakukan pekerjaan yang sebenarnya sudah ada pekerjanya sendiri walau bukan mbok Minah. Namun, Susan tetap merasa tidak bisa tenang begitu saja karena sekarang posisinya dia sedang menumpang di rumah Evan dan Renata.Setelah satu keranjang pakaian kering itu selesai dan tersusun rapi di meja yang tersedia, Sus