Bab 5
Beberapa hari berlalu. Setelah pengusiran waktu lalu, Gladys tinggal di sebuah kontrakan berukuran kecil, tapi masih layak ditempati oleh dirinya dan si buah hati nanti.Dia masih bekerja di Hotel sambil menutupi kehamilannya. Ia berharap, gaji kecil yang didapatnya bisa untuk mencukupi kebutuhannya dan calon anaknya nanti.Kebetulan juga, jarak kontrakan dan Hotel tak terlalu jauh. Sehingga masih bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Ia harus bisa menabung, untuk masa kehamilannya nanti dan juga Gladys harus mengirim uang kepada Bibinya."Kamu kuat, Gladys! Aku harus berjuang sendirian mulai sekarang. Demi anakku," gumamnya menyemangati.Di Hotel, Gladys masih bekerja seperti biasanya. Di kehamilan trimester awal ini dia terganggu, karena rasa mual dan pusing selalu terasa di sela-sela kegiatannya.Sambil duduk di pantry, ia memegangi perutnya yang keroncongan. Tetapi ia tahan lantaran akan merasa mual jika diberi asupan."Heh, Gladys! Kamu dicari-cari malah enak-enakan duduk di sini!" Gladys yang sedang melamun pun tersentak, saat suara Adriana membuyarkan lamunannya.Menghembuskan napas lelah, Gladys menatap Adriana yang selalu mencari masalah dengannya."Ada apa lagi, Na?" tanya Gladys.Adriana membawa meja trolli ke samping Gladys. Wanita yang sedang duduk itu mengernyit bingung."Anterin ke lantai 8 sana! Jangan mau enak-enaknya saja saat bekerja!" titah Adriana.Sikapnya yang semena-mena, membuat para pelayan Hotel ini tidak suka kepada Adriana, karena dia merasa paling berkuasa di sini hanya karena pegawai lama."Tapi itu 'kan udah bagianmu mengantarkannya, Na. Sudah tugasmu, aku baru saja kelar mengantar," Gladys berkomentar. Tidak mau menjadi suruhan Adriana yang selalu saja menindasnya.Adriana bersedekap dada, melayangkan tatapan sinisnya pada Gladys yang membantah ucapannya."Halah, kamu malah sering melawan. Tinggal patuhi saja. Memangnya salah jika aku menyuruhmu, kau 'kan selalu berleha-leha!" kesal Adriana.Saat Gladys akan mengeluarkan suara. Rasa mual kembali terasa. Perutnya seperti diaduk-aduk. Ia berlari terbirit-birit ke arah kamar mandi.Masih sama seperti kemarin, tidak ada yang dimuntahkan Gladys ke kloset. Setelah mengelap mulutnya dengan tisu, Gladys pun duduk di atas kloset. Ia harus tetap kuat hari ini.Baru ingin membuka pintu, Gladys sudah mendengar suara berisik dari balik pintu. Ia pun kembali duduk dan menunggu."Heh, guys! Kalian tahu nggak? Ada berita terbaru tentang si Gladys!" Gladys mendengar suara Adriana."Kenapa si Gladys?" tanya salah satu rekan kerjanya."Tadi aku 'kan lagi ngobrol sama si Gladys. Tiba-tiba dia ngibrit ke kamar mandi, dia kayaknya muntah. Atau jangan-jangan dugaanku benar, bahwa Gladys sudah menjadi simpanan dan hamil," celetuknya.Mereka semua terkesiap, tidak percaya dengan perkataan Adriana."Masih sih, Na? Nggak mungkinlah si Gladys kayak gitu. Dia 'kan anaknya pendiam.""Justru itu. Si Gladys diam-diam menghanyutkan. Coba aja kalian amati, ada yang berbeda dari Gladys akhir-akhir ini.""Udahlah, kayaknya di Gladys benar-benar hamil. Dia itu wanita sundal, yang berlindung dibalik wajah lugunya. Padahal dia perayu handal."Tangan Gladys terkepal, saat teman-temannya malah menggosipkan lagi tentang dirinya. Ia gigit bibir bawahnya kuat, siapa yang tidak kuat menahan tuduhan-tuduhan yang temannya berikan.Namun saking marahnya, Gladys hanya bisa menangis. Ia tidak bisa balik marah pada mereka, dan tetap bertahan di toilet sampai mereka pergi.***Di lain tempat, seperti yang Arnesh rencanakan sebelumnya.Dia akan menemui atasan, untuk mempertanyakan seorang wanita yang sedang dicarinya. Untung saja, dia mengenal pemilik Hotel ini, ia bisa leluasa menanyakannya."Adakah pegawaimu yang bernama Gladys?" tanya Arnesh, kepada Daniel.Daniel mengerutkan kening, saat Arnesh—teman sejak masa SMP itu menanyakan Gladys."Gladys? Di sini ada dua nama Gladys, Ar. Gladys yang mana yang sedang kau cari?" Daniel balik bertanya.Arnesh berdesis, pasalnya dia lupa namanya. "Antarkan aku untuk menemui wanita yang bernama Gladys itu, Dan.""Memangnya kenapa sih? Kenapa kamu mencarinya? Ada urusan apa?""Sudahlah, kamu nggak perlu tahu. Ayo, antarkan aku!"Mau tidak mau, Daniel langsung mengantarkan Arnesh ke ruangan peristirahatan para pekerja.Sedari tadi, Arnesh terus saja bertanya, tanpa mau menjawab pertanyaan Daniel. Wajah dokter muda itu sangat kaku, seperti sedang menahan emosi.Saat mereka masuk, keduanya dikejutkan oleh kerumunan di tempat ini. Ada beberapa orang mengelilingi satu wanita yang berjongkok di tengah ruangan."Yang dikatakan Adriana itu benar nggak, Glad? Kamu lagi hamil?" tanya satu orang sambil tertawa sinis."Jawab dong, Gladys. Jangan diam seperti orang bisu!” Kini satu orang mendorong pundak gadis di tengah itu. “Pantas saja akhir-akhir ini gelagatmu aneh, tahunya kau sedang mengandung.""Idih, dasar wanita murahan. Padahal belum menikah sudah hamil. Katakan, Glad. Siapa Ayah dari anak yang kamu kandung itu? Apa Ayahnya si tua bangka yang kaya raya?""DIAM! Ada apa ini ribut-ribut?" sentak Daniel, membubarkan kerumunan yang terjadi.Wajah mereka pun jadi tegang begitu melihat pimpinan hotel ini datang. Kerumunan itu langsung berbaris rapi, meninggalkan Gladys yang masih ada di tengah.Dada Arnesh terguncang, tatkala melihat seorang wanita sedang menangis tersedu-sedu dengan posisi berjongkok.Dari sinilah Arnesh yakin, jika wanita itu adalah orang dia cari. Arnesh bisa melihatnya dari ciri-ciri wanita tersebut."Apa yang kalian lakukan sampai merundungnya seperti itu?" Meski masih abu-abu, itu orang yang dimaksud, tetapi Arnesh tidak membiarkan perundungan ini berlanjut.Langkahnya membawa mendekat, ke arah wanita yang membenamkan wajahnya di dengkul."Apa kamu baik-baik saja?"Gladys berjingkat, saat sebuah tangan menyentuh pundaknya. Sontak ia mengangkat pandangan, menengadah untuk menatap orang di depannya.Tatkala kepalanya terangkat, pandangan keduanya langsung bertemu, bertatapan dalam waktu yang lama dengan keterkejutan yang mengguncang dada."Kamu ... " Arnesh memanggil lirih, saat wanita yang dia cari selama ini ada di hadapan matanya.Kala pandangan mata mereka saling beradu, dari sinilah mereka menyadari sesuatu. Sekelebat bayangan malam kelam itu, teringat jelas saat keduanya melihat wajah satu sama lain."Jangan sentuh aku!" sentak Gladys.Tubuhnya gemetar, dengan dada bertalu cepat. Di saat dia mati-matian melupakan kejadian buruk itu, takdir malah mempertemukan mereka."Pergi! Pergi dari sini!"Arnesh terjengkang, saat Gladys mendorong kasar dada bidang pria yang sudah merenggut manisnya dan merusak kebahagiaannya. Gladys takut, kehadiran Arnesh membuat hatinya tersayat sembilu.Arnesh bangkit, mengejar Gladys yang lari begitu saja saat dirinya hendak menyentuh."Tunggu! Jangan lari, bahaya!" teriak Arnesh. Kaki lebarnya mengimbangi Gladys yang terus berlari sepanjang lorong. Yang Arnesh khawatirkan, bisa saja membahayakan kandungan.Dia berlari secepat mungkin, hingga akhirnya Arnesh menggapai pergelangan tangan Gladys, sontak langsung berhenti."Berhenti, kenapa kamu lari?"Napas keduanya memburu, menetralka
Sepulang dari tempat kerja pada malam harinya, Gladys pulang dengan berjalan kaki seperti yang biasa ia lakukan guna menghemat uang. Beruntung jalanan ibu kota masih ramai di jam-jam seperti ini, Gladys tidak merasa takut.Dia mampir ke sebuah warung yang terletak di pingging jalan, warung langganan Gladys. Dia sering membeli nasi bungkus di sini, harganya murah karena hanya nasi dan telur ceplok saja."Waduh, Neng Gladys baru pulang kerja.""Iya Mak, beli nasi bungkus kayak biasanya, ya," kata Gladys pada Ibu-Ibu penjual itu.Wanita berusia rentan itu tersenyum ke arahnya. "Makan telur mulu nggak bisulan tah Neng?" Gladys tersenyum kikuk. Mungkin orang juga keheranan, dengan porsi makannya yang hanya itu-itu saja. Andai saja Gladys punya banyak uang, dia ingin mengganti porsi dan makan-makanan enak."Nggak, Mak. Maklum lagi tanggal tua," ujar Gladys."Ya udah, karena Neng teh suka beli di warung Emak. Emak kasih bonus deh."Ibu itu menambahkan sepotong daging ayam ke plastik, lalu m
Karena pencarian tak membuahkan hasil. Arnesh mengalami kebuntuan, dia tidak tahu harus mencari Gladys kemana lagi setelah ini.Mau tidak mau, Arnesh harus memikirkan cara. Ia bisa saja datang ke tempat kerjanya. Tetapi orang-orang pasti akan curiga, dan juga Gladys tidak mau bicara dengannya.Ia meletakkan ponselnya di telinga. Meminta bantuan anak buahnya untuk mencari alamat rumah yang Gladys tinggali."Coba kau buntuti dia, awasi pergerakannya!" titah Arnesh.Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, sambil menjambak rambutnya frustasi. Dia akan merutuki dirinya sendiri, jika ia menjadi penyebab Gladys diusir.Karena kecerobohannya satu bulan lalu, Gladys harus menanggung akibatnya."Semoga saja aku bisa menemukanmu, Glad," gumamnya.Menancap pedal gas, meninggalkan kampung yang dulunya ditempati Gladys. Pasti wanita tertekan, dengan perkataan wanita yang menjadi Bibinya itu.Baru pertama bertemu saja, Bibinya sudah bersungut-sungut seperti itu. Wajah sendunya membuat Arnesh teringat,
Arnesh jadi tidak sabar, menunggu kabar anak buahnya yang ia perintah untuk mengikuti Gladys. Hanya ini, satu-satunya cara agar ia bisa bertemu Gladys. Supaya pembicaraan mereka lebih leluasa.Melihat suaminya yang sudah rapih dengan pakaian formalnya, Livya mengulas senyum, memerhatikan wajah rupawan Arnesh. Ia mendekat, memeluk suaminya dari belakang."Mas ...." panggil Livya, mendusel-duselkan wajah di punggung suaminya.Menghela napas dalam dan membuangnya perlahan, Arnesh hanya diam, membiarkan Livya memeluknya. "Kenapa?""Malam nanti dinner yuk. Ngehadirin acara peresmian restoran baru temanmu itu, katanya kita diundang ke sana," ujar Livya. Walau Arnesh tahu, ia mengingatkan saja agar suaminya mau.Sayangnya, Arnesh memiliki acara lain sepulang kerja nanti. Dia ingin menemui Gladys di rumahnya."Aku ada urusan yang nggak bisa aku batalkan. Gimana kalau kamu saja yang datang?" kata Arnesh menolak.Penolakan dari Arnesh, Livya mengerucutkan bibirnya ke depan. Entah sampai kapan k
Gladys tertawa, mentertawakan nasib buruk yang menimpanya. Setelah kesucian yang terenggut paksa, Arnesh datang ingin menikahinya. Mahkota yang ia jaga selama 21 tahun dan ia jaga untuk suaminya kelak, pupus begitu saja.Jika pun Arnesh bertanggung jawab. Apa kata orang-orang jika Gladys menikah dengan soerang pria beristri? Tentu saja Gladys tidak mau, sama saja itu hanya menambah masalahnya."Gampang sekali anda bicara seperti itu. Apa kesalahan saya kepada anda? Anda pikir menikahi saya adalah jalan terbaik? Nggak! Yang ada anda malah menambah masalah saya. Saya nggak mau dicap pelakor, karena menikah dengan suami orang!" papar Gladys, mengutarakan apa yang ia rasakan. Dia merasa direndahkan jika seperti ini.Arnesh hanya diam dan duduk, memperhatikan Gladys yang sedang menangis di hadapannya. Perasaan bersalah kian besar dan membuncah, ia menunduk, tidak kuasa melihat betapa terlukanya Gladys.Mereka diam selama beberapa saat, memendam sesuatu yang ingin disampaikan. Arnesh tahu,
Akhirnya setelah mendapatkan persetujuan Gladys, Arnesh menyuruh anak buahnya untuk mempersiapkan pernikahan disalah satu KUA yang masih berada disekitaran sana.Tak lupa, membawa saksi, untuk menyaksikan bahwa mereka suami istri sekarang. Gladys tremor, dia gemetar karena sudah menyandang istri dari seorang Dokter muda, Arnesh Aryawadhana. Ah, ralat, istri kedua maksudnya."Jangan tegang seperti itu, Glad. Santai aja. Aku nggak bakalan minta hakku kok," celetuk Arnesh, tersenyum gemas pada Gladys yang masih malu dan tegang bersama dengannya.Mata Gladys membola. "Anda jangan macam-macam, Pak Arnesh!" katanya. Masih menggunakan bahasa formal, lantaran masih sungkan dan juga Arnesh lebih tua darinya.Mereka berdua seperti kakak beradik ketimbang suami istri, karena perbedaan keduanya cukup jauh, hanya terpaut 11 tahun.Arnesh tertawa. "Bercanda. Aku nggak bakalan macam-macam, sekalipun iya, kamu 'kan istriku."Istri keduanya mendengus, mengalihkan pandang ke sembarang arah.Sikap Gladys
Gladys hanya diam bergeming, dia duduk lesehan beralaskan tikar. Menunggu pesanan makanan agar segera sampai, karena ia sangat lapar dan perutnya meronta makan.Bunyi cipratan air sayup-sayu terdengar, menandakan Arnesh belum selesai membersihkan diri. Gladys mengusap perut, tak tahan, sedari tadi perutnya terasa keroncongan."Glad ..." Gladys tersentak, saat Arnesh memanggilnya.Wanita muda itu dengan cepat menoleh malas. "Kenapa?" tanyanya.Arash menongolkan wajahnya dibalik pintu kamar mandi. "Kau punya handuk?""Punya, hanya satu," balas Gladys seadanya.Dia tidak tahu, kenapa Arnesh bertanya seperti itu. "Boleh pinjam?""Sebentar, Pak."Sepasang mata Gladys membeliak. Selain harua berbagi ranjang, ya kali harus berbagi handuk juga? Astaga, Gladys tidak habis pikir.Ia menyambar handuk miliknya, berjalan ragu ke kamar mandi berukuran sempit dan kecil. Mengulurkan tangan, memberikannya pada sang suami.Sayangnya, tangan Arnesh tidak bisa menggapai, lantaran Gladys terlalu jauh untuk
Apa yang terjadi malam tadi, Livya melupakannya begitu saja. Dia tidak mau memperpanjang masalah, biarlah dia memendam apa yang dirasakan, ini lebih baik. Livya meringis, menahan sakit dibagian pangkal pahanya.Arnesh menoleh sekilas, lalu lanjut melahap saran yang dibuatkan asisten rumah tangga."Maaf bangun telat, Mas. Jadi nggak sempat buatkan kamu sarapan," cicit Livya.Mengangguk singkat, Arnesh tetap menyuapkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya. "Nggak papa, aku nggak suka sama masalan kamu. Jadi nggak perlu repot-repot," tukasnya.Livya tersenyum paksa, karena memang Arnesh tidak suka dengan masakannya. "Kapan-kapan ke rumah orang tuaku yuk, Mas. Kamu ditanyain mulu sama mereka. Katanya suruh mampir.""Ya, aku usahakan." Senyuman Livya mengembang, ada seciul harapan yang suaminya ucapkan barusan. Dalam artian, Arnesh setuju."Mas, hari ini aku mau jalan bersama teman-temanku," kata Livya."Terus?" tanya Arnesh malas. Dari dulu dia memang tidak ingin tahu soal kegiatan Livya.